Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 62/PUU-XX/2022 / 26-07-2022

Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon merupakan pemilik satuan unit rumah susun yang berbentuk satuan unit Kondotel yang tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran namun difungsikan sebagai “bukan hunian” karena Kondotel lebih bersifat komersil. Dengan adanya ketentuan Pasal 50 UU 20/2011 yang hanya menyebutkan pemanfaatan rumah susun sebagai hunian dan campuran menyebabkan Para Pemohon selaku pemilik Kondotel yang berfungsi “bukan hunian” tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) sehingga “kebendaan” yang dibawah kekuasaannya (satuan rumah susun yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama) tidak dibawah penguasaan Para Pemohon melainkan berada dibawah penguasaan developer (pelaku pembangunan). Hal ini juga mengakibatkan tidak dapat diterbitkannya bukti kepemilikan Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun), sehingga Para Pemohon kehilangan hak milik pribadinya (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 7-8 angka 10, dan 11) .
Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa Para Pemohon mendalilkan secara keseluruhan sebagai pembeli satuan rumah susun dengan konsep Kondotel di tempat yang berbeda. Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak memiliki pertautan dengan pasal a quo UU 20/2011 karena ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai fungsi rumah susun. Sehingga tidak tepat apabila Para Pemohon menjadikan pasal a quo UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar pengujian pasal a quo UU 20/2011.
Selanjutnya Pasal 46 dan Pasal 47 UU 20/2011 sudah mengatur mengenai hak kepemilikan atas sarusun yang merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Tanda bukti kepemilikan atas sarusun diterbitkan dengan SHM Sarusun setelah memenuhi persyaratan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. UU 20/2011 telah mengatur secara komprehensif mengenai penyelenggaraan rumah susun dengan memperhatikan hak-hak konstitusional masyarakat yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya terkait hak kepemilikan sarusun dan perlindungan atas sarusun yang dimiliki. Hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 telah diatur dalam UU 20/2011 dimana sarusun yang merupakan harta benda yang dimiliki/dikuasi oleh Para Pemohon telah secara tegas diatur kepemilikan, perlindungan, dan pengelolaannya dalam UU 20/2011. Dengan demikian, hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 justru telah dilindungi melalui UU 20/2011.
Bahwa UU 20/2011 telah mengatur secara komprehensif mengenai penyelenggaraan rumah susun dengan memperhatikan hak-hak konstitusional masyarakat yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya terkait hak kepemilikan sarusun dan perlindungan atas sarusun yang dimiliki. Hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 telah diatur dalam UU 20/2011 dimana sarusun yang merupakan harta benda yang dimiliki/dikuasai oleh Para Pemohon telah secara tegas diatur kepemilikan, perlindungan, dan pengelolaannya dalam UU 20/2011. Dengan demikian, hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 justru telah dilindungi melalui UU 20/2011.

2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Para Pemohon mendalilkan berlakunya Pasal 50 UU 20/2011 khususnya dengan ketiadaan frasa “bukan hunian” mengakibatkan Para Pemohon tidak dapat membuat Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Sarusun (PPPSRS) sehingga satuan unit Kondotel yang dimiliki Para Pemohon tidak dapat diterbitkan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dan mengakibatkan Para Pemohon kehilangan hak milik pribadinya sebagaimana yang dijamin ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan Hlm 8). Tidak dapat dibentuknya PPPSRS tidak memiliki keterkaitan dengan tidak diterbitkannya bukti kepemilikan SHM Sarusun.
Bahwa tidak adanya frasa “bukan hunian” dalam ketentuan pasal a quo UU 20/2011 tidak berarti akan menghilangkan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon karena tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah sebagai upaya pemenuhan tanggung jawab negara atas perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan perumahan melalui rumah susun yang layak bagi kehidupan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia serta memenuhi perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam penyelenggaraan rumah susun. Oleh karena itu, tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo.
Bahwa Para Pemohon mendalilkan mengalami kerugian karena berpotensi tidak mendapatkan SHM Sarusun terhadap unit Kondotel yang dibelinya karena adanya ketentuan pasal a quo. Terhadap dalil kerugian tersebut, DPR menyampaikan bahwa berdasarkan posita yang disampaikan oleh Pemohon dalam Permohonannya telah jelas bahwa beberapa dari Pemohon telah mendapatkan SHM Sarusun terhadap unit Kondotel yang dibelinya, hal ini berdasarkan keterangan yang disampaikan Para Pemohon dalam Permohonan a quo. Oleh karena itu dalil kerugian tersebut tidak beralasan dan tidak terbukti.

