Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon dalam permohonannya pada intinya mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dilanggar atas berlakunya sistem proporsional terbuka dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia karena menimbulkan persaingan tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam prosesnya (vide Perbaikan Permohonan hlm. 8). Sebagai kader politik, berlakunya norma-norma a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, menyebabkan konflik internal di internal partai politik sendiri. Format proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik dengan menempatkan kemenangan individual total dalam Pemilu, sebab peserta Pemilu adalah Partai Politik bukan individual sebagaimana dinyatakan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9).
Legal Standing:
danya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana Pasal-Pasal a quo UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan bahwa beberapa pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara, yaitu:
- Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai konsep Negara Kesatuan berbentuk Republik (NKRI);
- Pasal 18 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Pemerintahan daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggotanya dipilih melalui Pemilu;
- Pasal 19 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih melalui Pemilu;
- Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah Partai Politik.
Berdasarkan hal di atas, Pasal-Pasal tersebut tidak relevan untuk dijadikan batu uji oleh Para Pemohon. Terkait dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal-Pasal a quo UU Pemilu sama sekali tidak melanggar hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Para Pemohon tetap mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi Pemilu. Selain itu, pengaturan dalam Pasal-Pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon merupakan suatu mekanisme dalam pelaksanaan Pemilu yang berlaku umum bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa adanya pengecualian. Sehingga pengaturan dalam UU Pemilu telah memenuhi hak konstitusional seluruh Warga Negara Indonesia termasuk Para Pemohon.
2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Para Pemohon mendalilkan mengalami kerugian atas keberlakuan Pasal-Pasal a quo, tetapi tidak menguraikan secara jelas pertautan antara Pasal-Pasal yang dijadikan batu uji dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Sehingga menjadi tidak jelas apa dan bagaimana sesungguhnya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dirugikan melalui batu uji yang digunakan tersebut.
Bahwa selain itu, berlakunya Pasal-Pasal a quo tidak serta merta menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon karena Para Pemohon tetap mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan tetap dapat melakukan aktivitasnya sebagai warga negara untuk memilih maupun dipilih dalam Pemilu dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, DPR RI berkesimpulan tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan akibat keberlakuan ketentuan Pasal-Pasal a quo.
3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa DPR RI menerangkan, berlakunya Pasal-Pasal a quo tidak menghalangi Para Pemohon tersebut dalam menjalankan aktivitas dan profesinya, dan tetap dijamin haknya untuk dapat memilih anggota DPR RI dan DPRD sesuai dengan mekanisme Pemilu yang diatur dalam UU a quo. Permasalahan pelaksanaan Pemilu yang disampaikan oleh Para Pemohon sesungguhnya merupakan suatu hal yang wajar dalam pelaksanaan Pemilu khususnya dengan mekanisme proporsional terbuka dimana pelaksanaan demokrasi melalui Pemilu menuntut adanya partisipasi langsung dan aktif masyarakat dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk di kursi legislatif. Dalam pelaksanaan Pemilu tersebut, tentunya masyarakat akan cenderung memilih wakil-wakil yang memang telah diketahui dan dikenal aktivitasnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Di era perkembangan teknologi komunikasi seperti saat ini, dengan adanya internet dan media sosial yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat, maka akan dapat memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mengenal calon-calon anggota legislatif yang turut serta dalam kontestasi Pemilu yang berlangsung. Melalui media sosial tersebut, calon-calon anggota legislatif memperkenalkan diri kepada masyarakat luas dan menyampaikan visi misi yang menjadi dasar atau alasannya turut serta sebagai peserta Pemilu. Sehingga pemilihan anggota legislatif telah sesuai dengan apa yang dikehendaki rakyat dan diisi dengan orang-orang yang terpilih berdasarkan suara yang telah diberikan dalam Pemilu.
Bahwa terkait dengan dalil kerugian yang disampaikan Para Pemohon mengenai jalannya pemerintahan yang merupakan hasil dari Pemilu. Pada dasarnya baik DPR RI maupun Pemerintah telah mengupayakan adanya pengaturan pelaksanaan Pemilu yang baik yang mampu mengakomodir dan menjabarkan apa yang diatur oleh UUD NRI Tahun 1945, dan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Namun demikian, berjalannya pemerintahan bukan sesuatu yang bisa diprediksikan secara akurat karena banyaknya hal yang berpengaruh dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut. Partai Politik pun telah mengupayakan yang terbaik dengan mengajukan kader-kader yang menurut Partai Politik adalah kader terbaik dan mampu mengemban amanat pemerintahan dengan baik dalam upaya mewujudkan tujuan pemerintahan Indonesia sebagaimana tertuang dalam Alinea IV pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian, tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa dengan tidak adanya uraian kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo UU Pemilu, dan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kepentingan hukum Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan ketentuan Pasal-Pasal a quo.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo, maka dikabulkan atau tidak permohonan Para Pemohon oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon. Bahkan apabila MK mengabulkan permohonan Para Pemohon, hal itu justru merupakan kemunduran besar dalam upaya pelaksanaan demokrasi yang lebih baik dan dalam upaya perwujudan reformasi pelaksanaan pemerintahan Indonesia.
