Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 32/PUU-XX/2022 / 23-06-2022

Keruugian Konstitusional:
Bahwa Pemohon mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat berlakunya Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d, dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah yang telah membatasi atau melarang BPRS untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Selain itu, BPRS tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), sedangkan lembaga selain bank yang berbadan hukum perseroan terbatas dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. BPRS juga tidak dapat menjadi peserta dalam sistem BI-FAST. Pengaturan ini menimbulkan perlakuan berbeda pada BPRS yang notabene adalah bank yang memiliki peran yang sama dengan Bank Umum Syariah, yakni memberikan layanan di bidang keuangan masyarakat. Pelarangan BPRS ikut serta dalam lalu lintas pembayaran dilakukan tanpa adanya basis argumen ilmiah dan akademik sehingga norma larangan tersebut tidak memiliki ratio legis yang menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil.

Legal Standing:
1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
 Bahwa Pemohon mendalilkan berdasarkan persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Persero tertanggal 08 September 2008 dinyatakan bahwa Direktur Utama berwenang bertindak dan atas nama PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan yang berdasarkan Akta Notaris dinyatakan bahwa Martadina S.E., A.K adalah Direktur Utama tersebut. Namun dalam perbaikan permohonan tidak dijelaskan siapa yang memberikan kuasa kepada para advokat di Law Office AWK & PARTNERS untuk mengajukan permohonan a quo atas nama PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan.
 Bahwa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tertanggal 6 April 2022, majelis hakim konstitusi telah memberikan masukan sebagai berikut:
“…pengantar menjelaskan bahwa Permohonan ini diwakili oleh direktur utamanya yang bernama Pak Martadinata. Kalau anggaran dasar, anggaran dasar yang mana? Pasalnya pasal berapa? Nanti supaya dicantumkan di penegasan itu, termasuk ketika kemudian kalau menarik dari peraturan yang sifatnya idealnya Direktur Utama-lah yang bertindak mewakili perusahaan atau badan usaha berbadan hukum tersebut yang kemudian memberikan kuasa kepada penerima kuasa.

Bahwa dalam Perbaikan Permohonan Pemohon tidak menjelaskan sesuai dengan masukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, justru sebaliknya dalam Perbaikan Permohonan yang menjadi Pemohon adalah Perusahaan bukan pihak yang mewakili perusahan tersebut untuk mengajukan permohonan a quo. Sehingga, hal ini menimbulkan ketidakjelasan pihak yang mengajukan permohonan.
 Bahwa ketentuan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon tidak memiliki pertautan dengan pengaturan yang ada dalam pasal a quo UU Perbankan Syariah, karena pengaturan yang ada dalam UU Perbankan Syariah tidak mengatur suatu ketentuan yang berkaitan dengan pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana diatur di dalam Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, ketentuan pasal-pasal a quo juga tidak menghalangi Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
 Bahwa terkait dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa perlakuan sama tergantung peran dan fungsinya. Dalam konteks UU a quo, politik hukum pembentuk undang-undang telah mengatur fungsi yang sesuai dengan bentuk masing-masing bank berdasarkan sistem perbankan yang telah dibangun di Indonesia. Sehingga, adanya ketentuan pasal a quo merupakan bentuk jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap pelaku dan pengguna jasa perbankan. Sehingga, tidak relevan apabila ketentuan pasal a quo dianggap tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
 Bahwa Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak memiliki pertautan dengan ketentuan pasal a quo karena berdasarkan buku 8 naskah komprehensif Pembahasan Amandemen UUD NRI Tahun 1945, disebutkan bahwa frasa “kemudahan dan perlakuan khusus” muncul sebagai bentuk “affirmative action” yang merupakan perluasan dari positive discrimination/special treatment. Affirmative action pada dasarnya hadir dengan sebuah tujuan jangka panjang yang berfungsi dalam mengurangi bentuk diskriminasi antar kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2020 yang menyatakan bahwa frasa “setiap orang” dan “guna mencapai persamaan dan keadilan” merupakan satu kesatuan maksud, maka kemudahan dan perlakuan khusus dimaksud hanya diberikan kepada orang yang apabila tanpa diberikannya perlakuan khusus tidak mampu mencapai persamaan dan keadilan. Sehingga, apabila Pemohon mendasarkan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusi pada ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 maka hal itu menjadi tidak relevan dan tidak berdasar, karena Pemohon bukan merupakan golongan yang memerlukan perlakuan khusus.
 Bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai prinsip penyelenggaraan perekonomian nasional dan tidak mengatur mengenai hak konstitusional sehingga tidak dapat dijadikan batu uji permohonan a quo.

