Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 37/PUU-XIX/2021 / 08-11-2021

Kerugian Konstitusional:
a. Bahwa Pasal 4 ayat (2) dan frasa “kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020 yang menghilangkan peran daerah pada seluruh aspek penguasaan termasuk dalam kebijakan (beleid), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad) telah membuat Para Pemohon dan masyarakat lain yang selama ini berjuang melalui Pemerintah Daerah akan lebih susah, jauh, dan membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal untuk melakukan partisipasi hukum yang adil terkait kebijakan pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, juga melanggar asas keterbukaan serta fungsi otonomi daerah dan desentralisasi itu sendiri. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17)
b. Keberadaan Pasal 4 ayat (2) dan frasa “kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020 yang mengilangkan frasa “dan/atau pemerintah daerah”, turut menghapus dan mengubah ketentuan-ketentuan dalam UU 4/2009 yang memberi kewenangan pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam menjalankan fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan mineral dan batubara sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 151, Pasal 169C huruf g, Pasal 173B dan Pasal 173C UU a quo, sehingga secara mutatis mutandis juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 18)
c. Bahwa Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), Pasal 172B ayat (2) UU 3/2021 tentang jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR justru merupakan bentuk pembekuan atas pola ruang kawasan budidaya, khususnya pertambangan, yang bersifat permanen dan mutlak. Berdasarkan karakteristiknya, ruang tidak dapat bersifat statis karena adanya akibat kegiatan pertambangan dan kemungkinan perubahan lingkungan hidup strategis sehingga Pasal-Pasal a quo tidak dapat dibenarkan. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 27)
d. Bahwa Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Pasal 39 UU 11/2020 sejatinya tidak memiliki perbedaan perlakuan dari Pasal 162 UU 4/2009, dimana dalam pemberlakuan sebelumnya rumusan Pasal a quo berpotensi menjadi alat represi masyarakat dan menyebabkan ketidakpastian hukum karena dibuat tidak berdasarkan tujuan kebijakan kriminal yang sesungguhnya yaitu mencapai kesejahteraan sosial, dan tidak memenuhi prinsip lex certa (rumusan yang jelas, baik perbuatan, keadaan maupun akibat). (vide Perbaikan Permohonan hlm. 34)
e. Bahwa dengan adanya jaminan perpanjangan KK dan PKP2B sekaligus berubah status menjadi IUPK merupakan hal yang tidak sesuai dengan prinsip penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebab jaminan tersebut mengandung arti bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan dikuasai oleh negara tetapi oleh swasta dalam hal ini entitas bisnis pertambangan mineral dan batubara. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 42)

Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa pada intinya Para Pemohon menguji 4 (empat) pokok materi dari Pasal-Pasal a quo yang diujikan yang dianggap memiliki pertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
DPR perlu menanggapi bahwa permohonan Para Pemohon obscuur libels (tidak jelas/kabur). Para Pemohon hanya menyebutkan batu uji tersebut berkaitan dengan Pokok Permohonannya. Sementara, dalam uraian kedudukan hukum/legal standing-nya, Para Pemohon sama sekali tidak menguraikan Pasal-Pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji. Sehingga menjadi tidak jelas apa dan bagaimana sesungguhnya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 melalui batu uji yang digunakan tersebut.
Selain itu, DPR perlu menanggapi bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak konstitusional, melainkan mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 juga tidak mengatur mengenai hak-hak konstitusional, melainkan mengatur mengenai konsep perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sehingga Pasal-Pasal a quo tidak relevan dijadikan sebagai batu uji.
Dengan demikian, DPR menerangkan bahwa Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bertautan dengan kerugian yang didalilkan.

2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Para Pemohon mendalilkan mengalami kerugian diakibatkan Pasal-Pasal UU a quo UU a quo yang diujikan karena secara langsung maupun tidak langsung telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus menerus oleh Para Pemohon dalam menjalankan tugas dan perannya mendorong perlindungan lingkungan, perbaikan hak asasi manusia, keadilan sosial di industri pertambangan, keadilan distribusi sumber daya alam serta perlindungan masyarakat di Indonesia. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14).
Jika diuraikan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi batu uji pokok permohonan berkaitan norma Pasal-Pasal a quo, mengatur beberapa hak setiap orang untuk:
- mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya;
- memajukan dirinya memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara;
- pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
- perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
- hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sebagai Pemohon berbentuk badan hukum privat/organisasi non pemerintah (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdasarkan Anggaran Dasarnya melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan dan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat masih tetap mendapatkan hak-hak sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Terhadap dalil Pemohon I dan Pemohon II tersebut, DPR menerangkan bahwa berlakunya Pasal-Pasal a quo tidak serta merta menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan tugas dan perannya. Pemohon I sebagai badan hukum berbentuk yayasan tetap dapat melakukan 3 (tiga) bidang pokok kegiatan berupa:
a) komunikasi dan informasi timbal balik di antara LSM, antara LSM dan khalayak ramai, serta antara LSM dan pemerintah.
b) Pendidikan dan latihan untuk memperluas wawasan, membina keterampilan dan sikap LSM dalam pengembangan lingkungan hidup
c) Pengembangan program LSM (vide Perbaikan Permohonan hlm. 7)
Pemohon II sebagai badan hukum perdata berbentuk Perkumpulan yang berdasarkan Anggaran Dasarnya melakukan beberapa kegiatan berkaitan dengan hak asasi manusia, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu keadilan sosial dalam pertambangan mineral dan batubara. Pemohon II masih dapat melaksanakan kegiatan utamanya berupa pendidikan dan penyadaran publik, penelitian, menggalang solidaritas, pengorganisasian masyarakat, dan advokasi hukum. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 10).
Selain itu, Pemohon III dan Pemohon IV mendalilkan melakukan perjuangan penolakan tambang yang berujung pada pemanggilan oleh aparat kepolisian setempat. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 12-13). DPR menanggapi bahwa sejatinya persoalan yang dialami merupakan kasus konkret yang perlu diselesaikan dengan upaya hukum berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, DPR berkesimpulan tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan akibat keberlakuan ketentuan Pasal-Pasal a quo.

