Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 63/PUU-XIX/2021 / 14-03-2022

Kerugian Konstitusional:
ahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat pemberlakuan ketentuan a quo yang pada intinya sebagai berikut:
 Ketentuan Pasal 18 UU Hak Cipta yang mengatur beralihnya kembali hak cipta kepada penciptanya setelah 25 (dua puluh lima) tahun perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu antara pencipta lagu dan/atau musik dengan pembeli hak cipta lagu dan/atau musik tersebut dinilai menghalangi Pemohon yang merupakan pembeli hak cipta untuk mempunyai hak milik berikut manfaat ekonominya (vide Perbaikan Permohonan hal. 26-37).
 Ketentuan Pasal 30 UU Hak Cipta yang mengatur beralihnya kembali hak ekonomi suatu lagu dan/atau musik kepada pelaku pertunjukan setelah 25 (dua puluh lima) tahun pengalihan dan/atau penjualan lagu dan/atau musik tersebut antara pelaku pertunjukan dengan produsen fonogram dinilai merampas hak milik berikut manfaat ekonomi Pemohon selaku Produsen Fonogram (vide Perbaikan Permohonan hal. 37-42).
 Ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta yang mengatur waktu pengembalian suatu ciptaan buku dan/ atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks dari Produser Fonogram kepada Pencipta yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat sebelum berlakunya UU a quo dinilai melanggar asas non-retroaktif (legalitas) di mana peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut sehingga mengakibatkan terampas atau terhalanginya hak milik Pemohon (vide Perbaikan Permohonan hal. 43-48).

Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
a. Bahwa Pemohon sebagai produser rekaman atau dalam terminologi UU Hak Cipta disebut dengan Produser Fonogram mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hal. 7). Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 memang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Namun bila dikaitkan dengan pasal-pasal a quo, justru ketentuan pasal-pasal a quo dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan memberikan keseimbangan hak milik khususnya hak ekonomi dalam hak cipta antara pencipta, pelaku pertunjukan, dan produser fonogram yang lebih berkeadilan.
b. Bahwa ketentuan dalam pasal-pasal a quo juga tidak serta merta mengambil hak milik pribadi apalagi mengambil alih secara sewenang-wenang atas hak milik tersebut. Selain itu pasal-pasal a quo juga tidak melarang Pemohon untuk mendapatkan hak milik khususnya hak ekonomi dalam hak cipta karena telah diberikan waktu memanfaatkan hak ekonominya selama 25 tahun, sehingga menjadi tidak relevan jika dipertautkan dengan ketentuan dalam Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai salah satu pasal batu uji dari Pemohon.
c. Bahwa dengan demikian Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat dijadikan sebagai dalil adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dalam pengujian Pasal-Pasal UU Hak Cipta sehingga Pemohon jelas tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945.

2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa pada intinya Pemohon mendalilkan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta merampas atau menghalangi hak milik Pemohon berikut manfaat ekonominya serta menimbulkan pertentangan norma dengan Pasal 63 UU Hak Cipta sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum. Terhadap dalil kerugian Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa Pemohon sama sekali tidak dirugikan karena pembentuk undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemegang hak cipta untuk memanfaatkan hak ekonominya selama 25 (dua puluh lima) tahun ditambah 2 (dua) tahun namun dengan tetap memberikan pengaturan bagi pencipta dan/atau ahli warisnya untuk dapat memanfaatkan hak ekonomi dari ciptaaannya selama jangka waktu yang diatur dalam undang-undang a quo sehingga tercipta keseimbangan dan keadilan. Dengan demikian tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya pasal-pasal a quo.



