Kerugian Konstitusional:
1. Pemohon mendalilkan dalam permohonannya bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan mengandung ketidakpastian hukum yang melanggar hak-hak konstitusional Pemohon sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan beda agama.
2. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya, mengingat perkawinan di Indonesia melekat pada berbagai macam kultur, agama, budaya, suku, dan sebagainya dan hukum perkawinan yang berlaku juga bersifat pluralistis antara hukum adat, hukum agama, dan hukum negara yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan hukum.
Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hal. 7-8). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon hanya menyebutkan pasal-pasal batu uji tetapi tidak menguraikan satu persatu keterkaitan pasal-pasal tersebut dengan pokok permohonannya sehingga menjadi tidak jelas apa dan bagaimana sesungguhnya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 melalui batu uji yang digunakan tersebut.
b. Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bukanlah pasal yang mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan pasal yang mengatur mengenai kewajiban warga negara Indonesia untuk menaati hukum dan pemerintahan.
c. Bahwa Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan salah satu pasal yang menjadi dasar mengingat dalam UU Perkawinan sehingga justru merupakan bentuk jaminan hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Adapun mengenai perkawinan yang sah diatur lebih lanjut dalam UU Perkawinan sehingga hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon telah dijamin pemenuhannya oleh negara.
d. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan. Bahwa pasal-pasal tersebut justru teraktualisasikan dalam pasal-pasal a quo yang mengatur mengenai syarat sahnya perkawinan, pencatatan perkawinan, dan penyebab dilarangnya perkawinan dengan tetap menghormati agama dan kepercayaan yang dianut. Hal ini sejalan dengan Sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
e. Bahwa Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terlanggar sama sekali dengan ketentuan pasal-pasal a quo UU Perkawinan karena dalam melaksanakan kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, tentunya dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat termasuk nilai kepercayaan pemeluk agama lain.
f. Bahwa Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga tidak tepat Pemohon jadikan batu uji karena pasal-pasal dalam UU a quo justru memberikan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
g. Bahwa Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bukan merupakan pasal yang mengatur mengenai hak konstitusional melainkan mengatur mengenai negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu tidak relevan apabila dijadikan dasar adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon. Sedangkan terkait dengan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, hak konstitusional yang dijamin pasal tersebut tidak terlanggar dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU Perkawinan. Karena setiap orang atau penduduk termasuk Pemohon tetap dapat memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
h. Bahwa ketentuan dalam pasal-pasal UU a quo telah sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Pemohon hanya menyebutkan pasal-pasal batu uji tetapi tidak menguraikan keterkaitan pasal-pasal tersebut dengan pokok permohonannya selain itu Pemohon juga tidak menguraikan kerugian yang dialaminya sehingga hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya diangap dilanggar dengan berlakunya pasal-pasal a quo. Dengan demikian menjadi tidak jelas kerugian Pemohon atas berlakunya UU Perkawinan tersebut.
3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa sebagaimana disebutkan di atas, Pemohon tidak menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialaminya dengan berlakunya pasal-pasal a quo sehingga tidak dapat dipastikan kerugian yang didalilkan Pemohon tersebut merupakan kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3 di atas yang pada intinya menguraikan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya pasal-pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat langsung (causal verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo. Sebaliknya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo telah memberikan kepastian hukum serta hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon.
Bahwa dalam suatu gugatan atas permohonan ada yang disebut dengan fundamentum petendi yang berarti dasar tuntutan, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Oleh karenanya, untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu secara jelas sehingga ia dapat mengajukan tuntutan sebagaimana tertulis dalam petitum suatu gugatan atau permohonan. Yahya Harahap (Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata, hlm 57) menyebutkan adanya 2 teori perumusan posita, yang pertama, substantierings theorie yang mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie) yang menjelaskan bahwa peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum. Oleh karena ketiadaan hubungan sebab akibat (causal verband) yang dibangun oleh Pemohon dalam positanya, maka sudah seharusnya permohonan ini dinyatakan kabur/obscuur.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan pasal-pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian pasal-pasal a quo.
Pokok Permohonan:
1. Bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, serta cita-cita pembinaan hukum nasional, dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di satu sisi memberikan landasan hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, dan di sisi lain mewadahi ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaan berbagai golongan masyarakat agar tercipta kodifikasi dan unifikasi hukum yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai macam perbedaan hukum yang berlaku dalam masyarakat sehingga terwujud keadilan dan kepastian hukum.
2. Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama. Salah satu tindakan atau perbuatan agama yang terkait erat dengan negara adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu bentuk perwujudan hak konstitusional warga negara yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam hak konstitusional perkawinan tersebut terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional orang lain. Oleh karenanya untuk menghindari benturan dalam pelaksanaan hak konstitusional tersebut diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak konstitusional yang dilakukan oleh negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014).
3. Bahwa secara historis UU a quo menyatukan pengaturan hukum adat, hukum agama, dan hukum administrasi negara dalam hal perkawinan yang mana hukum adat dan hukum agama sebagai syarat sah dilakukannya perkawinan, sementara hukum administrasi negara berupa pencatatan perkawinan sebagai alat negara untuk melindungi warga negaranya yang melakukan perbuatan hukum perkawinan. Pencatatan perkawinan tersebut merupakan bentuk negara untuk memberi perlindungan hukum bagi warga negara yang melakukan perkawinan agar dapat mencapai tujuan perkawinan. Selain itu terdapat beragam pemeluk agama yang memiliki hukum perkawinan yang berbeda-beda sehingga pembentuk undang-undang pada saat itu (Tahun 1974) setelah melalui proses pembahasan dengan sangat berhati-hati akhirnya menyepakati agar pengaturan mengenai sahnya perkawinan tidak melanggar agama manapun. Hal ini sesuai dengan risalah rapat Panitia Kerja Gabungan Komisi III dan Komisi IX pada 7 Desember 1973 sebagai berikut:
Amin Iskandar (Fraksi Persatuan Pembangunan) yag dikutip sebagai berikut:
“Fraksi Persatuan Pembangunan dalam membahas RUU ini perkembangan dan pertumbuhan aktivitasnya bertitik tolak pada pemandangan umum yang garis besarnya meminta agar kita sekalian memahami bahwa di antara rakuat Indonesia ini ada golongan yang memiliki agama dan di antaranya memiliki hukum-hukum perkawinan sendiri. Ada yang secara implisit bisa dibicarakan, ada yang bisa disesuaikan dengan pertumbuhan dan kebutuhan masyarakat. Berhubung dengan itu diusulkan agar dalam RUU ini tidaklah ada suatu pasal yang mengandung hal-hal atau ketentuan baik harfiah maupun jiwanya yang bertentangan dengan agama manapun juga yang dianut oleh rakyat Indonesia.
Bahwa dalam lobbying dengan Kepala Negara, Presiden tidak sekali-kali mempunyai maksud dalam RUU ini ada ketentuan yang melanggar agama manapun juga.
… RUU ini haruslah sempurna agar bisa membimbing manusia di masa depan. Karena itu janganlah ada hal-hal yang mengganggu keyakinan karena hal ini sensitif sekali. Keyakinan itu telah ada sejak jaman nenek moyang. Jadi atas dasar prinsip-prinsip itulah dikembangkan dalam bentuk pasal-pasal.”
Menteri Kehakiman, Oemar Senoadji dalam risalah Rapat Kerja antara Panitia Kerja RUU tentang Perkawinan bersama dengan Pemerintah pada 12 Desember 1973 yang dikutip sebagai berikut:
“Mengenai background daripada terjadinya Pasal 2, pertama-tama dikemukakan bahwa para anggota mengetahui sistematik RUU ini ada 15 bab yang sebetulnya pembahasannya bisa dilakukan dari bab yang pertama, yaitu dasar perkawinan. Pasal 2 itu adalah suatu ide yang berdasarkan atas suatu permasalahan, apakah di dalam merencakan UU Perkawinan ini akan menyandarkan diri kepada sistem religious marriage atau apakah kepada civil marriage, apakah kepada kedua-duanya?
Dengan melihat perumusan Pasal 2, supaya mengadakan suatu kombinasi dari religious marriage dan civil marriage. Hal ini diusulkan menurut ketentuan-ketentuan undang-undang yang sebetulnya dilakukan pihak-pihak dan juga bagi masing-masing golongan yang melakukan perkawinan.