3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa Pemohon I merasa dirugikan karena hilangnya dan tidak berjalannya peran dan hak Pemohon I sebagai WALHI daerah seiring dengan hilangnya kewenangan pemerintah daerah yang berpindah menjadi kewenangan pemerintah pusat (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9). DPR menanggapi bahwa wewenang dan peran Pemohon I dalam melakukan advokasi lingkungan hidup dan hak asasi manusia masih tetap dapat dilakukan khususnya dalam melakukan penyelamatan lingkungan hidup, pengorganisasian rakyat, pendidikan kritis, kampanye dan riset, litigasi, dsb. Pemohon II juga dapat terus melakukan pendidikan dan penyadaran publik, penelitian, menggalang solidaritas, pengorganisasian masyarakat dan advokasi hukum.
Selain itu, dalam kaitannya dengan kerugian yang bersifat spesifik, Pemohon I dan Pemohon II juga tidak menjelaskan bentuk advokasi yang dilakukan karena saat diajukan permohonan pengujian Pasal-Pasal a quo tidak ada kasus konkret terkait ketentuan Pasal-Pasal a quo yang sedang diadvokasi oleh Pemohon I dan Pemohon II.
Selanjutnya, Pemohon III dan Pemohon IV sebagai perorangan warga negara mendalilkan secara nyata dan/atau berpotensi kehilangan hak konstitusional untuk berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mendorong perekonomian nasional atas demokrasi ekonomi berwawasan lingkungan, kepastian hukum, memajukan diri secara kolektif dan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman akibat Pasal-Pasal a quo (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14). Namun oleh karena pada uraian kedudukan hukumnya, Para Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik hak dan/atau kewenangan konstitusional tiap-tiap Pemohon melalui Pasal-Pasal UUD NRI Tahun 1945, maka menjadi tidak relevan dan tidak terbukti kerugian yang dimaksud dapat bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial terjadi. Berkaitan dengan keberlakuan Pasal-Pasal a quo yang diujikan, Para Pemohon bukanlah subjek (addressat norm) dari pengaturan tersebut.
Dengan demikian, DPR berkesimpulan bahwa Para Pemohon dapat menjalankan tugas dan perannya tanpa dirugikan hak konstitusionalnya baik aktual maupun potensial menurut penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi atas berlakunya Pasal a quo.

4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa Para Pemohon menguji Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa "kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan" UU 3/2020 yang berkaitan dengan dihapusnya kewenangan Pemerintah Daerah dan dipertegasnya kewenangan Pemerintah Pusat dalam penguasan Mineral dan Batubara oleh negara sesuai ketentuan undang-undang. Selain itu, Pasal-Pasal lain yang diujikan juga berkaitan dengan hal-hal teknis dalam pertambangan mineral batubara, yaitu jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR, ancaman hukuman, serta jaminan pemberian izin perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian.
Bahwa Para Pemohon perlu menyadari bahwa ia bukan subjek (addresat norm) dalam pengaturan wewenang tersebut, dan juga bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah. Pasal-Pasal a quo sama sekali tidak berkaitan secara langsung dengan wewenang dan peran Para Pemohon. Para Pemohon juga bukan pelaku usaha yang mengalami kerugian karena keberlakuan Pasal-Pasal a quo berkaitan dengan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Tujuan pendirian lembaga Pemohon I sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Anggaran Dasar Pemohon I berbunyi: “Mendorong peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam usaha pengembangan lingkungan hidup, serta menyalurkan aspirasinya dalam lingkup nasional.” Maka, tidak ada batasan bagi Pemohon I dalam menjalankan tugas dan perannya sebab berada pada wilayah kerja lingkup nasional. Pemohon I justru dapat lebih berperan dalam mengadvokasi masyarakat di daerah dengan memanfaatkan jejaringnya hingga pusat. Pemohon I melalui 28 (dua puluh delapan) eksekutif daerah dalam 5 (lima) region harus dapat menyesuaikan peran dan wewenangnya dalam kerangka negara kesatuan.
Selain itu, ruang lingkup peran dan wewenang Pemohon I tidak terbatas hanya di bidang pertambangan mineral dan batubara sehingga eksekutif daerah Pemohon I tetap dapat melakukan peran dan wewenangnya.
Terhadap dalil Pemohon III dan Pemohon IV yang menyatakan adanya potensi kerugian karena akses semakin jauh melalui Pemerintah Pusat, DPR berpendapat bahwa menjadi tidak jelas apa yang sesungguhnya dimintakan oleh Para Pemohon? Pada satu sisi mempermasalahkan hilangnya wewenang Pemerintah Daerah, padahal Pasal-Pasal a quo khususnya Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo berkaitan dengan wewenang penguasaan mineral dan batubara oleh negara tidak berkorelasi dengan kepentingan hukum Pemohon III dan Pemohon IV.
Namun, di sisi lain Pemohon III dan Pemohon IV juga mempermasalahkan hak untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat karena sedang mengalami kasus konkret berupa pemanggilan oleh aparat penegak hukum setempat dalam memperjuangkan haknya tersebut. Para Pemohon menguji kesemua Pasal-Pasal a quo tanpa membedakan materi-materi Pasal dengan peran dan kedudukan tiap Pemohon yang secara jelas memiliki perbedaan.
DPR berkesimpulan bahwa oleh karena Para Pemohon tidak dapat menguraikan keterkaitan antara kerugian yang didalilkan dengan Pasal-Pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kepentingan hukum Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal-Pasal a quo.

