Kerugian Konstitusional:
ara Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo karena terdapat perbedaan pengaturan terkait masa usia pensiun dengan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung (MA), yakni 67 (enam puluh tujuh) tahun berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 3/2009). Hal tersebut merugikan Para Pemohon karena Para Pemohon tidak mendapatkan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu, Para Pemohon juga tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 8-10).
Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa keberlakuan Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 tidak menghalangi, mengurangi, maupun melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Pengaturan mengenai batasan usia pensiun dalam Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 bukanlah hal yang baru karena sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (Perpres 49/2012). Pengaturan mengenai batasan usia pensiun dalam level undang-undang, yaitu dalam ketentuan Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020, justru merupakan bentuk pemenuhan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai prinsip equality before the law atau asas persamaan di hadapan hukum, dalam hal ini, Para Pemohon dapat mengajukan pengujian suatu norma undang-undang yang keberlakuannya dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian Mahkamah Konstitusi mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan pemohon yang satu dengan pemohon yang lain. Perlakuan dalam penegakan hukum dan pemerintahan yang ada tidak membedakan antara Para Pemohon dengan anggota masyarakat lainnya, sehingga ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak relevan apabila dipertautkan dengan ketentuan Pasal a quo.
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon I telah berumur 45 tahun pada saat ini dan berpeluang menapaki jenjang karier sebagai panitera muda dan panitera di masa yang akan datang sedangkan Pemohon II telah berumur 61 tahun pada saat ini dan berpeluang untuk menapaki jenjang karier sebagai Panitera di masa yang akan datang (vide Perbaikan Permohonan hlm. 6-8) namun keberlakuan Pasal a quo dinilai akan menghambat Para Pemohon dalam menapaki jenjang karier selanjutnya.
Terhadap dalil kerugian Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon I tidak memiliki kepentingan langsung terhadap ketentuan Pasal a quo UU 7/2020 karena Pemohon I berprofesi sebagai pengadministrasi registrasi perkara di Mahkamah Konstitusi. Jabatan ini merupakan jabatan administrasi, khususnya jabatan pelaksana, yang nomenklaturnya disebutkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 41 Tahun 2018 tentang Nomenklatur Jabatan Pelaksana Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Instansi Pemerintah. Apabila Pemohon I ingin meniti jenjang karir sebagai panitera, panitera muda, atau panitera pengganti, maka Pemohon I harus mengikuti ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan peraturan pelaksananya serta Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan karena jabatan kepaniteraan di MK merupakan rezim jabatan fungsional yang pengisian jabatannya diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Aparatur Sipil Negara. Mekanisme pengangkatan jabatan fungsional yang harus dilalui oleh Pemohon I tentu tidak dapat dilakukan secara serta merta ketika Pemohon I menginginkannya tetapi harus mengikuti alur panjang pengisian suatu jabatan fungsional dengan melihat ketersediaan formasi jabatan fungsional yang diinginkan oleh Pemohon I. Adanya ketentuan pasal a quo sama sekali tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I, khususnya yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1) maupun Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Selanjutnya terhadap kedudukan hukum Pemohon II, DPR RI berpandangan bahwa dengan berlakunya Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 Pemohon II yang saat ini berprofesi sebagai Panitera Muda pada MK yang telah berusia 61 tahun sampai pada saat ini masih tetap dapat menjalankan pekerjaannya dan tetap mendapatkan haknya sebagai Panitera Muda dan Pengadministrasi registrasi perkara pada MK. Dengan demikian tidak terdapat kejelasan hak dan/atau kerugian konstitusional seperti apa yang dialami secara langsung oleh Pemohon II.