Pokok Permohonan:
1. Bahwa konstitusi Indonesia menjamin mengenai Pemilu anggota DPR RI dan DPRD melalui Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa anggota DPR RI dan DPRD dipilih melalui Pemilu. Selain itu, prinsip pelaksanaan Pemilu diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila.
2. Bahwa Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara Pemilu diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, konstitusi telah memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai mekanisme dan tata cara Pemilu sebagai salah satu sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy).
3. Bahwa undang-undang mengenai kepemiluan di Indonesia sendiri telah mengatur mengenai berbagai sistem Pemilu dengan sistem proporsionalitas terbuka, tertutup, dan melewati berbagai dinamikanya. Secara historis, pemberlakuan sistem proporsional tertutup di Indonesia diterapkan pada zaman Orde Baru, Pemilu tahun 1995, dan tahun 1999. Sedangkan pemberlakuan sistem proporsional terbuka di Indonesia diterapkan pada Pemilu legislatif tahun 2004, tahun 2009, tahun 2014, dan tahun 2019.
4. Saat ini berdasarkan UU Pemilu, Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka dan ditegaskan melalui Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang menyatakan, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, sejatinya sistem proporsional terbuka ditujukan untuk lebih memperluas dimensi keadilan dalam pembangunan politik, yang telah menganut sistem pemilihan langsung.
5. Bahwa sistem proporsional terbuka merupakan salah satu metode atau cara yang mengatur warga negara untuk memilih secara langsung calon anggota legislatif dengan suara terbanyak. DPR RI berpandangan bahwa sistem proporsional terbuka memiliki derajat keterwakilan yang baik karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya.
6. Bahwa Pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Semangat mewujudkan cita hukum tersebut juga diwujudkan melalui Pasal-Pasal a quo UU Pemilu yang diujikan oleh Para Pemohon. Melalui Pasal-Pasal a quo, Pemilu diharapkan dapat lebih menjamin prinsip keterwakilan. Artinya bahwa setiap Warga Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan, yang akan menyuarakan aspirasi rakyat. Sehingga Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
7. Di sisi lain, Para Pemohon mendalilkan bahwa sistem proporsional terbuka melanggar Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dimana seharusnya Pemilu ditujukan untuk memilih calon anggota legislatif melalui Partai Politik (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17). Berkaitan dengan hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa melalui sistem proporsional terbuka serta diaturnya frasa “tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” pada Pasal-Pasal a quo UU Pemilu yang diujikan Para Pemohon, justru telah memberikan kejelasan dan kesempatan luas terhadap masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Diberlakukannya sistem proporsional terbuka telah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih secara langsung dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota legislatif dengan suara terbanyak. Hal tersebut akan menciptakan suatu keadilan, tidak hanya bagi calon anggota legislatif melainkan juga bagi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya meskipun ia tidak bergabung sebagai anggota Partai Politik peserta Pemilu. Sistem proporsional terbuka akan menyebabkan kemenangan seseorang calon anggota legislatif tidak hanya bergantung pada kebijakan Partai Politik peserta Pemilu, namun didasarkan pada seberapa besar dukungan rakyat yang diberikan kepada calon tersebut.
8. Bahwa MK melalui Pertimbangan Hukumnya pada Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, telah memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka, dengan menyatakan:
Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata.
Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak;
… Bahwa dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan suara terbanyak, di samping memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya, juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota partai politik maupun masyarakat yang tidak bergabung sebagai anggota partai politik peserta Pemilu, karena kemenangan seseorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada partai politik peserta Pemilu, tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon tersebut. Dengan demikian, konflik internal partai politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada masyarakat dapat dikurangi, yang semuanya sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu yang adil, jujur, dan bertanggung jawab.
(vide Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hlm 103-105).
9. Bahwa semangat MK untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang substantif terlihat melalui Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tersebut. MK juga menyatakan bahwa dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat itu Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah, Kepala dan Wakil Kepala Daerah. MK kemudian menyatakan menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR RI atau DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik Partai Politik. Sehingga setiap calon anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing (vide Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hlm. 105). Dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum MK tersebut, DPR RI berpandangan tidak benar jika peran Partai Politik menjadi terdistorsi sebagaimana didalilkan Para Pemohon.
10. Bahwa selain itu, perlu dilihat secara utuh Pasal lain UU Pemilu yang telah mengatur mengenai tata cara pengajuan bakal calon anggota legislatif yang justru tidak mengurangi sama sekali peran dan kedudukan Partai Politik sebagaimana diatur UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 241 UU Pemilu, menentukan bahwa:
“Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau penentuan internal Partai Politik Peserta Pemilu.”