3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berlakunya pasal a quo tidak memiliki pertautan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dalam hal ini dijamin oleh ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 karena ketentuan pasal a quo tidak mengatur mengenai kepemilikan pribadi. Selain itu, terhadap dalil kerugian konstitusional Para Pemohon terkait dengan potensi tidak mendapatkan SHM Sarusun terhadap unit Kondotel yang dibelinya, DPR menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon IV merupakan permasalahan konkrit dan bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma mengingat terhadap Kondotel milik Pemohon I-III telah diterbitkan SHM Sarusun. Dengan demikian, menjadi jelas tidak terdapat kerugian kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, tidak terdapat pertautan antara ketentuan pasal a quo yang dimohonkan pengujian dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Sehingga, tidak ditemukan adanya kerugian hak konstitusional Para Pemohon yang bersifat aktual maupun potensial yang berdasarkan penalaran wajar dapat terjadi. Dengan tidak adanya kerugian hak atau kewenangan konstitusional, maka jelas dapat dipastikan tidak terdapat hubungan sebab-akibat atas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal a quo.

5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal a quo, maka apabila permohonan a quo dikabulkan atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon.
Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan Permohonan Para Pemohon, hal ini akan menjadikan pengaturan UU 20/2011 tidak sesuai dengan tujuan pembentukan UU 20/2011 dan berdampak kepada pengaturan lain di dalam UU 20/2011.

Pokok Permohonan:
1. Bahwa UU 20/2011 memberikan jenis rumah susun yang terdiri dari rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun komersial. Pasal 50 UU 20/2011 juga memberikan fungsi rumah susun hanya fungsi hunian dan fungsi campuran (hunian dan bukan hunian). Maka terhadap rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun komersial harus dimanfaatkan sebagai fungsi yang telah diatur dalam Pasal 50 UU 20/2011 yaitu fungsi hunian dan fungsi campuran.
2. Bahwa dahulu dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU 16/1985) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (PP 4/1988) diberikan pengaturan mengenai penggunaan rumah susun untuk hunian atau bukan hunian. Namun di dalam UU 20/2011 terjadi perubahan paradigma mengenai pemanfaatan rumah susun dengan pengutamaan pemanfaatannya sebagai hunian. Meskipun demikian, pemanfaatan rumah susun sebagai fungsi bukan hunian tetap diakomodir dalam UU 20/2011 melalui fungsi campuran yang melaksanakan pemanfaatan rumah susun sebagai hunian dan bukan hunian secara bersamaan.
3. Bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 47 ayat (1) UU 20/2011 menyatakan diterbitkan SHM Sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara, dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan. Penerbitan SHM Sarusun dilakukan dengan memastikan bahwa rumah susun yang dibentuk dimanfaatkan untuk fungsi hunian atau fungsi campuran sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 50 UU 20/2011. Oleh karena itu terhadap rumah susun yang tidak memenuhi fungsi hunian atau fungsi campuran tidak dapat diterbitkan SHM Sarusun.
4. Bahwa dalam satuan rumah susun tidak hanya terdapat milik perseorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, namun juga terdapat bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang harus digunakan dan dikelola secara bersama karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang banyak. Bahwa berdasarkan Pasal 74 UU 20/2011 mengatur pemilik satuan rumah susun wajib membentuk PPPSRS yang beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun. Hal ini menjelaskan bahwa PPPSRS harus dibentuk dalam suatu pengelolaan rumah susun dan harus beranggotakan pemilik atau penghuni. Oleh karena itu, pengaturan mengenai PPPSRS dalam UU 20/2011 diharapkan dapat mengatur dan mengurus serta menjamin ketertiban dan keselarasan dalam mengelola bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dari suatu rumah susun.
