Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 28/PUU-XXI/2023 / 17-05-2023

Kerugian Konstitusional:
Pemohon dalam permohonannya pada intinya mengemukakan bahwa dengan adanya kewenangan Penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan yang termuat dalam Pasal 30 UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 50 ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) UU KPK telah merugikan Pemohon sebagai Advokat dikarenakan tindakan kesewenang-wenangan Jaksa yang telah mengabaikan hak-hak klien Pemohon dalam proses Prapenuntutan. Sehingga oleh karena itu dibutuhkan check and balances dalam hal penyidikan dan prapenuntutan oleh Jaksa dalam tindak pidana korupsi agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penyidikan.

Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut DPR RI menerangkan bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum justru teraktualisasikan dalam Pasal a quo yang mengatur mengenai kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam hal proses penyidikan atas kasus-kasus pidana khususnya tindak pidana korupsi. Pemohon adalah bukan pihak yang terkait langsung dengan UU a quo karena Pemohon bukanlah Penyidik Jaksa, Penyidik Kepolisian, ataupun Penyidik KPK. Oleh karena itu secara yuridis, tidaklah berdasar jika Pemohon berkedudukan sebagai Pihak dalam perkara permohonan a quo, yang jelas-jelas tidaklah memenuhi kualifikasi sebagai Pihak dalam perkara permohonan pengujian UU a quo.

2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat mendalilkan mengalami kerugian akibat adanya kewenangan Penyidikan yang diberikan kepada Jaksa sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, dan Pasal 44 Ayat (4) dan Ayat (5) dan Pasal 50 UU KPK, dikarenakan tindakan kesewenang-wenangan Jaksa yang telah mengabaikan hak-hak klien Pemohon pada proses prapenuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi. Kerugian yang didalilkan Pemohon tersebut menunjukan tidak adanya pertautan antara Pemohon dan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan batu uji yang digunakan dan Pasal yang dimohonkan pengujiannya, sehingga jelas tidak ada kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo. Dengan demikian dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo tidak menghalangi Pemohon dalam menjalankan profesinya juga tidak mengurangi ataupun melanggar hak dan/atau kewenangan konstituional Pemohon.

3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon maka tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo. Selain itu, kerugian yang didalilkan Pemohon hanya merupakan dugaan/asumsi Pemohon belaka tanpa ada keterkaitannya dengan diri Pemohon.

4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon secara spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstituonal yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal-Pasal a quo.

5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo, maka dikabulkan atau tidak permohonan Pemohon oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Pemohon. Sehingga tidak relevan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa pokok permohonan Pemohon.