5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada huruf a, b, c, dan d, Pasal-Pasal a quo yang diujikan oleh Para Pemohon mengenai kewenangan penguasaan mineral dan batu bara oleh negara adalah tidak berkaitan langsung dengan kepentingan hukum Para Pemohon. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum apabila dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitan dengan advokasi perlindungan hutan yang dimaksud seperti apa. Sehingga tidak cukup hanya dengan menguraikan dalil-dalil Para Pemohon terkait inkonstitusionalitas Pasal-Pasal a quo secara substantif.

Pokok Permohonan:
1. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 4 ayat (2) mengenai hilangnya frasa “dan/atau pemerintah daerah” dalam penguasaan mineral dan batubara dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa "kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan" UU 3/2020 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, DPR menanggapi sebagai berikut:
a. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Ketentuan ini menegaskan bahwa urusan absolut Pemerintah Pusat tidak dapat diambil sendiri secara sepihak, melainkan harus ditentukan secara jelas dalam undang-undang (Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo Persada). Ketentuan penguasaan mineral dan batubara oleh Pusat kemudian menjadi salah satu materi perubahan penting dalam UU 3/2020.
b. Sebelum dilakukan perubahan melalui UU 3/2020, UU 4/2009 mengatur bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Pasal-Pasal a quo yang diujikan turut menghapus dan mengubah ketentuan UU Pertambangan Minerba yang memberikan kewenangan pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam menjalankan fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan mineral dan batubara. Pasal 173C UU 3/2020 mempertegas bahwa pelaksanaan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara oleh Pemerintah Daerah Provinsi yang telah dilaksanakan berdasarkan UU 4/2009 dan UU lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertambangan mineral dan batubara tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak UU 3/2020 berlaku.
c. Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 pada pokoknya mengatur bahwa Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.
d. Adanya dalil Para Pemohon yang menyatakan hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam penguasaan mineral dan batubara kepada Pemerintah Pusat menyebabkan Para Pemohon yang selama ini berjuang melalui Pemerintah Daerah akan mengalami kesulitan, jauh, dan membutuhkan biaya yang lebih mahal adalah tidak berdasar. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17).
Bahwa berbagai permasalahan dalam pelaksanaan pengelolaan mineral dan batubara selama ini menjadi alasan pentingnya dilakukan optimalisasi penguasaan mineral dan batubara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat secara komprehensif. Pada dasarnya pengelolaan mineral dan batubara merupakan persoalan yang bersifat lintas wilayah dan daerah sehingga banyak aspek yang perlu diperhatikan. Sehingga tentu tidak bisa jika hanya berfokus pada persoalan dan kepentingan salah satu pihak seperti berkaitan dengan wewenang badan hukum privat/LSM yang didalikan Para Pemohon.
e. Bahwa urgensi diaturnya Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) adalah untuk mengatasi permasalahan dalam pengelolaan mineral dan batubara. Berbagai pertimbangan dari diaturnya pengelolaan mineral dan batubara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, secara jelas telah tertulis dan dibacakan dalam Pendapat akhir Pemerintah yang dibacakan pada Rapat Kerja Komisi VII DPR RI (Pembicaraan Tingkat I/Pengambilan Keputusan) pada tanggal 11 Mei 2020 sebagai berikut:
Berkaitan dengan kewenangan pengelolaan pertambangan telah disepakati bahwa kewenangan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dengan pengaturan bahwa terdapat jenis perizinan pertambangan yang akan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah, di antaranya perizinan batuan skala kecil, dan Izin Pertambangan Rakyat. Adapun dasar pertimbangan penarikan kewenangan pengelolaan pertambangan ke pusat di antaranya:
1) Kebijakan Bapak Presiden yang tercermin dalam RUU Cipta Kerja;
2) Pengendalian produksi dan penjualan terutama logam batubara sebagai komoditas strategis untuk ketahanan energi serta suplai hilirisasi logam;
3) Penarikan kewenangan ke pusat untuk komoditas logam dan batubara lebih efektif, sementara untuk bukan logam, batuan, dan IPR dapat didelegasian ke Pemda.; dan
4) Penarikan kewenangan pengelolaan pertambangan ke Pusat tidak akan mempengaruhi pendapatan daerah yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pertambangan.
f. Selain itu, berdasarkan Keterangan Pemerintah pada Agenda Sidang Mendengarkan Keterangan Pemerintah dalam Pengujian Formil dan Materil UU 3/2020 tertanggal 21 Oktober 2020, masih terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan mineral dan batubara berdasarkan UU 4/2009 yang diberlakukan sebelumnya, antara lain:
a) Masih banyak data IUP yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. Bahwa semenjak adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), terjadi peningkatan jumlah IUP yang signifikan; Tanpa adanya sinkronisasi data antara pemerintah pusat dan daerah, maka penyusunan kebijakan dan pelaksanaan penataan IUP menjadi tidak tepat sasaran. Dengan kondisi yang demikian tersebut, maka kewajiban pelaporan dalam penyelenggaraan usaha pertambangan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat menjadi tidak berjalan;
b) Pemerintah daerah tidak mengalokasikan cukup dana untuk kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan, padahal mengacu pada ketentuan Pasal 11 UU 3/2020 telah diatur bahwa pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka untuk mempersiapkan wilayah pertambangan;
c) Banyak konflik pertambangan yang terjadi antara pemegang IUP dengan masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara baik, padahal idenya adalah pemerintah daerah dianggap lebih memahami aspek sosio-ekonomi masyarakat setempat;
d) Izin pertambangan banyak diberikan tanpa mempertimbangkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan; Dokumen AMDAL yang dibuat sering bersifat copy paste dari dokumen AMDAL lain yang tidak menggambarkan kondisi real di lapangan dan jarang sekali ada upaya pemberian sanksi kepada perusahaan yang melanggar syarat izin lingkungan tersebut; Permasalahan terjadi karena kurangnya pengawasan pemerintah daerah terkait penerbitan AMDAL.
e) Kurangnya SDM baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada umumnya pemberian izin pertambangan dilakukan melalui mekanisme perizinan dari Dinas Pertambangan dan Energi, namun banyak ditemukan Kepala Dinas yang menjabat tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi terkait pertambangan;
f) Kurangnya teknologi pemerintah daerah dalam pertambangan, sebagai contoh masih banyak daerah yang tidak memiliki Geospacial Information System (GIS) dalam pengukuran wilayah izin usaha pertambangan; dan
g) Kurangnya Inspektur Tambang dalam praktek pengawasan kegiatan pertambangan, karena sebagian besar provinsi dan kabupaten/kota tidak mempunyai inspektur tambang yang merupakan jabatan fungsional.
g. Bahwa Pasal 173B UU 3/2020 mencabut dan menyatakan tidak berlaku ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada Angka I Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Sub Urusan Mineral dan Batubara yang tertuang dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU 23/2014 sebagaimana telah diubah UU 9/2015.
Selain itu, terdapat kebutuhan untuk melakukan sinkronisasi berkaitan dengan prinsip kuasa pertambangan yamg diberikan negara kepada Pemerintah beserta pembagian wewenangnya sebagaimana diatur dengan UU Cipta Kerja.