Berdasarkan Pasal a quo, jelas sekali bahwa Partai Politik diberikan wewenang penuh oleh undang-undang untuk menyeleksi bakal calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
11. Bahwa meskipun materi muatan dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dengan Perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008 diatur melalui dasar hukum yang berbeda, namun secara prinsip materi yang diujikan mengatur mengenai hal yang sama, yaitu penguatan sistem proporsional terbuka yang jelas memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan calon anggota legislatif secara bebas. Bahwa DPR RI selaku pembentuk undang-undang memperhatikan pertimbangan putusan MK tersebut sebagai dasar untuk menerapkan sistem proporsional terbuka dengan harapan proses Pemilu dapat lebih baik. Oleh karena itu, tidak ada urgensi bagi MK untuk menilai dan menguji kembali materi muatan berkaitan dengan UU a quo. Sehingga sudah sepatutnya MK menyatakan bahwa perkara a quo adalah ne bis in idem.
12. Berdasarkan dinamika historis pengaturan undang-undang kepemiluan di Indonesia dan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tersebut, maka dalam konteks politik hukum Pemilu di Indonesia, DPR RI berpandangan bahwa potensi kemunduran demokrasi akan terjadi apabila Pemilu kembali dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup, yang hanya memilih Partai Politik. Petitum Para Pemohon justru mereduksi pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dimana setiap warga negara tidak lagi dapat memilih siapa perwakilan yang mereka kehendaki untuk duduk di kursi parlemen dan menyuarakan suara masyarakat.
13. Terkait dengan dalil Para Pemohon mengenai bergesernya nilai yang mengarah ke pasar bebas dengan kekuatan modal semata, kuatnya kebebasan individu tanpa melihat kualitas dan kemampuan calon (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17), DPR RI berpandangan hal tersebut tidak benar. Hal penting yang seharusnya menjadi perhatian adalah upaya menghadirkan seorang calon anggota legislatif sebagai kader yang tumbuh dan menang karena adanya dukungan massa yang sudah mengetahui program kerja dan kualitasnya serta komitmen terhadap konstituen. Calon anggota legislatif terbaik dapat dipilih oleh Partai Politik, sehingga mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa secara positif sesuai kualitasnya. Seorang calon anggota legislatif yang berkualitas tentu perlu melakukan upaya yang lebih besar untuk dikenal melalui program kerjanya, hal tersebut lazim mengingat ia merupakan bagian dari wakil rakyat.
14. Bahwa adapun hal-hal lain berkaitan dengan tingginya biaya Pemilu, rumitnya sistem proporsional terbuka, munculnya potensi korupsi, dan sebagainya sebagaimana didalilkan Para Pemohon, maka DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi, dan bagian dari dinamika implementasi di lapangan. Pemilihan sistem Pemilu dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup merupakan sebuah pilihan yang menjadi kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Tidak ada persoalan inkonstitusionalitas norma dari diaturnya sistem proporsional terbuka pada Pasal-Pasal a quo UU Pemilu. Bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sistem Pemilu karena hal tersebut merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang dengan memperhatikan partisipasi masyarakat.
15. Bahwa setiap pilihan kebijakan memiliki konsekuensinya masing-masing. Dalam konteks sistem Pemilu di Indonesia, tidak ada jaminan masalah-masalah yang dikemukakan Para Pemohon akan mengecil dengan diterapkannya sistem proporsional tertutup sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon. Sejatinya hal tersebut merupakan bagian dari proses berdemokrasi di Indonesia.
16. Bahwa terkait ketentuan Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu yang diminta oleh Para Pemohon agar dimaknai sesuai dengan petitumnya, maka hal tersebut juga dapat berpotensi akan terjadinya konflik, karena masyarakat tidak memilih perorangan. Hal ini justru akan menimbulkan konflik diantara para kader Partai Politik di internal partai khususnya dengan para ketua Partai Politik, karena semua kader pastinya akan merasa layak dan patut dipilih untuk menduduki kursi anggota DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Hal ini justru berpotensi menghambat pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional maupun daerah.
17. Bahwa terkait dengan kepedulian Para Pemohon terhadap kemajuan demokrasi dan proses Pemilu yang seyogyanya menguatkan NKRI dengan mengkritisi dan mengevaluasi berkaitan dengan hal-hal tersebut, DPR RI sangat mengapresiasi upaya Para Pemohon. Hal ini mengingat dalam pelaksanaan pembangunan negara Indonesia dibutuhkan kontribusi positif dari seluruh komponen bangsa termasuk dari masyarakat. Terkait dengan apa yang disampaikan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, kiranya dapat menyampaikan masukannya kepada pemerintah maupun kepada DPR RI untuk dapat dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan Pemilu 2024.
18. Bahwa setelah adanya putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tersebut hingga saat ini, DPR RI dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang telah menunjukkan sikap yang sama dengan Putusan MK yang memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU Pemilu.
19. Bahwa sikap DPR RI dan Pemerintah yang memilih sistem proporsional terbuka bukan hanya karena mengacu pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 berikut semua alasan dan argumentasinya, tetapi juga karena menyerap aspirasi masyarakat luas yang cenderung lebih memilih sistem proporsional terbuka dibandingkan sistem proporsional tertutup.
20. Bahwa konsistensi sikap masyarakat yang lebih memilih sistem proporsional terbuka diserap oleh 8 (delapan) Partai Politik yang memiliki kursi di DPR, yakni Fraksi Partai Golongan Karya (FPG), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (FPGERINDRA), Fraksi Partai Nasdem (FNASDEM), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) yang secara resmi telah menolak sistem proporsional tertutup sebagaimana disampaikan dengan pernyataan sikap secara terbuka pada hari Minggu 8 Januari 2023, yang bunyinya:
(1) Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita. Di lain pihak, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat di mana dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan partai politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur.
