Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 102/PUU-XVlll/2020 / 09-06-2021

Kerugian Konstitusional:
Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh frasa Bank Umum dalam Pasal a quo UU Perbankan, akibat adanya penafsiran yang berbeda antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang
mengakibatkan pengambilalihan agunan melalui lelang terhambat karena menurut DJKN hanya boleh dilakukan oleh Bank Umum sedangkan Bl dan OJK menafsirkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) boleh melakukan pengambilalihan agunan melalui lelang, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi Pemohon tidak dapat menyelesaikan kredit macet (vide Perbaikan Permohonan him. 8)

Legal Standing:
Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal
verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan Pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan Pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo, karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal a quo.


Pokok Permohonan:
Bahwa kredit/pembiayaan bermasalah atau non-performing loan/non­
performing financing merupakan risiko yang melekat pada setiap
kredit/pembiayaan yang disalurkan bank kepada masyarakat. Dalam hal
terjadinya kredit/pembiayaan bermasalah, bank perlu melakukan
penyelamatan sesuai dengan tingkat kualitas kredit/pembiayaan tersebut
agar tidak menimbulkan kerugian pada bank. Upaya penyelamatan tersebut dapat dilakukan dengan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan/atau penataan kembali (restructuring) perjanjian kredit/pembiayaan. Apabila kualitas kredit/pembiayaan nasabah telah dinyatakan macet dan tidak dapat ditagih kembali setelah dilakukan upaya penyelamatan, maka bank dapat mengambil alih agunan yang dijadikan jaminan atas kredit/pembiayaan tersebut berdasarkan perjanjian jaminan hak kebendaan. Bahwa bank sebagai pemegang/penerima jaminan kebendaan memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan untuk dijual guna pembayaran utang
debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan
perjanjian kredit/pembiayaan. Hal tersebut terlihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 1155 KUH Perdata
"Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika
debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah
lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan
peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam ha/ tidak ada ketentuan
tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual
barang gadainya di hadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan
setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan
agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan
hasil penjualan itu. Bila gadai itu terdiri dan barang dagangan atau dan
efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu."

b. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia
"Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk
menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasannya sendiri."
c. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah.
"Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut."
3. Sertifikat Jaminan Fidusia dan Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah
dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA", oleh karenanya mengandung kekuatan titel eksekutorial
(parate executie). Pengertian parate executie menurut Bachtiar Sibarani
adalah melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campuran tangan
pengadilan atau hakim, kemudian menurut Subekti parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dan menurut Sudarsono parate executie adalah pelaksanaan langsung tanpa proses pengadilan. Sehingga dapat disimpulkan parate executie adalah kewenangan yang dimiliki oleh kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan secara langsung tanpa harus melalui dan tanpa campur tangan pengadilan.