5. Bahwa di dalam perkembangan konsep hunian saat ini di dalam masyarakat telah berkembang berbagai macam konsep hunian yang bervariasi, dan salah satunya yang berkaitan dengan Permohonan a quo yaitu konsep kondominium hotel (Kondotel). Menurut keterangan Para Pemohon, Kondotel memiliki konsep kepemilikan yang sama dengan rumah susun, yakni “bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama” (vide Perbaikan Permohonan hlm.7).
Berdasarkan keterangan Para Pemohon tersebut maka menjadi jelas bahwa seluruh pembangunan dan pengelolaan Kondotel haruslah mengacu kepada UU 20/2011 mulai dari pemanfaatan Kondotel, pemilikan Kondotel, penerbitan SHM Sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan Kondotel, dan pembentukan PPPSRS atas Kondotel yang dimaksud.
6. Para Pemohon mendalilkan bahwa secara yuridis historis konsep fungsi bukan hunian pernah diterapkan serta diatur dalam UU 16/1985 (vide Permohonan Hlm 15 angka 11).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
a. Bahwa Para Pemohon tidak dapat menggunakan penjelasan pasal-pasal dalam UU 16/1985 karena undang-undang tersebut telah dicabut dan diganti dengan UU 20/2011. Sesuai dengan pertimbangan dalam UU 20/2011 bahwa UU 16/1985 dicabut karena telah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dengan kewajiban negara dalam penyelenggaraan rumah susun sehingga perlu diganti.
b. UU 20/2011 dibentuk sebagai pengganti UU 16/1985 dilatarbelakangi untuk lebih memberi keberpihakan terhadap pemenuhan kebutuhan tempat tinggal MBR dengan mewujudkan suatu rumah susun yang layak huni dan terjangkau, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang, mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh, mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan, memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi, memberdayakan para pemangku kepentingan, serta memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun. Hal ini menjelaskan bahwa UU 20/2011 mengharuskan dan mengutamakan adanya fungsi hunian dari setiap jenis rumah susun yang telah diatur, dan oleh karenanya semua pelaku pembangunan rumah susun harus tunduk dengan pengaturan UU 20/2011.
7. Para Pemohon mendalilkan pada intinya bahwa konsep definisi rumah susun sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 sama dengan struktur Kondotel baik secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan memiliki konsep kepemilikan pribadi dan bersama sebagaimana layaknya rumah susun, serta menunjukkan adanya fungsi hunian sebagai fungsi utama dan fungsi bukan hunian sebagai fungsi yang tidak utama (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 12 angka 6).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR menjelaskan sebagai berikut:
a. Dalam perkembangannya, bahwa sejak tahun 2011 sejak diundangkannya UU 20/2011, rumah susun mengalami perkembangan. Pada implementasinya, rumah susun secara normatif adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
b. Bahwa saat ini pengelolaan rumah susun semakin berkembang dengan munculnya berbagai jenis bangunan yang dipersamakan dengan rumah susun seperti apartemen, kondominium dan Kondotel namun tetap mengacu pada UU 20/2011. Berdasarkan penjelasan mengenai definisi dan struktur Kondotel diatas, DPR berpandangan bahwa Kondotel dipersamakan dengan rumah susun sehingga pengertian Kondotel dipersamakan dengan pengertian rumah susun dalam UU 20/2011.
c. Selanjutnya, UU 20/2011 memberikan beberapa jenis rumah susun berdasarkan kegunaannya, yaitu Rumah Susun Umum, Rumah Susun Khusus, Rumah Susun Negara, dan Rumah Susun Komersial. Mengacu kepada Pasal 1 angka 10 UU a quo yang mengatur definisi Rumah Susun Komersial sebagai Rumah Susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan, maka Kondotel dapat dipersamakan dengan Rumah Susun Komersial karena berdasarkan dalil Para Pemohon bahwa Kondotel merupakan gabungan dari kata “kondominium” dan “hotel”, dimana kondominium merupakan bangunan gedung bertingkat yang di dalamnya terdapat kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama, sedangkan hotel merupakan bangunan yang didirikan dan dikelola dengan tujuan memperoleh keuntungan (komersial) dengan memfungsikan sebagai tempat penginapan untuk masyarakat umum. Satuan kamar hotel dipersamakan dengan satuan rumah susun. Bagian, benda, dan tanah yang ada pada Kondotel dipersamakan dengan “kepemilikan bersama” pada rumah susun. Dengan menggunakan konsep sarusun, maka satuan kamar hotel dapat diperjualbelikan layaknya satuan rumah susun (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 11 angka 5 dan Hlm. 13 angka 7). Berdasarkan keterangan Para Pemohon yang dengan tegas menyatakan bahwa Kondotel dapat diperjualbelikan kepemilikannya dengan menggunakan konsep satuan unit rumah susun (sarusun) dan dapat juga dikelola sebagai “kamar hotel” secara komersial maka kegunaan Kondotel dipersamakan dengan Rumah Susun Komersial.