(2) Sistem pemilu dengan proporsional terbuka merupakan pilihan yang tepat dan telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 yang sudah dijalankan dalam 3 (tiga) pemilu. Gugatan terhadap yurisprudensi akan menjadi preseden yang buruk dan tidak sejalan dengan asas ne bis in idem.
(3) KPU agar tetap menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara Pemilu dengan menjaga netralitas dan independensinya sesuai peraturan perundang-undangan.
(4) Kami mengapresiasi kepada Pemerintah yang telah menganggarkan anggaran Pemilu 2024 serta kepada penyelenggara Pemilu, terutama KPU, agar tetap menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024 yang telah disepakati bersama.
(5) Kami berkomitmen untuk berkompetisi dalam Pemilu 2024 secara sehat dan damai dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap memelihara stabilitas politik, keamanan dan ekonomi.
21. Bahwa sangat jelas bahwa tidak ada situasi baru, dinamika baru atau perkembangan baru yang signifikan terkait sistem proporsional terbuka ini. Pelaksanaan Pemilu 2009, 2014 dan 2019 justru berlangsung dengan partisipasi yang terus meningkat yakni Pemilu Legislatif 2009 sebesar 70,9%, Pemilu Legislatif 2014 sebesar 75,11% dan Pemilu legislatif 2019 sebesar 81,69%.
22. Bahwa namun demikian Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) lebih memilih sistem proporsional tertutup, sikap ini berbeda dengan sikap 8 (delapan) Fraksi Partai di DPR RI yakni FPG, FGERINDRA, FNASDEM, FPKB, FPD, FPKS, FPAN, dan FPPP. Bahwa dari FPDIP memberikan pandangan sebagai berikut:
a. Bahwa FPDIP berpendapat meskipun Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Namun hal tersebut tidak untuk dimaknai bahwa peserta Pemilu adalah orang perorangan dalam Partai Politik dikarenakan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah Partai Politik. Dengan demikian amat terang dan jelas bahwa Partai Politik lah yang berkompetisi dalam ajang kontestasi pesta demokrasi yang sebagai konsekuensi logis Partai Politik lah yang memiliki kewenangan untuk menentukan siapa saja calon anggota legislatif terbaik menurut versi pertimbangannya yang dapat dipilih untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD sebelum dipilih oleh rakyat. Tentunya setelah melalui proses seleksi dan rekrutmen, pendidikan yang panjang. Sehingga sejatinya isu proporsional terbuka atau tertutup bukanlah menjadi isu konstitusional norma, melainkan lebih kepada aspek kemanfaatan.
b. Sehubungan dengan pelaksanaan Pemilu yang harus memenuhi asas langsung, umum, bebas, dan rahasia jujur dan adil, dan demokratis, maka yang harus menjadi pertanyaan saat ini apakah sistem Pemilu yang diterapkan telah memenuhi prinsip-prinsip Pemilu yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, porporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Begitu juga halnya dengan kebijakan negara yang diambil di dalam pembentukan UU Pemilu (politik hukum UU Pemilu) sehubungan dengan permohonan pengujian undang-undang oleh Para Pemohon. Sehingga amat sangat relevan untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan politik hukum pembentukan UU Pemilu, sekaligus untuk memastikan apakah politik hukum yang diharapkan melalui perumusan Pasal-Pasal a quo UU Pemilu sudah tercapai. Dan seandainya belum tercapai, sistem Pemilu seperti apakah yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia.
c. Bahwa secara filosofis, kaidah demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif. Setelah mempelajari kembali risalah pembahasan dalam pembentukan UU Pemilu, pembahasan tentang sistem pemilu yang ideal untuk diterapkan di Indonesia tidak dilakukan secara mendalam karena pembahasan saat itu dilakukan dengan memilih paket isu krusial Pemilu yang ditawarkan dalam pembahasan, yakni sebagai berikut:
Parliamentary threshold: 4-5 persen;
Presidential threshold: 10-25 persen;
Dapil magnitude: 3-10;
Sistem pemilu terbuka dan terbuka terbatas; dan
Metode konversi suara Sainte-Lague murni dan metode Kuota Hare.