4. Bahwa ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan pada pokoknya
mengatur mengenai kegiatan bank umum yang dapat membeli sebagian
atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
Ketentuan tersebut merupakan norma pengganti dari salah satu usaha bank umum yang sebelumnya disebutkan dalam Pasal 6 huruf k UU Perbankan 1992, yaitu "membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya." Jika dilihat dari sistematika penulisan, Pasal 12A UU Perbankan terdapat dalam Bagian Kedua dengan judul Usaha Bank Umum sehingga ketentuan tersebut memang ditujukan untuk Bank Umum. Oleh karena itu permohonan Pemohon untuk menafsirkan frasa "Bank Umum" sebagai Bank Umum dan juga BPR, justru akan mengaburkan sistematika penulisan norma UU
Perbankan.
5. Bahwa maksud dari ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan yang merupakan pengganti dari ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan 1992
dan ditujukan untuk bank umum terlihat dari risalah pembahasan RUU
Perbankan dalam Rapat Panja IV pada hari Kamis tanggal 24 September
1998 sebagai berikut:
• Anggota FABRI (Ors. Supriadi) halaman 104
"Kemudian kedua, pertanyaan kami pada waktu itu bagaimana dengan
BPR, apakah BPR tidak boleh membeli barang /elangan dari agunan
yang menggunakan kredit BPR"
• Pemerintah (Dirjen Lem bag a Keuangan) halaman 106
"Sebetulnya kalau kita lihat Pasal 12A ini, sebetulnya pengganti dari Pasal 6 mengenai usaha-usaha yang ada di bank umum, jadi tidak
termasuk yang BPR dengan sendirinya. Jadi itu, yang dimasukkan ke
sini di dalam Pasal 12A yang kita ke/uarkan dari Pasal 6 karena ini
bukan merupakan usaha dari bank, ini sebetulnya hanya ikutan dari
pekerjaan bank itu sendiri, karena ada kredit macet atau apa, sehingga
agunannya bisa dicairkan atau bisa dijual dan sebagainya."
• Pemerintah (Direktur BI/Subarjo Joyosumarto) halaman 108
"Kemudian untuk FABRI, ketentuan ini memang hanya mengatur bank
umum, yang BPR itu tidak diatur maksudnya dari dulu juga tidak pernah
diatur untuk BPR karena sifat dari BPR yang kecil, sehingga kalau dia
mengikuti hal-hal sangat besar dalam ha/ agunan karena bisa juga erjadi agunannya adalah jauh /ebih besar dari modal BPR itu sendiri,
nantijustru akan merepotkan BPR-nya itu sendiri, karena itu untuk BPR
tidak diatur mengenai ha/ itu."
6. Bahwa alasan tidak pernah diaturnya kegiatan BPR seperti layaknya bank
umum dalam ketentuan Pasal a quo sebagaimana dinyatakan Pemerintah
dalam Rapat Panja Pembahasan RUU Perbankan tersebut merupakan
alasan historis dan filosofis pembentukan BPR. Seperti yang telah diuraikan
DPR sebelumnya bahwa BPR merupakan peleburan dari lumbung desa,
bank desa, bank pasar, bank tani, dan bank pegawai yang telah didirikan
sejak tahun 1916 untuk melepas ketergantungan petani, pegawai, dan
buruh yang terjerat bunga pinjaman tinggi dari rentenir. Oleh karena
pelayanan yang diberikan oleh BPR ditujukan untuk usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan, maka pengaturan mengenai pembelian dan pencairan agunan adalah sesuatu yang besar dbandingkan dengan skala usaha BPR. Dengan demikian maka tidak ada uraian kegiatan
tersebut dalam norma pengaturan mengenai usaha BPR di UU Perbankan
1992 seperti halnya terdapat uraian kegiatan tersebut untuk usaha bank
umum dalam ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan 1992.
7. Bahwa dalam risalah Ra pat Dengar Pendapat Um urn 2 dengan acara
pembahasan RUU Perbankan 1992 yang diselenggarakan pada tanggal 15
Januari 1992, Federasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh
Indonesia (FERBARI) menyatakan sebagai berikut:
• Dahli Panjaitan (Direktur Ferbari) halaman 7 (pdf 208)
"Khususnya pemberian kridit dapat kami sampaikan, pemberian kridit
diarahkan pada usaha-usaha kecil dan sektor-sektor non dipedesaan
maupun diperkotaan, jumlah maksimal pemberian kridit kepada setiap
nasabah pada dasarnya masih lebih kecil daripada jumlah minimal
pemberian kridit sebuah Bank Umum.
Pada dasarnya tidak memakai nilai agunan dan nilai agunan sangat
keci/ dan berbentuk sangat sederhana pula."
• Supadi (Ferbari) halaman 45 (pdf 246)
" ... walaupun kenyataan kita Rp100.000 ke bawah tidak pakaijaminan,
asal KTP-nya ada itu bisa diberikan. Sebab kalau Rp100.000 s/d
Rp50.000 makai Jaminan dia akan leri, lebih baik pinjam ke rentenir.
Jadi kita pasti yang kita laksanakan sekarang ini jaminan dalam arti
kepercayaan jadi pada orang itu pasti akan bayar.
Yang besar kita pasti harus hati-hati, jaminan dalam arti collateral."
Berdasarkan kondisi pada saat pembahasan RU U Perbankan 1992
tersebut, maka pembentuk undang-undang tidak mengatur BPR untuk
dapat membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank.

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan pada bulan Desember tahun 2020, terdapat 1.506
BPR dengan total aset sejumlah Rp155 triliun. Deng an me Ii hat
perkembangan tersebut, maka BPR juga perlu melakukan penyelamatan
atas kredit/pembiayaan bermasalah sehingga tidak merugikan BPR.
Sebagaimana dinyatakan oleh Pemerintah (Dirjen Lembaga Keuangan)
dalam Rapat Panja IV yang telah dikutip sebelumnya, bahwa kegiatan bank umum yang diatur dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan merupakan ikutan atau turunan dari salah satu usaha bank umum, yaitu memberikan kredit atau menyediakan pembiayaan (vide Pasal 6 huruf b dan huruf m UU
Perbankan). Usaha yang sama, yaitu memberikan kredit atau menyediakan
pembiayaan, juga merupakan salah satu usaha dari BPR sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 huruf b dan huruf c UU Perbankan,
oleh karena itu BPR juga dapat melakukan kegiatan ikutan atau turunan dari
usaha tersebut.
Terlebih tidak ada larangan bagi BPR dalam ketentuan Pasal 14 UU
Perbankan untuk dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik
melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan
secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual
di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang
dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