2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
Bahwa dalam permohonan a quo Pemohon sebagai pelaku usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mendalilkan pada intinya merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal a quo, karena Pemohon tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan Bank Umum Syariah. Sehingga, menyebabkan Pemohon kesulitan untuk mendapatkan modal serta mengembangkan usaha perbankan.
Terhadap dalil keugian tersebut, dapat dijelaskan bahwa berdasarkan sistem perekonomian nasional, keberadaan prinsip syariah dalam keuangan Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian keberadaan perbankan syariah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Semua perangkat hukum dan design kelembagaan perbankan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap seluruh masyarakat Indonesia dan pelaku perekonomian nasional. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam konteks UU a quo, politik hukum pembentuk undang-undang telah mengatur masing-masing fungsi dan peran bank tersebut sesuai dengan sistem perbankan yang telah dibangun di Indonesia. Dengan demikian, apabila Pemohon mengharapkan adanya pengaturan yang sama antara Bank Umum Syariah dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, hal tersebut justru merupakan bentuk ketidakadilan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Prof. Bagir Manan yang menyatakan bahwa:
“Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unewual treatment itu, justru merupakan syarat dan tata cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012 Halaman 57).

Hal ini menjadi concern Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa apabila dikabulkan permohonan a quo, maka apa yang menjadi pembeda antara karakteristik bank umum dan bank pembiayaan/perkreditan, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Mahkamah dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tertanggal 6 April 2022 yang menyatakan:
“Terkhir. Ini yang perlu direnungkan oleh Pemohon dan Kuasanya. Apakah 9 norma yang saudara mintakan tadi itu, kalau dikabulkan tidak mengubah secara elementer, secara mendasar, karakteristik dari bank pembiayaan itu sendiri ... pembiayaan syariah itu sendiri? Jadi, ini kan seolah-olah, ini seolah-olah, ya, mau mengambil karakteristik yang ada di bank umum. Padahal, bank syariah, bank perkreditan rakyat itu memiliki karakteristik yang berbeda, makanya dia dibedakan daripada bank umum. Nah, kalau itu semuanya yang Anda minta tadi dikabulkan, jangan-jangan enggak ada bedanya lagi ini, bank syariah, khususnya bank pembiayaan rakyat syariah yang jadi Pemohon ini dengan bank umum, seolah mau jadi bank umum saja. Nah, dalam konteks itu, Pak Wakil Kamal dan kawan-kawan perlu diberikan kayak statement umum, apa yang membedakan bank syariah itu dengan bank umum? Jadi, jangan nanti tiba-tiba ini menggerakkan menjadi bank umum. Nah, kalau begitu kan enggak perlu lagi pembedaan pengaturan. Nah, itu penting ditegaskan supaya masing-masing itu ada karakteristiknya. Itu kebetulan kan kelihatan mulai dari pendefinisian itu mau diubah. Nah, itu... itu... itu yang harus tolong Pemohon dan Kuasa Hukum renungkan betul ini. Jangan-jangan nanti bank umum saja semuanya, padahal politik hukumnya sudah jelas, ada karakteristik kepentingan-kepentingan khusus yang ditampung dengan membentuk jenis lain itu. Apakah bank perkreditan rakyat ataupun bank syariah itu? Nah, itu yang perlu dipikirkan dengan serius.”

3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa sebagaimana telah diuraikan pada poin 1 dan 2 diatas, kerugian hak dan/atau kewenangana konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak berdasar karena Pemohon kurang memahami tata dan sistem perbankan nasional dengan meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempersamakan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Oleh karena itu, tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

4. Terkait adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa kerugian yang didalilkan oleh Pemohon bukanlah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, selain kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut tidak benar, tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, sehingga menjadi jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa apabila Pemohon menginginkan adanya penyamaan antara Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dengan Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah khususnya dalam lalu lintas pembayaran, maka menjadi tidak jelas apa pembeda antara Bank Umum Syariah dengan Bank Pembiayaan Syariah. Selain itu, semua ketentuan yang berlaku pada Bank Umum Syariah juga harus dikenakan kepada Bank Permbiayaan Rakyat Syariah tanpa ada kecualinya, yang mana hal ini justru akan merusak sistem dan tata perbankan yang ada di Indonesia termasuk sistem hukum perbankan yang ada di Indonesia yang tentunya akan berdampak pada perekonomian nasional baik secara mikro maupun makro.