Pada saat itu tidak terdapat pembahasan secara mendalam terkait sistem Pemilu karena semua paket tersebut menawarkan opsi proporsional terbuka dan proporsional terbuka terbatas, hal ini dikarenakan pembahasan Pansus kala itu mengacu kepada pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Seolah-olah semua terhipnotis bahwa sistem proporsional terbuka yang konsisten, padahal MK juga tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemilihan umum proporsional tertutup itu adalah inkonstitusional, dikarenakan itu hanya pilihan hukum (open legal policy) pembentuk undang-undang. Di samping itu, perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu lebih dititikberatkan terhadap permasalahan Parliamentary Threshold dan raihan suara sah nasional untuk Partai Politik mencalonkan presiden. Dengan demikian sangat relevan apabila pengaturan mengenai sistem Pemilu diuji oleh Para Pemohon a quo.
d. Bahwa sehubungan dengan pengujian sistem Pemilu dalam Perkara a quo, perlu kiranya terlebih dahulu untuk melihat hal-hal yang mendasari pertimbangan Majelis Hakim MK kala itu dalam memutus Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menguatkan sistem Pemilu terbuka terbatas menjadi sistem proporsional terbuka.
e. Bahwa pertimbangan MK pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang pada intinya sebagai berikut:
…Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak;
… Bahwa dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan suara terbanyak, di samping memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya, juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota partai politik maupun masyarakat yang tidak bergabung sebagai anggota partai politik peserta Pemilu, karena kemenangan seseorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada partai politik peserta Pemilu, tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon tersebut. Dengan demikian, konflik internal partai politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada masyarakat dapat dikurangi, yang semuanya sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu yang adil, jujur, dan bertanggung jawab.
(vide Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hlm 103-105).
Dengan mendasarkan pada Putusan MK terdapat beberapa hal yang diharapkan terwujud melalui sistem proporsional terbuka, yaitu:
- rakyat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih;
- lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih dikarenakan dengan mendasarkan perolehan suara terbanyak;
- lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya;
- kemenangan seseorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada Partai Politik peserta Pemilu;
- konflik internal Partai Politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada masyarakat dapat dikurangi
Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan, apakah yang diharapkan oleh MK dengan pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka telah terpenuhi dalam pelaksanaan Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
f. Bahwa ditinjau dari landasan sosiologis, penerapan sistem proporsional terbuka di Indonesia didasari oleh adanya kekhawatiran dominasi Partai Politik dan oligarki Partai Politik serta kebutuhan atas keterbukaan untuk mengakomodir partisipasi masyarakat secara luas sehingga pelaksanaan Pemilu diubah dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka. Masyarakat diharapkan mendapatkan manfaat yang diinginkan dan kondisi yang lebih baik dalam memilih wakilnya secara langsung sesuai kehendaknya. Pertanyaannya, seberapa besar manfaat dari penerapan sistem proporsional terbuka dalam konteks demokrasi dan penguatan Partai Politik setelah tiga kali Pemilu proporsional terbuka pasca putusan MK?
g. Bahwa dengan berdasarkan ketentuan dan regulasi Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, telah menegaskan yang menjadi peserta Pemilu adalah Partai Politik. Sehingga sudah sepatutnya yang bersaing dalam perolehan suara dalam kontestasi Pemilu adalah Partai Politik, bukan orang perorangan dari perwakilan Partai Politik.
h. Bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik) dan UU Pemilu. Bahwa sesuai dengan Penjelasan Umum UU Partai Politik, Partai politik dikonstruksikan sebagai pilar demokrasi. Untuk itu Partai Politik perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensial yang efektif. Bahwa penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Kedua tujuan tersebut tidak akan mungkin tercapai apabila sistem Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka dikarenakan dalam sistem proporsional terbuka tidak mensyaratkan dan membutuhkan adanya seleksi dan rekrutmen anggota yang selektif sampai kepada derajat ideologis. Padahal yang membedakan partai yang satu dengan partai yang lain adalah terletak pada ideologi partai. Pada sistem proporsional terbuka tidak dibutuhkan pengkaderan penguatan kapasitas kader melalui pendidikan politik atau sekolah partai yang selektif, ketat, dan berkesinambungan dikarenakan pada saat pencalonan nantinya tidak diberlakukan nomor urut sebagai prioritas calon anggota legislatif terpilih yang bakal jadi. Dalam sistem proporsional terbuka, partai tidak memiliki kekuasaan untuk menempatkan calon-calon terbaik menurut versi partai untuk bisa diprioritaskan terpilih. Padahal mereka yang diprioritaskan terpilih oleh partai, biasanya sudah melalui serangkaian proses seleksi yang begitu ketat tidak hanya proses rekrutmen tapi Pendidikan caleg dan penjaringan dan penyaringan yang sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, politik, dan hukum dari Partai Politik kepada konstituennya.
Begitu pula terhadap tujuan kedua yang mengutamakan fungsi partai terhadap negara dan rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan atau kompetensi akan sulit dicapai, mengingat dalam sistem proporsional terbuka basisnya bukan kompetensi melainkan berdasarkan kesukaan.
i. Diaturnya peran Partai Politik sebagai peserta Pemilu dan sebagai pilar demokrasi, tentunya bukan tanpa alasan. Bahwa secara umum, Partai Politik bertujuan untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, secara khusus, Partai Politik bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan apabila dilihat lebih jauh lagi Partai Politik diamanatkan untuk menjadikan pabrikan calon pemimpin-pemimpin bangsa yang akan duduk menjadi:
a. anggota Partai Politik;
b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian dan oleh karenanya penguatan Partai Politik menjadi suatu keniscayaan yang cenderung bersifat mutlak, sehingga pengaturan terkait Pemilu dan khususnya sistem Pemilu sudah seharusnya mengarah kepada penguatan Partai Politik.
