Kerugian Konstitusional:
Dengan tidak ada penjelasan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP maka hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, oleh Pemohon dinilai surat dakwaan tersebut dapat diajukan kembali berulang-ulang oleh Penuntut Umum tanpa adanya titik terang penyelesaian (Vide perbaikan permohonan Pemohon hal. 21)
Legal Standing:
1. Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR berpendapat Pemohon terlebih dahulu harus membuktikan kedudukan hukum Pemohon untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK No. 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
2. Bahwa sebagai warga negara yang sedang berhadapan dengan proses hukum pidana, Pemohon memang memiliki hak konstittusional atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan juga jaminan atas prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun demikian, yang harus dapat dibuktikan oleh Pemohon adalah apakah dalil-dalil Pemohon yang menjadi alasan diajukannya Permohonan Pengujian Undang-Undang merupakan akibat dari keberlakuan dan/atau penafsiran norma pasal, ayat dan/atau frasa yang dimohonkan pengujiannya, ataukah akibat permasalahan penerapan pasal yang dimaksud oleh aparat penegak hukum yang tidak memiliki hubungan langsung sebab akibat (casual verband) dengan hak konstitutisional Pemohon. Apabila alasan kerugian hak konstittusional Pemohon bukan merupakan akibat dari norma undang-undang melainkan akibat dari permasalahan kebijakan, tindakan atau keputusan aparat penegak hukum atas penerapan pasal dalam suatu undang-undang, maka Pemohon tidak memiiki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohoan Pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi.
3. Berdasarkan hal tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK No. 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pokok Permohonan:
1. Bahwa Dalam Perbaikan Permohonan Uji Materi atas Pasal 143 ayat (3) KUHAP terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pemohon menerangkan ia pernah didakwa sebanyak tiga kali oleh Kejaksaan Negeri Purwokerto di Pengadilan Negeri Purwokerto dan terhadap ketiga dakwaan tersebut telah terdapat enam putusan: tiga putusan Pengadilan negeri Purwokerto dengan putusan dakwaan batal demi hukum dan tiga putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto bahwa dakwaan batal demi hukum.
Terhadap pengalamannya tersebut, pemohon menilai tidak ada kepastian hukum pada kasusnya karena melalui Pasal 143 ayat (3) KUHAP surat dakwaan menjadi dapat diajukan kembali berulang-ulang oleh Penuntut Umum tanpa adanya titik terang penyelesaian. Oleh karena itu, melalui petitumnya, pemohon memohon agar frasa ‘batal demi hukum’ dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat didakwa kembali hanya satu kali setelah melalui proses penyidikan baru.”
2. Bahwa pertanyaan hukumnya adalah apakah kerugian berupa ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang didalilkan Pemohon merupakan akibat dari keberlakuan dan/atau penafsiran yang tidak jelas dari norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP sehingga perlu adanya pernafsiran konstitusional atas norma yang diujikan, ataukah kerugian Pemohon sebenarnya adalah akibat dari penerapan KUHAP oleh aparat penegak hukum yang tidak tepat atau tidak profesional atau tidak hati-hati (prudent) yang menimbulkan kerugian bagi Pemohon? DPR RI berpandangan jika benar kerugian yang dialami Pemohon akibat dari ketidakjelasan norma undang-undang maka tafsir konstitusi dapat diberikan Mahkamah melalui amar putusan atau dapat pula melalui pertimbangan hukum putusan sebagai pedoman penerapan pasal dimaksud. Namun jika kerugian yang dialami Pemohon akibat kesalahan penerapan pasal dan bukan persoalan konstitutionalitas maka Pemohon dapat menempuh upaya hukum lain yang tersedia dalam aturan perundang-undangan untuk mendapatkan keadilan.
3. Bahwa secara doktriner, berdasarkan Yahya Harahap, dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 449) menjelaskan bahwa Pasal 143 ayat (3) KUHAP mengancam dengan tegas bahwa surat dakwaan yang tidak lengkap memuat syarat materiil dakwaan mengakibatkan surat dakwaan “batal demi hukum”. Maka surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materiil merupakan surat dakwaan yang null and void. Namun demikian, sifat batal demi hukum yang ditentukan Pasal 143 ayat (3) KUHAP tidak murni secara mutlak. Masih diperlukan adanya pernyataan batal dari hakim yang memeriksa perkara, dalam bentuk Putusan (Putusan Sela) yang diawali pengajuan exceptie oleh Terdakwa.
4. Bahwa pada tataran implementasi surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh hakim dimuat dalam putusan yang dalam pertimbangannya dengan mendasarkan bahwa surat dakwaan tersebut tidak sah atau tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Putusan sela yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum tersebut belum sampai pemeriksaan pokok perkara tindak pidana, oleh karena itu putusan sela tidak dapat digolongkan sebagai putusan akhir karena belum ada diktum/amar tentang pemidanaan Pasal 193 KUHAP jo. 197 KUHAP maupun pembebasan vrijspraak atau pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 191 KUHAP jo. Pasal 194 KUHAP.
5. Bahwa surat dakwaan yang diputus batal demi hukum dan diperbaiki oleh penuntut umum tidak dapat digolongkan/tidak dapat dinilai sebagai perkara yang ne bis in idem sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 76 KUHP dikarenakan putusan Pengadilan tersebut tidak didasarkan pada pemeriksaan terhadap pokok perkara yang didakwakan atau belum menyentuh pokok perkara yang didakwakan. Syarat yang dibebankan oleh ketentuan tersebut terdiri dari 3 komponen, yaitu:
a. Pelakunya adalah satu orang tertentu
b. Perbuatannya adalah satu perbuatan tertentu
c. Sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang mengadili perbuatan tersebut
Oleh karena itu, penuntut umum tetap dibenarkan untuk menyusun dakwaan terhadap Pemohon mengingat pokok perkara yang dipersoalkan belum pernah diadili oleh pengadilan.