5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa sebagaimana telah diuraikan pada poin-poin diatas, permohonan ini tidak relevan untuk diperiksa lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dengan dikabulkannya permohonan Pemohon, dalam rangka melaksanakan tujuan pemerintahan dan melindungi segenap rakyat Indonesia, hal tersebut merupakan kerugian besar dan langkah menuju kemunduran perbankan nasional selain juga menimbulkan ketidakpastian hukum nasional dan tidak adanya perlindungan terhadap masyarakat, sehingga hal ini juga harus menjadi perhatian dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi.

Pokok Permohonan:
1. Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai berikut:
“Pasal 1 angka 9 Sepanjang kata “tidak”, Pasal 21 huruf d Sepanjang Frasa “Melalui Rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS” dan Pasal 25 huruf b Sepanjang Frasa “dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran” UU Perbankan Syariah Bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (vide perbaikan permohonan halaman 17).
Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
a. Bahwa pengaturan BPRS dalam UU Perbankan Syariah pada dasarnya selaras dengan pengaturan BPR pada UU Perbankan. Dalam pembentukannya BPRS dianalogikan seperti BPR pada UU Perbankan. Sehingga, BPRS memiliki kewenangan dan fungsi yang sama dengan BPR dalam UU Perbankan, hanya saja terkait dengan pelaksanaannya BPRS berpedoman pada prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang terkandung di dalam sumber hukum Islam. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, dalam masa Persidangan III Rapat Panitia Kerja RUU tentang Perbankan Syariah pada Senin, 11 Februari 2008, yang menyatakan:
“Saya kira ini adalah ketentuan umum, jadi kita masukkan keduanya untuk membedakan satu adalah BPR dan dua adalah Bank Konvensional dengan sistem bunga dan yang satunya adalah BPRS yaitu dengan sistem bagi hasil, tetapi di definisikan karena BPR itu tidak menjalankan atau tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jadi ketentuan umumnya memang kita masukkan keduanya, karena dia akan disebutkan dalam batang tubuhnya. Ketentuan umum itu adalah ketentuan yang nantinya akan disebutkan dalam batang tubuh.”