Hukum perkawinan itu bermacam-macam, ada yang berdasarkan kepada hukum Islam, ada yang berdasarkan Kristen ordonansi untuk Indonesia Tahun 1933, ada lagi ketentuan-ketentuan beberapa hukum lainnya.
Pada umumnya ada dua unsur yang sama dan hal itu juga masih ada kemungkinan religious marriage dan kemungkinan civil marriage, yang suatu pandangan yang mencakup dalam Pasal 2 dengan adanya perubahan-perubahan dan usul-usul yang tidak mengurangi inti daripada gabungan keduanya tadi. Untuk lebih mengkonkretkan hukum, bagi golongan Islam untuk mengesahkan suatu perkawinan diperlukan hukum Islam seperti adanya saksi, wali, akad nikah, mahar, dan lain sebagainya yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perkawinan bagi golongan Islam. Begitu pula bagi golongan Kristen, sahnya perkawinan berdasarkan Pencatatan. Dan ada suatu ketentuan bahwa perkawinan di muka gereja itu bisa dilakukan setelah adanya Pencatatan di dalam perkawinan dan di muka gereja sekadar pejabat agama bertindak sebagai Pencatat Perkawinan. Demikian pula dengan golongan Islam yang pada umumnya Pejabat agama akan mengadakan pencatatan perkawinan yang mana keduanya ada ada unsur religious marriage dan civil marriage.
Adanya pencatatan ini tidak mengurangi yang ada di dalam hukum agama, dengan contoh masih berlaku adanya persyaratan wali, akad nikah, mahar, yang khusus bagi agama Islam dalam perkawinan dan ditambahakan fungsi Pejabat agama sebagai Pencatat Perkawinan.
Apapun usul perubahan-perubahan mengenai Pasal 2 diperkirakan sesuai dengan ide tadi yaitu kedua-duanya adalah satu, civil marriage dan religious marriage yang keduanya tergabung. Pasal 2 juga merupakan sistem hukum yang berlaku di Indonesia yakni persyaratan intern dan persyaratan ekstern.
Persyaratan intern ada yang mutlak dan ada yang relatif, sedangkan persyaratan ekstern mengenai formalitas-formalitas yang ada.”
4. Bahwa Pemohon mendalilkan pada intinya Pasal 2 ayat (1) UU a quo merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara kepada warga negaranya, dan seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama untuk membuat kesepakatan berdasarkan kehendak bebas akan tunduk pada hukum agama dan kepercayaan tertentu dalam melangsungkan perkawinannya (vide Perbaikan Permohonan hal. 19).
Terhadap dalil tersebut DPR memberikan pandangan sebagai berikut:
a. Berdasarkan risalah rapat pembahasan uu a quo sebagaimana dikemukakan sebelumnya, telah jelas bahwa terdapat latar belakang perumusan Pasal 2 UU a quo yakni menormakan praktik perkawinan yang sejatinya sudah dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama yang memadukan unsur perkawinan menurut tata cara agama atau disebut dengan istilah religious marriage dan unsur perkawinan menurut tata cara sipil yakni perkawinan yang dilakukan, dicatat, dan diakui oleh pejabat pemerintah atau disebut dengan istilah civil marriage. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU a quo merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara kepada warga negaranya adalah dalil yang tidak berdasar.
b. Negara berperan memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan perwujudan dan bentuk jaminan keberlangsungan hidup manusia. Dengan demikian perkawinan tidak dapat dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.
5. Bahwa Pemohon mendalilkan negara bertindak sewenang-wenang karena mencampuri urusan forum internum warga negara dengan menentukan sah tidaknya perkawinan secara administratif hanya dari kesamaan agama pasangan calon suami istri (vide Perbaikan Permohonan hal. 8). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” justru merupakan bentuk jaminan yang diberikan negara pada setiap orang untuk beribadah sesuai agamanya. Dalam hal ini, negara justru memberikan kebebasan kepada setiap orang dengan mengembalikan syarat sahnya perkawinan tersebut ke hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam ketentuan a quo, negara sama sekali tidak menentukan syarat sah tidaknya perkawinan secara administratif dari kesamaan agama saja. In casu, jika dalam ajaran agama dan kepercayaannya yang dianut oleh Pemohon membolehkan perkawinan beda agama, maka negara harus mensahkannya secara administratif.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 mengenai pengujian UU Perkawinan terhadap UUD NRI Tahun 1945, MK menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,
“... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945].
