Kerugian Konstitusional:
Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan karena frasa “jumlah dan waktu tertentu” menyebabkan pelaku usaha jaringan distribusi masih dapat menyimpan minyak goreng pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang dalam jumlah dan waktu tertentu meskipun tindakan tersebut terlarang (vide perbaikan permohonan hlm 5).
Legal Standing:
1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang dimohonkan pengujian terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena Pemohon tetap dapat melakukan aktivitas dagangnya sebagaimana kesehariannya. Adanya frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan justru melindungi Pemohon sebagai pelaku usaha untuk tetap memiliki bahan baku untuk menjalankan kelangsungan usahanya. Selain itu, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan juga melindungi hak masyarakat terhadap penghidupan yang layak karena menjamin tidak ada pelaku usaha yang melakukan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting pada saat terjadi kelangkaan dan/atau gejolak harga.
Bahwa terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dengan adanya ketentuan “jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang” dalam ketentuan pasal a quo telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum terhadap Pemohon dan pelaku usaha lainnya sehingga tidak akan dikenakan sanksi secara semena-mena. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri melainkan satu kesatuan ketentuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena ayat (2) mengatur pengecualian dari pelaku usaha yang dapat melakukan penyimpanan terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting jika digunakan sebagai bahan baku atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan. Pada Pasal 29 ayat (3) diamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam peraturan presiden.
2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
Bahwa dalam perbaikan permohonannya, Pemohon tidak menguraikan secara jelas pertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan yang dimohonkan pengujian. Sehingga menjadi tidak jelas bagaimana sesungguhnya hak dan/kewenangan konstitusional Pemohon diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 tersebut dilanggar dengan berlakunya ketentuan pasal a quo.
Bahwa Pemohon selaku pengusaha pecel lele sama sekali tidak dihalangi untuk berdagang pecel lele sebagai mata pencaharian untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian adanya ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam peraturan pelaksana sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 29 ayat (3) UU Perdagangan yang menjadi parameter dikenakannya larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan, Pemerintah telah memenuhi amanat pengaturan pada pasal tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Pengaturan tersebut menunjukan bahwa negara telah memberikan bentuk jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) NRI Tahun 1945.
Selain itu, adanya frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” yang dianggap Pemohon telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya justru merupakan parameter pada kondisi apa penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting tidak diperbolehkan bahkan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Perdagangan. Bahwa dengan demikian, tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan adanya ketentuan pasal a quo.
3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa dengan tidak adanya uraian Pemohon mengenai pertautan antara kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, menjadi tidak jelas juga apakah kerugian konstitusional tersebut merupakan kerugian spesifik dan aktual atau kerugian konstitusional yang bersifat potensial.
Bahwa jika petitum Pemohon untuk menghapuskan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” pada ketentuan Pasal a quo UU Perdagangan dikabulkan untuk dihapus, justru akan berpotensi menimbulkan kerugian terhadap kelangsungan usaha Pemohon dan masyarakat luas yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Terkait adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa berdasarkan pandangan DPR RI sebagaimana telah diuraikan pada angka 1 sampai 3 di atas, dalil Pemohon bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dilanggar dengan keberlakuan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan tidaklah benar. Bahwa dalil Pemohon yang beranggapan frasa “dalam dan jumlah waktu tertentu” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan mengakibatkan terjadinya kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng sudah jelas tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam kaitannya dengan keberlakuan Pasal a quo UU Perdagangan.
5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa karena tidak ada hubungan pertautan antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan pasal a quo UU Perdagangan, maka jelas tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dilanggar maupun dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mempertimbangkan pokok perkara, dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Pokok Permohonan:
1. Bahwa sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang merah menjadi berfluktuasi. Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi, pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga, seperti harga jatuh pada saat panen raya, dan harga melambung pada saat di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani sebagai produsen mendapatkan hasil yang menguntungkan, dan masyarakat sebagai konsumen mampu membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau. Selain itu, kebijakan stabilisasi harga pangan berperan dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitas politik nasional.