3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
a. Bahwa ketentuan dalam UU a quo dirumuskan dengan mengutamakan kepentingan nasional dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait, serta masyarakat dengan memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait. (vide Penjelasan Umum UU Hak Cipta). Berdasarkan Penjelasan Umum tersebut, telah jelas bahwa UU a quo dimaksudkan untuk memberikan pengaturan perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para Pencipta dan/atau Pemilik Hak Terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat).
b. Bahwa pembentuk undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemegang hak cipta untuk memanfaatkan hak ekonominya selama 25 (dua puluh lima) tahun ditambah 2 (dua) tahun namun dengan tetap memberikan pengaturan bagi pencipta atau ahli warisnya untuk dapat memanfaatkan hak ekonomi dari ciptaaannya selama jangka waktu yang diatur dalam undang-undang a quo sehingga tercipta keseimbangan dan keadilan.
c. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
a. Bahwa dalam suatu gugatan atas permohonan ada yang disebut dengan fundamentum petendi yang berarti dasar tuntutan, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Oleh karenanya, untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu secara jelas atau dalil sehingga ia dapat mengajukan tuntutan sebagiamana tertulis dalam petitum suatu gugatan atau permohonan. Yahya Harahap (Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata, hlm 57) menyebutkan adanya 2 teori perumusan posita, yang pertama, substan tierings theorie yang mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie) yang menjelaskan bahwa peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum.
b. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3 di atas yang pada intinya menguraikan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya pasal-pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat langsung (causal verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo. Oleh karena ketiadaan hubungan sebab akibat (causal verband) yang dibangun oleh Pemohon dalam positanya, maka sudah seharusnya permohonan ini dinyatakan kabur/obscuur.

5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan Pasal-Pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan Pasal-Pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal-Pasal a quo.

Pokok Permohonan:
a. Bahwa dalam menyusun UU a quo, terlebih dahulu dilakukan kajian secara teoritis dan praktik empiris mengenai perlindungan hak cipta. Dalam kajian tersebut, didapatkan beberapa teori yang mendasari perlunya suatu perlindungan hukum hak cipta di antaranya:
 Bargaining theory yang mensyaratkan tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dengan pemegang hak cipta.
 Labour theory di mana suatu karya intelektual yang dihasilkan seseorang atas dasar intelektualitasnya perlu memperoleh perlindungan guna mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya cipta tersebut.
 Reward Theory yang bermakna pengakuan terhadap karya cipta yang telah dihasilkan seseorang sehingga pencipta harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan atau menciptakan karya-karya.
 Recovery Theory yang menyatakan bahwa Pencipta yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkan tersebut.
 Incentive theory yang mengaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para Pencipta.
 Risk theory yang mengakui bahwa hak cipta merupakan hasil karya yang dapat menimbulkan risiko digunakan secara illegal sehingga memerlukan landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak cipta tersebut.
 Economic growth stimulus theory yang mengakui bahwa perlindungan atas hak cipta merupakan alat pembangunan ekonomi. (vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hak Cipta)
Selain melakukan kajian secara teoritis, juga telah dilakukan kajian terhadap praktik empiris hak cipta di mana didapatkan fakta bahwa pencipta dalam mengeksploitasi hak ekonomi yang dimilikinya dirasakan belum maksimal karena kurang terlindungi dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Di samping itu dalam beberapa dasawarsa terakhir, perkembangan di bidang teknologi perekaman, telekomunikasi, dan informasi digital sudah sedemikian pesatnya sehingga menuntut adanya peningkatan perlindungan yang memadai baik bagi pencipta maupun pemilik hak yang berkaitan dengan hak cipta dengan tetap memperhatikan masyarakat luas. Apabila tuntutan tersebut ditangani secara serius termasuk di antaranya dengan menyediakan sistem pengaturan yang baik, maka dapat meningkatkan sendi-sendi kehidupan dan perekonomian, menurunkan tingkat pembajakan, meningkatkan kreativitas penciptaan, dan menjaga kredibilitas citra bangsa Indonesia di dunia internasional. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang telah diberlakukan sejak tanggal 29 Juli 2003 dirasakan kurang mampu lagi mengayomi permasalahan-permasalahan hak cipta yang timbul di masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang hak cipta yang baru (vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hak Cipta).
b. Bahwa dalam konteks tersebut, DPR bersama Pemerintah berkomitmen untuk menyempurnakan praktik implementasi hak cipta yang telah berlangsung selama ini dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai satu-satunya upaya memberikan keuntungan bagi individu pencipta, tetapi lebih jauh juga untuk menciptakan kreativitas nasional. Dengan demikian hak cipta yang sejatinya hak privat dan perjanjian jual putus yang menjadi pokok permasalahan permohonan a quo, yang juga merupakan perjanjian privat, dianggap perlu diatur oleh negara dengan cara memberikan perlindungan untuk menstimulus kreativitas para pencipta.