j. Meskipun terdapat pendapat hukum MK berkaitan dengan sistem proporsional terbuka, FPDIP berpendapat bahwa tidak ada pernyataan secara tegas dari MK yang memerintahkan ditetapkannya sistem proporsional terbuka dalam Pemilu di Indonesia. FPDIP berpandangan bahwa pemilihan sistem Pemilu dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup merupakan sebuah pilihan yang menjadi kebijakan terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Tidak ada persoalan inkonstitusionalitas norma dari diaturnya salah satu dari kedua sistem tersebut. Hanya saja pada saat merumuskan Pasal-Pasal a quo UU Pemilu yang diujikan Para Pemohon, DPR RI memperhatikan pertimbangan putusan MK tersebut sebagai dasar pertimbangan untuk menerapkan sistem proporsional terbuka dengan harapan proses Pemilu dapat lebih baik.
k. Dengan demikian, sistem proporsional tertutup pada Pemilu dapat lebih sejalan dengan perkembangan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dikarenakan pertarungan tidak didasarkan pada orang-perorangan dalam satu partai melainkan lebih ditekankan pada kompetisi antar partai yang pada akhirnya akan mempercepat proses konsolidasi demokrasi.
l. Sistem proporsional tertutup memastikan penataan dan penyempurnaan Partai Politik akan menjadi terukur, jelas, dan transparan menuju model Partai Politik modern yang berorientasi pada fungsi, yakni lahirnya budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar demokrasi dan memaksimalkan fungsi Partai Politik terhadap negara maupun rakyat. Kedua fungsi tersebut hanya bisa terlaksana melalui konsistensi giat Partai Politik melalui sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang baik, mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat, serta melalui pendidikan politik, pengkaderan, serta rekrutmen politik yang efektif untuk dapat menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing untuk mengisi jabatan-jabatan publik.
m. Bahwa seandainya ada yang mengatakan bahwa sistem proporsional tertutup cenderung menghasilkan oligarki politik seperti membeli kucing dalam karung, pertanyaannya adalah dalam perspektif apa? Apa iya Partai Politik mau sewenang-wenang untuk menempatkan sembarang orang? Pastinya tidak. Melalui sistem proporsional tertutup, Partai Politik dapat mendorong untuk memastikan kader-kader terbaiknya, orang-orang yang kompeten dan terbaik di bidangnya, keterwakilan semua pihak, baik berdasarkan suku, agama, kewilayahan, dan profesi, bisa diprioritaskan untuk menjadi calon terpilih. Kekuasaan yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai oligarki politik atau kekuasaan politik yang begitu dominan (dalam makna negatif) yang dimiliki oleh Partai Politik dikarenakan kesemuanya didasarkan kepada basis kompetensi, akuntabilitas, dan profesionalisme. Sehingga kekhawatiran untuk hadirnya anggota legislatif yang tidak berkualitas dan tidak paham akan fungsi kedewanan akan dapat dihilangkan. Kekhawatiran dapat direduksi dengan menempatkan nama-nama calon legislatif dalam format surat suara, disamping pengumuman publikasi-publikasi resmi di ruang publik. Apalagi saat ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
n. Terkait dengan anggapan anti demokrasi, partai dapat sewenang-wenang untuk menempatkan calon yang diprioritaskan jadi (nomor urut 1 atau nomor urut 2), hal itu juga tidak beralasan dikarenakan sekalipun yang dicoblosnya Partai Politiknya tetapi mayoritas rakyat sudah sangat paham untuk berdemokrasi dan sudah berpengalaman mengikuti pemilu dengan berbagai sistem dan model. Partai Politik akan berpikir matang untuk menempatkan calon-calon terbaiknya di “nomor jadi” dikarenakan seandainya salah menempatkan calon akan langsung berpengaruh pada elektoral partainya. Bisa calon-calon potensial pindah ke partai lain atau masyarakat pemilih tidak akan memilih partai tersebut.
o. Melalui sistem proporsional tertutup, penguatan Partai Politik dipastikan hadir, dan konsolidasi demokrasi pastinya akan lebih cepat. Sistem seleksi, rekrutmen keanggotaan, dan pengkaderan secara natural akan terlindungi. Keanggotaan, peran dan kontribusi aktif kader akan menjadi penilaian utama disamping kompetensi itu sendiri sehingga kelembagaan Partai Politik akan semakin matang dan masing-masing Partai Politik akan memiliki pola, sistem, karakter, bahkan ideologi sendiri yang menjadi pembeda dengan Partai Politik lainnya. Keadaan mana semakin diperkuat lagi dengan pendidikan politik dan pengkaderan Partai Politik untuk memastikan calon-calon terbaik yang akan dihadirkan kepada rakyat untuk dipilih. Pastinya, mereka populer tetapi kompeten dan berkualitas. Inilah yang menjadi pembeda dengan sistem proporsional terbuka yang memungkinkan siapa saja sepanjang disukai (belum tentu punya kompetensi dan kualitas dan bahkan memahami ideologi dan karakter partainya) dapat terpilih.