Pokok Permohonan:
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menganut sistem penyelesaian pidana secara terpadu atau integrated criminal justice system. Sebagai suatu sistem, proses penegakan hukum pidana, ditandai dengan adanya diferensiasi fungsional, diferensiasi tersebut dimaksudkan agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Dengan demikian, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum. Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis). Diferensiasi fungsi dalam hal ini juga mengandung pengertian pembagian peran antara kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dan kewenangan penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan. Diferensiasi yang demikian bersifat internal, yaitu pembedaan wewenang di antara aparat penegak hukum dalam ranah eksekutif.
2. Bahwa dalam suatu sistem, walaupun setiap komponen diberikan wewenang tertentu yang berbeda dengan wewenang komponen lainnya, tetapi untuk mewujudkan tujuan sistem secara terpadu, setiap komponen harus melakukan koordinasi dengan komponen lainnya. Namun, karena alasan-alasan tertentu, tidak tertutup kemungkinan adanya pemberian wewenang khusus kepada komponen tertentu, sehingga diperlukan koordinasi yang baik dan/atau ketentuan yang jelas dan tegas mengenai pengecualian tersebut.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Undang-Undang yang diturunkan dari amanat Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaaan. Bahwa pemberian kewenangan mengenai diferensiasi fungsi (kewenangan) bagi masing-masing penegak hukum tersebut merupakan ranah politik hukum pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengaturnya lebih lanjut dengan undang-undang. Bahwa selain KUHAP terdapat undang-undang yang memberikan kewenangan khusus kepada lembaga-lembaga tertentu untuk melakukan fungsi-fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, antara lain:
a. UU Kejaksaan;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;
c. UU KPK;
d. UU Tipikor.
4. Bahwa secara historis, Kejaksaan telah melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sejak masa berlakunya Het Herziene Inlandsch Reglemen (HIR), kewenangan tersebut pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pada masa HIR, penyidikan merupakan bagian dari penuntutan, kewenangan yang demikian menjadikan Jaksa sebagai koordinator bahkan dapat melakukan sendiri penyidikan.
b. Pada Tahun 1961, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia mengatur secara tegas tentang tugas dan wewenang Kejaksaan dalam penyidikan. Selanjutnya pada tahun 1971, disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana secara tegas dinyatakan bahwa Jaksa Agung selaku penegak hukum dan penuntut umum tertinggi memimpin/mengoordinir tugas kepolisian represif/yustisial dalam penyidikan perkara-perkara korupsi.
c. Pada Tahun 1981, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan tugas kejaksaan yakni tahap pra-penuntutan dan tahap penuntutan, sedangkan kewenangan melakukan penyidikan menjadi hak Kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana Pasal 6 ayat (1) KUHAP. Namun, Pasal 7 ayat (2) KUHAP membuka peluang bagi adanya Lembaga lain diluar Kepolisian dan PPNS jika diatur dalam ketentuan khusus dalam Perundang-undangan.
5. Sampai dengan saat ini, terdapat beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk melakukan penyidikan, antara lain:
a. Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dan Bersih dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
b. Pasal 26 jo Pasal 39 UU Tipikor;
c. Pasal 11 Ayat (1), Pasal 12 Ayat (10), dan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
d. Pasal 44 Ayat (4) dan Ayat (5) dan Pasal 50 ayat (1) UU KPK;
e. Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan;
f. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
6. Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, bukan merupakan ketentuan yang bersifat umum. Dengan demikian, kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang tertentu pula. Pasal itu bukan merupakan aturan yang bersifat umum (regel), tetapi merupakan suatu pengecualian (exceptie). Pengecualian semacam itu sudah lazim dalam pembuatan undang-undang jika diperlukan untuk menangani hal-hal yang bersifat khusus.
7. Bahwa sebagai perbandingan pengaturan mengenai kewenangan Jaksa dalam penyidikan di negara lain seperti Belanda, Perancis, dan Jerman tugas jaksa memang melakukan penyidikan dan sebagai penyidik dan dalam hukum acaranya mereka, mereka menentukan bahwa Jaksa melakukan penyidik terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dalam KUHP-nya (Berdasarkan Keterangan Ahli Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam Perkara Nomor 28/PUU-V/2007)
8. Bahwa khusus terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia yang sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya yang terus meningkat serta jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis tersebut dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara khusus. Salah satu metode penegakan hukum secara khusus adalah dengan pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu institusi penegak hukum, tujuannya agar dapat diwujudkan "checks and balances", karena apabila salah satu penyidik mengabaikan kewenangannya dan tidak menindaklanjuti suatu perkara tindak pidana korupsi, maka dapat dilakukan oleh penyidik lain, sehingga hukum dapat ditegakkan secara optimal.
9. Bahwa selain itu, terdapat beberapa alasan yang mendasari kewenangan Jaksa sebagai penyidik:
a. Diharapkan dengan diberikannya kewenangan bagi Jaksa untuk melakukan penyidikan dan sekaligus penuntutan dalam tindak pidana korupsi, akan menghapus mata rantai pra penuntutan yang telah menyebabkan terjadinya ‘bolak-balik perkara’ antara penuntut umum dengan penyidik. Dengan adanya kewenangan Jaksa melakukan penyidikan maka dapat menghindari permasalahan tersebut, sehingga proses penyelesaian perkara menjadi efisien dan efektif.