Dalam hal dalil Para Pemohon yang bermaksud menyamakan pengaturan usia pensiun panitera, panitera muda, dan panitera pengganti di MK dengan pengaturan usia pensiun panitera, panitera muda, dan panitera pengganti di MA, DPR RI menerangkan bahwa kepaniteraan di MA dan kepaniteraan di MK tidak dapat disamakan karena terdapat perbedaan jalur profesi di antara keduanya. Kepaniteraan di MA merupakan aparatur tata usaha negara yang berasal dari profesi hakim, sedangkan kepaniteraan di MK merupakan aparatur negara yang berasal dari pegawai negeri sipil sebagai pejabat fungsional tertentu. Selain itu secara kelembagaan terdapat perbedaan karakteristik pengaturan antara kepaniteraan pada MA dan MK. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 dan dilanggar dengan berlakunya pasal a quo UU 7/2020. Selain itu, menyamakan sesuatu yang tidak sama justru merupakan suatu tindakan diskriminatif sebagaimana terdapat adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.”
3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan telah nyata dirugikan akibat berlakunya Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 karena Para Pemohon tidak mendapatkan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta Para Pemohon juga tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, DPR RI menerangkan bahwa Para Pemohon tidak menguraikan secara jelas dan rinci kerugian konstitusional seperti apa yang dialami secara langsung oleh Para Pemohon atas berlakunya pasal a quo, lebih lanjut dengan berlakunya pasal a quo Para Pemohon juga tidak menghalangi Para Pemohon dalam menjalankan pekerjaannya sebagai panitera dan pengadmistrasi registrasi perkara pada MK serta tidak menghalangi Para Pemohon untuk menapaki jenjang karir sampai pada saat ini. Dengan demikian Para Pemohon tidak dapat menguraikan bagaimana potensi Para Pemohon untuk dapat diangkat menjadi Panitera dan Panitera Muda pada MK di masa yang akan datang, sehingga tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas maka sudah dapat dipastikan Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya sehingga Para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya hubungan sebab akibat langsung (causal verband) antara kerugian konstitusional Para Pemohon dengan ketentuan pasal a quo UU 7/2020. Bahwa dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon.
Pokok Permohonan:
1. Para Pemohon mendalilkan bahwa kedudukan MA dan MK adalah sederajat karena sumber kewenangannya berasal dari sumber hukum yang sama, yaitu UUD NRI Tahun 1945, maka dengan adanya perbedaan usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada MA dengan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada MK sebagaimana diatur dalam Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 telah nyata merugikan Para Pemohon (vide Permohonan hlm. 17).
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa kedudukan MA dan MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman berasal dari sumber hukum yang sama, yaitu Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945, namun terdapat perbedaan dalam pengisian jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di kedua lembaga tersebut. Proses pengisian jabatan kepaniteraan pada lembaga MA berasal dari jabatan hakim sebagaimana diatur dalam UU 3/2009.
b. Pasal 20 ayat (1) huruf d, ayat (2) huruf b, dan ayat (3) huruf b UU 3/2009 selengkapnya berketentuan sebagai berikut:
Pasal 20 ayat (1) huruf d UU 3/2009:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat:
d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding.
Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 3/2009:
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat:
d. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi.
Pasal 20 ayat (3) huruf b UU 3/2009:
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat:
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama.
c. Lebih lanjut tidak terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai batas usia pensiun jabatan kepaniteraan pada MA dalam UU 3/2009 maupun dalam undang-undang sebelumnya yang mengatur mengenai MA. Hal ini dikarenakan ketentuan mengenai batas usia pensiun mengikuti ketentuan mengenai batas usia pensiun, ketua atau wakil ketua pengadilan tinggi, hakim pengadilan tinggi, dan hakim pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (UU 49/2009).
d. Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 49/2009 selengkapnya berketentuan sebagai berikut:
Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 49/2009
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan negeri, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi; atau
Dengan demikian maka dapat ditemukan batas usia pensiun untuk jabatan kepaniteraan di lembaga MA, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun untuk Panitera dan Panitera Muda sebagaimana usia pensiun hakim pengadilan tinggi, dan 65 (enam puluh lima) tahun untuk Panitera Pengganti sebagaimana usia pensiun hakim pengadilan negeri.
