Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal 54 UU HAP sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya bahwa Para Pemohon sebagai perorangan warga negara yang berprofesi sebagai advokat merasa dirugikan hak-haknya sebagai advokat untuk menegakkan supremasi hukum terutama alam hal memberikan bantuan hukum kepada saksi dan terperiksa dihadapan penyidik. Dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, dimana tidak adanya kepastian hukum terhadap hak pembelaan saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum, sehingga Para Pemohon mendalilkan perlu adanya tafsir yang tegas terhadap ketentuan pasal a quo sehingga tidak bertentangan dengan ketentuan batu uji yang dimohonkan yaitu Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 14)
Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa terkait dengan batu uji Para Pemohon yang didalilkan yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang pada intinya mengatur mengenai hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam hal ini Para Pemohon sama sekali tidak menguraikan dalam hal apa ketentuan Pasal a quo dapat mengurangi hal konstitusional Para Pemohon dalam memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya karena Para Pemohon tetap dapat memperjuangkan haknya secara kolektif sebagai Advokat dalam hal melakukan pembelaan terhadap setiap orang yang memang menjadi kliennya.
Bahwa terkait dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, dalam hal ini ketentuan Pasal a quo sama sekali tidak menghalangi Para Pemohon untuk menjalankan profesinya dalam rangka memberikan pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasihat dan/atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan/atau membela hak-hak serta kepentingan klien baik dalam persidangan maupun di luar persidangan dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo. Sehingga menjadi tidak relevan jika Para Pemohon menjadikan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji.
2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dan pemberi bantuan hukum, tidak menguraikan secara jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional akibat pemberlakuan Pasal a quo. Selain itu, norma yang dimohonkan dalam Permohonan a quo tidak mengatur mengenai kewenangan Advokat, melainkan hak bagi Tersangka dan Terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan dari Penasihat Hukum.
Bahwa Para Pemohon mendalilkan kerugian hak yang dialaminya, sekaligus kerugian hak masyarakat atau pencari keadilan yang belum berstatus Tersangka atau Terdakwa, untuk memperoleh hak hukumnya didampingi oleh Advokat/Penasihat Hukum (vide Perbaikan Permohonan hal. 14 angka 34). Terhadap dalil kerugian tersebut DPR berpandangan bahwa hal tersebut merupakan dalil yang tidak jelas karena berdasarkan asumsi Para Pemohon. Bahwa ketentuan Pasal a quo memang diberlakukan bagi Tersangka dan Terdakwa yang dalam proses penegakan hukum pidana terdapat konsekuensi hukum terhadapnya, sehingga bagi Tersangka dan Terdakwa diperlukan bantuan hukum berupa pembelaan, sebagai wujud implementasi adanya jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Bahwa kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon tersebut hanya berdasarkan asumsi Para Pemohon, selain itu dalil kerugian Para Pemohon juga tidak dibangun dengan konstruksi yang singkat, jelas, dan fokus, dimana Para Pemohon tidak dapat mengkorelasikan kerugian yang dialami dengan ketentuan pasal a quo. Para Pemohon hanya menafsirkan sendiri dengan pemaknaan yang didasarkan pada asumsi tanpa terlebih dahulu memahami apa yang menjadi maksud dari ketentuan Pasal a quo.