d. Berdasarkan penjelasan tersebut maka pengelolaan Kondotel sebagai salah satu bentuk Rumah Susun Komersial tetap harus tunduk dan mengacu pada aturan dalam UU 20/2011, dimana pemanfaatan rumah susun komersial harus dilaksanakan dengan fungsi campuran yaitu Kondotel harus memberikan fungsi hunian dan bukan hunian secara bersama-sama dalam mekanisme pengelolaannya secara komersial.
8. Para Pemohon mendalilkan bahwa jika dikaji dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (Bukti P.22), pada bagian urgensi dan pengaturan yang diharapkan dari perubahan UU 16/1985 tidak ditemui adanya kajian perlunya dihapus fungsi bukan hunian. Pada Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Rumah Susun, khususnya pada bagian materi muatan tentang “Penguasaan dan Pemanfaatan” justru menekankan adanya fungsi bukan hunian (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 17 angka 14).
Terhadal dalil permohonan Para Pemohon tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
a. bahwa Naskah Akademis merupakan konsep awal penyusunan peraturan perundang-undangan yang memuat gagasan tentang dasar pemikiran perlunya disusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan, asas dan teori hukum, landasan filosofis, sosiologis dan yuridis, serta ruang lingkup materi muatan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk. Tata cara penyusunan Naskah Akademik juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU). Dengan merujuk kepada Naskah Akademik, pembentuk Undang-Undang menentukan penormaan dalam pasal-pasal suatu undang-undang dengan mempertimbangkan kebutuhan hukum yang ada serta arah politik hukum yang ingin dicapai. Hal ini berarti bahwa perumusan suatu norma dalam Undang-Undang harus menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum yang ada.
b. Bahwa dalam Naskah Akademik RUU tentang Rumah Susun dijelaskan mengenai pemanfaatan rumah susun yang dapat digunakan sebagai fungsi hunian, fungsi bukan hunian, atau fungsi campuran yaitu fungsi hunian dan fungsi bukan hunian. Akan tetapi dalam perumusan suatu norma dilakukan suatu pembahasan yang memperhatikan kondisi di masyarakat, kebutuhan hukum, serta arah politik hukum yang ada. Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan umum, dapat dilihat bahwa pembentuk Undang-Undang berkeinginan untuk memberikan keberpihakan pengaturan kepada pemenuhan kebutuhan akan hunian dalam masyarakat mengingat semakin terbatasnya jumlah lahan dan meningkatnya kebutuhan akan hunian. Oleh karena itu, rumah susun diatur untuk dimanfaatkan hanya sebagai fungsi hunian dan fungsi campuran, dimana di dalam fungsi campuran tetap harus melaksanakan fungsi hunian disamping fungsi bukan hunian dalam satu bangunan rumah susun atau berbeda bangunan rumah susun dalam satu tanah bersama.
c. Bahwa rumusan Pasal 50 huruf b UU 20/2011 telah mengakomodir kebutuhan fungsi rumah susun sebagai bukan hunian dalam bentuk fungsi campuran yaitu fungsi hunian dan bukan hunian. Hal ini sejalan dengan maksud dan tujuan UU 20/2011 yaitu untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak ditengah semakin berkurangnya lahan untuk membangun rumah.
d. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 73/PUU-XII/2014 hlm. 211 menyatakan:
[3.23]… Menurut Mahkamah, walaupun perubahan pasal a quo tidak bersumber dari Naskah Akademik yang merupakan acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU, namun tidak serta merta hal-hal yang tidak termuat dalam Naskah Akademik kemudian masuk dalam Undang-Undang menyebabkan suatu Undang-Undang menjadi inkonstitusional. Demikian juga sebaliknya, walaupun sudah termuat dalam Naskah Akademik kemudian dalam penyusunan dan pembahasan RUU ternyata mengalami perubahan atau dihilangkan, hal itu tidak pula menyebabkan norma Undang-Undang tersebut menjadi inkonstitusional…

Dengan demikian, telah jelas ketidaksamaan antara naskah akademik dengan ketentuan Pasal 50 UU a quo tidak serta merta menjadikan ketentuan Pasal 50 UU a quo inkonstitusional.