e. Sedangkan kepaniteraan pada MK berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (3) Perpres 49/2012 adalah jabatan fungsional non angka kredit. Dengan demikian jabatan kepaniteraan pada MK merupakan aparatur negara atau pegawai negeri sipil dan memiliki kedudukan yang sama dengan jabatan fungsional sejenis lainnya, yaitu kepaniteraan di peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
f. Batas usia pensiun jabatan kepaniteraan dalam lingkup peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara diatur dalam berbagai ketentuan berikut:
Pasal 36A huruf d dan huruf e UU 49/2009:
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan negeri;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi;
Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama:
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan agama;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi agama;
Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara;
g. Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang mengatur batas usia pensiun yakni 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pada MK telah tepat karena telah sesuai dengan batas usia pensiun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti di peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, khususnya bagi panitera, panitera, dan panitera pengganti pengadilan tinggi, pengadilan tinggi agama, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, yaitu 62 (enam puluh dua) tahun.
Dengan demikian jabatan kepaniteraan pada MA dan pada MK tidak sama dan tidak dapat disamakan. Jika Para Pemohon menginginkan adanya kesamaan di antara keduanya justru akan menimbulkan ketidakadilan sebagaimana terdapat pandangan hukum oleh Prof. Bagir Manan yang mengemukakan bahwa:
“Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama” (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XX/2022 hlm. 78)
h. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa kesederajatan kedudukan MA dan MK karena sumber kewenangan MA dan MK berasal dari sumber hukum yang sama, yaitu UUD NRI Tahun 1945, berakibat pada disamakannya usia pensiun kepaniteraan pada MK dengan kepaniteraan pada MA (vide Perbaikan Permohonan hlm. 18) adalah tidak beralasan menurut hukum.
2. Bahwa perubahan materi muatan Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 merupakan bentuk tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Dalam Putusan a quo, Majelis Hakim Konstitusi menguji konstitusionalitas Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 yang tidak memberikan batasan usia pensiun bagi Kepaniteraan pada MK, yang selengkapnya berketentuan sebagai berikut:
Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011:
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi”
b. Dengan tidak adanya pembatasan usia pensiun kepaniteraan pada MK maka Majelis Hakim Konstitusi melalui Putusan a quo memberikan pertimbangan sebagai berikut:
[3.12] ...
Bahwa ketiadaan penetapan usia pensiun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi dalam UU 8/2011 merupakan perlakuan yang tidak mempersamakan kedudukan orang atau pejabat di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim, oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
c. Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi tersebut, maka diputuskan Amar sebagai berikut:
Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”.
d. Bahwa penetapan batas usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada MK merupakan amanat dari Putusan a quo sebagaimana tercantum dalam halaman 5-6 Naskah Akademik RUU Perubahan Ketiga Atas UU 24/2003 bahwa salah satu perkembangan dan dinamika kebutuhan hukum masyarakat terlihat dari adanya putusan MK, salah satunya adalah Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012. Hal tersebut juga terdapat dalam Risalah Pembahasan RUU Perubahan Ketiga Atas UU 24/2003 sebagai berikut:
Risalah Rapat Panitia Kerja RUU Perubahan Ketiga Atas UU 24/2003
Kamis, 27 Agustus 2020 pukul10.00 WIB – 19.46 WIB
FP – Demokrat (Santoso, S.H):
Pimpinan!
Ketua Rapat (Dr. Ir. Adies Kadir, S.H., M.Hum.):
Oh ya Santoso.
FP – Demokrat (Santoso, S.H):
DIM 28
Ketua Rapat (Dr. Ir. Adies Kadir, S.H., M.Hum.):
Wah mundur lagi ini? 28 kenapa lagi 28?
FP – Demokrat (Santoso, S.H):
DIM 28 ini saya melihatnya tidak linier dengan usia ASN ya apakah tidak menyebabkan menjadi persoalan di kemudian hari jika panitra di Mahkamah Konstitusi ini kan mereka kan ASN semua ini sementara ASN kan 60 tahun ya pensiunnya, mohon ini jadi pertimbangan dasarnya apa begitu? Dan apakah tidak menjadi persoalan kalau dalam sisi ASN ya termasuk juga penggajiannya dan lain sebagainya begitu. Mohon apa informasi dari pihak Pemerintah.
