Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 58, 59, DAN 60/PUU-XX/2022 / 19-07-2022

Kerugian Konstitusional:
ahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian formil terhadap UU 8/2022 yang pada intinya Para Pemohon beranggapan bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah bertentangan dengan konstitusi karena:
1. Proses pembentukan UU 8/2022 tidak melibatkan partisipasi masyarakat terutama dalam hal pemindahan ibu kota provinsi dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru.
2. Pembentukan UU 8/2022 bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya:
a) asas kejelasan tujuan;
b) asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c) asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan
d) asas keterbukaan.

Legal Standing:
a. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Perkara 58 dalam Pengujian Formil.
1) Bahwa Pemohon I yang merupakan badan hukum privat, diwakili oleh Ketua KADIN Kota Banjarmasin; Pemohon III, dan Pemohon V yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta; dan Pemohon II sebagai pedagang serta Pemohon V sebagai buruh harian lepas beranggapan bahwa pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dengan tidak melibatkan partisipasi Para Pemohon berkaitan dengan penentuan pemindahan Ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, sehingga Para Pemohon merasa tidak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan UU 8/2022. Para Pemohon juga beranggapan berpotensi mengalami kesulitan untuk menjalankan profesinya akibat dari dipindahnya ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
a) Bahwa dengan dibentuknya UU 8/2022 dan dilakukannya pemindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, hal tersebut tidak menyebabkan Para Pemohon tidak dapat menjalankan kegiatan/profesinya. Para Pemohon tetap dapat melaksanakan kegiatan/profesinya sebagai suatu badan hukum privat, karyawan swasta, pedagang, dan buruh harian lepas.
b) Apabila Para Pemohon a quo merasa tidak dilibatkan dalam proses pembentukan UU 8/2022, maka perlu dipahami bahwa dalam suatu pembentukan undang-undang melibatkan hanya perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan yang relevan dalam proses pembentukan UU tersebut (vide Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan PUU)).
c) Dalam permohonan a quo Para Pemohon sama sekali tidak menjelaskan urgensi dilibatkannya Para Pemohon tersebut dalam pembentukan UU a quo, sehingga Para Pemohon tidak memiliki hubungan pertautan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Pembentuk undang-undang telah mengakomodir partisipasi publik dengan melakukan berbagai rangkaian kegiatan mencari masukan dalam pembentukan UU a quo melalui pertemuan, rapat-rapat dengan berbagai unsur masyarakat, akademisi dan lain sebagainya mulai proses perencanaan, penyusunan sampai dengan pembahasan.
2) Selain itu, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V mendalilkan bahwa Para Pemohon sebagai warga negara dan pembayar pajak (tax payer) memegang kedaulatan tertinggi. Selain itu Para Pemohon juga mendalilkan adanya kenaikan pajak sebesar 11% pada tahun 2022 (vide Perbaikan Permohonan Hal. 14)
Terhadap dalil Para Pemohon sebagai tax payer, DPR menerangkan sebagai berikut:
a) Doktrin Tax Payer secara konseptual pertama kali muncul di Amerika Serikat dalam perkara Crampton v. Zabriskie. Dalam perkara ini, doktrin tax payer muncul atas gugatan yang meninjau pada perbuatan administrative pemerintah (judicial review of administrative action), dan diterima oleh pengadilan. Meninjau pada perkara lain, yakni pada perkara Frothingham v. Mellon, yang merupakan bentuk peninjauan legislasi sebagai bentuk legislation action, dan perkara ini ditolak pengadilan dengan pertimbangan pemohon tidak menunjukkan adanya direct injury. Dalam kedua kasus ini dapat disimpulkan bahwa Tax Payer dapat memiliki kedudukan hukum apabila terdapat cedera (injury) atau yang dikenal dengan direct injury. Direct injury dimaknai sebagai hubungan logis antara kedudukan hukum Tax Payer dengan dalil yang dimohonkan.
b) Dalam The Constitution of The United States of America Analysis and Interpretation yang disusun oleh Congressional Research Service Library of Congress yang menyatakan bahwa Tax Payers memiliki kedudukan apabila: (Vide: The Constitution of The United States of America Analysis and Interpretation hal. 733).
 First, there must be a logical link between the status of tax payer and the type of legislative enactment attacked; this means that a tax payer must allege the unconstitutionally only of exercises of congressional power under the taxing and spending clause of Article I, § 8, rather than also of incidental expenditure of funds in the administration of an essentially regulatory statute.
(Pertama, harus terdapat hubungan logis antara status wajib pajak dengan undang-undang yang diuji. Hal ini berarti wajib pajak harus mendalilkan adanya inkonstitusionalitas dari pelaksanaan kekuasaan Congress yang diatur dalam Article I Section 8 Constitution of the United States mengenai perpajakan dan belanja, dan juga pengeluaran dana insidental).