c. Bahwa pandangan tersebut sesuai dengan pernyataan Wakil Ketua Pansus RUU Hak Cipta, Dr. H. Deding Ishak, S.H., M.M., pada Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU Hak Cipta sebagai berikut:
“Yang pertama, tentu kita sepakat bahwa orientasi atau konflik hukum dari RUU ini adalah melindungi terutama yang pencipta karena memang yang korban utama adalah pencipta tetapi meskipun demikian tentu tadi ada masukan dari semua termasuk dari para Anggota bahwa ada aspek keseimbangan dan keadilan, karena tentu pencipta ini harus eksis, harus berperan, harus diapresiasi bersamaan dengan kawan-kawan yang kita pikir mitra-mitra. Jadi mitra-mitra bagaimana mereka bisa mendorong itu perlakuan atau penghargaan melalui undang-undang ini juga mendapat dukungan dari semua.”

d. Bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan untuk meningkatkan kualitas hidupnya di dunia. Hal-hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan bekal intelektualitas tersebut, manusia memiliki keunikan karakteristik dan kemampuan untuk dapat menghasilkan gagasan. Agar gagasan tersebut memiliki nilai lebih, maka gagasan tersebut perlu diekspresikan atau diwujudkan dalam bentuk nyata di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Perwujudan gagasan dalam bentuk nyata beserta deklarasinya oleh si penggagasnya merupakan kekayaan intelektual yang kemudian disebut sebagai ciptaan. Terhadap ciptaan tersebut, harus dibarengi dengan apresiasi dan proteksi guna memacu motivasi penggagas atau pencipta untuk terus berinovasi.

e. Bahwa bentuk apresiasi dan proteksi dimaksud dinamakan sebagai hak cipta yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral pada intinya melindungi nilai pribadi dan reputasi dari ciptaan untuk penciptanya, sedangkan hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Adapun manfaat ekonomi yang dapat diupayakan pencipta dari karya ciptaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta yaitu berupa penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan.

f. Bahwa berdasarkan hak-hak ekonomi tersebut, maka pencipta akan mendapatkan banyak keuntungan ekonomi. Namun berdasarkan praktik empiris yang terjadi selama ini, pencipta merasa belum maksimal dalam mengeksploitasi hak ekonomi yang dimilikinya karena kurang terlindungi dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu negara perlu turut berperan memberikan perlindungan bagi warga negaranya dengan cara mengatur hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta, pemegang hak terkait, dan pemilik hak yang berkaitan dengan hak cipta dengan pengaturan yang lebih jelas dan lebih rinci termasuk mengenai pengecualian dan pembatasan terhadap hak ekslusif tersebut guna mewujudkan keseimbangan dan keadilan bagi tiap-tiap pihak.

g. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta memosisikan Pemohon sebagai penyewa, bukan pembeli meskipun telah mengeluarkan sejumlah uang dengan nilai membeli sehingga Pemohon mengalami kerugian ekonomi dan bisnis (vide Perbaikan Permohonan hal. 13-18).
Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa berdasarkan risalah Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta (RUU Hak Cipta) dengan pemerintah, disetujui bahwa nomenklatur atau frasa “jual putus” merupakan nomenklatur atau frasa yang telah dikonsultasikan dengan ahli bahasa untuk menerjemahkan istilah asing “sold flat” sebagaimana digunakan di Amerika yang bermakna pengalihan hak ekonomi dari pencipta kepada pemegang hak cipta dikembalikan lagi kepada penciptanya setelah jangka waktu tertentu yang disepakati yakni 25 (dua puluh lima) tahun. Hal ini dikutip dari pernyataan Direktur Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Ahmad Ramli sebagai berikut:
“Yang ini adalah Pasal 19 dan seterusnya Pak. Pasal 19 dan seterusnya kan di sana dikatakan hak ekonomi atas ciptaan berupa lagu dan atau musik, dan atau buku yang dialihkan kepada pihak lain dengan perjanjian jual beli putus, tadinya kan istilahnya dengan mengalihkan seluruh hak ekonomi. Ternyata setelah berkonsultasi dengan ahli bahasa dan lain-lain yang ada di praktek itu istilahnya jual beli flat atau jual beli putus seperti yang juga berlaku di Amerika.
Oleh karena itu, kita hanya mengganti kata-kata mengalihkan seluruh hak ekonomi menjadi perjanjian jual beli putus. Ini saya kira juga wording saja dan kepemilikannya beralih kepada pencipta setelah jangka waktu 25 tahun. Ini saya kira sudah disepakati 25 tahunnya. Kemudian kita hanya memberikan penjelasan yang dimaksud jual beli putus atau yang biasa disebut dengan perjanjian jual beli flat adalah perjanjian yang mengalihkan hak cipta secara keseluruhan atau sebagian kepada pihak lain tanpa batas waktu dan absolut.

Dengan demikian, hal mendasar mengenai definisi atau makna “jual putus” yang menjadi inti persoalan permohonan Pemohon, tidak atau belum Pemohon pahami dengan tepat. Sehingga terhadap ketidakpahaman Pemohon inilah DPR perlu menyampaikan keterangan berdasarkan histori pembahasan RUU a quo. Terlebih sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, suasana kebatinan saat membentuk RUU Hak Cipta adalah untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan bagi pencipta, pelaku pertunjukan, produser fonogram, serta pihak-pihak yang terlibat dalam industri kreatif nasional.

h. Bahwa DPR juga perlu menerangkan mengenai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun pengembalian kepada pencipta merupakan konsensus yang dihasilkan dari pembahasan yang ketat, komparatif, dan komprehensif antara Pansus RUU Hak Cipta dengan Pemerintah. Ketat dalam artian usulan awal 35 (tiga puluh lima) tahun dari Pemerintah dibahas dengan sangat hati-hati dan penuh kecermatan dengan mempertimbangkan pendapat dari semua fraksi. Komparatif dalam artian membandingkan dengan pengaturan atau undang-undang hak cipta yang berlaku di negara maju seperti Amerika dan Inggris serta instrumen hukum yang berlaku internasional seperti Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement, The Berne Convention For The Protection Of Literary And Artistic Works, World Intellectual Property Organization (WIPO) Copyrights Treaty, dan ketentuan WIPO Performances and Phonograms Treaty. Serta komprehensif dalam artian mengakomodir berbagai kepentingan dari perspektif pencipta, pelaku pertunjukan, dan produser fonogram (vide risalah UU Hak Cipta).

i. Berdasarkan kutipan risalah berbagai rapat antara Pansus RUU Hak Cipta dengan Pemerintah dapat disimpulkan bahwa pembahasan mengenai perjanjian jual putus beserta jangka waktu pengembaliannya dari pemegang hak cipta kepada pencipta telah melalui pembahasan secara sungguh-sungguh dan mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dengan Pemerintah. Bahwa dengan dikembalikannya hak cipta setelah 25 (dua puluh lima) tahun merupakan titik tengah yang disepakati dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta dengan alasan harapan hidup rata-rata orang Indonesia. Sebagai ilustrasi, seseorang menciptakan sebuah lagu pada umur 25 (dua puluh lima) tahun, maka 25 (dua puluh lima) tahun kemudian atau ketika ia memasuki umur 50 (lima puluh) tahun, wajar jika pencipta lagu tersebut dapat menikmati lagi hak ciptanya. Hal ini diperkuat dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai angka harapan hidup masyarakat Indonesia per tahun 2019 adalah 73,3 tahun bagi wanita dan 69,4 tahun bagi pria (vide hasil survei BPS mengenai Angka Harapan Hidup pada tahun 2019) serta hasil survei penduduk BPS pada tahun 2020 yang menyebutkan umur produktif rakyat Indonesia pada rentang 15-64 tahun (vide hasil survei penduduk Indonesia yang dilakukan BPS pada tahun 2020).

j. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 30 UU Hak Cipta mengizinkan untuk dilakukan pengalihan Hak Ekonomi dari Pelaku Pertunjukan kepada Pemohon melalui perjanjian jual beli juga mengharuskan Hak Ekonomi yang telah dijual dan/atau dialihkan untuk dikembalikan kepada Pelaku Pertunjukan setelah 25 (dua puluh lima) tahun. Hal ini menurut Pemohon memosisikan Pemohon sebagai penyewa, bukan pembeli meskipun telah mengeluarkan sejumlah uang dengan nilai membeli sehingga Pemohon mengalami kerugian ekonomi dan bisnis (vide Perbaikan Permohonan hal. 18-21).
Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa berdasarkan risalah Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta (RUU Hak Cipta) dengan pemerintah, disetujui bahwa pengaturan mengenai peralihan hak ekonomi dari pelaku pertunjukan kepada pemegang hak ekonomi berlaku sebagaimana pengaturan (mutatis mutandis) peralihan hak cipta dari pencipta kepada pemegang hak cipta melalui perjanjian jual putus. Hal ini dikutip dari pernyataan Direktur Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Ahmad Ramli dan telah disetujui seluruh peserta rapat kerja Pansus RUU Hak Cipta sebagai berikut:
“Memang dari rapat Panja kemarin ada 2 pasal yang kita sepakati, 2 ayat. Jadi perjanjian jual beli putus nanti kita akan mutatis mutandis atas objek hak cipta dan/atau pelaku pertunjukan yang telah dibuat sebelum berlakunya undang-undang ini, dikembalikan kepada pencipta dengan ketentuan sebagai berikut. Ini di bawahnya Pak. Perjanjian jual beli putus yang pada saat diberlakukannya undang-undang ini telah mencapai 25 tahun dikembalikan hak ciptanya kepada pencipta 2 tahun setelah berlakunya undang-undang ini. Jadi misalnya yang tahun 1960 kita masih kasih 2 tahun. 2 tahun baru dikembalikan karena mungkin saja dalam 2 tahun itu sekarang dia lagi bikin project, dia merekam maka dia masih punya 2 tahun. Kemudian perjanjian jual beli putus yang pada saat diberlakukannya undang-undang ini belum mencapai 25 tahun dikembalikan hak ciptanya setelah mencapai 25 tahun sejak ditandatangani perjanjian jual beli putus dimaksud ditambah 2 tahun. Jadi misalnya kalau yang sudah 24 tahun, akan dikembalikan 3 tahun yang akan datang. Jadi masa transisinya kita kasih 2 tahun.”

Ketua Rapat:
“Terima kasih Pak. Pemahaman jual putus sudah setuju kita. Setuju ya?”