b. Bahwa mengingat dalam pembentukan BPRS yang dianalogikan dengan pembentukan BPR sebagaimana dalam UU Perbankan, maka kiranya perlu ditinjau maksud pembentukan BPR di dalam risalah sidang pembahasan RUU Perbankan. Dalam risalah sidang pembahasan RUU perbankan tersebut dinyatakan bahwa Bank Perkreditan Rakyat atau lazim disebut Bank Pasar dimaksudkan sebagai bank untuk rakyat kecil, melayani usaha-usaha kecil yang keberadaannya di pedesaan maupun di perkotaan. BPR tidak bersifat kompleks seperti halnya Bank Umum, tetapi bersifat retail yang lebih terspesialisasi ke arah pemberian kredit (vide Laporan Singkat Panitia Khusus RUU Bidang Keuangan (Pembahasan RUU Tentang Perbankan) dalam Masa Persidangan III, Panitia Khusus RUU Bidang Keuangan, Rabu, 15 Januari 1992).
c. Bahwa mendasarkan pada maksud dan tujuannya, pembentukan BPR memang dimaksudkan untuk melayani masyarakat dalam cakupan yang lebih kecil, sehingga letak perbedaan BPR dengan Bank Umum ada pada jangkauan layanannya yang lebih mikro dibandingkan Bank Umum, oleh karenanya sangat tidak tepat apabila BPR yang dalam hal ini juga dimaknai sebagai BPRS diberikan kewenangan yang sama dengan Bank Umum yang cakupannya lebih luas. Selain itu, penyamaan ini jelas akan menghilangkan latar belakang yang membedakan pembentukan BPRS dengan Bank Umum Syariah.
d. Bahwa Pemohon mendalilkan larangan bagi BPRS untuk menjalankan jasa lalu lintas pembayaran menyebabkan Pemohon tidak dapat optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat (vide Perbaikan Permohonan Halaman 21). Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
1) Lalu lintas pembayaran memiliki cakupan ruang lingkup yang sangat luas, yakni seluruh transaksi keuangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam hal ini kedudukan bank sentral sebagai otoritas sistem pembayaran di era digital sangat penting, baik dalam konteks regulator, pengawas, maupun operator yang secara aktif menyelenggarakan sistem pembayaran. Bank sentral juga dituntut untuk mampu menjaga kualitas layanan publiknya setiap saat, sesuai dengan pergeseran tuntutan masyarakat di era digital. Selain itu, saat ini banyak pelaku non-bank mulai merambah layanan keuangan yang selama ini didominasi bank. Digitalisasi perlu bergerak selaras dengan upaya menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan serta kelancaran sistem pembayaran Oleh karenanya, Bank Indonesia merumuskan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 (BSPI 2025) yang berorientasi penuh pada upaya membangun ekosistem yang sehat sebagai pemandu perkembangan ekonomi dan keuangan digital di Indonesia. Kompleksitas jasa lalu lintas keuangan yang tidak sederhana ini membutuhkan pengaturan dan pengawasan yang komprehensif. Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa lalu lintas pembayaran dalam dunia perbankan tidak semudah dan sederhana yang didalilkan oleh Pemohon. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang telah memberikan peran, fungsi, dan tugas kepada masing-masing bank untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan kapasitasnya masing-masing.
2) Bahwa dalam Pembahasan RUU Perubahan UU 7/1992 tentang Perbankan, telah mengulas perbedaan dari BPR dan Bank Umum dalam jasa lalu lintas pembayaran, yakni Bank Umum diberikan kewenangan untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran sedangkan BPR tidak. Hal inilah selanjutnya yang menjadi pembeda yang mendasar antara keduanya. Hal ini sebagaimana pendapat yang dikemukakan pemerintah dalam Masa Persidangan I, Rapat Kerja Ke-3 pada Senin, 14 September 1998 sebagai berikut:
“Kami ingin mengundang untuk melihat DIM ini dalam kaitannya dengan DIM 16, mohon maaf. Maksudnya sebetulnya di sini adalah untuk membedakan antara Bank Umum dari BPR. Kalau Bank Umum adalah sebuah yang turut di dalam memberikan jasa lalu lintas pembayaran, jadi merupakan sistem pembayaran di Indonesia. Ini konsekuensinya adalah mereka hanya bank umum yang boleh menerima rekening giro dan menerbitkan cek dan giro, konsekuensinya di situ.”

Sebagai konsekuensi tidak diberikannya kewenangan bagi BPR untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, maka BPR tidak terlibat dalam beberapa jenis pelayanan seperti kliring, kegiatan usaha valuta asing, dan giro. Pengaturan ini juga diberlakukan kepada BPRS yang diatur dalam UU Perbankan Syariah.
3) Bahwa berdasarkan Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah 2020-2025, untuk menanggapi perkembangan teknologi yang semakin cepat dan dunia yang semakin borderless, mendorong perbankan syariah untuk mengembangkan infrastuktur teknologinya agar dapat melayani nasabahnya dengan lebih cepat, lebih nyaman dan lebih baik. Salah satu dorongan digitalisasi bagi perbankan syariah yaitu OJK melakukan upaya untuk mendorong penerapan common platform untuk mendukung digitalisasi BPRS. Dalam upaya tersebut common platform melibatkan bank besar dan bank kecil untuk dapat sharing infrastruktur Teknologi informasi dalam mendukung digitalisasi. Sehingga, bank dapat tetap menerapkan digitalisasi produk dan layanan dengan biaya yang lebih kecil.
4) Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) guna meningkatkan kesempatan dalam berinovasi maupun berkolaborasi dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan produk sejalan dengan perubahan perilaku dan ekspektasi masyarakat yang memanfaatkan teknologi informasi.
5) Sebagai contoh untuk mengikuti perkembangan sistem keuangan digital, BPR Lestari melakukan kerjasama dengan fintech, sehingga memungkinkan untuk menjangkau area yang lebih luas. Kerjasama yang dilakukan BPR Lestari salah satunya dengan menggandeng Investree dalam menyalurkan dana kredit kepada UMKM sebesar Rp. 10 miliar (https://bprlestari.com/berita-lestari/bpr-lestari-semakin-digital-jalin-kerja-sama-dengan-investree diakses pada 10 Juni 2022).
Selain itu, contoh lain kerjasama BPR dan Fintech dilakukan oleh Kerjasama Bimasakti dengan BPR Delta Artha Sidoarjo. Dalam kerjasama tersebut dilakukan dalam bentuk integrasi secara host to host (H2H) melalui Rajabiller ke dalam sistem BPR yang sudah memiliki aplikasi seperti pembayaran PDAM, PLN, BPJS Kesehatan, pembayaran cicilan kredit, dll secara langsung oleh nasabah BPR. Sehingga mempermudah nasabah dalam melakukan pembayaran dan kebutuhan digital lainnya.
(https://www.bm.co.id/blog/genjot-bisnis-bpr-kerjasama-dengan-fintech-bimasakti-melakukan-transformasi-digital/, diakses pada 10 Juni 2022).