p. Melalui sistem proporsional tertutup, Partai Politik pastinya akan bekerja lebih keras lagi, baik dalam proses seleksi, rekrutmen, pengkaderan, dan pendidikan politik guna menghasilkan kader-kader terbaik yang tidak hanya berkompeten dibidangnya dan berideologi partai, namun cakap secara elektoral. Setidaknya publik akan terlindungi dari kesalahan memilih orang dikarenakan kader-kader yang ditempatkan sebagai anggota legislatif oleh Partai Politik merupakan kader-kader terbaik Partai Politik yang berkompeten dan berkualitas. Berbeda dengan sistem proporsional terbuka, dimana kader-kader Partai Politik yang dipilih berdasarkan potensi perolehan suara terbanyak dari masyarakat, yang seringkali hanya didasarkan kepada kesukaan atau bahkan pada kekuatan modal/kekuasaan tanpa memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pemerintahan atau bahkan sama sekali tanpa melalui pembekalan dan pendidikan politik yang cukup. Oleh karenanya, dalam perjalanan pemerintahan seringkali kader-kader tersebut tidak mampu mempresentasikan kinerja dan value serta merepresentasikan ideologi Partai Politik. Saat ini sulit membedakan mana anggota legislatif yang merupakan kader partai A, mana yang kader partai B, mana yang kader partai C, dan seterusnya, karena kehadiran mereka bukan didasarkan pada pembedaan ideologi semata, tetapi lebih dititikberatkan pada kekuatan elektoral melalui dominasi kapital.
q. Lebih lanjut, bahwa apa yang dicita-citakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk/agar:
Dalam Pemilu, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, pada faktanya justru berkebalikan dengan hadirnya dominasi pemegang kapital dan pemegang kekuasaan yang mengakibatkan rakyat tidak bebas dalam mempergunakan hak pilihnya.
Pemilu lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih dikarenakan dengan mendasarkan perolehan suara terbanyak; pada faktanya juga sangat berkebalikan dikarenakan terdapat kompleksitas format surat suara yang menyulitkan pemilih, di samping menimbulkan konsekuensi kerumitan dalam teknis pemungutan dan penghitungan suara, bahkan menimbulkan permasalahan yang luar biasa dalam konteks saksi, apakah saksi untuk kepentingan Partai Politik ataukah orang-perorangan dalam Partai Politik.
Lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya; justru berkebalikan karena bagi calon pada faktanya saksi yang ada hanya saksi Partai Politik, padahal saksi Partai Politik belum tentu mengamankan suara untuk semua calon yang namanya terdaftar sehingga berpotensi untuk hadirnya penyimpangan atau kecurangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Bagi masyarakat, juga jauh dari rasa keadilan karena masyarakat kehilangan proteksi atau hak untuk mendapatkan calon-calon yang terbaik yang seharusnya direkomendasikan oleh partai politik melalui sistem rekrutmen, pengkaderan dan pendidikan Partai Politik.
Kemenangan seseorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada Partai Politik peserta Pemilu; pada faktanya dikarenakan kompetisi bersifat individualistis antara orang perorangan dalam satu partai atau terdapat kompleksitas pelaksanaan. Saksi adalah saksi Partai Politik justru kemenangan akan sulit dipastikan kalau calon anggota legislatif tersebut tidak menempatkan saksinya di setiap TPS untuk mengamankan suaranya.
Konflik internal Partai Politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada masyarakat dapat dikurangi; pada faktanya justru konflik internal tersebut semakin tinggi dan memanas dikarenakan persaingan atau kompetisi bukan antar Partai Politik saja tetapi antar calon anggota legislatif dalam satu Partai Politik juga, sehingga potensi konflik akan semakin besar.
Dengan demikian, tujuan-tujuan sebagaimana diharapkan oleh MK tidak tercapai melalui sistem proporsional terbuka.
r. Sistem proporsional terbuka terbukti telah menghasilkan politik berbiaya tinggi, bahkan cenderung mengakibatkan kemunduran demokrasi dengan hadirnya money politics, liberalisasi demokrasi, demokrasi transaksional, kompetisi personal yang cenderung individualistis dan oligarki politik dikarenakan sistem Pemilu yang begitu kompleks dan rumit yang tidak hanya berimplikasi pada banyaknya kebutuhan akan sumber daya manusia penyelenggara Pemilu maupun pengawas Pemilu, sumber daya manusia peserta Pemilu, baik calon anggota legislatif maupun struktur Partai Politik, meningkatnya kebutuhan akan sarana dan prasarana pendukung, atribut kampanye yang bersifat personal, yang kesemuanya berimplikasi pada meningkatnya biaya Pemilu. Tidak hanya menjadi beban negara, namun juga menjadi beban Partai Politik maupun para calon anggota legislatif.