 Second, there must be logical nexus between the status of tax payer and the precise nature of the constitutional limitations imposed upon the exercise of the taxing and spending power, rather than simply arguing that the enactment is generally beyond the powers delegated to Congress.
(Kedua, harus terdapat hubungan logis antara status wajib pajak dengan bentuk pelanggaran konstitusi yang didalilkan. Hal ini berarti bahwa wajib pajak harus menunjukkan bahwa berlakunya undang-undang yang diuji melebihi batasan konstitusional yang spesifik terkait perpajakan dan belanja, daripada sekedar berargumen bahwa pemberlakuan UU tersebut di luar kekuasaan yang didelegasikan kepada Congress).

c) Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap doktrin hukum kedudukan Tax Payer pertama kali melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Putusan Mahkamah a quo selanjutnya menjadi cikal bakal doktrin kedudukan hukum Tax Payer dalam pengujian undang-undang. Sebagaimana adagium “no taxation without participation” dan sebaliknya “no participation without tax”, dalam Putusan a quo secara eksplisit Mahkamah menyebutkan bahwa, setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang yang terkait dengan bidang perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraannya (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 hal. 327).
d) Bahwa Mahkamah melalui putusan-putusannya telah menegaskan bahwa terhadap pembayar pajak (tax payer) hanya dapat diberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, bertanggal 22 September 2015).
e) Bahwa berdasarkan uraian di atas, tidak terdapat hubungan logis (direct injury) antara apa yang dimohonkan Para Pemohon dengan kedudukan Para Pemohon sebagai tax payer sebab UU a quo tidak mengatur sama sekali terkait dengan pajak atau keuangan negara sehingga dalil Para Pemohon sebagai tax payer tidak tepat apabila digunakan sebagai dasar pengujian UU 8/2022 di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Para Pemohon juga tidak menguraikan secara spesifik dan aktual adanya kerugian konstitusional yang dialami atas berlakunya UU a quo atau berpindahnya ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.
3) Bahwa Pemohon I adalah KADIN Kota Banjarmasin yang diwakili oleh Muhammad Akbar Utomo Setiawan, Ketua KADIN Kota Banjarmasin. Terhadap kedudukan Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kamar Dagang dan Industri (Keppres 17/2010), yang memiliki kewenangan untuk mewakili KADIN baik keluar maupun ke dalam, adalah Dewan Pengurus KADIN hal ini sebagaimana isi ketentuan Pasal 29 Lampiran Keppres 17/2010 yang menyatakan: (Vide Lampiran Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 hal. 45)
“Dewan Pengurus Kadin Provinsi/Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi Kadin Provinsi/Kabupaten/Kota dan merupakan pimpinan tertinggi Kadin tingkat yang bersangkutan, mewakili organisasi keluar dan ke dalam, dengan masa jabatan kepengurusan 5 (lima) tahun, terdiri dari Pengurus Harian, Pengurus Harian Lengkap, dan Pengurus Lengkap.”

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, Pemohon I tidak memiliki legalitas untuk mewakili organisasi KADIN Kota Banjarmasin berdasarkan Keppres 17/2010. Oleh karena itu meskipun Pemohon juga mendalilkan telah memperoleh dukungan mayoritas Dewan Pengurus KADIN Kota Banjarmasin berdasarkan hasil rapat pada Berita Acara Nomor: 01/BA/KADIN-BJM/VI/2022 tertanggal 04 Juni 2022, namun dasar dalil Pemohon tersebut tetap tidak tepat karena dukungan mayoritas Dewan Pengurus KADIN bukan merupakan bentuk pemberian kuasa atau mandat kepada Pemohon untuk mewakili KADIN Kota Banjarmasin mengajukan permohonan pengujian UU a quo kepada Mahkamah Konstitusi.

b. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Perkara 60 dalam Pengujian Formil
1) Bahwa Para Pemohon mendalilkan sebagai perwakilan lembaga negara memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang telah dirugikan pemenuhan hak konstitusionalnya karena proses pembentukan dan terbitnya UU 8/2022 tidak melibatkan partisipasi masyarakat Kalimantan Selatan secara umum atau masyarakat Kota Banjarmasin secara khusus dan dari DPR tidak ada yang pergi ke Banjarmasin untuk secara nyata menampung aspirasi masyarakat (vide Perbaikan Permohonan hal. 5-7).

Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
a) Bahwa terdapat ketidakjelasan pertautan di dalam argumentasi Para Pemohon mengenai antara kapasitas Para Pemohon sebagai perwakilan lembaga negara dengan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa seharusnya jika Pemohon sebagai perwakilan Lembaga negara yaitu sebuah badan hukum publik maka hal tersebut tidak ada korelasinya dengan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Dengan demikian Para Pemohon tidak dapat memahami kapasitasnya sebagai perwakilan lembaga negara yang berbadan hukum publik.
b) Bahwa terkait dengan Pemohon II sebagai Ketua DPRD Kota Banjarmasin berdasarkan ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut dengan UU Pemda) terkait tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota diatur sebagai berikut:

Pasal 154 UU Pemda
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;
d. memilih bupati/wali kota;
e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian.
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah;
j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tidak ada satupun pasal yang mengatur tugas dan wewenang DPRD untuk mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan. Oleh sebab itu, karena Pemohon II tidak dapat menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai pihak yang memiliki pertautan langsung dengan UU a quo, maka Pemohon II dapat dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum untuk menjadi Pemohon dalam permohonan a quo.
2) Bahwa secara keseluruhan, Para Pemohon hanya menyampaikan ketentuan pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 menjadi batu uji, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, namun Para Pemohon sama sekali tidak menguraikan dalam positanya hubungan pertautan antara hak konstitusionalnya yang dirugikan berdasarkan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan proses pembentukan UU a quo yang dianggap oleh Para Pemohon bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
3) Bahwa terkait dengan batu uji Pemohon dalam pengujian secara formil, DPR menerangkan bahwa batu uji dalam pengujian formil seharusnya hanya terbatas pada ketentuan yang mengatur kewenangan dan prosedur dibentuknya undang-undang dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Oleh karena itu dalil Para Pemohon dalam perkara a quo yang mengujikan secara formil dengan mendasarkan batu uji Pasal 1 ayat (2), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak tepat karena sama sekali tidak terkait proses pembentukan undang-undang. Meskipun demikian DPR menerangkan bahwa, hak Para Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif dalam rangka membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah diwujudkan melalui pembentukan UU a quo yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan.
4) Bahwa terhadap penunjukan kuasa hukum kepada 4 (empat) aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Kota Banjarmasin sebagaimana disampaikan oleh Para Pemohon dalam Perbaikan Permohonan, DPR menerangkan bahwa keempat ASN tersebut perlu untuk membuktikan dasar hukum penugasan (surat tugas dari atasan langsung) untuk menjadi kuasa hukum dalam Permohonan a quo.

Berdasarkan uraian tersebut, maka DPR berpandangan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian formil UU 8/2022 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian formil, DPR memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengajuan Permohonan a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 62/PUU-XVII/2019. Dalam hal ini, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian UU a quo secara formil.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Perkara 59 dan Perkara 60 dalam Pengujian Materiil.
Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang a quo secara materiil, DPR memberikan pandangan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang sejalan dengan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 001/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
 Dalam Perkara 59
Para Pemohon menguraikan batu uji di dalam Permohonannya yaitu Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan mengenai bentuk Negara Indonesia yang merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, telah sangat jelas bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi setiap orang maupun bagi setiap warga negara Indonesia, sehingga ketentuan Pasal 1 UUD NRI Tahun 1945 tidak relevan untuk dijadikan sebagai dasar adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.
Selain itu, bahwa KADIN sebagai salah satu Para Pemohon Perkara 59, berfungsi sebagai wadah dan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha Indonesia, antara para pengusaha Indonesia dan pemerintah, dan antara para pengusaha Indonesia dan para pengusaha asing, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam arti luas yang mencakup seluruh kegiatan ekonomi, dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan sinergi seluruh potensi ekonomi nasional
Dengan demikian KADIN tidak memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemerintahan sehingga tidak terdapat kerugian atas materi UU a quo dan tidak terdapat kerugian konstitusional atau setidaknya potensial dengan berlakunya UU a quo.

 Dalam Perkara 60
Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Permohonan hal. 27-30). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai:
 Pertama, hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten, dan kota;
 Kedua, hubungan wewenang antara provinsi dengan kabupaten dan kota
Kedua hal tersebut diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
 Ketiga, hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Selain itu Walikota Banjarmasin selaku Kepala Daerah telah mengucap sumpah/janji sebelum memangku jabatannya untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa (vide Pasal 61 UU Pemda). Dengan demikian Walikota Banjarmasin sepatutnya menjalankan UU a quo dan tidak mengajukan permohonan pengujian materiil.
Kemudian DPRD selaku lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi juga telah disumpah untuk memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 (vide Pasal 104 UU Pemda). Sehingga jika Para Pemohon Perkara 60 menghendaki adanya perubahan UU a quo, maka terdapat mekanisme lain untuk menyempurnakannya yaitu melalui executive review. Dengan demikian maka permohonan a quo merupakan bentuk pengingkaran Para Pemohon Perkara 60 terhadap sumpah jabatannya sebagai Kepala Daerah dan Anggota DPRD.
Dengan demikian berdasarkan uraian keterangan tersebut, DPR berpandangan bahwa Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar adanya kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan a quo.

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
 Dalam Perkara 59
Para Pemohon menguraikan kerugian yang akan dialami oleh Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Selatan dengan berlakunya Pasal 4 UU 8/2022, sedangkan Para Pemohon bukanlah bagian dari entitas masyarakat hukum adat Kalimantan Selatan. Selain itu, profesi Para Pemohon sebagai seorang pedagang, karyawan swasta, dan buruh harian lepas, tetap dapat dijalankan meskipun Pasal 4 UU 8/2022 diberlakukan. Dengan demikian, tidak adanya pertautan antara Para Pemohon dengan entitas Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Selatan dan profesi Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal 4 UU 8/2022 menjadikan Para Pemohon tidak memiliki kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya Pasal a quo UU 8/2022.