6) Dengan berbagai contoh inovasi kerjasama BPR/BPRS tersebut di atas, maka kekurangan yang dimiliki BPR/BPRS dapat ditekan sedemikian rupa agar tidak kalah dalam persaingan industri keuangan saat ini yang semakin ketat. Sehingga, dalil Pemohon mengenai tidak diikutkannya BPR/BPRS dalam lalu lintas pembayaran, yang menyebabkan BPRS tidak optimal adalah dalil yang kurang tepat. Optimalisasi pelayanan BPRS terhadap masyarakat dapat dilakukan oleh BPRS dengan melakukan inovasi dengan cara memaksimalkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang dan bukan dengan meminta kewenangan baru yang justru lebih luas dan rumit yang selama ini diberikan kepada Bank Umum dan Bank Umum Syariah.
2. Bahwa Pemohon mendalilkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, BPRS tidak masuk sebagai pihak yang dapat terhubung langsung dengan Gerbang Pembayaran Nasional. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan bahwa Bank Indonesia telah menginisiasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) pada 2017 dan meluncurkan BI-Fast pada akhir Tahun 2021. GPN mencakup transaksi pembayaran domestik yang meliputi: interkoneksi switching, interkoneksi dan interoperabilitas kanal pembayaran melalui kanal ATM, Elektonic Data Captured (EDC) dan kanal pembayaran lainnya. Sedangkan BI-Fast merupakan infrastruktur pembayaran ritel  nasional yang dapat memfasilitasi pembayaran ritel secara real-time, aman, efisien, dan tersedia setiap saat. Kedua sarana transaksi ini mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran. Oleh karena itu, apabila BPRS tidak diikutsertakan di dalam GPN merupakan suatu hal yang logis, karena BPRS merupakan Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan mendasarkan pada maksud dan tujuannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pembentukan BPR memang dimaksudkan untuk melayani masyarakat dalam cakupan yang lebih kecil, dan tidak sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh Bank Umum yang cakupannya lebih luas.
3. Bahwa Pemohon mendalilkan pada intinya Pasal 25 huruf e UU Perbankan Syariah yang melarang BPRS untuk turut serta dalam penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas BPRS, tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan menghambat adanya kekuatan modal BPRS.
Bahwa atas dalil Pemohon tersebut DPR menerangkan:
a. Bahwa penyertaan modal tidak dapat dilakukan secara sembarangan oleh perbankan. Bahkan bagi Bank Umum terdapat suatu pembatasan tertentu dalam melakukan penyertaan modal. Pembatasan ini dapat dilihat pada Pasal 7 dan Pasal 10 UU Perbankan dan Pasal 20 dan Pasal 24 UU Perbankan Syariah. Pengaturan ini merupakan bentuk kehati-hatian pembentuk undang-undang dalam mengatur dan menjaga keberadaan perbankan yang sejauh ini memiliki peran vital dalam perekonomian nasional. OJK sendiri melalui POJK Nomor 36/POJK.03/2017 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal mengatur bahwa penyertaan modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Pelaksanaan penyertaan modal oleh bank umum diatur sedemikian rupa sebagai wujud ketatnya pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan Indonesia.
b. Bahwa dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia (RPSI) periode 2020-2025 disusun dengan membawa visi mewujudkan perbankan syariah yang berketahanan, berdaya saing tinggi, dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan pembangunan sosial. Arah pengembangan perbankan syariah ini telah disusun selaras dengan beberapa arah kebijakan, baik kebijakan eksternal yang bersifat nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Masterplan Sektor Jasa Keuangan Indonesia dan Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I). Sebagai bagian dari RP2I, RPSI merupakan langkah strategis OJK dalam menyelaraskan arah pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, khususnya pada sektor industri jasa keuangan syariah di bidang perbankan syariah.