DPR berpendapat bahwa diaturnya kewenangan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara jelas dalam UU 3/2020 telah sesuai dengan nilai kepastian hukum dan konsep otonomi daerah yang berlaku di negara kesatuan.
h. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf f UU 3/2020, Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara berwenang menetapkan WP (Wilayah Pertambangan) setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR RI. Sehingga dalam penetapan WP terdapat wewenang Pemerintah Daerah provinsi.
i. Selanjutnya, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU 3/2020 mengatur bahwa Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, melalui pemberian:
a. Nomor induk berusaha;
b. Sertifikat standar; dan/atau
c. Izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun izin-izin tersebut terdiri atas IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, izin penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP, dan IUJP untuk Penjualan.
Selanjutnya, Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 mengatur bahwa “Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Penjelasan Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 mengatur bahwa Pendelegasian kewenangan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah provinsi didasarkan pada prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan eksternalitas dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan, antara lain dalam pemberian IPR dan SIPB.
Dengan demikian, DPR berpendapat bahwa tidak tepat jika Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal-Pasal a quo telah mereduksi dan menghilangkan peran Pemerintah Daerah. UU 3/2020 masih jelas mengatur wewenang Pemerintah Daerah, melalui pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah provinsi dalam pemberian perizian berusaha seperti nomor induk berusaha, sertifikat standar, dan/atau izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
j. Perlu dijelaskan bahwa terkait keselarasan antara kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka pengusahaan pertambangan yang bersifat strategis senyatanya telah menjadi kewenangan pemerintah pusat, baik sejak pengelolaan pertambangan masih dalam bentuk kontrak karya atau perjanjian karya berdasarkan UU 1/1967 dan Keppres 75/1996 maupun ketika telah bertransformasi menjadi IUPK berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan. Pemerintah Daerah pada saat yang sama juga telah diberikan kewenangan untuk mengelola perizinan dengan mengacu pada prinsip efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas.
k. Alasan lainnya dalam perubahan UU 4/2009 melalui UU 3/2020 adalah terdapat kebutuhan untuk menyesuaikan dengan 4 (empat) putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian UU 4/2009 yang menyatakan bahwa beberapa pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, yaitu adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terkait penghapusan luas minimum WIUP Eksplorasi, Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 terkait keterlibatan masyarakat dalam proses penetapan Wilayah Pertambangan (WP), dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-X/2012 terkait penentuan WP oleh Pemerintah Daerah;
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemerintah bersama-sama dengan DPR memandang penting untuk melakukan perubahan terhadap UU 4/2009.
l. Bahwa sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020, penguasaan mineral dan batubara oleh negara dilaksanakan melalui fungsi peran kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad). Menurut Para Pemohon, peran tersebut diakui dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf t, Pasal 9 ayat (2), Pasal 17A ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17B, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2) dan (3), Pasal 75 ayat (2), Pasal 104A, Pasal 108, Pasal 112 UU 3/2020. Akan tetapi, Para Pemohon mempermasalahkan peran dalam fungsi tersebut tidak diakui dengan diberlakukannya Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020. Para Pemohon kemudian juga menyebutkan bahwa tidak adanya peran daerah dan pengawasan oleh masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah Pusat di bidang pertambangan mineral dan batubara menyebabkan sulit dan jauhnya akses daerah, sehingga bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), fungsi otonomi daerah, dan demokrasi ekonomi. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17-18)
m. DPR perlu menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan otonomi daerah di dalam negara kesatuan. Pemerintah Pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara dimana sebagai penyelenggara kedaulatan negara aktivitasnya diawasi dan dibatasi undang-undang. Konsekuensi logis dari posisi Pemerintah Pusat tersebut, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah Pemerintah Pusat harus tunduk kepada Pemerintah Pusat. Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan terjadi tumpang tindih dan tabrakan dalam pelaksanan kewenangan (prinsip unity of command) (Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah).
n. Perlu dipahami bahwa konsep otonomi daerah tersebut juga jelas diatur dalam UU 23/2014. Diberikannya otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan, dimana kedaulatan hanya dimiliki oleh pemerintahan negara dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Seluas apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Hal penting lainnya dalam hakikat konsep otonomi daerah adalah bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden.
o. Sebagaimana telah DPR sebutkan sebelumnya, UU 3/2020 tidak menghilangkan wewenang Pemerintah Daerah karena ada pembagian urusan bidang tertentu dan pelimpahan wewenang terhadap daerah, maka hal tersebut telah sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam negara kesatuan. Sehingga menjadi tidak relevan jika disebutkan terdapat pertentangan dengan konsep otonomi daerah.
p. Para Pemohon kemudian juga mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PII-I/2003 dan Nomor 85/PUU-XI/2013 terkait fungsi mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) dan penguasaan oleh negara sebagai salah satu dasar untuk mendalilkan hilangnya peran daerah dalam aspek penguasaan, termasuk dalam kebijakan (beleid), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad) adalah hal krusial dalam penguasaan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berdasar demokrasi ekonomi. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17).
q. DPR berpendapat bahwa hilangnya frasa “dan/atau Pemerintah Daerah” dan diaturnya penyelenggaraan oleh Pemerintah Pusat dalam penguasaan mineral dan batubara oleh negara, tentu tidak berarti hal tersebut bertentangan dengan demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini telah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (2) yang menyatakan bahwa:“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
r. Bahwa frasa “dikuasai oleh Negara” juga menjadi bagian dalam konsep demokrasi ekonomi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang perlu ditafsirkan sesuai konteksnya. Sebab, Putusan-putusan MK tersebut bukan dalam konteks yang dapat dipersamakan dengan kewajiban diaturnya wewenang penyelenggaraan mineral dan batubara oleh Pemerintah Daerah sebagaimana yang didalilkan Para Pemohon.
s. Berkaitan dengan demokrasi ekonomi sebagaimana diatur Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan pertama kali dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang kembali diperkuat dalam putusan selanjutnya antara lain dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003, Putusan Nomor 009/PUU-I/2003, Putusan Nomor 3/PUU-VII/2010, Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 50/PUU-X/2012, yaitu:
“Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