 Dalam Perkara 60
Bahwa Para Pemohon mendalilkan UU a quo yang berdampak pada pergeseran atau perubahan ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan yang semula berkedudukan di Kota Banjarmasin menjadi di Kota Banjarbaru menghilangkan identitas sejarah perjuangan bangsa Indonesia sehingga menggerus prinsip kekhususan dan keragaman daerah sebagaimana dijamin dalam Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hal. 41-44). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa UU a quo dibentuk sebagai penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, penegasan karakteristik, serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang justru telah menjadikan Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945 sebagai salah satu dasar mengingat dalam UU a quo (vide Bagian Mengingat UU 8/2022). Lebih lanjut, pembentukan UU a quo tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk sejarah, kondisi sosial, dan budaya masyarakat. Pemindahan ibu kota Provinsi tersebut tidak serta merta menghilangkan identitas sejarah perjuangan bangsa Indonesia termasuk marwah Suku Banjar karena dilakukannya pemindahan ibu kota tidak serta merta menghapus adanya sejarah yang ada di Banjarmasin apalagi menggerus prinsip kekhususan dan keragaman daerah karena pembentuk undang-undang memperhatikan kondisi yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan secara umum. Dengan demikian tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya pasal-pasal dalam UU a quo.

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi


 Dalam Perkara 59
Bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, sebagai pedagang, karyawan swasta, dan buruh harian lepas tidak menguraikan dalam hal apa Para Pemohon memiliki pertautan dengan masyarakat hukum adat Kalimantan Selatan. Para Pemohon tetap dapat menjalankan profesinya sebagai pedagang, karyawan swasta, dan buruh harian lepas meskipun Pasal 4 UU 8/2022 berlaku, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masyarakat hukum adat Kalimantan Selatan. Dengan tidak adanya pertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dengan masyarakat hukum adat Kalimantan selatan dan dengan ketentuan Pasal 4 UU 8/2022, maka tidak ada kerugian konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual maupun potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan tidak akan terjadi.

 Dalam Perkara 60
Bahwa Para Pemohon mendalilkan dampak potensial pemindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan adalah kemacetan dan keselamatan di jalan karena Kota Banjarmasin tidak lagi sebagai prioritas diberikannya bantuan dalam penanganan permasalahan transportasi (vide Perbaikan Permohonan hal. 45). Selain itu pada sisi ekonomi, Kota Banjarmasin akan mengalami pelambatan ekonomi yang signifikan dan potensial berdampak pada masalah sosial di masa depan yakni bertambahnya kemiskinan (vide Perbaikan Permohonan hal. 48).
Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan bahwa dengan adanya permasalahan yang dihadapi Kota Banjarmasin saat ini, maka dengan berpindahnya ibukota dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru diharapkan terwujud percepatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan peningkatan daya saing daerah yang hal tersebut merupakan tugas dari pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemindahan ibukota provinsi tersebut diharapkan akan dapat meringankan beban Pemerintah Daerah Kota Banjarmasin yang diakui sendiri oleh Para Pemohon yang saat ini menghadapi permasalahan kemiskinan dan kemacetan. Adanya kekhawatiran Para Pemohon akan terjadinya perlambatan pertumbuhan perekonomian karena berpindahnya Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Banjarbaru hanya merupakan asumsi Para Pemohon yang tidak berdasar. Dengan demikian, dalil Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa Para Pemohon Perkara 59 dan Perkara 60 tidak menguraikan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UU a quo. Oleh karena itu, DPR menerangkan bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada poin a, b, dan c di atas yang pada intinya menguraikan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya pasal-pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat langsung (causal verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo. Sebaliknya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo telah memberikan kepastian hukum serta hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon.


e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan pasal-pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Para Pemohon Perkara 59 dan Perkara 60. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo karena Para Pemohon Perkara 59 dan Perkara 60 tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Para Pemohon Perkara 59 dan Perkara 60 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian pasal-pasal a quo.

Pokok Permohonan:
C. KETERANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL UU 8/2022
Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Peraturan MK 2/2021), yang dimaksud dengan pengujian formil adalah “pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”. Sedangkan pengujian materiil adalah “pengujian yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945”.
Selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, tanggal 4 Mei 2021, Sub-paragraf [3.15.1], hal. 361-362, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengujian formil (formeele toetsing) adalah pengujian atas suatu produk hukum yang didasarkan atas proses pembentukan undang-undang. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure). Jika dijabarkan dari ketiga kriteria ini, pengujian formil dapat mencakup:
 pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
 pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;
 pengujian berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undangundang; dan
 pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