(RAPAT: SETUJU)

k. Bahwa dalam rangkaian pembahasan RUU a quo, telah mendapatkan dukungan dari pelaku pertunjukan sekaligus Duta Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bernama Afgan Syahreza sebagaimana dikutip dari risalah Rapat Panitia Kerja dalam rangka pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah RUU Hak Cipta sebagai berikut:
“Saya di sini sebagai Duta HAKI ingin mengutarakan pendapat saya dari sisi performance. Saya sih sangat setuju atas Rancangan Undang-Undang Hak Cipta ini yang tidak hanya dijamin perlindungan kepada para pencipta dan pemegang hak cipta tetapi juga kepada performance. Sebagaimana ini mungkin sudah ditetapkan di beberapa international convention ya mengenai perlindungan hak cipta, menurut saya ini bisa membuat kita para pelaku, para performance lebih bisa meningkatkan kreativitasnya lagi, dan pastinya juga bisa meningkatkan investasi dalam perdagangan ciptaan juga produk-produk yang terkait di Indonesia, di mata internasional begitu. Kalau misalnya saya lihat di luar negeri kayak contohnya di Korea benar-benar mereka sangat melihat potensi industri kreatifnya mereka itu bisa sangat menjadi suatu potensi yang besar untuk negara mereka lebih kenal di dunia. Jadi menurut saya Indonesia punya potensi sama besarnya seperti mereka tetapi kita perlu dukungan dari para Anggota DPR semuanya yang ada di sini untuk bisa men-support kita dengan adanya Rancangan Undang-Undang yang terbaru ini. Lalu pastinya juga ancaman-ancaman pidana buat pelanggar atau pembajak yang selama ini menurut saya bisa lebih ditingkatkan lagi, saya harap di undang-undang yang terbaru bisa lebih menjadikan ini sebagai senjata supaya para pembajak ini tidak lagi, ibaratnya jeralah melanggar, pelanggaran hak cipta ini. Karena honestly buat saya sebagai pelaku, kita sudah pada tahap di mana kita sudah sedikit tired ya, sedikit capek dan hampir putus asa. Saya juga berbicara kepada beberapa teman-teman saya musisi, mereka menyatakan bahwa beberapa sudah tidak ingin bermusik lagi karena merasa tidak diapresiasi oleh masyarakat jadi menurut say aini sudah tahap yang fatal. Saying sekali karena potensi musik di Indonesia, industri kreatif sangat-sangat bagus. jadi saya mohon dengan hormat bIapak dan Ibu-Ibu di sini yang hadir dalam rapat ini semoga bisa menyelesaikan dan memberikan solusi yang terbaik untuk industri kreatif kita. Hopely kita bisa berjalan lebih baik lagi ke depannya dan lebih bisa meningkatkan motivasi para generasi muda untuk berkarya dan membanggakan Indonesia di bidang industri kreatif. Itu harapan saya sebagai pelaku dan seniman di Indonesia. Terima kasih.”

l. Bahwa Pemohon mendalilkan telah memiliki Hak Cipta atas lagu sebelum UU a quo berlaku yang dimiliki Pemohon berdasarkan perjanjian pengalihan Hak Cipta antara Pemohon dengan Pencipta lagu. Namun karena berlakunya Pasal 122 UU a quo, menjadikan Pemohon harus mengembalikan Hak Cipta atas kedua lagu tersebut kepada kepada penciptanya ketika mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun ditambah 2 (dua) tahun tepatnya pada tanggal 8 Mei 2022. Pengaturan Pasal 122 UU a quo dianggap Pemohon berlaku surut atau bertentangan dengan asas non-retroaktif sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi Pemohon (vide Perbaikan Permohonan hal. 43-48).
Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa Pasal 122 UU a quo telah memenuhi ketentuan Angka 127 dan Angka 156 huruf b Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PUU) sebagai berikut:
Angka 127 Lampiran II UU Pembentukan PUU
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Angka 156 Lampiran II huruf b UU Pembentukan PUU
“Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut:
a. …;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
c. …”