t. Bahwa dalam rangka dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”; maka kegiatan pertambangan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi Negara karena sifatnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, sesuai dengan amanah yang diintrodusir oleh Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tersebut, maka pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara dengan tujuan agar hasilnya benar-benar memberikan manfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
u. Apabila mengacu pada Putusan MK Nomor 002/PUU-l/2003 tanggal 21 Desember 2004 halaman 208 dan Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, maka pengertian "dikuasai oleh negara" harus dimaknai mencakup sebagai penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya", termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud; Rakyat secara kolektif dikonstruksikan UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengawasan (toezichthoudensdaad) dan pengelolaan (beheersdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Putusan MK tersebut sejalan dengan pendapat dari Bagir Manan dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 49 Nomor 3 tanggal 21 September 2019, yang menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan dasar konstitusional dari Hak Menguasai Negara (HMN) atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. “Hak menguasai negara” yang didasarkan atas konstitusi tersebut “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
v. Bahwa secara yuridis hak menguasai dari Negara diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
w. Berdasarkan sistem demokrasi yang dipilih sebagai kerangka ketatanegaraan Indonesia, prinsip demokrasi ekonomi juga tertulis dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 berisi tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Sistem ekonomi pasar merupakan sebuah kondisi yang mendasarkan mekanisme pasar sebagai penentu dari kebijakan, yang akan mempengaruhi praktik setiap negara. Pada Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 terdapat frasa demokrasi ekonomi, ini dimaknai sebagai sebuah kebebasan masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Pada frasa berikutnya pada pasal dan ayat yang sama, dimaknai sebagai sebuah optimisme yang dibangun dalam mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi pasar tidak boleh berjalan sendiri, perlu dikontrol dan harus diatur oleh negara serta masyarakat sipil. Pancasila sebagai pandangan hidup, telah memberi dasar yang memperkuat kedaulatan rakyat atas kesejahteraannya.
x. Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of The Constitution, telah memutus berbagai pengujian undang-undang dalam bidang ekonomi diantaranya:
a) Perkara Minyak dan Gas Bumi (Putusan Nomor 002/PUU-I/2003, 006/PUUIII/2005 tertanggal 31 Mei 2005, 1/PUU-V/2007 tertanggal 20 September 2007, 3/PUU-VIII/2010 tertanggal 16 Juni 2011, & Putusan Nomor 36/ PUU-X/2012).
b) Selanjutnya dalam pekara Undang-undang Kehutanan yang telah diujikan hingga sepuluh kali selama frekuensi 2003-2015 (Putusan Nomor 003/PUUIII/2005 hingga Putusan Nomor 98/PUU-XIII/2015).
c) Perkara Sumber Daya Air (Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, Putusan Nomor 008/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 10/PUU-XII/2014), sekitar 3.000 individual dan berbagai LSM mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji konstitusionalitas UU Sumber Daya Air. Mayoritas Hakim MK mempertahankan konstitusionalitas UU tersebut, karena MK meyakini bahwa negara akan tetap dapat menguasai sektor penting sumber daya air.
d) Perkara Ketenagalistrikan (Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 149/PUU-/2009), tiga pemohon mengajukan permohonan ke MK untuk menguji konstitusionalitas UU Ketenagalistrikan.
Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir akhir UUD NRI Tahun 1945, juga telah mengisyaratkan dari setiap putusannya atas pengembalian kedaulatan ekonomi rakyat. Dinamika permasalahan dalam hukum ekonomi beserta praktiknya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, senyatanya menjadi fokus utama pembangunan pemerintahan saat ini. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi indikator dari berjalannya reformasi struktural dan fiskal, dihadapkan pada tantangan iklim ekonomi global yang mengalami fluktuatif sejak melambatnya pemulihan ekonomi dunia.
y. Bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang memuat prinsip penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut harus dapat dipahami dalam konteks bagaimana Negara memiliki peran dan fungsi untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berimplikasi pada bagaimana negara harus dapat mendayagunakan potensi dari masing-masing cabang produksi sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk menyejahterakan rakyat.
z. Selain itu, daerah mendapatkan dampak positif berupa penambahan pendapatan melalui beberapa ketentuan pada UU 3/2020. Pasal 128 mengatur bahwa “Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.” Selanjutnya, Pasal 129 mengatur bahwa:
(1) “Pemegang IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam dan Batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah Pusat dan 60% (enam persen) kepada Pemerintah Daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.
(2) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Pemerintah Daerah provinsi mendapat bagian sebesar 1,5% (satu koma lima persen);
b. Pemerintah Daerah kabupaten/kota penghasilan mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
c. Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2% (dua persen).”