Ketua Rapat (Dr. Ir. Adies Kadir, S.H., M.Hum.):
Jadi pak Santoso mohon ijin karena ini sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PU/2012 yang di ucapkan pada tanggal 25 September 2012 memutuskan bahwa pasal 7 ayat (1) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang disertai frasa dengan usia pensiun 62 tahun bagi panitra, panitra muda dan panitra pengganti. Jadi kita tinggal menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi. Betul begitu ya pak Sekjen MK?
Iya baik, terima kasih pak Santoso atas ketelitiannya.
Bisa kita lanjutkan ke DIM 78 ya? Silakan pak.
e. Bahwa dalam Rapat Panitia Kerja Pembahasan RUU Perubahan Ketiga Atas UU 24/2003 pada tanggal 27 Agustus 2020 telah dihadiri oleh perwakilan dari MK, salah satunya adalah Sekretaris Jenderal MK. Dalam rapat tersebut Sekretaris Jenderal MK mengemukakan bahwa pembentukan UU 7/2020 telah mengakomodir terkait seluruh putusan MK. Selengkapnya, pernyataan Sekretaris Jenderal MK diuraikan sebagai berikut:
Sekjen Mk (Prof. Guntur Hamzah, S.H., M.H):
Mohon ijin pimpinan.
Baik Pimpinan yang kami hormati, para Anggota Panja yang juga kami hormati Pak Dirjen.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Selamat siang salam sejahtera untuk kita semua
Shalom Om Swastiastu namo budhaya salam kebajikan.
Terkait dengan hal ini ya memang tadi sudah beberapa kaitannya dengan putusan MK memang concern kami bahwa hendaknya putusan MK itu menjadi salah satu rujukan dan Alhamdulillah tadi saya kira semua di akomodir menyangkut itu dan ada hal menyangkut Majelis Kehormatan dalam kaitan dengan DIM 115, nah ……
f. Dengan demikian jika Para Pemohon menginginkan adanya perubahan usia pensiun Panitera dan Panitera Muda pada MK menjadi 67 tahun dan usia pensiun Panitera Pengganti pada MK menjadi 65 tahun, maka dapat dikatakan Para Pemohon menginginkan adanya perubahan pendapat hukum atau pendirian Majelis Hakim Konstitusi dari Putusan Nomor 34/PUU-X/2012. Namun dalam uraian pokok permohonan a quo, Para Pemohon tidak menjelaskan adanya suatu urgensi atau keadaan luar biasa yang dapat mengubah pendirian hakim pada putusan sebelumnya.
3. Bahwa pembentukan Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 merupakan open legal policy pembentuk undang-undang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, DPR RI mengutip pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam beberapa putusan berikut:
Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.”
Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 yang menyatakan:
“Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 yang menyatakan:
“Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimal untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan karakteristik kebutuhan jabatan masing-masing.”
Oleh karena itu, pasal a quo selain merupakan norma yang tergolong sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy) dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
4. Para Pemohon dalam angka 2 petitumnya meminta bahwa:
Menyatakan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6554) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mempunyai kekuatan hukum megikat sepanjang dimaknai:
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi panitera, dengan usia pensiun 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi panitera muda, dan dengan usia pensiun 65 (enam puluh lima) tahun bagi panitera pengganti.”
atau
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 65 (enam puluh lima) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti.”
Merujuk pada petitum di atas, Para Pemohon menggunakan kata “atau” maka terdapat ketidakjelasan/inkonsistensi yang dimintakan oleh Para Pemohon tersebut dimana Para Pemohon tidak jelas apakah meminta usia pensiun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti adalah 67 (enam puluh tujuh) tahun atau masa pensiun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti adalah 65 (enam puluh lima) tahun.
121/PUU-XX/2022
Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430