2. Bahwa perlu untuk dipahami, ketentuan Pasal 29 UU Perdagangan terdiri atas 3 (tiga) ayat yang merupakan satu kesatuan pengaturan, yang secara lengkap berketentuan sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.
(2) Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
3. Bahwa ketentuan pada Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merupakan upaya pencegahan pemutusan kekuatan ekonomi oleh pelaku usaha sehingga tidak membuka peluang pelaku usaha untuk berkolusi dalam menetapkan harga di pasar, menetapkan jumlah bahan pokok dan/atau barang penting di pasar, melakukan differensiasi harga, dan/atau menjual dengan harga yang sedemikian rendah pada kondisi krisis atau langka secara nasional sehingga dapat mematikan bisnis pelaku usaha lainnya (predatory prancing).
4. Bahwa terkait dengan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, Pasal 29 ayat (3) UU Perdagangan telah mengamanatkan ketentuan teknis diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden. Berdasarkan amanat UU Perdagangan tersebut, saat ini telah terbit Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang telah diubah melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 (Perpres 71/2015). Dalam Perpres 71/2015, Barang Kebutuhan Pokok didefinisikan sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, sedangkan Barang Penting didefinisikan sebagai barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
5. Bahwa penetapan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Penetapan Barang Kebutuhan Pokok berdasarkan alokasi pengeluaran rumah tangga secara nasional untuk barang tersebut dan juga memperhatikan ketentuan yang memiliki pengaruh tinggi terhadap tingkat inflasi dan/atau memiliki kandungan gizi tinggi untuk kebutuhan manusia. Dalam Perpres 71/2015, minyak goreng merupakan jenis barang kebutuhan pokok hasil industri. Dalam Perpres 71/2015 mengatur:
Pasal 11
(1) Dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting dilarang disimpan di Gudang dalam jumlah dan waktu tertentu.
(2) Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah diluar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
(3) Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting dalam jumlah dan waktu tertentu apabila digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut maka jelas penjelasan atas parameter jumlah dan waktu tertentu dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan adalah jumlah diluar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal. Dengan demikian DPR berpandangan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan memberikan perlindungan kepada konsumen mengingat pelarangan yang termuat ditujukan untuk mengantisipasi pelaku usaha melakukan pelanggaran atas penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting melebihi jumlah dan waktu tertentu yang ditetapkan. Parameter jumlah dan waktu tertentu tersebut ditetapkan untuk memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap pelaku usaha dalam melakukan usahanya.
6. Bahwa Pemohon mendalilkan tindakan penimbunan/penyimpanan oleh pelaku usaha dan jaringan distribusinya menyebabkan minyak goreng menjadi langka apalagi ketika pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi (HET). Penetapan HET tidak efektif menahan laju kenaikan harga minyak goreng atau membuat minyak goreng menjadi tersedia di pasar (vide perbaikan permohonan hlm 6, 10, dan 13). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa berdasarkan data yang disampaikan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VI di DPR pada 24 Maret 2022, total kebutuhan rumah tangga terhadap minyak goreng tercatat ± 3.927 juta liter/tahun atau ± 327 juta liter/bulan. Selain itu, disampaikan pula bahwa pemenuhan kebutuhan minyak goreng telah diupayakan pemenuhannya melalui produksi dalam negeri sejumlah 3,3 juta liter/tahun berupa minyak goreng kemasan bermerek.
b. Bahwa upaya penyediaan kebutuhan pangan dalam negeri memerlukan perencanaan yang matang dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan, sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Penyusunan prognosa tersebut harus dilakukan secara tepat dan akurat agar perencanaan dan kebijakan yang diambil juga tepat sasaran. Prognosa neraca komoditas pangan strategis Januari-Desember 2022 disampaikan oleh Kementerian Pertanian pada Komisi IV pada 22 Maret 2022, komoditas minyak goreng pada awal tahun 2022 sejumlah 618.590 ton sedangkan perkiraan produksi dalam negeri 6.067.350 ton, sehingga total ketersediaan 6.685.940 ton. Perkiraan kebutuhan minyak goreng pada tahun 2022 yaitu 5.969.376 ton sedangkan kebutuhan bulanan 497.448 ton sehingga stok akhir 716.564 ton. Kementerian Pertanian menyatakan secara nasional ketersediaan strategis 2022 dari produksi dalam negeri cukup aman.