Dengan demikian, ketentuan yang mengatur kedudukan Pemerintah Pusat untuk melaksanakan penguasaan oleh Negara dalam sektor mineral dan batubara adalah hal esensi dalam upaya mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan mineral dan batubara secara optimal, efektif dan efisien. Hal tersebut kemudian akan berdampak pada peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagaimana diatur Pasal 128 dan Pasal 129 UU 3/2020.
aa. Bahwa adanya pengaturan Pasal-Pasal a quo dan pembagian urusan dalam pengelolaan mineral dan batubara tidak berarti menghilangkan hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, Para Pemohon juga bukan bagian dari Pemerintah Daerah (Kepala Daerah dan DPRD). DPR berpendapat hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak ada relevansinya dengan administratif kewenangan pemerintah daerah.
bb. Penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan demokrasi ekonomi membutuhkan sistem yang teratur, dan optimalisasi fungsi Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara pengelolaan mineral dan batubara. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) juga dicantumkan dalam landasan mengingat UU 3/2020. Dengan demikian, DPR berpendapat Pasal-Pasal a quo telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, termasuk Pasal 33 ayat (4) berkaitan dengan demokrasi ekonomi yang Para Pemohon dalilkan, serta telah sesuai dengan kemandirian pembangunan industri nasional berbasis sumber daya mineral dan/atau energi batubara sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU a quo.
cc. DPR menegaskan bahwa sejatinya ketentuan terkait kewenangan penguasaan mineral dan batubara oleh negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat tersebut jelas merupakan bentuk open legal policy pembentuk undang-undang. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Laporan Komisi VII DPR mengenai Hasil Pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU 4/2009 yang dibacakan pada Rapat Paripurna DPR tertanggal 12 Mei 2020, sebagai berikut:
“Perubahan isi batang tubuh RUU Minerba:
1. Terkait penguasaan minerba, disepakati bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Selain itu, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batubara.”
dd. DPR RI mengutip pertimbangan putusan angka [3.17] dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.”
Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan:
“Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.

Oleh karena itu, pasal a quo selain merupakan norma yang telah umum berlaku, juga merupakan pasal yang tergolong sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy).
ee. DPR menyimpulkan diaturnya penyelenggaraan mineral dan batubara tidak serta merta menghilangkan jaminan atas penguasaan dan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan sebagaimana didalilkan Para Pemohon (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17). Dengan demikian, seluruh dalil Para Pemohon yang menyebutkan Pasal-Pasal a quo bertentangan dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif kolegial untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk mendapatkan kepastian hukum, dan jaminan penguasaan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berdasarkan atas demokrasi ekonomi adalah tidak berdasar.
2. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 tentang jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR menanggapi sebagai berikut:
a. Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), Pasal 172B ayat (2) UU 3/2021 pada pokoknya berkaitan dengan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara, WPR, WIUPK yang telah diberikan izinnya.
b. Pada intinya alasan Para Pemohon mendalilkan hal di atas adalah karena kegiatan pertambangan di lapangan menimbulkan dampak pada perubahan atas lingkungan hidup sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategisnya (vide Perbaikan Permohonan hlm. 25). DPR menanggapi bahwa jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang tersebut diberikan dalam rangka penguatan iklim investasi dan kepastian dalam kegiatan usaha pertambangan bagi pelaku usaha. Hal ini akan berdampak pada iklim pertambangan yang kondusif serta dapat menekan dan mencarikan solusi atas konflik pertambangan dari tahun ketahun yang terjadi.
c. Berdasarkan Laporan Ketua Panja yang disampaikan dalam Rapat Kerja Panja dengan Pemerintah tanggal 11 Mei 2020, bahwa atas dasar masukan pemerintah, perlu untuk mencantumkan kata “menjamin” dalam UU a quo sebagai bentuk penegasan pemerintah pusat tidak melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan terhadap WIUP, WPR, dan WIUPK agar menjamin kelangsungan investasi.
d. Pengaturan Pasal-Pasal a quo juga perlu dilihat secara utuh dengan melihat Pasal-Pasal lain yang menjadi dasar pemberian jaminan tersebut. Berdasarkan Pasal 17A ayat (1), Pasal 22, Pasal 31A ayat (1) UU 3/2020, selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 17A ayat (1) UU 3/2020:
“Penetapan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan setelah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 22 UU 3/2020:
“Wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WPR harus memenuhi kriteria:
a. mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
b. mempunyai cadangan primer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter;
c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d. luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau
f. memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 31A ayat (1) UU 3/2020:
(1) “Penetapan WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan setelah memenuhi kriteria:
a. pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. ketahanan cadangan;
c. kemampuan produksi nasionaT; danlatau
d. pemenuhan kebutuhan dalam negeri.”

g. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan tersebut dilakukan setelah diberikannya penetapan atas WIUP, WIUPK, dan WPR, yang telah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan teknis terkait penyelenggaraan penataan ruang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 21/2021).
Demikian pula pada Pasal 172B ayat (1) UU 3/2020 yang mengatur bahwa WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya dalam bentuk IUP, IUPK, atau IPR wajib didelineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
h. Bahwa berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 96/2021), tata cara pemberian WIUP mineral logam atau WIUP batubara melalui lelang harus memenuhi persyaratan administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, dan finansial.
Sehingga menjadi jelas bahwa jaminan tersebut tidak diberikan serta merta tanpa memperhatikan syarat yang harus terpenuhi. Jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang diberikan dengan sangat memperhatikan asas dan kesesuaian pemanfaatan ruang dan izin.
i. Bahwa UU 3/2020 sejatinya telah mengatur beberapa ketentuan untuk menjaga fungsi lingkungan alam selama tahapan usaha pertambangan maupun saat pascatambang, antara lain dengan melakukan penerapan kaidah teknik Pertambangan yang baik, termasuk dengan reklamasi dan kegiatan pascatambang.
j. Berdasarkan Pasal 96 UU 3/2020, dalam penerapan kaidah teknik Pertambangan yang baik, pemegang IUP atau IUPK wajib melaksanakan:
a. ketentuan keselamatan Pertambangan;
b. pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang;
c. upaya konservasi Mineral dan Batubara; dan
d. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan Usaha Pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.
k. Pasal 1 angka 26 UU 3/2020 mengatur bahwa Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Pasal 1 angka 27 UU 3/2020 mengatur bahwa Kegiatan Pascatambang, yang selanjutnya disebut Pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah Penambangan. Pasal 123A UU3/2020 juga menegaskan bahwa Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebelum menciutkan atau mengembalikan WIUP atau WIUPK wajib melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100% (seratus persen).
l. Pasal 99 UU 3/2020 secara jelas mengatur sebagai berikut:
(1) “Pemegang IUP atau IUPK wajib mennyusun dan menyerahkan rencana Reklamasi dan/atau rencana Pascatambang.
(2) Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan Pascatambang.
(3) Dalam pelaksanaan Reklamasi yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan, pemegang IUP atau IUPK wajib:
a. memenuhi keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang sudah direklamasi; dan
b. melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir dengan batas paling luas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan lahan yang telah dilakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang kepada pihak yang berhak melalui Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 101 UU 3/2020, pelaksanaan ketentuan reklamasi dan kegiatan pascatambang tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Adapun terhadap WPR, berdasarkan Pasal 73 UU 3/2020, Menteri bertangggung jawab terhadap pelaksanaan kaidah teknis pada IPR meliputi keselamatan pertambangan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk Reklamasi dan Pascatambang.
m. Bahwa berdasarkan Pasal 100 UU 3/2020, terdapat kewajiban bagi Pemegang IUP atau IUPK untuk menyediakan dan menempatkan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang. Menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang dengan dana jaminan tersebut apabila Pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan Reklamasi dan/atau Pascatambang sesuai rencana yang telah disetujui.
n. Adapun jika terdapat pihak yang merasa dirugikan atas suatu penyelenggaraan penataan ruang, berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan.
o. Berdasarkan uraian-uraian di atas, DPR berpendapat bahwa meskipun diberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang, namun pembentuk undang-undang tetap memperhatikan aspek pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan dalam rangka menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik. Ketentuan yang dipersyaratkan harus terpenuhi secara administratif, teknis, lingkungan, dan finansial. Jaminan tersebut juga tidak diberikan permanen sebagaimana didalilkan Para Pemohon, akan tetapi selama jangka waktu izin usaha diberikan.
l. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal-Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 khususnya berkaitan dengan hak atas kepastian hukum dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah tidak berdasar dan asumtif.
3. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 UU 11/2020 telah membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup, memberikan ketidakpastian hukum, dan melanggar hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR menanggapi sebagai berikut:
a. Bahwa pasal 162 UU 3/2020 mengatur ketentuan mengenai pidana penjara dan denda kepada setiap orang yang merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemengang IUP, IUPK, IPR, dan SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) UU 3/2020.
b. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal a quo merupakan suatu bentuk ketidakpastian hukum yang mengakibatkan rasa takut dan tidak aman bagi masyarakat atas dugaan pelanggaran-pelanggaran kasus yang terjadi di sektor pertambangan dan menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon III dan Pemohon IV (vide Perbaikan Permohonan hlm. 36)
Bahwa Pasal a quo UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya oleh Para Pemohon justru dibentuk untuk menjawab permasalahan yang ada terkait dengan menjamin ketertiban hukum dan memberi pemahaman yang benar dalam rangka melindungi masyarakat, serta mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara.
c. DPR berpendapat dalil Para Pemohon yang menyatakan adanya ketidakjelasan keadaan, akibat, dan subjek dari rumusan Pasal a quo (vide Perbaikan Permohonan hlm. 34) adalah tidak berdasar hukum. Bahwa rumusan Pasal a quo sejatinya telah jelas, dimana frasa setiap orang telah jelas didefinisikan dalam Pasal 1 angka 35a, yaitu: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”
d. Penormaan Pasal 162 sebagaimana diubah dan ditambah melalui Pasal 39 UU 11/2020 juga telah merujuk pada ketentuan Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) UU 4/2009, selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 86F huruf b:
“Pemegang SIPB wajib: menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”


Pasal 136:
(1) “Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.”