b. Bahwa dengan adanya kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan dibeberapa tindak pidana tersebut, maka secara praktis akan mempercepat Jaksa menguasai kasus serta pembuktiannya sehingga penyelesaian perkara tindak pidana korupsi akan lebih efektif dan efisien. Penguasaan kasus dan pemahaman pembuktian oleh Jaksa sejak awal akan memudahkan Jaksa menyusun surat dakwaan serta mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama persidangan.
10. Bahwa pada praktik dunia internasional, terdapat Guidelines on the Role of Prosecutors, Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, 27 August to 7 September 1990, U.N. Doc. A/ CONF.144/28/Rev.l at 189 (1990), dimana disebutkan bahwa:
“Prosecutors shall performa an active role in criminal proceedings, including institutions of prosecution and, where autorized by law or consistent with local practice, in the investigations, Supervision of the execution of Court decisions and the exercise of other functions as representatives of the public interest”.
Pada intinya berdasarkan ketentuan tersebut, dalam praktik internasional sah apabila Jaksa melakukan penyidikan, mengawasi sahnya penyidikan tersebut, mengawasi eksekusi putusan pengadilan dan dalam melaksanakan fungsi-fungsi lain sebagai pembela kepentingan umum, karena Jaksa merupakan leading sector dalam penindakan tindak pidana. Bahwa peranan Jaksa memiliki tugas pengusutan, dimana tugas pengusutan itu termasuk kegiatan penyelidikan dan penyidikan didalamnya. Dengan demikian, peran Jaksa untuk menyidik kasus-kasus tertentu ini sudah melekat dan sudah menjadi praktik dalam dunia internasional.
11. Pemohon mendalilkan bahwa dengan diberikannya kewenangan Penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan RI menjadi superpower mengingat bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan lebih selain melakukan penuntutan, Jaksa juga bisa sekaligus melakukan penyidikan (vide Perbaikan Permohonan Pemohon hal. 22). Terhadap dalil tersebut DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana (Asas Dominus Litis).
b. Bahwa meskipun Jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan atas nama negara dan diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, namun tentunya tidak lepas dari segi pengawasan. Pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan dari Jaksa tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Presiden
Bahwa Jaksa Agung merupakan pejabat negara yang jabatannya dipersamakan dengan anggota kabinet dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden sehingga Jaksa Agung bertanggungjawab kepada Presiden. Dengan demikian, maka tugas dan wewenang yang dijalankan Kejaksaan akan dikontrol penuh oleh Presiden (vide UU Kejaksaan).
2) Majelis Kode Perilaku
Sebagaimana diatur melalui Peraturan Kejaksaan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa jaksa harus mematuhi prinsip-prinsip integritas, kemandirian, ketidakberpihakan dan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, dalam hal apabila terdapat tindakan serta bukti yang menunjukan jaksa melakukan tindakan sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya, pihak yang dirugikan atau masyarakat umum dapat mengajukan pengaduan atau pelaporan ke lembaga pengawasan yaitu Majelis Kode Perilaku yang bertugas sebagai wadah yang dibentuk di lingkungan Kejaksaan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
3) Komisi Kejaksaan Republik Indonesia
Dalam hal apabila terdapat tindakan serta bukti yang menunjukan jaksa melakukan pelanggaran hukum atau bersifat sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, pihak yang dirugikan atau masyarakat umum dapat mengajukan pengaduan atau pelaporan pada Komisi Kejaksaan yang memiliki tugas sebagai berikut (vide Website Komisi Kejaksaan yang diakses dari https://komisi-kejaksaan.go.id/tugas-dan-wewenang/):
a. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja Jaksa dan pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya.
b. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap sikap dan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan.
c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan.
d. Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan, dan penilaian sebagaimana tersebut huruf a, huruf b, dan huruf c untuk ditindaklanjuti.
4) DPR RI
Bahwa DPR RI memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang serta kebijakan pemerintah dalam kerangka representasi rakyat. Masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya atas kinerja pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan, kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti, khususnya kepada Komisi III DPR RI yang memiliki ruang lingkup dalam bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan dengan mitra kerja yang salah satunya adalah Kejaksaan Agung.
12. Bahwa Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan batu uji yang sama yakni Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dalam perkara Nomor 28/PUU-V/2007 dan Nomor 16/PUU-X/2012. Dalam perkara tersebut Mahkamah konstitusi telah memutus dan menyatakan “ditolak” dan “tidak dapat diterima”, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi tidak perlu menerima, memeriksa, dan menguji kembali Pasal a quo dan sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya karena permohonan a quo nebis in idem.

28/PUU-XXI/2023

Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 Ayat (4) dan Ayat (5), dan Pasal 50 UU KPK, dan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan

Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945