Sehingga dapat diperhatikan kembali, apa yang diberitakan sebagai kelangkaan yang berakibat pada kenaikan harga minyak goreng disebabkan atas distribusi yang belum normal, bukan disebabkan minimnya pasokan.
c. Bahwa ketika terjadi gejolak harga pada bahan kebutuhan pokok dan/atau barang penting, pemerintah mengupayakan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga terjangkau salah satunya melalui penetapan kebijakan HET yang diatur dalam Peraturan Menteri, sebagaimana diperintahkan dalam ketentuan Pasal 7 Perpres 71/2015 sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1)
“Dalam kondisi tertentu yang dapat menanggung kegiatan perdagangan nasional, Pemerintah Pusat wajib menjamin pasokan dan stabilitas harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting”
Pasal 7
“Ketentuan mengenai kebijakan harga barang kebutuhan Pokok dan Barang Penting dalam rangka mengendalikan Ketersediaan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan menjamin pasokan dan stabilitas harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.”
Dengan demikian ditetapkannya Peraturan Menteri perdagangan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng curah pada 16 Maret 2022. Peraturan tersebut merupakan kebijakan yang didasarkan untuk menjaga stabilitas dan kepastian harga minyak goreng curah, serta keterjangkauan harga minyak goreng curah oleh konsumen, sehingga dipandang perlu untuk menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah pada saat terjadi gejolak harga barang kebutuhan pokok dimasyarakat. Dikeluarkannya kebijakan HET minyak goreng tersebut merupakan tindakan yang melawan mekanisme pasar, oleh karena itu tidak dapat berjalan sesuai harapan. Meski demikian DPR tetap mendorong Pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia dengan harga terjangkau mengingat kondisi perekonomian yang juga belum stabil pasca pandemi covid-19 mengakibatkan peningkatan beban ekonomi masyarakat.
d. Bahwa kondisi yang tidak sesuai harapan tersebut merupakan salah satu pertimbangan dicabutnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit karena dianggap tidak efisien sehingga diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah. Dalam hal ini, DPR beranggapan bahwa Pemerintah yang kurang tegas dalam menindak pihak-pihak yang dengan sengaja menyembunyikan minyak goreng yang telah dinyatakan oleh Kementerian Perdagangan bahwa pasokan minyak goreng, seperti di Sumatera, mengalami surpus namun tidak ditemukan di minimarket dan pasar rakyat (https://www.dw.com/id/het-minyak-goreng-dicabut-dpr-tak-berpihak-pada-rakyat/a-61168810).
e. Bahwa Pemerintah telah menyalurkan 120.123 ton minyak goreng curah pada 1-22 Mei 2022 atau 61,72% dari total konsumsi minyak goreng curah nasional per bulan. Namun demikian, harga minyak goreng curah masih belum mencapai harga eceran tertinggi (HET) senilai Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) mendata rata-rata harga minyak goreng curah nasional senilai Rp 18.550 per Kg pada tanggal 25 Mei 2022. Provinsi dengan rata-rata harga minyak goreng curah yang sesuai HET hanya terjadi di Bengkulu, yakni Rp 14.250 per Kg.