9. Para Pemohon mendalilkan bahwa tidak diaturnya fungsi bukan hunian (ketiadaan frasa “bukan hunian”) dalam ketentuan Pasal 50 UU 20/2011 Rumah Susun mengakibatkan Kondotel kehilangan pijakan hukum fungsinya yang berakibat Para Pemohon mengalami kerugian dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum bagi Para Pemohon selaku pemilik Kondotel, bahkan telah mengabaikan hak konstitusional Para Pemohon dalam hal mendapatkan hak-hak kepemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan Rumah Susun (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 15 angka 10).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa berlakunya Pasal 50 UU 20/2011 tidak mengabaikan hak konstitusional Para Pemohon. Para Pemohon tetap memiliki hak kepemilikannnya yaitu dengan diterbitkannya SHM Sarusun oleh BPN seperti yang telah didalilkan oleh Para Pemohon pada alasan pokok permohonan angka 2, serta Para Pemohon juga tidak kehilangan hak kepemanfaatannya karena Para Pemohon tetap dapat menjalankan fungsi Kondotelnya sebagai “satuan kamar hotel” dan tetap mendapatkan keuntungan dari Kondotelnya selama tetap mengikuti ketentuan pemanfaatan Kondotel sebagai fungsi campuran yaitu adanya fungsi hunian dan bukan hunian secara bersamaan sebagaimana diatur dalam UU a quo.
10. Para Pemohon mendalilkan bahwa meski Para Pemohon merupakan pemilik yang sah atas sarusun yang dimilikinya, tetapi selalu di halang-halangi oleh pelaku pembangunan (developer) untuk membentuk PPPSRS dengan dasar alasan pemanfaatan Kondotel sebagai fungsi bukan hunian (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 19 angka 17).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
a. bahwa Kondotel memiliki konsep kepemilikan yang sama dengan rumah susun sehingga harus dijalankan fungsinya sesuai dengan Pasal 50 UU 20/2011. Namun, pada Pasal 1 angka 10 terdapat pengaturan mengenai Rumah Susun Komersial yang dinyatakan sebagai rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapat keuntungan. Oleh karena itu Kondotel dapat dikategorikan sebagai Rumah Susun Komersial sepanjang terdapat fungsi hunian di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, artinya tidak ada permasalahan terkait fungsi dari rumah susun meskipun Pasal 50 UU 20/2011 berlaku.
b. bahwa terkait dengan dalil Para Pemohon mengenai pelaku pembangunan yang tidak memfasilitasi dibentuknya PPPSRS, DPR berpandangan bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS. Pengaturan ini ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (Permen PUPR 14/2021) yang menyatakan bahwa pembentukan PPPSRS untuk pertama kali wajib difasilitasi dan dibiayai oleh pelaku pembangunan. Terbitnya SHM Sarusun telah memberikan kewajiban kepada Para Pemohon selaku pemilik satuan unit Kondotel untuk membentuk PPPSRS. Jika pelaku pembangunan tidak memfasilitasi pembentukan PPPSRS maka pelaku pembangunan tidak melaksanakan amanat UU 20/2011 jo. Permen PUPR 14/2021 dan telah melakukan pelanggaran hukum sehingga dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 107 dan Pasal 108 UU 20/2011. Oleh karena itu, tidak terbentuknya PPPSRS di Kondotel Para Pemohon tidak memiliki keterkaitan dengan keberlakuan Pasal 50 UU 20/2011.