s. Selain itu, FPDIP perlu juga menyampaikan bahwa sejak penerapan sistem Pemilu dengan proporsional terbuka, ternyata dalam praktiknya timbul berbagai dinamika yang tidak diharapkan. Sebagai contoh FPDIP menyampaikan berbagai temuan sebagai konsekuensi dari penerapan sistem proporsional terbuka sebagai berikut:
Diperlukan waktu dan tenaga sumber daya manusia yang lebih untuk melakukan rangkaian proses administrasi dalam pencalonan nama calon anggota legislatif yang masuk dalam surat suara;
Pencetakan surat suara masing-masing daerah pemilihan yang tidak seragam karena setiap daerah pemilihan di setiap tingkatan daerah memiliki nama calon yang berbeda-beda sehingga membutuhkan banyak tenaga dan waktu;
Kesulitan pemilih khususnya bagi pemilih yang tidak cukup memadai pengetahuan politiknya dalam menetapkan pilihannya karena banyaknya pilihan nama calon anggota legislatif dalam surat suara untuk tiap tingkatan daerah;
Proses penentuan keabsahan dan penghitungan suara dengan banyaknya pilihan nama calon anggota legislatif membutuhkan kecermatan, durasi waktu, dan beban kerja yang lebih besar bagi petugas di lapangan;
Proses pengadministrasian dan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada kolom calon dan kolom partai membutuhkan kecermatan, durasi waktu, dan beban kerja yang lebih besar bagi petugas di lapangan. Begitu pula dalam kegiatan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat kecamatan hingga ke tingkat pusat.
t. Dengan sistem proporsional tertutup, pertempuran dikedepankan dengan pertempuran kolektif atas ide, gagasan, dan ideologi Partai Politik, bukan kompetisi perorangan atau personal yang lebih mengedepankan pada kekuatan kapital, kekuasaan, maupun oligarki politik. Jika menggunakan sistem proporsional terbuka, maka akan sulit untuk memproteksi siapa yang sejatinya layak dalam konteks mantap ideologi, mantap kompetensi, dikarenakan Partai Politik tidak memiliki kewenangan untuk memberikan prioritas.
u. Selain itu, berkaca pada implementasi Pemilu Serentak tahun 2014 dan 2019 yang menggunakan sistem proporsional terbuka, masih terdapat beberapa permasalahan, sebagai berikut:
Pelaksanaan Pemilu pada tahun 2014 dan tahun 2019 tidak optimal karena pada implementasinya kandidat calon anggota legislatif terlalu fokus sosialisasi terkait sosok atau figur daripada sosialisasi ideologi atau program kerja yang dicanangkan para kandidat calon anggota legislatif. Sehingga hal tersebut menimbulkan persaingan ketat antar kandidat dalam satu partai dan mengakibatkan konflik internal partai peserta pemilu.
Maraknya money politics pada pelaksanaan Pemilu di tahun 2014 dan tahun 2019 sebagai dampak dari ketatnya persaingan antar kandidat calon anggota legislatif menimbulkan praktik jual beli suara melalui modus money politics.
Pada pelaksanaan Pemilu tahun 2019, terdapat 16.418 Tempat Pemungutan Suara (TPS) mengalami permasalahan, dengan rincian 10.520 TPS yang logistiknya tidak lengkap, 3.411 TPS surat suaranya tertukar antar daerah pemilihan atau antar TPS, dan 2.487 TPS yang mulai pemungutan suara lebih dari 7 jam.
v. Bahwa berdasarkan keterangan yang telah disampaikan tersebut, FPDIP memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi dapat memutus untuk Menerima Keterangan FPDIP secara keseluruhan. Atau apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
23. Selanjutnya, DPR RI menyampaikan hasil kesimpulan rapat kerja dan rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPPU) tertanggal 11 Januari 2023, sebagai berikut:
a. Sesuai dengan UU Pemilu bahwa KPU adalah Lembaga pelaksana Undang-Undang dalam menjalankan teknis penyelenggaraan Pemilu. Atas dasar tersebut Komisi II DPR RI mengingat KPU untuk bekerja secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya dalam setiap tahapan Pemilu 2024 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
b. Komisi II DPR RI menekankan kembali agar KPU, Bawaslu, dan DKPP dapat menjadi penyelenggara Pemilu yang berintegritas, independen, mandiri dan profesional untuk suksesnya Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2024.
c. Komisi II DPR RI secara bersama dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP bersepakat bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 tetap berdasarkan UU Pemilu.
d. KPU RI berkomitmen untuk menyelenggarakan Pemilu Tahun 2024 berdasarkan UU Pemilu yang menggunakan sistem Pemilu Proporsional Terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu dan dikuatkan oleh Putusan MK Nomor 22-24/PUU-Vl/2008 pada 23 Desember 2008.
e. Komisi II DPR RI mendesak kepada Bawaslu untuk segera menetapkan Sekretaris Jenderal Bawaslu secara definitif melalui mekanisme Job Fit guna memastikan penyelesaian seluruh masalah internal dalam rangka penguatan kelembagaan dan penataan aparatur serta urusan administratif.
f. Komisi II DPR RI secara bersama dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu dan DKPP bersepakat bahwa Penetapan Daerah Pemilihan untuk DPR RI dan DPRD Provinsi sama dan tidak berubah sebagaimana termaktub dalam lampiran III dan IV Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PERPPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan menjadi bagian isi dari PKPU tentang Daerah Pemilihan. Daerah Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota akan dibahas lebih lanjut secara bersama-sama.
114/PUU-XX/2022
Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu
Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430