6. KUHAP tidak mengatur batas maksimal yang diperkenakan bagi penuntut umum untuk menyusun dakwaan baru sebagai respon dari dakwaan yang telah dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Konteks pengaturan KUHAP terbatas pada syarat formil dan materiil penyusunan surat dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Sepanjang belum diperiksa pokok perkaranya, penuntut umum dibenarkan untuk mengajukan dakwaan baru dalam perkara tersebut. Skema ‘pembatasan’ pengajuan dakwaan untuk satu perkara pidana hanya ditemukan dalam kerangka daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 78-81 KUHP. Dengan melihat pada tempus delicti tindak pidana yang didakwakan kepada pelaku dan menghubungkannya dengan serangkaian ketentuan daluwarsa penuntutan tersebut, kita dapat menentukan secara pasti batas akhir penuntutan yang bisa dilakukan oleh Negara untuk memproses tindak pidana tersebut. Sepanjang proses penuntutan dilakukan dalam tenggang daluwarsa dimaksud, maka memang tidak ada ketentuan hukum yang dapat melarang penuntut umum mengajukan ulang dakwaan untuk perkara yang melibatkan Pemohon tersebut.
7. Meski demikian, pembatalan surat dakwaan hingga 6 (enam) kali oleh pengadilan sebagaimana yang didalilkan Pemohon mengindikasikan ketidaksempurnaan proses penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan maupun penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Peristiwa konkrit yang didalilkan Pemohon perlu untuk diperdalam apakah peristiwa tersebut dapat terjadi akibat dan adanya multi tafsir dari norma undang-undang ataukah lebih kepada kesalahan penerapan hukum atau ketidakprofesionalan penanganan perkara. Kemudian apakah peristiwa konkrit tersebut dapat terjadi pada subjek lain atau menjadi peristiwa umum akibat dari ketidakjelasan tafsir undang-undang ataukah peristiwa tersebut adalah peristiwa yang bersifat kasuistis sehingga penyelesaiannya juga harus kasuistis.
8. Dalam peristiwa yang didalilkan Pemohon perlu dilakukan klarifikasi lebih lanjut mengenai kecukupan bukti, strategi pembuktian, hingga integritas penanganan kasus untuk memproses perkara ke tahap berikutnya untuk mendapatkan kejelasan mengenai hal yang didalilkan.
- Dalam suatu proses penanganan perkara pidana, jika penuntut umum menemukan hal-hal yang mengindikasikan nihil/lemahnya kasus yang bisa dibangun ke persidangan, seharusnya kejaksaan tidak memaksakan perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan dan terdapat mekanisme penghentian penuntutan. Atau, Kejaksaan dapat mengembalikan berkas perkara ke penyidik untuk dilakukan penyidikan ulang, apabila ditemukan kendala yang berhubungan pengumpulan bukti pada tahap penyidikan.
- Apabila permasalahan yang didalilkan Pemohon bersumber pada kemampuan penuntut umum untuk menyusun surat dakwaan, kejaksaan dapat memperbaiki hal ini dengan menyediakan sejumlah kegiatan peningkatan kapasitas yang bersifat teknis untuk menghindari kekeliruan serupa di masa yang akan datang.
- Jika problem yang didalilkan Pemohon berkaitan dengan integritas penegak hukum dan penyalahgunaan wewenang, Pemohon dapat mengajukan pengaduan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan maupun Komisi Kejaksaan. Pemohon pun sebenarnya dapat menempuh upaya hukum praperadilan untuk mempersoalkan penetapan tersangka. Meski demikian, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XII/2015 yang menafsirkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permintaan praperadilan akan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.
9. Bahwa untuk menjamin penanganan perkara yang cermat dan hati-hati (prudent), berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan semestinya Kejaksaan dapat mengoptimalkan perannya sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam hal memberikan arahan sejak proses penyidikan untuk menghindari adanya kekeliruan atau kesulitan ketika menyusun surat dakwaan serta melakukan koordinasi dalam hal menyamakan strategi penanganan suatu perkara dan memastikan kecukupan bukti dan kelengkapan fakta untuk kelayakan tindak lanjut penanganan perkara.
10. Peristiwa sebagaimana yang didalilkan Pemohon, apabila benar merupakan kejadian konkrit, dapat juga menjadi bahan bagi perbaikan hukum acara pidana dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memang direncanakan akan dilakukan oleh DPR RI. Jaminan perlindungan hak-hak tersangka dan hak-hak terdakwa, pelaksanaan prinsip fair trial oleh aparat penegak hukum dan penguatan pengawasan peradlan (judicial scrutiny) terhadap pelanggaran yang terjadi dalam proses penanganan perkara menjadi menjadi penting bagi agenda revisi KUHAP di masa mendatang.
11. Berdasarkan hal-hal tersebut maka DPR RI berpandangan bahwa dalil-dalil Pemohon bukan merupakan dalil-dalil yang memiliki alasan hukum sebagai dalil untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat didakwa kembali hanya 1 (satu) kali setelah melalui proses penyidikan baru”. Kerugian yang didalilkan Pemohon merupakan peristiwa yang terjadi akibat dari ketidakhati-hatian dan ketidakcermatan dalam penerapan KUHAP yang seharusnya juga mengedepankan kepastian hukum, keadilan dan prinsip fair trial dan bukan persoalan konstitusionalitas.
28/PUU-XX/2022
Pasal 5 angka 1 huruf a KUHAP
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430