3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa tidak benar ketentuan Pasal a quo yang didalilkan oleh Para Pemohon telah menghalang-halangi dalam menjalankan profesi Advokatnya dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan. Selain itu, juga tidak tepat jika dikatakan pada sisi lain tidak adanya kepastian hukum atau jaminan bagi masyarakat atau pencari keadilan yang berstatus sebagai saksi untuk memperoleh hak hukumnya didampingi oleh Advokat/Penasihat Hukum. Konteks pengaturan Saksi, Tersangka, dan Terdakwa berbeda sehingga pemeriksaan subyek hukum yang tidak berstatus Tersangka atau Terdakwa tidak memerlukan pembelaan dalam konteks pendampingan. Oleh karenanya, terhadap mereka yang tidak berstatus sebagai Tersangka atau Terdakwa tidak memiliki konsekuensi/akibat hukum tertentu yang mengakibatkan adanya pembatasan Hak Asasi Manusia. Bahkan sebaliknya, masyarakat atau pencari keadilan tersebut diharapkan dapat memberikan keterangan dengan sebenarnya dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana tanpa perlu didampingi. Dengan demikian, tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa Para Pemohon tidak menguraikan hubungan pertautan antara Pasal yang dijadikan batu uji dengan ketentuan yang dimohonkan pengujian maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon menjadi tidak jelas. Dengan tidak ditemukannya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya Pasal a quo sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon yang nyata-nyata merupakan kekhawatiran Para Pemohon saja maka telah jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan ketentuan dalam UU a quo yang dimohonkan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, maka dikabulkan atau tidak permohonan Para Pemohon oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon. Sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon.
Pokok Permohonan:
1. Bahwa UU HAP sebagai pembaharuan atas hukum acara pidana yang sekaligus dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk menghimpun ketentuan acara pidana, yang pada saat pembentukan UU HAP tersebut masih terdapat dalam berbagai undang-undang ke dalam satu undang-undang hukum acara pidana sesuai dengan tujuan kodifikasi dan unifikasi. Lebih lanjut, DPR perlu memberikan penjabaran terkait dengan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai berikut:
a. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
b. Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.
c. Bahwa hukum acara pidana sebagaimana termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (lembaran Negera Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) berikut semua peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita hukum nasional.
d. Bahwa oleh karena itu perlu membentuk undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana sehingga menjadi dasar utama negara hukum dapat ditegakkan.
2. Bahwa ketentuan Pasal 54 UU HAP merupakan bentuk jaminan pemberian hak dari undang-undang untuk Tersangka atau Terdakwa mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum. Ketentuan dalam UU HAP telah memberikan batasan yang tegas antara definisi saksi sebagaimana telah diuraikan diatas dengan definisi tersangka atau terdakwa yang sejatinya adalah berbeda, sebagaimana berketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 14 UU HAP:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 1 angka 15 UU HAP:
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
Pasal 1 angka 26 UU HAP:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 UU HAP:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 definisi dan ketentuan mengenai Saksi sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a UU HAP dimaknai menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.”
3. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa Saksi adalah orang yang memberikan informasi mengenai fakta hukum yang sebenarnya terjadi, oleh karena itu Saksi dapat memberikan keterangan mengenai fakta hukum tersebut kepada aparat penegak hukum secara langsung tanpa perlu kehadiran dari Advokat/Penasihat Hukum. Karena sifatnya sebagai pihak yang memberikan keterangan dan keterangan tersebut berfungsi sebagai alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat (1) UU HAP, maka tidak terdapat konsekuensi hukum dalam pemeriksaan Saksi. Benang merah dari definisi Saksi sebelum dan sesudah adanya perluasan makna berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yaitu adanya penekanan tetaplah terhadap frasa “penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana”. Artinya Saksi dalam memberikan keterangan dalam tahap manapun tidak diperlukan suatu pendampingan oleh Advokat/Penasihat Hukum karena Saksi hanya menyampaikan fakta dan keterangan yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri yang diberikan oleh Saksi tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti di persidangan.
4. Berdasarkan ketentuan mengenai Saksi, Tersangka, atau Terdakwa yang diatur dalam UU HAP dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah memberikan polarisasi yang tegas antara Saksi dan Tersangka atau Terdakwa. Bahwa perbedaan itu terlihat jelas, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 UU HAP yang telah memenuhi 2 (dua) alat bukti yang salah satunya adalah keterangan saksi. Oleh karena itu, nyata sekali berbeda antara Saksi, Tersangka, atau Terdakwa.