c. Mengacu pada roadmap tersebut, OJK telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dengan ditetapkannya POJK tersebut, dapat meningkatkan kesempatan bagi BPR/BPRS untuk berinovasi maupun berkolaborasi dengan lembaga lain sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi BPR/BPRS. Dengan demikian, keuntungan tersebut dapat digunakan untuk menambah permodalan bagi BPR/BPR Syariah. Selain itu, masih tersedia berbagai opsi penguatan modal BPRS. Maka telah sangat jelas, upaya-upaya penguatan perbankan syariah terus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan OJK dengan pengawasan DPR RI.
6. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 13 sepanjang kata “Umum” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa penawaran umum efek melalui pasar modal diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa penawaran umum dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam UU Pasar Modal dan peraturan pelaksananya. Peran Bank Umum sebagai emiten diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) UU Perbankan dan Pasal 13 UU Perbankan Syariah.
b. Bahwa dalam rangka untuk melindungi masyarakat yang menanamkan dananya pada efek, terdapat mekanisme yang harus dilaksanakan dengan diikuti sanksi yang cukup berat apabila terjadi pelanggaran atau ketidaktaatan emiten. Hal ini harus dipertimbangkan oleh Pemohon terkait dengan keinginannya untuk dapat melakukan penawaran umum efek di pasar modal. Hal ini diatur sedemikian rupa karena emiten memiliki peran penting di pasar modal, yakni sebagai tumpuan aktifitas bursa efek atau pasar modal, penyedia pilihan efek bagi masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan investor.
c. Bahwa dalam melakukan penawaran umum, emiten harus melakukan pendaftaran dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-122/BL/2009 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
2) Lembaga Keuangan Nomor: KEP-690/BL/2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 /POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal, dan ketentuan-ketentuan lain yang barlaku bagi emiten.
Bahwa dari berbagai pengaturan dan persyaratan mengenai penawaran umum dalam pasar modal sebagaimana tersebut di atas, maka hal ini akan dapat menyulitkan BPRS apabila ingin masuk ke pasar modal dan berperan sebagai emiten, hal ini akan menjadi kesulitan tersendiri bagi BPRS untuk mengikuti ketentuan yang ada dan dinamika-dinamika yang ada di pasar modal.
d. Bahwa peran Bank Umum dalam Pasar Modal tidak hanya diatur di dalam UU Perbankan Syariah, melainkan juga di dalam UU Perbankan dan UU Pasar Modal dan telah ditentukan dengan pertimbangan mendalam dari pembentuk undang-undang. Apabila ketentuan dalam salah satu UU tersebut diubah, hal ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum atas pengaturan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan pasar modal. Selain itu, design perbankan nasional menyamakan peran dan kewenangan BPR dan BPRS sehingga hal ini akan menimbulkan suatu permasalahan baru dalam tata perbankan nasional.
7. Bahwa Pemohon mendalilkan frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” dalam norma Pasal 25 huruf e bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya mendalilkan adanya keinginan agar kewenangan BPRS untuk dapat melakukan penyertaan modal terhadap BPRS lain, tetapi dalam petitumnya Pemohon justru memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” pada pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, bahwa hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian uraian yang menjadi dasar permohonan Pemohon tidak sejalan dengan apa yang dimohonkan dalam petitumnya. Sehingga, menjadi tidak jelas apa sebenarnya yang diinginkan oleh Pemohon dan menjadikan petitum Pemohon dalam hal ini kabur (obscuur).

32/PUU-XX/2022

Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d , Pasal 25 huruf b dan huruf e UU Perbankan Syariah

Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945