(https://katadata.co.id/tiakomalasari/berita/628dedeb2ff2b/alasan-harga-minyak-goreng-masih-di-atas-het-meski-pasokan-melimpah)
f. Bahwa Presiden pada kunjungannya di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 21 Mei 2022 menegaskan bahwa dunia termasuk Indonesia, tengah dihadapkan pada kenaikan harga pangan dan energi yang signifikan, karena harga minyak goreng terutama di Eropa dan Amerika mengalami kenaikan tinggi, dan diikuti kenaikan harga dalam negeri. (https://money.kompas.com/read/2022/05/22/123522226/antisipasi-lonjakan-harga-pangan-dan-energi-jokowi-fokus-cegah-kenaikan-harga?page=all). Oleh karena itu, produsen minyak goreng dalam negeri lebih memilih mengekspor sehingga Pemerintah memutuskan memberlakukan beberapa kebijakan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng berupa Peraturan Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Perindustrian, dan Peraturan Menteri Keuangan sebagai berikut:
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 terkait penyediaan minyak goreng kemasan sederhana dengan skema pembiayaan dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), terbit pada 11 Januari 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 terkait penerapan mekanisme kebijakan Domestic Market Obligation kepada ekportir yang akan melakukan ekspor CPO, RBD Olein dan UCO, terbit pada 18 Januari 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 terkait kebijakan satu harga minyak goreng dengan harga setara Rp 14.000,-/liter yang diberlakukan untuk pasar modern dan pasar tradisional, terbit 19 Januari 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2022 terkait Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor, terbit pada 8 Februari 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah, pada tanggal 16 Maret 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2022 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 tahun 2021, terbit pada 17 Maret 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached And Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached And Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil yang telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached And Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached And Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil, yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2022;
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 terkait pendistribusian minyak goreng curah untuk kebutuhan masyarakat, usaha mikro kecil melalui skema pembiayan melalui BPDPKS, terbit pada 18 Maret 2022;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2022 tetang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat, pada tanggal 22 Mei 2022; dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
g. Bahwa sebagai upaya untuk mengendalikan ketersediaan bahan pokok dalam hal ini yaitu minyak goreng, penerbitan kebijakan oleh Pemerintah dengan menaikkan pajak ekspor minyak sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, berlandaskan untuk mendorong peningkatan pasokan bahan dasar pokok dari minyak goreng sehingga diupayakan dapat memberikan kestabilan harga minyak goreng serta pasokan bahan baku. Sebagaimana hal ini merupakan bentuk penerbitan kebijakan dengan berkoordinasi antara kementerian. Lebih dari itu ketentuan Perpres 71/2015 yang mengutarakan terkait: menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik, mengelola ekspor-impor telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
h. Sebagaimana uraian diatas maka dalil Pemohon yang menyatakan tindakan penimbunan/penyimpanan oleh pelaku usaha dan jaringan distribusinya menyebabkan minyak goreng menjadi langka apalagi ketika pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi (HET) merupakan dalil yang kurang tepat karena Pemerintah dibawah pengawasan DPR telah berupaya dengan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana diuraikan diatas yang menyesuaikan dengan kondisi serta sebagai upaya mengantisipasi tidak terjadi kondisi yang tidak diharapkan di masyarakat
7. Bahwa Pemohon mendalilkan jika terjadi kelangkaan dan berakibat naiknya harga, tindakan penyimpanan yang dilakukan oleh pelaku usaha dilarang sama sekali sesuai dengan maksud dan tujuan adanya pelarangan, terlebih apabila penyimpanan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar (vide perbaikan permohonan hlm 6 dan 13). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa hukum adalah salah satu sarana yang dipergunakan negara untuk menyelenggarakan fungsi guna mencapai tujuan. … Hukum dimaksudkan, antara lain, untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan masyarakat supaya tidak terjadi benturan antar anggota atau antar komunitas yang berada di dalam masyarakat, atau setidak-tidaknya benturan tersebut dapat diminimalisasi. Selain itu dalam kehidupan kenegaraan, hukum juga mengatur hubungan antara negara dan masyarakat. Untuk maksud tersebut hukum mengorganisasikan berbagai kepentingan dengan cara memberikan perlindungan di satu pihak dan melakukan pembatasan di pihak lain. Hukum memberikan perlindungan dengan memberikan kekuasaan kepada subjek hukum tertentu dan membebankan kewajiban kepada subjek hukum yang lain (vide Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013).
b. Bahwa sebagaimana pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
c. Bahwa pelarangan sama sekali penyimpanan suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan tanpa adanya kriteria jumlah dan/atau waktu tertentu justru akan berakibat pada sulitnya masyarakat untuk bertahan ketika terjadi kelangkaan, namun pembatasan-pembatasan perlu dilakukan agar tidak terjadi penimbunan yang berdampak pada semakin sulitnya kondisi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas barang kebutuhan pokok maupun barang penting.
d. Bahwa lemahnya pengawasan dalam penyimpanan dan pendistribusian barang menjadi permasalahan dalam mencegah adanya kecurangan-kecurangan pelaku usaha yang mengakibatkan kelangkaan barang dan kenaikan harga barang. Oleh karenanya, idealnya satgas pangan, Polri, maupun aparat penegak hukum harus melakukan tindakan tegas bagi para pelaku pelanggaran hukum.
e. Bahwa pelanggaran atas ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Perdagangan:
“pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliyar rupiah).”