10. Bahwa tidak adanya larangan bagi BPR untuk dapat melakukan kegiatan seperti bank umum dalam ketentuan Pasal a quo terlihat dari adanya
ketentuan yang ditetapkan oleh pengawas lembaga perbankan, yaitu
terakhir dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
33/POJK.03/2018 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat (POJK
33/2018). Dalam ketentuan Pasal 27 POJK 33/2018, BPR dapat mengambil
alih agunan untuk penyelesaian kredit yang memiliki kualitas macet dan
tidak dapat ditagih kembali setelah dilakukan upaya penyelamatan. Agunan
yang diambil alih tersebut disebut dengan AYDA yang diartikan sebagai
berikut:
"Agunan yang Diambil Alih yang selanjutnya disebut A YDA adalah aset
yang diperoleh BPR untuk penyelesaian Kredit, baik melalui
pelelangan, atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara
sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk
menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam ha/ Debitur telah
dinyatakan macet." (vide Pasal 1 angka 11 POJK 33/2018).
Jadi, AYDA adalah suatu aktiva yang diperoleh dari bank, baik melalui
pelelangan maupun di luar lelang dari pemilik agunan, karena pemilik
agunan/debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya.

11. Dalam surat edaran DJKN Nomor S-407/KN.7/2012 sebagaimana
dijelaskan Pemohon juga tidak terdapat larangan bagi BPR untuk mengambil alih agunan dalam hal nasabah yang kreditnya macet melalui
leang agunan karena di dalam surat edaran tersebut menjelaskan terkait
pemberian kepastian hukum dalam lelang yang akan ditunjuk kemudian
(Acte de command) yang salah satunya disampaikan pengaturan dalam
Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan. Kementerian Keuangan justru mengatur
bahwa lembaga jasa keuangan, yang termasuk di dalamnya yaitu bank
umum dan BPR, dapat membeli agunannya dalam lelang sebagaimana
terdapat dalam Pasal 79 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 213/2020).
Ketentuan Pasal 79 ayat (1) PMK 213/2020 menyatakan bahwa "Lembaga
Jasa keuangan sebagai kreditor dapat membeli agunannya da!am
pelaksanaan le!ang sepanjang diatur dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan."
Ketentuan tersebut dan juga ketentuan lainnya dalam PMK 213/2020 tidak memberikan batasan terhadap frasa "Lembaga Jasa Keuangan", oleh karena itu BPR sebagai kreditor dapat membeli agunannya dalam
pelaksanaan lelang. Berdasarkan uraian-uraian tersebut disimpulkan
bahwa baik bank umum dan BPR mempunyai kedudukan yang sama untuk melakukan pengambilalihan agunan dalam hal nasabah yang kreditnya macet melalui lelang agunan dan tidak ada pembedaan antara kedua jenis bank tersebut dalam pengambilalihan agunan. Namun, jika memang benar di dalam surat edaran tersebut terdapat larangan bagi BPR untuk mengambil alih agunan dalam hal nasabah yang kreditnya macet melalui lelang agunan maka bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian.

12. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, meskipun frasa "Bank Umum" dalam ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan tidak ditujukan untuk BPR, namun BPR tetap dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, dengan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan terkait. Oleh karena itu dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal a quo menimbulkan kerugian ekonomi bagi Pemohon karena tidak dapat menyelesaikan kredit macet dan bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah dalil yang tidak berdasar.

13. Bahwa kerugian ekonomi yang didalilkan oleh Pemohon lebih disebabkan adanya 2 (dua) tafsir yang berbeda dan saling bertentangan antara Bank
Indonesia (Bl) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Di satu sisi, Bl dan OJK
memperbolehkan BPR mengambil alih agunan kredit macet nasabahnya
melalui lelang agunan dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/26/PBl/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/19/PBl/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat (PSI
No. 13/26/PBl/2011 ), yang selanjutnya diatur dalam POJK 33/2018. Namun di sisi lain Surat Penegasan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara,
Direktorat Lelang, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor S-
407 /KN. 7/2012 tanggal 12 April 2012 yang pada pokoknya menyatakan
bahwa hanya Bank Umum yang dapat membeli agunannya melalui
pelelangan (vide Perbaikan Permohonan hal. 9 dan 12). Terhadap hal
tersebut, DPR menegaskan bahwa Pemohon kurang cermat karena
menjadikan PSI No. 13/26/PBl/2011 sebagai argumen dalam alasan
permohonan karena peraturan tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya POJK 33/2018. Adapun dengan berlakunya POJK
33/2018 maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBl/2006 tentang
Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, PBI No. 13/26/PBl/2011, dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/26/DKBU/2012 perihal Pedoman
Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

102/PUU-XVlll/2020

Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan

Pasal 280 ayat (1), Pasal 28H ayat (2) , Pasal 33 ayat (4)