Berdasarkan Angka 127 dan Angka 156 huruf b Lampiran UU Pembentukan PUU yang menjadi undang-undang rujukan dalam pembentukan undang-undang, maka:
a. perumusan Pasal 122 UU Hak Cipta sudah merinci pengaruh ketentuan berlaku surut terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada antara pencipta dengan pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait dalam perjanjian jual putus sebelum UU a quo berlaku.
b. Pasal 122 UU Hak Cipta sudah ditempatkan dalam Bab XVII UU Hak Cipta mengenai Ketentuan Peralihan.
c. perumusan Pasal 122 UU Hak Cipta tersebut untuk menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait sebagai pihak yang terdampak perubahan ketentuan UU Hak Cipta.
Dengan demikian Pasal 122 UU Hak Cipta telah memenuhi kaidah pembentukan undang-undang sehingga tidak relevan untuk dipersoalkan oleh Pemohon.

m. Bahwa berdasarkan risalah Rapat Kerja Pansus RUU Hak Cipta, pembahasan mengenai substansi jangka waktu pengembalian 25 (dua puluh lima) tahun ditambah toleransi 2 (dua) tahun sehingga masih memberikan kesempatan bagi produser fonogram untuk menyelesaikan project yang mungkin sedang dikerjakannya. Hal ini sebagaimana pernyataan Dirjen HAKI Kemenkumham, Ahmad Ramli, sebagai berikut:
Kemudian yang penting lagi Pak kan tidak mungkin begitu undang-undang ini berlaku, orang kemudian harus mengembalikan saat itu juga karena bisa saja pada saat undang-undang ini berlaku dia lagi punya project ini, lagi merekam lagunya, lagi menerbitkan bukunya, kalau harus dialihkan kan kaget dia. Nah oleh karena itu, ada pasal lain yang boleh kami sampaikan. Perjanjian jual beli putus atas hak cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dibuat sebelum berlakunya undang-undang ini dikembalikan kepada pencipta dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perjanjian jual beli putus yang pada saat diberlakukannya undang-undang ini telah mencapai jangka waktu 25 tahun dikembalikan hak ciptanya kepada pencipta 2 tahun setelah berlakunya undang-undang ini.
Jadi dia punya transisi 2 tahun kalau dia sedang merekam, diselesaikan dulu project-nya dan seterusnya. Kami konsultasi dengan pelaku-pelaku di bidang ini para musisi dan lain-lain, mereka mengatakan waktu untuk ini sekitar 6 bulan sampai 1 tahun tetapi kita berikan waktu yang cukup tenggang yaitu 2 tahun.
Kemudian perjanjian jual beli putus yang pada saat diberlakukannya undang-undang ini belum mencapai jangka waktu 25 tahun, dikembalikan hak ciptanya kepada pencipta setelah mencapai 25 tahun sejak ditandatanganinya perjanjian jual beli putus ditambah 2 tahun. Jadi artinya 2 tahun ini bonus untuk keduanya, karena kami berpikir-pikir salah-salah dia sudah 24 tahun. Kalau 24 tahun langsung berlaku, berlaku ini harus dikembalikan, kan dia cuman dapat setahun padahal yang sudah habis pun dapat 2 tahun. Akhirnya kita katakana ditambah 2 tahun. Jadi dia dapat 3 tahun. Jadi ini memberikan fairness yang baik kepada mereka, kemudian ini adalah contoh-contohnya saja sebagai contoh misalnya jika ada perjanjian yang ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini dan telah berlangsung 25 tahun, maka akan kembali setelah 2 tahun setelah berlaku.
b. Jika ada perjanjian yang ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini dan telah berlangsung sealam 20 tahun misalnya, maka hak ciptanya akan dikembalikan kepada pencipta dengan perhitungan 25 tahun kurang 20 tahun tambah 2 yaitu 7 tahun setelah undang-undang ini berlaku karena 5 tahunnya itu adalah masih jangka waktu dia.”

n. Bahwa Pemohon mendalilkan memperoleh Hak Cipta melalui cara yang sah dengan membuat perjanjian pengalihan hak dengan pencipta berdasarkan asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), namun Pemohon mengutip pasal tersebut tidak secara utuh sebagai berikut:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." (vide Permohonan hal. 17)