Bahwa berlakunya ketentuan Pasal 107 UU Perdagangan akan memperkuat ketentuan Pasal 29 ayat (1) sehingga pelaku usaha yang melanggar mendapatkan sanksi yang tegas.
f. Bahwa pelarangan atas penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting ini dilakukan dimulai sedari produsen sampai kepada pelaku usaha akhir. Ketentuan pelarangan ini telah diatur secara harmonis dalam peraturan perundang-undangan diantaranya UU Perdagangan dan UU Pangan termasuk peraturan pelaksanaannya, dalam konteks permasalahan tentang penyimpanan minyak goreng. Terkait larangan sekaligus juga ancaman hukum bagi pelaku penimbunan pangan atau penyimpanan pangan pokok melebihi jumlah maksimal sudah diatur juga secara jelas dan tegas didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya disebut dengan UU Pangan) dalam Pasal 53 UU Pangan:
“Pelaku usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.”
Dikenakan ketentuan pidana dalam Pasal 133 UU Pangan yaitu:
“Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan turut bersinggungan dengan UU Pangan dalam hal komoditas pangan, dapat memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan jaringan perdagangan khususnya perdagangan komoditas pangan.
g. Bahwa adapun ketentuan Pasal 52 UU Pangan dalam hal perdagangan pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan yang diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan Pemerintah. Kemudian pendelegasian lebih lanjut dari Pasal 52 ayat (2) UU Pangan tersebut diatur di dalam Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan (PP Ketahanan Pangan), yang pada intinya mengatur terkait dengan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
h. Selain itu, pelarangan tersebut juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 26 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah Untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, Dan Usaha Kecil. Jaminan atas penegakan ketentuan tersebut diperkuat dengan tim pengawas yang paling sedikit terdiri atas perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdaganga, Kementerian Keuangan, Satuan Tugas Pangan Kepolisian Republik Indonesia, pemerintah daerah, dan BPDPKS.
i. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 (UU Pembentukan PUU), pengaturan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota. Sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliyar rupiah), maka berdasarkan ketentuan dalam UU Pembentukan PUU pengaturan ini telah sesuai dengan ketentuan yang ada dan berlaku.
j. Bahwa berdasarkan uraian diatas, pelarangan penyimpanan barang bahan kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan pada dasarnya tidak hanya mengatur perdagangan minyak goreng saja tetapi komoditas perdagangan secara umum. Pelarangan penyimpanan diatas batas jumlah dan waktu yang ditentukan tersebut dikuatkan oleh pengaturan dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur secara spesifik komoditas perdagangan. Oleh karena itu jika petitum Pemohon dikabulkan maka hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak terlindunginya pihak-pihak pelaku perdagangan sampai kepada konsumen akhir.
8. Bahwa dalam skala nasional, masalah yang timbul di bidang ekonomi tidak sederhana. Perubahan orientasi perekonomian nasional ke arah pasar ekspor, membawa berbagai konsekuensi termasuk di dalamnya kebutuhan peningkatan kegiatan perdagangan luar negeri. Secara umum, ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia juga dilatarbelakangi oleh perubahan-perubahan yang terus terjadi secara cepat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional, keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta kemantapan sistem perdagangan internasional di samping kemampuan penyesuaian ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia, adalah tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam hubungan perdagangan antar negara. Tatanan dimaksud adalah General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan). Persetujuan tersebut terwujud dalam tahun 1947, dan Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan tersebut sejak tanggal 24 Pebruari 1950. Selain itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani pembentukan organisasi perdagagan dunia (WTO) sebagai rangkaian perundingan Putaran Uruguay yang dimulai sejak Tahun 1986. Pengesahan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia tersebut dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
9. Bahwa dari segi tujuan, GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas, adil dan menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya. Sebagai tatanan multilateral yang memuat prinsip-prinsip perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa hubungan perdagangan antar negara dilakukan tanpa diskriminasi (non discrimination). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam GATT tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi negara tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama dan timbal balik dalam hubungan perdagangan internasional.