1. Kesesuaian Proses Pembentukan UU a quo terhadap Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
a. Asas Kejelasan Tujuan
1) Bahwa Para Pemohon Perkara 58 mendalilkan bahwa pembentukan UU a quo bertentangan dengan asas kejelasan tujuan oleh sebab UU Kalsel dalam proses penyusunannya terdapat beberapa versi RUU yang terpublikasi dengan ketentuan: RUU versi pertama terdiri atas 50 pasal, RUU versi kedua terdiri atas 58 Pasal, RUU versi ketiga terdiri atas 8 pasal, dan setelah diundangkan berisi 8 Pasal (vide Perbaikan Permohonan Halaman 24-25).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
a) Bahwa tahapan dalam proses pembentukan undang-undang dimulai dari tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, tahap pengesahan/penetapan, tahap pengundangan dan tahap penyebarluasan. Setiap tahapan tersebut telah diatur secara detail mekanismenya di dalam:
 UU Pembentukan PUU,
 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3),
 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, dan
 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
Mempertimbangkan begitu detailnya proses pembentukan undang-undang tersebut, tentu saja dalam pembahasan RUU akan terus dinamis dan mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perdebatan yang terjadi.
b) Bahwa jika Para Pemohon dalam Perbaikan Permohonan menyatakan telah mendapatkan beberapa versi RUU, maka Para Pemohon perlu menyampaikan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai kapan dan darimana sumber Para Pemohon memperoleh draf tersebut beserta dengan validitasnya. Apakah memang betul draf tersebut mengalami perubahan? Bahwa jika Para Pemohon dalam Perbaikan Permohonan menyatakan telah mendapatkan beberapa versi tersebut, kami juga mohon apakah menurut pemerintah dan DPR itu adalah versi-versi sebagaimana disampaikan Pemohon versi 1, versi 2, dan versi 3?
c) Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU Pembentukan PUU, yang dimaksud dengan Asas Kejelasan Tujuan adalah “bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai”. Dalam Naskah Akademik RUU Provinsi Kalsel, disebutkan pembentukan RUU Provinsi Kalsel secara terang benderang, jelas, dan tegas bahwa pembentukan RUU Provinsi Kalsel bertujuan sebagai berikut:
 mewujudkan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan yang efektif dan efisien berdasarkan Pancasila, Undang-UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
 mewujudkan pemerintahan yang berkomitmen kuat untuk memaksimalkan kewenangan yang dimiliki sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mensejahterakan masyarakat;
 mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang baik;
 mewujudkan kemandirian dalam ekonomi kerakyatan dan ketercukupan kebutuhan dasar;
 mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
 mewujudkan sumber daya manusia yang berkarakter, berkualitas, dan berdaya saing;
 meningkatkan pelayanan dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; dan
 meningkatkan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.
d) Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 79/PUU-XVIII/2019 dijelaskan sebagai berikut:
[3.15.4] … Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang telah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang…
… menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil.

Sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, UU 8/2022 telah menyatakan tujuan pembentukannya sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum yaitu:
“Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejatinya adalah untuk mewujudkan salah satu tujuan Negara yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap banga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan penyesuaian terhadap dinamika perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, diperlukan upaya untuk menegaskan kembali kedudukan provinsi, khususnya Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia…
Berkaitan dengan itu, Undang-Undang ini dibentuk untuk mengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang memuat penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, penegasan karakteristik, serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan rumusan tujuan dalam Penjelasan Umum tersebut, dapat dipahami bahwa UU 8/2022 mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai sehingga dibentuknya UU 8/2022 telah memenuhi asas kejelasan tujuan.

b. Asas Kelembagaan/Pejabat Pembentuk yang Tepat
Para Pemohon 58 mendalilkan bahwa pembentukan UU 8/2022 bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat yang tepat dikarenakan menurut Para Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (3) UU Pemda pemindahan ibu kota ditetapkan dengan peraturan pemerintah (vide Perbaikan Permohonan hal. 27-28). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:

1) Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU Pembentukan PUU, yang dimaksud dengan Asas Kelembagaan Atau Pejabat Pembentuk Yang Tepat adalah “bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Pembentukan PUU, pembentukan undang-undang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.
2) Bahwa UU a quo telah melalui mekanisme pembahasan bersama antara DPR yang diwakili oleh Komisi II dengan Presiden yang diwakili oleh Kemendagri dan telah disetujui bersama dalam rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 15 Februari 2022. Oleh karena itu, telah jelas UU a quo telah dibentuk oleh lembaga dan pejabat yang tepat.
3) Bahwa berdasarkan definisi asas tersebut, pembentukan UU a quo telah sesuai dan memenuhi asas yang dipermasalahkan Para Pemohon. Sebaliknya dalil Para Pemohon yang mengaitkan dengan Asas Kelembagaan Atau Pejabat Pembentuk Yang Tepat adalah tidak relevan.

c. Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki dan Materi Muatan
Bahwa menurut Para Pemohon pembentukan UU a quo telah melanggar asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan dikarenakan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru merupakan bentuk pelaksanaan UU Pemda, yang seharusnya ditetapkan dengan instrumen hukum berupa peraturan pemerintah (vide Perbaikan Permohonan Perkara 58 hal. 34). Selain itu pengaturan mengenai penyesuaian daerah berupa pemindahan ibu kota seharusnya dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional (vide Perbaikan Permohonan Perkara 60 hal. 19-20).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR memberikan pandangan sebagai berikut:
1) Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU Pembentukan PUU, yang dimaksud dengan Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan adalah “bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan”.
2) Bahwa pembentukan UU a quo dilatarbelakangi akan pertimbangan bahwa secara yuridis pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan yang sudah kedaluwarsa, oleh sebab pembentukannya dilakukan pada masa UUDS Tahun 1950 saat Indonesia pada masa transisi pemerintahan RIS. Selain itu banyak materi muatan yang terdapat di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini. Beberapa materi muatan yang sudah tidak sejalan lagi di antaranya adalah mengenai sebutan (nomenklatur) status daerah, susunan pemerintahan, dan pola relasi dengan pemerintahan pusat. Oleh karena itu saat ini adalah momentum yang tepat untuk membentuk undang-undang secara khusus mengatur tentang provinsi Kalimantan Selatan, agar dapat segera dilakukan penyesuaian sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan berkebudayaan.
3) Bahwa latar belakang pembentukan RUU Kalsel sebagaimana dijelaskan dalam butir satu di atas merupakan fokus utama politik hukum pembentuk undang-undang, sedangkan materi muatan mengenai pengaturan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu kesepakatan pembentuk undang-undang pada saat pembahasan, dan bukan merupakan satu-satunya materi muatan dalam UU 8/2022.
4) Bahwa pembentukan UU a quo yang mencabut dan menjadikan UU 25/1956 tidak berlaku telah sesuai dengan Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki dan Materi Muatan, hal ini karena kesederajatan bentuk peraturan perundang-undangan yakni undang-undang yang dibentuk oleh DPR bersama dengan Presiden menggantikan undang-undang dan mencabut undang-undang yang lama. Oleh karena itu penggantian UU 25/1956 harus dilakukan dengan undang-undang dan bukan dengan peraturan pemerintah. Undang-undang diganti dengan undang-undang.
5) Selanjutnya terkait dengan pemindahan ibukota yang seharusnya dilakukan berdasarkan kepentingan strategis nasional, DPR menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU Pemda beserta penjelasannya yang dimaksud dengan “kepentingan strategis nasional” adalah kepentingan dalam rangka menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI serta mempercepat kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu”. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan ketentuan mengenai berpindahnya Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru dimaksudkan agar dapat mempercepat terwujudnya pemerataan kesejahteraan dikarenakan Provinsi Kalimantan Selatan sebagai salah satu gerbang dan daerah penyangga Ibu Kota Negara. Dengan telah tercapainya stabilitas pemerintahan Provinsi Kalsel sebagai penyangga rencana pembangunan Ibu Kota Negara yang baru, maka secara tidak langsung akan mendukung percepatan pembangunan Ibu Kota Negara “Nusantara”.
6) Bahwa pengaturan mengenai ketentuan pasal a quo, juga merupakan konsekuensi logis dari penyesuaian kondisi faktual saat ini karena telah terbangun gedung pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan yang telah berjalan efektif dan terintegrasi. Oleh karena itu dasar hukum mengenai perpindahan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan melalui UU a quo telah sesuai dengan aspek historis, sosiologis, dan yuridis.

d. Asas Dapat Dilaksanakan
1) Dalam permohonan a quo, Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 4 UU a quo tidak dapat dilaksanakan dikarenakan tidak ada aturan teknis masa transisi pemindahan ibu kota dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru (vide Perbaikan Permohonan Perkara 58 hal. 30).
Terhadap dalil tersebut, DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
a) Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU Pembentukan PUU, Asas dapat dilaksanakan adalah “bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis”.
b) Secara filosofis, UU 8/2022 sejalan dengan Sila ke-5 Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea ke-IV yang salah satunya adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Beranjak dari pemikiran di atas, upaya perwujudan kesejahteraan harus melibatkan semua pihak baik pusat dan daerah. Untuk itulah semenjak reformasi muncul konsep otonomi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, UU 25/1956 yang lahir pada saat zaman konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) di mana secara konsep saat itu landasan konstitusinya saja sudah berbeda yakni Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950). Sehingga dari sisi filosofis pun pertimbangan dan alasan pembentukannya sudah tidak selaras dan berbeda dengan saat ini yang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, perlu untuk membentuk UU 8/2022 (vide Naskah Akademik RUU Provinsi Kalsel, Lampiran 2 dan Lampiran 6).
c) Secara sosiologis, selama kurun waktu awal kemerdekaan hingga sekarang, telah terjadi beberapa kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga muncul beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pemerintahan di Provinsi Kalimantan Selatan antara lain:
1) sumber daya manusia yang belum berdaya saing yang disebabkan oleh masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, angka partisipasi sekolah yang masih rendah dan pendidikan yang belum merata, serta angka harapan hidup paling rendah se-Regional Kalimantan.
2) Belum kuatnya struktur perekonomian daerah yang disebabkan karena belum meratanya penanaman modal di setiap wilayah Provinsi Kalsel, realisasi ekspor didominasi produk pertambangan, laju inflasi yang fluktuatif, tingkat konsumsi masyarakat cukup rendah, tingkat produktivitas dan pengelolaan hasil bumi belum optimal.
3) pengelolaan lingkungan hidup yang belum optimal, seperti meningkatnya potensi banjir di beberapa wilayah, menurunnya kualitas air, dan meningkatnya kabut asap.
4) pembangunan infrastruktur yang belum merata dan berkualitas antar wilayah.
5) budaya masyarakat yang belum mencerminkan revolusi mental seperti rendahnya upaya mempertahankan karakteristik budaya lokal, dan
6) belum efektifnya reformasi birokrasi pemerintah daerah seperti belum terwujudnya pelayanan prima sesuai dengan standar pelayanan minimal, belum terwujudnya optimalisasi prosedur pengawasan terhadap penyimpangan administrasi, kapasitas dan akuntabilitas kinerja aparatur Negara yang perlu ditingkatkan.