5. Bahwa Para Pemohon mendalilkan pada intinya seringkali orang yang diperiksa sebagai Saksi dikemudian hari tanpa pemberitahuan diubah statusnya menjadi Tersangka oleh Penyidik, kemudian dipanggil kembali untuk diperiksa sebagai Tersangka yang merugikan hak hukum seorang Saksi (vide Perbaikan Permohonan hal. 28 angka 88).
Terkait dalil Para Pemohon tersebut DPR berpandangan, ketentuan Pasal a quo tidak menghalangi Para Pemohon untuk dapat menjalankan profesinya untuk memberikan bantuan hukum sebelum pemeriksaan terhadap Saksi dimulai, dan jika dikemudian hari Saksi ditetapkan menjadi Tersangka atau Terdakwa, Para Pemohon dapat turut serta untuk mendampingi memberikan bantuan hukum sebagaimana hak dan kewajiban seorang Advokat/Penasihat Hukum. Sehingga ketentuan Pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
6. Ditetapkannya Saksi menjadi Tersangka atau Terdakwa bukan akibat tidak didampinginya Saksi yang bersangkutan oleh Advokat/Penasihat Hukum, hal tersebut memang karena berdasarkan fakta yang dikemukan dalam pemberian keterangan Saksi yang bersangkutan perlu dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya, bukan atas dasar substansi keterangan Saksi yang bersangkutan sebagai Saksi Pelaku yang mendapat bantuan hukum karena kedudukannya sebagai pihak atau saksi yang disangka melakukan tindak pidana. Dengan demikian, Saksi baru kemudian berhadapan dengan hukum, apabila kemudian dalam memberikan keterangan terbukti tidak jujur, yang artinya tidak sebagaimana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.
7. Terkait dengan bantuan hukum oleh Advokat/Penasihat Hukum bersifat terbatas dimana Saksi hanya dapat didampingi secara sebelum pemeriksaan dimulai sudah sejalan dengan konsep dari criminal justice system, bahwa Saksi diposisikan sebagai alat bukti untuk mencari kebenaran substantif. Hal tersebut bertujuan untuk menemukan fakta-fakta terkait dengan penyidikan, dimana ketika saksi memberikan keterangan yang tidak sesuai pun memiliki konsekuensi dapat dijatuhi sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 242 KUHP yang pada intinya mengatur mengenai ketentuan Pidana bagi setiap orang yang memberikan sumpah palsu dan/ atau keterangan palsu.
8. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami jika Saksi merupakan pihak yang belum disangkakan sebagai Pelaku tindak pidana sehingga dalam penanganannya tentunya sangat diharuskan untuk menerapkan prinsip-prinsip Presumption of Innocence (Asas Praduga Tidak Bersalah) dan menegakkan Prinsip Equality Before the Law (Semua orang sama di mata hukum). Sehingga harus dipahami dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, maka pemeriksaan Saksi harus sesuai dengan prosedur yang semestinya tanpa adanya hak asasi yang dilanggar. Dengan demikian, Para Pemohon tidak perlu khawatir Saksi akan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.
9. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (UU Perlindungan Saksi dan Korban), pada intinya juga memberikan kewenangan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai organ negara untuk memberikan pendampingan bagi pihak Saksi atau Korban pada semua tahap proses peradilan pidana. Hal ini merupakan suatu upaya dari pembentuk undang-undang untuk memberikan rasa aman bagi setiap orang yang menjadi saksi atau korban dalam peradilan pidana. Namun, perlindungan yang diberikan oleh LPSK adalah sebatas pada perlindungan hukum tetapi tidak untuk kepentingan pembelaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 UU a quo.