10. Bahwa dengan menyadari adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi negara-negara peserta GATT yang tidak memungkinkan terlaksananya berbagai ketentuan dan disiplin yang telah diatur, GATT mengakui perlunya perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang. Ketentuan GATT yang mengatur perlakuan khusus ini mengakui adanya negara berkembang yang memperoleh kondisi lebih menguntungkan dalam upaya mereka memasuki pasar dunia bagi produk-produknya. Negara-negara maju tidak boleh menerapkan hambatan terhadap ekspor komoditi primer dan produk lain yang merupakan kepentingan khusus negara-negara berkembang, dan khususnya negara-negara yang paling terbelakang. Negara-negara maju juga tidak boleh mengharapkan tindakan timbal balik dari negara-negara berkembang untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan yang berupa tarif atau non-tarif.
11. Bahwa terjadinya kenaikan harga minyak goreng internasional, berpengaruh pada harga minyak goreng nasional. Hal inilah yang harus dipahami bersama sehingga permasalahan minyak goreng bukan permasalahan kelangkaan barang atau komoditas dagang melainkan kenaikan harga nasional sebagai dampak dari perdagangan global yang tidak bisa dihindari.
12. Bahwa terkait permintaan pemaknaan baru dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang dikemukakan pada bagian petitum perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana didalilkan menyatakan frasa “pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah waktu tertentu” tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “penyimpanan barang oleh pelaku usaha dilarang dalam hal terjadi kelangkaan barang, terjadi gejolak harga dan/atau tidak terdapat hambatan lalu lintas perdagangan barang”, DPR berpandangan bahwa diubahnya ketentuan yang menjadi parameter jumlah dan waktu tertentu dengan “tidak terdapat hambatan lalu lintas perdagangan barang”, maka hal ini menimbulkan suatu permasalahan apabila terdapat suatu kendala dalam distribusi komoditas dagang. Sebagai contoh, terjadinya bencana alam menjadi salah satu kendala atas pengiriman atau pendistribusian barang atau komoditas dagang ke daerah yang menjadi tujuan pengiriman atau pendistribusian tersebut. Selain itu, apa yang diminta oleh Pemohon dalam petitumnya ini termasuk pemaknaan baru terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang sebenarnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden. Oleh karenanya, seyogyanya Pemohon mengajukan usul perubahan UU Perdagangan kepada DPR.
13. Bahwa terhadap permasalahan pangan, DPR khususnya Komisi IV memberikan perhatian lebih dalam upaya membangun ketahanan pangan nasional. Permasalahan tingginya harga minyak goreng yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia sejak awal tahun 2022 ini tidak hanya menyita perhatian Komisi IV, namun juga Komisi VI dan Komisi VII DPR. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia, DPR mendorong Pemerintah untuk mengoptimalkan sediaan minyak nasional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dapat dijangkau dengan harga murah serta mendorong perbaikan pengelolaan bahan pangan nasional dari hulu ke hilir.
14. Bahwa pemerintah sejauh ini telah melakukan upaya untuk menekan tingginya harga minyak goreng dan komoditas lainnya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat dan perkembangan perekonomian nasional. Sebagai contoh, pada rapat yang dilakukan di DPR pada 19 Mei 2022, Banggar DPR menyetujui penambahan alokasi APBN untuk subsidi energi, yakni BBM, LPG, dan listrik, untuk merespons kenaikan harga komoditas. Menteri Keuangan dalam rapat tersebut menyampaikan usulan penambahan bagi perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp18,6 triliun yang diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 20,65 juta kelompok penerima manfaat dan Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM).
51/PUU-XX/2022
Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan
Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430