d) Secara yuridis, pembentukan RUU Provinsi Kalsel selain karena dasar pembentukannya sudah out of date/ketinggalan, semangat pembaharuan UU 8/2022 juga dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan. Sehingga pembangunan di provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maju secara ekonomi, berkepribadian dan berkebudayaan. Di samping itu perlu juga penyesuaian secara teknik peraturan perundang-undangan khususnya dengan UU Pembentukan PUU (vide Naskah Akademik RUU Provinsi Kalsel hal. 99-102).
e) Bahwa berdasarkan Lampiran II UU Pembentukan PUU, pada intinya mengatur bahwa Ketentuan Peralihan hanya diperlukan jika mengatur hal yang bersifat transisional. Seperti yang telah dijelaskan bahwa materi muatan utama dari UU a quo adalah penyesuaian dasar hukum yang sudah out of date, sedangkan secara de facto masa transisional berpindahnya Ibu Kota dari Banjarmasin ke Banjarbaru selama ini sudah berjalan. Oleh karena itu tidak ada urgensi untuk mengatur Ketentuan Peralihan. Hal ini selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016-2021 (vide Buku berjudul “Dinamika Terbentuknya Kota Banjarbaru” karya Hendraswati pada Tahun 2011, hal. vi).
f) Bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2015 (Perda Kalsel 2/2011), telah menjelaskan bahwa struktur ruang wilayah Provinsi Kalimantan Selatan meliputi sistem perkotaan, sistem jaringan transportasi, energi dan kelistrikan, transportasi dan sumber daya air, dan di dalam sistem perkotaan tersebut telah dijabarkan Kota Banjarbaru dengan fungsi pusat pemerintahan Provinsi, industri nasional, perdagangan regional dan nasional, jasa transportasi udara nasional, dan pendidikan tinggi.
g) Mengutip informasi yang terdapat pada Buku berjudul “Dinamika Terbentuknya Kota Banjarbaru” (Hendraswati, 2011, hal. vii - viii), dilihat dari aspek historis, rencana pemindahan pusat pemerintahan provinsi Kalimantan Selatan tidak timbul secara tiba-tiba. Gagasan memindahkan Ibu Kota ke Banjarbaru telah ada sejak tahun 1950-an yakni ketika Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan dijabat oleh dr. Murdjani (1950-1953) yang merupakan seorang dokter lulusan Stovia pada Tahun 1932. Sebagai seorang dokter, dr. Murdjani menganggap kondisi lingkungan kota Banjarmasin tidak layak sebagai ibu kota provinsi dan merencanakan pemindahannya ke daerah Gunung Apam yang kemudian dikenal sebagai Banjarbaru. Rencana pemindahan Ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan ke Banjarbaru berupa penyiapan kantor pemerintahan dan perumahan pegawai yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) agenda dr. Murdjani. Rencana pemindahan ibu kota tersebut kemudian dilanjutkan oleh Gubernur berikutnya yakni Raden Tumenggung Arya Milono (1953-1957). Untuk mendukung penyiapan Banjarbaru sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan yang akan dibentuk kemudian, Gubernur Raden Tumenggung Arya Milono telah berhasil membangun beberapa sarana perkantoran di Banjarbaru di antaranya Gedung Kantor Gubernur, Kantor Pekerjaan Umum, Kantor Pertanian Rakyat, Kantor Perindustrian Rakyat, dan Kantor Perikanan Darat.
h) Bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 telah mencerminkan bahwa Kota Banjarbaru telah dipersiapkan untuk menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan karena di dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (3) huruf d Perda tersebut pada intinya menyatakan bahwa Kota Banjarbaru memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi, industri nasional, perdagangan regional dan nasional, jasa transportasi udara nasional, dan pendidikan tinggi.
i) Bahwa berkaitan dengan aturan teknis masa transisi pemindahan ibu kota sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon, DPR menerangkan meskipun ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Banjarmasin, namun sejak 2011, berdasarkan Perda Kalsel 2/2011 sebagian aktivitas pemerintahan Kalimantan Selatan telah berpindah ke Kota Banjarbaru secara bertahap (vide Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan di Provinsi Kalimantan Selatan tanggal 20-23 Oktober 2020, Lampiran 1) sehingga berkaitan dengan teknis pemindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan sejatinya tidak dimulai dari awal dengan adanya pengaturan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan melalui UU a quo. Selain itu, ketika dilakukan pembahasan terhadap RUU Provinsi Kalsel, secara de facto sebagian pusat pemerintahan termasuk Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan telah ada di Kota Banjarbaru. Dengan demikian, secara otomatis kegiatan pemerintahan telah efektif dilakukan di Kota Banjarbaru, namun secara yuridis formal ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan masih di Kota Banjarmasin. Dengan demikian, pemindahan ibu kota dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru perlu dikuatkan dasar hukumnya melalui undang-undang yang diwujudkan dengan diundangkannya UU a quo.
j) Berdasarkan diskusi uji konsep RUU Provinsi Kalsel pada 23 Maret 2021, Badan Keahlian DPR menerima masukan dari Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Akademisi FH ULM) dan jajaran Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) sebagai berikut:
 Akademisi FH ULM pada intinya memberikan masukan bahwa Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan perlu dipertimbangkan apakah adanya perubahan ibu kota Provinsi dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru perlu dimasukkan dalam konsideran. Sebab, selama ini meski secara de facto Kantor Gubernur sudah berada di Banjarbaru, begitu pula dengan aktivitas serta kegiatan Pemerintahan sudah banyak dilakukan di Banjarbaru, namun secara yuridis formal ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tetap Banjarmasin (vide Laporan Singkat Diskusi Uji Konsep RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan tertanggal 23 Maret, Lampiran 5).
 Pemprov Kalsel yang pada intinya menyatakan bahwa Ibu kota Kalimantan Selatan lebih baik di Banjarbaru, karena di Banjarmasin untuk perekonomian bukan perkantoran, hanya saja rumah dinas gubernur di Banjarmasin. Dalam kondisi realnya harus pindah. Teritorinya memang terpisah, namun secara resmi kegiatan pemerintahan di Banjarbaru, harusnya ibukota memang di Banjarbaru. Jadi secara de facto-nya Banjarbaru dan secara de jure-nya Banjarmasin. Mungkin dengan adanya UU terbaru lebih baik ibukota di Banjarbaru (vide Laporan Singkat Diskusi Uji Konsep RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan tertanggal 23 Maret, Lampiran 6 dan vide Matriks Uji Konsep RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan tertanggal 23 Maret, Lampiran 4).
 Komisi II DPR dalam kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Selatan pada 26 Januari 2022 telah menyampaikan dan mendiskusikan mengenai materi muatan draf RUU Provinsi Kalsel dengan Pemprov Kalsel beserta jajaran (vide Laporan Kunjungan Panitia Kerja Komisi II DPR RI terkait Pembahasan RUU Tentang Provinsi Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, tertanggal 26 Januari 2022, Lampiran 18).

e. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Bahwa Para Pemohon Perkara 60 mendalilkan pemindahan Ibu Kota Negara telah bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena belum benar-benar dibutuhkan masyarakat Kalimantan Selatan (vide Perbaikan Permohonan Perkara 60 hal. 25).
Terhadap dalil tersebut, DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
1) Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU Pembentukan PUU, yang dimaksud dengan Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan adalah “bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
2) Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU Provinsi Kalsel, tepatnya pada Bab II, Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, Sub Bab Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Berkaitan dengan Penyusunan Norma, telah disebutkan pembentukan RUU Provinsi Kalsel mendasarkan pada beberapa asas yang salah satunya adalah Asas Dayaguna dan Hasilguna. Adapun asas dimaksud dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dilaksanakan secara efektif dan efisien untuk mendayagunakan potensi keunggulan alam dan budaya Kalimantan Selatan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat (vide Naskah Akademik RUU Provinsi Kalsel hal. 41).
3) Bahwa Para Pemohon Perkara 60 hanya mendalilkan UU a quo belum benar-benar dibutuhkan masyarakat Kalimantan Selatan pada khususnya berkaitan dengan pemindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru namun tidak menyertakan data pendukung dan statistik penunjang untuk membuktikan dalil tersebut. Lebih jauh dalil Para Pemohon Perkara 60 tersebut bersifat prematur karena untuk mengukur efektivitas suatu undang-undang tidak dapat dilakukan di awal pembentukannya.
4) Bahwa seperti yang telah diuraikan sebelumnya, alas hukum dari Provinsi Kalimantan Selatan sudah sangat tertinggal karena diatur pada masa UUDS 1950 dan materi muatan yang ada di dalamnya sudah banyak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dasar hukum yang baru.

f. Asas Kejelasan Rumusan
Bahwa Para Pemohon Perkara 60 mendalilkan pembentukan UU 8/2022 bertentangan dengan Asas Kejelasan Rumusan karena tidak memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan maupun sistematika serta pilihan kata atau terminologi dan bahasa hukumnya tidak jelas yang seharusnya diatur dengan peraturan pemerintah dan bukan undang-undang (vide Perbaikan Permohonan Perkara 60 hal. 26).
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
1) Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU Pembentukan PUU, yang dimaksud dengan Asas Kejelasan Rumusan adalah:
“bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”.

2) Bahwa RUU Provinsi Kalsel semula terdiri atas 13 (tiga belas) Bab dan 50 (lima puluh) pasal. Kemudian dalam pembahasannya disepakati menjadi terdiri atas 3 (tiga) bab dan 8 (delapan) pasal saja. Kesepakatan tersebut didapatkan dari Rapat Konsultasi antara Pemerintah, Pimpinan serta Kapoksi Komisi II DPR, dan Pimpinan Komite I DPD bahwa dari 3 (tiga) kluster isu yaitu: (1) penyesuaian dasar hukum undang-undang pembentukan, (2) penataan kewilayahan, dan (3) perluasan kewenangan/penambahan kewenangan, hanya akan membahas pada isu pertama yaitu terkait penyesuaian dasar hukum undang-undang pembentukan (vide Daftar Inventarisasi Masalah RUU Provinsi Kalsel, Lampiran 19).

58, 59, DAN 60/PUU-XX/2022

Pengujian Formil dan Materiil Pasal 4 UU 8/2022

Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945