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, telah jelas bahwa faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Dengan demikian telah jelas ketentuan ini menekankan penghormatan terhadap ajaran agama dan kepercayaan setiap warga negara yang dijadikan sebagai syarat sah perkawinan.
c. Bahwa DPR memberikan contoh ajaran agama yang mengatur mengenai perkawinan beda agama sebagai berikut:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP UU Perkawinan) yang merupakan peraturan pelaksanaan UU a quo dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang salah satu bukunya mengatur tentang Hukum Perkawinan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PP Pelaksanaan UU Perkawinan, disebutkan sebagai berikut
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Lebih lanjut dalam Pasal 40 Buku I KHI dan Pasal 44 Buku I KHI menerangkan sebagai berikut:
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Keberadaan KHI sejatinya telah dikukuhkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Dalam agama Katolik pernikahan beda agama juga telah diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) tersebut dijelaskan dalam Kan 1086 §1 Bahwa “Perkawinan antar dua orang, yang diantaranya satu telah di baptis dalam gereja Katolik atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya dalam tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis adalah tidak sah”. (Sumber: Kitab Hukum Kanonik 1983, “http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=823-827”)
In casu, terkait dengan permasalahan yang dialami oleh Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonannya yang menyatakan Pemohon beragama Katolik dan calon istri Pemohon beragama Islam, maka berdasarkan ketentuan ajaran agama dari masing-masing telah jelas melarang perkawinan beda agama. Oleh karena negara tidak dapat mengesahkannya karena memang hukum agama masing-masing telah melarangnya.
d. Bahwa Pemohon mempertentangkan UU a quo dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), khususnya Pasal 10 UU HAM yang pada intinya mengatur bahwa perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas yang lahir dari niat suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun dari calon suami dan calon istri (vide Perbaikan Permohonan hal. 18). Terhadap hal tersebut, DPR menerangkan bahwa negara tidak melarang orang untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kehendak bebasnya, tetapi negara hanya mencatatkan perkawinan yang sah sesuai dengan agama yang dianutnya. Negara tidak melakukan paksaan, penipuan, atau tekanan apapun kepada calon mempelai untuk menganut agama dan kepercayaan yang sama dengan agama pasangannya sehingga tidak terdapat satupun hak asasi manusia yang dilanggar. Kemudian DPR menerangkan bahwa dalil Pemohon justru menunjukkan bahwa Pemohon kurang memahami esensi dari permohonan a quo merupakan pengujian konstitusionalitas norma UU Perkawinan terhadap UUD NRI Tahun 1945, bukan pengujian terhadap undang-undang lain karena adanya disharmoni atau tumpang tindih undang-undang sehingga tidak tepat jika permohonan a quo diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam mempertautkan permasalahannya dengan UU HAM, Pemohon seharusnya memahami UU HAM secara keseluruhan karena pengaturan mengenai perkawinan dalam UU HAM tidak hanya diatur dalam Pasal 10 saja, melainkan juga diatur dalam pasal-pasal lainnya seperti Pasal 50 dan Pasal 51 UU HAM.
6. Bahwa Pemohon mendalilkan permohonannya bukan merupakan perkara ne bis in idem, DPR menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon mendalilkan permohonannya dengan mendasarkan pada Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Peraturan MK 6/2005) (vide Perbaikan Permohonan hal. 11). Bahwa Peraturan MK 6/2005 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Peraturan MK 9/2020) yang mana Peraturan MK 9/2020 juga telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Dengan demikian Peraturan Mahkamah Konstitusi yang Pemohon jadikan dasar hukum untuk menyatakan permohonan a quo tidak ne bis in idem sudah kehilangan kekuatan hukum sehingga tidak relevan lagi dijadikan dasar hukum.
b. Bahwa Pemohon juga mendalilkan permohonannya tidak ne bis in idem karena menambahkan batu uji yakni Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dalam mengukur inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU a quo (vide Perbaikan Permohonan hal. 12). Bahwa Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak termasuk pasal yang mengatur hak konstitusional warga negara. Pasal dimaksud berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” hal mana justru telah menjadi dasar mengingat pembentukan UU a quo sehingga tidaklah mungkin pengaturan pasal demi pasal dalam UU a quo bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
24/PUU-XX/2022
Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430