10. Bahwa terkait dengan Petitum Para Pemohon yang meminta agar keseluruhan BAB VI UU HAP dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa, DPR berpandangan bahwa Bab VI UU HAP tidak hanya mengatur mengenai pemeriksaan Tersangka dan Terdakwa namun mengatur mengenai hak Tersangka dan Terdakwa secara keseluruhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Subjek Pengaturan dari Bab VI UU HAP adalah Tersangka dan Terdakwa. Dengan demikian, apabila ketentuan mengenai Saksi dan Terperiksa disisipkan ke dalam pengaturan dalam BAB VI UU HAP, maka hal tersebut akan merusak sistematika dari UU HAP tersebut. Selain itu penyisipan Saksi dan Terperiksa dalam BAB VI UU HAP akan menimbulkan ketidakpastian hukum terkait materi muatan dari Bab VI UU HAP. Hal ini sebagaimana juga telah disampaikan oleh Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. kepada Para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tertanggal 24 Mei 2022. Tetapi dalam perbaikan permohonan, Para Pemohon tidak mengikuti arahan atau masukan dari Majelis Hakim Konstitusi tersebut, dengan tetap meminta agar BAB VI UU HAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dinyatakan dalam petitum Para Pemohon.
11. Bahwa, jika Para Pemohon menginginkan adanya perubahan materi muatan mengenai hak Saksi untuk dapat didampingi Advokat/Penasihat Hukum dalam UU a quo maka Para Pemohon dapat memberikan masukan materi perubahan UU HAP kepada DPR mengingat Rancangan Undang-Undang Perubahan UU HAP sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dengan nomor urut 294.
12. Bahwa praktik pendampingan oleh Advokat/Penasihat Hukum hanya diberikan kepada Tersangka dan Terdakwa juga diberlakukan oleh negara-negara lain di dunia dimana instrumen hukum internasional juga mengatur demikian. Ketentuan hukum internasional dan hukum nasional negara lain terkait dengan hukum pidana, dapat dicermati Instrumen hukum internasional yang mengatur hak-hak sipil dan politik, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Selain itu, untuk keperluan perbandingan, akan dirujuk European Convention on Human Rights (ECHR), instrumen hukum internasional di Eropa yang mengatur tentang hak asasi manusia. Kedua, akan diuraikan pengaturan hak mendapatkan bantuan hukum (right to counsel) dalam beberapa negara, yaitu: Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, dan Singapura. Amerika Serikat dan Inggris dipilih untuk menunjukkan konsep hak mendapatkan bantuan hukum di negara-negara common law, sementara Jerman dan Belanda dibahas karena merupakan negara civil law yang memiliki kesamaan akar dan sistem hukum dengan Indonesia. Singapura dianalisis sebagai contoh negara Asia Tenggara. Isu yang akan dianalisis adalah pengaturan hak mendapatkan bantuan hukum serta subjek-subjek yang tercakup di dalamnya.
a. ICCPR sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sehingga telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. ICCPR secara tegas mengatur bahwa hak mendapatkan bantuan hukum adalah hak yang khusus dimiliki oleh orang yang dituduh melakukan tindak pidana (charged with a criminal offence). Hak tersebut diatur dalam Pasal 14 ayat (3) huruf d, yaitu:
“Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh…
d. untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela, dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya.”
b. Sejalan dengan ICCPR, ECHR juga mengatur bahwa hak mendapatkan bantuan hukum hanya dimiliki oleh orang yang dituduh melakukan tindak pidana, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf c, yaitu:
“Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak-hak minimal berikut:
c. Untuk membela diri secara langsung atau melalui bantuan hukum yang dipilihnya sendiri atau jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar bantuan hukum, untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma demi kepentingan keadilan.
c. Di Amerika Serikat, hak mendapatkan bantuan hukum dijamin oleh amandemen keenam Konstitusi Amerika Serikat. Hak mendapatkan bantuan hukum tersebut hanya dimiliki oleh seorang Terdakwa dalam penuntutan pidana. Dalam semua penuntutan pidana, Terdakwa harus menikmati hak atas pengadilan yang cepat dan terbuka oleh juri yang imparsial dari negara bagian atau distrik di mana tindak pidana dilakukan. Distrik mana telah ditentukan oleh hukum dan untuk diberitahu tentang sifat dan penyebab dakwaan, dihadapkan dengan saksi-saksi yang memberatkannya untuk memiliki proses wajib untuk mendapatkan Saksi yang menguntungkannya, dan untuk memiliki bantuan penasihat untuk pembelaannya.
13. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan ketentuan Pasal 54 UU HAP telah sesuai dengan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, serta telah harmonis dengan ide universal yang dianut dalam instrumen hukum internasional dan hukum positif negara-negara dunia. Bahwa hak mendapatkan bantuan hukum adalah hak khusus yang dimiliki tersangka atau terdakwa.
14. Bahwa pasca lahirnya UU HAP, telah terbit berbagai Undang-Undang yang mengadopsi prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang memberikan ruang bagi Saksi untuk didampingi Advokat/Penasihat Hukum dalam memberikan keterangan seperti:
a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) ditegaskan bahwa:
“setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat Penyidikan sampai adanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dalam ketentuannya menyebutkan bahwa:
Pasal 1 angka 1
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”
Pasal 1 angka 2
“Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan Konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.
Ketentuan ini dapat dimaknai bahwa Advokat dapat memberikan jasa hukum termasuk mendampingi dan membela setiap orang yang menjadi Kliennya tanpa memperhatikan status Kliennya di mata hukum. Selain itu Advokat juga diberi kewenangan untuk melakukan pendampingan hukum sampai pada tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Oleh karena itu, terhadap kewajiban pendampingan Advokat/Penasihat Hukum dalam pemeriksaan Saksi yang dimintakan oleh Para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai konstitusionalitas ketentuan Pasal a quo yang diujikan oleh Para Pemohon.
15. Bahwa terkait dengan adanya revisi UU HAP masukan, aspirasi, tawaran materi muatan, dan usulan akan menjadi bagian dari pembahasan dan dapat disampaikan kepada DPR maupun Pemerintah dalam dalam konteks penyempurnaan RUU UU HAP yang saat ini sudah masuk dalam prolegnas prioritas Nomor 294. Akan tetapi, apakah usulan tersebut akan disetujui untuk diubah atau tidak nantinya akan menjadi permasalahan tersendiri. Bahwa hak Saksi maupun hak Advokat/Penasihat Hukum sebagaimana dinyatakan dalam UU Advokat untuk bisa mendampingi kliennya dalam semua tahapan, akan menjadi pengayaan pembentuk Undang-Undang dalam revisi UU HAP dengan mempertimbangkan postur UU HAP yang ternyata bersifat universal. Dimana hampir di semua negara mengatur mengenai criminal justice system yang polanya sama dengan pengtauran UU HAP. Lebih lanjut, UU Advokat, UU HAM, Perkap 8/2009, ICCPR, dan ECHR yang terbit setelah adanya UU HAP yang mengatur terkait dengan hak Advokat/Penasihat Hukum dalam pendampingan kliennya. DPR bersama Pemerintah memastikan dalam membuat undangundang yang sesuai dengan rasio legis begitu pula dalam revisi UU HAP. Sehingga tidak menghilangkan hak Saksi untuk didampingi oleh Advokat/Penasihat Hukum, akan ktetapi hak itu diberikan ketika Saksi menjadi Tersangka. Karena ketika menjadi Saksi, penegak hukum dibebani kewajiban hukum untuk mencari kebenaran substantif melalui Saksi yang menyatakan fakta dan kebenaran tidak perlu didampingi orang dengan pertimbangan pendampingnya pun tidak mengetahui fakta dan kebenaran yang sebenarnya akan diminta oleh penyidik.
61/PUU-XX/2022
Pasal 54 UU HAP
Pasal 28C ayat (2) dam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430