Adanya Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dalam rumusan Pasal a quo menjadi dasar bahwa setiap orang yang dapat dipidana, baik dengan kurungan atau denda hanya dapat dikenakan dalam konteks merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat dimaksud.
e. Pengusaha tambang juga diberikan hak untuk melakukan kegiatan usaha tambang setelah menyelesaikan kewajiban hak atas tanahnya. Ketentuan Pasal a quo dengan adanya sanksi berupa denda dan sanksi utama, juga diatur untuk menjamin pengusaha tambang yang memiliki itikad baik dalam menyelesaikan kewajibannya.
f. Terkait dengan frasa ”merintangi atau mengganggu” sebagaimana diatur Pasal a quo, jika melihat dalam konteks hukum pidana, maka perbuatan yang dapat dipidana tersebut adalah yang unsur-unsur pidananya telah terbukti sehingga melawan hukum. Terkait dengan kasus konkret dialami Pemohon III dan Pemohon IV, DPR menerangkan bahwa tidak serta merta Pasal a quo dapat menjerat seseorang tanpa adanya pembuktian unsur-unsur pidana lebih lanjut, sebagai prasyarat atas pemidanaan (materiel wederrechtelijkheid).
g. Bahwa “merintangi atau mengganggu” tersebut harus dilihat apakah memang dimaksudkan secara khusus untuk membuat usaha pertambangan terhenti, terganggu, atau memang ada hal-hal lain yang memiliki justifikasi untuk dilepaskan pertanggungjawaban pidananya. Tentu pembuktian tersebut menjadi ranah aparat penegak hukum.
h. Dalam contoh kasus yang Para Pemohon dalilkan dalam permohonannya, dimana terdakwa kasus tersebut sengaja memasang bentangan dengan tali rapia dilajur Hauling PT Kaltim Prima Coal di lokasi pertambangan. DPR berpandangan, pembuktian pengenaan Pasal a quo dalam kasus konkret tersebut dilakukan dengan proses pemeriksaan pengadilan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku terutama terkait dengan proses penyidikan dimana dalam proses penyidikan dapat dimungkinkan untuk penyidik memperoleh alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Sehingga jika terdapat seseorang yang dipidana berdasarkan ketentuan Pasal a quo, tentunya telah melalui serangkaian proses pemeriksaan dan pembuktian di persidangan yang menjadi dasar bagi hakim untuk memberi putusan pidana. Bahwa jikapun terdapat disparitas putusan hakim sebagaimana Para Pemohon nyatakan dalam dalilnya yang dikaitkan dengan bermasalahnya ketentuan Pasal a quo (vide perbaikan permohonan hlm. 34), maka hal tersebut merupakan independensi hakim untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
i. Dengan demikian, adanya ketentuan Pasal 162 UU a quo diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang IUP, IUPK, IPR, dan SIPB yang telah menyelesaikan hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan. Pidana dan denda juga tidak serta merta dapat dikenakan kepada masyarakat tanpa adanya proses hukum dalam rangka membuktikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal tersebut. Terhadap batasan subjeknya sepanjang frasa “setiap orang” dan batasan keadaan seperti apa yang merintangi dan mengganggu juga telah jelas diatur dan didefinisikan dalam penormaan Pasal a quo, yang merujuk pada Pasal 1 angka 35a, Pasal 86 huruf b dan Pasal 136 ayat (2) UU a quo.
j. Bahwa UU 3/2020 juga mengatur bentuk perlindungan hukum untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Berdasarkan Pasal 145 ayat (1) UU 3/2020, masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau mengajukan gugatan melalui pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan Pertambangan yang menyalahi ketentuan.
k. Bahwa masyarakat juga masih dapat menyalurkan aspirasi dan pengaduannya melalui berbagai forum dan layanan pengaduan yang disediakan Pemerintah Pusat. Sebagai contoh, dapat memanfaatkan platform Lapor Kementerian ESDM.
l. Bahwa terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal a quo berpotensi menjadi alat represi bagi masyarakat, maka DPR berpendapat bahwa ditinjau secara normatif, maka hal tersebut tidak berdasar hukum. Persoalan efektivitas norma berkaitan dengan pemahaman aparat penegak hukum akan rumusan norma pada undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang- undang. Tidak efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi. Adapun jika Para Pemohon tetap ingin agar Pasal a quo dirumuskan sebagaimana diajukan dalam petitumnya, maka untuk masukan perubahan lebih lanjut dapat dilakukan melalui Legislative Review di DPR RI.
m. Dengan demikian, DPR berpendapat bahwa Pasal a quo telah mengatur hal yang sudah sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yang baik guna menjawab kebutuhan atas ketertiban hukum.

37/PUU-XIX/2021

Pasal 4 ayat (2) UU 3/2020, Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020, Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020, Pasal 22A UU 3/2020, Pasal 31A ayat (2) UU 3/2020, Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020, Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dan ditambah Pasal 39 UU 11/2020, Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020, Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020,

Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) , Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945