Sedangkan Pasal 1338 KUHPerdata selengkapnya mengatur sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata secara utuh dapat dipahami bahwa sekalipun Pemohon telah mengadakan perjanjian jual putus antara Pemohon dengan Pencipta, namun perjanjian tersebut harus batal demi hukum karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Begitupun juga dengan perjanjian jual beli antara Pemohon dengan Pelaku Pertunjukan batal demi hukum berdasarkan ketentuan Pasal 30 UU Hak Cipta. Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur bahwa “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, yakni:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Bahwa syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan, persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian yang disebut sebagai syarat objektif. Konsekuensi apabila syarat “sepakat” dan “cakap” tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Namun apabila syarat “suatu pokok persoalan tertentu” dan “suatu sebab yang tidak terlarang” tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.

o. Terkait dengan Pasal 1320 butir 4 KUHPerdata, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa “suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.
Bahwa berdasarkan Pasal 1320 butir 4 KUHPerdata juncto Pasal 1337 KUHPerdata tersebut, suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang yang dalam konteks ini adalah UU Hak Cipta. Dengan demikian tidak dipenuhinya suatu sebab yang tidak terlarang tersebut dapat menjadi alasan bagi pencipta untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian jual putus dengan produser fonogram. Terlebih Pemohon dalam permohonannya juga mengutip Pasal 570 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut (vide Perbaikan Permohonan hal. 30):
“Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuanketentuan perundang-undangan.”

p. Bahwa pembatasan mengenai hak konstitusional berdasarkan undang-undang telah dijamin berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa:
“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Hal tersebut bermakna tidak ada satupun hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain agar terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negara.

q. Bahwa pembatasan hak konstitusional dengan undang-undang telah ditaati oleh pembentuk UU dengan menjadikan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar mengingat UU Hak Cipta yaitu sebagai berikut:
 Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

 Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

r. Dengan demikian pengaturan perjanjian jual putus beserta jangka waktu pengembaliannya dari pemegang hak cipta kepada pencipta adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Lebih lanjut DPR RI memberikan keterangan bahwa MK tidak pernah membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada poin [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.

s. Bahwa Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat pada sidang pemeriksaan pendahuluan tertanggal 13 Desember 2021 telah memberikan masukan penting kepada Pemohon agar dalam menguraikan kerugian konstitusionalnya tidak dengan cara cherry picking fallacy yakni hanya memilih argumentasi-argumentasi yang sesuai dengan kebutuhan Pemohon tetapi harus dilakukan satu universalitas di mana jika permohonan dikabulkan, maka tidak hanya kerugian Pemohon saja yang akan hilang melainkan kerugian semua orang yang terlibat atau berkenaan dengan pasal-pasal a quo juga akan hilang kerugiannya. Hal tersebut penting karena permohonan a quo bukanlah gugatan perdata. Akan tetapi dalam perbaikan permohonannya, uraian Pemohon tetap menggunakan cara cherry picking fallacy di mana Pemohon hanya mengambil sebagian data dan argumentasi yang menguatkan posisi Pemohon tetapi mengabaikan sebagian besar data dan argumentasi terkait yang tidak menguntungkan posisi Pemohon. Oleh karena itu narasi yang dibangun Pemohon dalam dalil Permohonannnya hanya sekedar asumsi Pemohon karena sejatinya pembentuk undang-undang mengatur bahwa hak ekonomi dalam perjanjian jual putus tidak berlaku mutlak tanpa batas waktu dengan rasionalisasi/pertimbangan bahwa keuntungan yang didapatkan Pemohon dari jual putus tanpa batas waktu tidak sebanding dengan jangka waktu kepemilikan Pencipta atas hak ciptanya selama seumur hidup ditambah 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia di mana dalam kurun waktu tersebut sejatinya di satu sisi Produser Fonogram telah “balik modal” bahkan mendapatkan keuntungan, dan di sisi lain Pencipta seharusnya dapat mengembangkan perolehan manfaat hak ekonomi dari hak ciptanya.

63/PUU-XIX/2021

Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945