c. Selain itu, terkait dengan penyerahan SHM Sarusun dan mekanisme pengelolaan Kondotel yang pada umumnya disepakati bersama oleh Para Pemohon dan pelaku pembangunan melalui PPJB merupakan dasar hubungan keperdataan yang memiliki sifat privat antara Para Pemohon dengan pelaku pembangunan. Terhadap ketidaksesuaian kesepakatan yang diatur dalam PPJB tersebut dengan aturan dalam UU 20/2011 merupakan permasalahan keperdataan antara Para Pemohon dan pelaku pembangunan dan apabila ketidaksesuaian dengan UU 20/2011 memberikan kerugian kepada Para Pemohon dan/atau kepada pembeli Kondotel yang dimaksud maka hal ini bukanlah permasalahan konstitusionalitas Pasal 50 UU 20/2011 namun merupakan permasalahan implementasi norma dan permasalahan hubungan keperdataan antara Para Pemohon dan pelaku pembangunan.
11. Para Pemohon mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 50 UU 20/2011 berpotensi tidak dapat dikeluarkannya SHM Sarusun dan tidak dapat dibentuknya PPPSRS karena ketidakjelasan fungsi dan pemanfaatannya (vide Perbaikan Permohonan Hlm. 24 angka 24).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR berpandangan sebagai berikut:
a. bahwa dalil tersebut hanya kekhawatiran Para Pemohon. SHM Sarusun pada implementasinya tetap dapat dikeluarkan meski belum terbentuk PPPSRS dalam rumah susun karena dalam ketentuan Pasal 47 UU 20/2011 SHM Sarusun wajib dikeluarkan karena merupakan tanda bukti kepemilikan dan diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah, dan diatur juga dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 43 PP 13/2021. Hal ini selaras dengan bukti yang disampaikan Pemohon I-III yang menunjukkan telah diterbitkan SHM Sarusun atas Kondotel yang dimiliki.
b. bahwa terhadap bangunan yang difungsikan sebagai hotel seharusnya tidak menggunakan istilah “Kondotel” karena sebagaimana telah diuraikan di atas, bangunan yang disebut dengan Kondotel harus mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam UU 20/2011 sebagai rumah susun yang dimanfaatkan sebagai fungsi campuran (fungsi hunian dan fungsi bukan hunian), maka terhadap bangunan yang dimanfaatkan seluruhnya sebagai fungsi bukan hunian dalam hal ini dikelola sebagai hotel, sudah pasti tidak dapat diterbitkan SHM Sarusun karena bangunan yang demikian tidak masuk kedalam rezim UU 20/2011.
c. Bahwa Kondotel yang tidak melaksanakan fungsi hunian juga tidak dapat membentuk PPPSRS karena memang tidak masuk kedalam kategori rumah susun yang diatur dalam UU a quo, sehingga Kondotel yang demikian tidaklah dipandang sebagai bangunan gedung yang harus mengikuti ketentuan UU 20/2011. Apabila Kondotel yang dimiliki oleh Pemohon IV tidak melaksanakan fungsi hunian maka terhadap Kondotel tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai rumah susun dan tidak diatur berdasarkan UU 20/2011. Namun sebaliknya, apabila terhadap Kondotel yang dimiliki oleh Pemohon IV ingin diterbitkan SHM Sarusun, maka pemanfaatan dan pengelolaan Kondotel tersebut harus tunduk dan mengacu kepada UU 20/2011 yang mengatur fungsi rumah susun hanya sebagai fungsi hunian dan fungsi campuran. Dengan demikian, seluruh dalil Para Pemohon tidak ada korelasinya dengan keberlakuan Pasal 50 UU 20/2011.
12. Bahwa terkait dengan pengaturan mengenai bangunan non hunian, pengaturannya dikembalikan lagi kepada pengaturan dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UU 28/2002). Meski demikian terdapat beberapa hal yang tidak ada pengaturannya dalam UU 28/2002 tersebut sehingga dapat dikatakan masih ada permasalahan yang harus diselesaikan dalam penanganan permasalahan bangunan dan gedung di Indonesia. Selama pembahasan UU 20/2011, DPR meminta kepada Pemerintah untuk mempercepat penyusunan RUU tentang Properti yang nantinya akan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan bangunan non hunian. Namun sejauh ini, pengaturan mengenai properti tersebut belum terwujud yang tentu sudah semestinya disegerakan pembentukannya.

62/PUU-XX/2022

Pasal 50 UU 20/2011

Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945