Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 15/PUU-XV/2017 / 20-04-2017

No. 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Kerugian Konstitusional:
1. Bahwa Para Pemohon menganggap hak-hak konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yakni hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, nyata-nyata telah dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal a quo dalam UU PDRD, yaitu norma yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan menjadikan alat berat sebagai objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), karena Para Pemohon selaku pihak yang memiliki dan/atau menguasai alat berat harus PKB dan BBNKB sebagaimana kendaraan bermotor pada umumnya telah dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut baik karena timbulnya ketidakpastian hukum, kerugian finansial, dan persoalan administrasi yang harus ditanggung oleh Para Pemohon sehingga kerugian yang dialami oleh Para Pemohon adalah kerugian yang spesifik, aktual, dan telah terjadi.

2. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2015 telah menyatakan bahwa alat berat bukan merupakan bagian dari kendaraan bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ) akan tetapi pada pasal-pasal a quo dalam UU PDRD masih menjadi bagian dari kendaraan bermotor.

Legal Standing:
1) Bahwa DPR RI berpandangan dalil Para Pemohon tentang adanya kerugian yang dialaminya sebenarnya bukan/tidak disebabkan oleh norma yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan UU a quo, karena dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3 ayat (3) huruf d UU PDRD telah jelas disebutkan bahwa pemungutan pajak dan retribusi daerah atas alat berat oleh Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sehingga, hal yang demikian terkait dengan permasalahan penerapan norma, dan sama sekali tidak/bukan mengenai konstitusionalitas ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD.

2) Bahwa permohonan Para Pemohon yang memasukan ketentuan Pasal 1 angka 13 UU PDRD sebagai salah satu pasal yang dimohonkan pengujian, sangatlah tidak beralasan dan tidak tepat. ketentuan Pasal 1 angka 13 UU PDRD yang diatur dalam Bab I Pasal 1, mengatur mengenai Ketentuan Umum, yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi dan/atau hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Vide lampiran II angka 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12 Tahun 2011).

3) Bahwa Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda
Vide Lampiran II angka 107 UU 12 Tahun 2011).

Karena itu DPR RI berpendapat bahwa permohonan Para Pemohon yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal-pasal berikutnya dalam UU PDRD, sangatlah tidak beralasan dan tidak tepat, justru ketentuan a quo telah memberikan gambaran dan arah yang jelas terhadap apa yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor” Sehingga menurut DPR RI ketentuan a quo, sama sekali tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan UU PDRD.

4) Berdasarkan pandangan tersebut, DPR RI berpendapat bahwa bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan batu uji dalam permohonan ini, para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Oleh karena itu DPR RI memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan a quo, sehingga sudah sepatutnya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

Pokok Perkara:
1) Bahwa dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu Negara hukum, wajib dibatasi oleh hukum sebagai panglima dalam rangka menciptakan ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum (Teori Perundang-Undangan Indonesia: A. Hammid S.Attamimi: hlm.8). Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya. (Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional).

2) Bahwa dalam sebuah negara hukum, harus dipahami dan dikembangkan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem, yang terdiri dari ketiga unsur yang saling berkaitan, yaitu (1) kelembagaan (institutional), (2) kaedah aturan (instrumental), (3) perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (unsur subyektif dan kultural). (Jimly Asshiddiqie, Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi Untuk Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis, hlm. 8) Ketiga unsur dalam sistem hukum sebagaimana disebutkan diatas mencakup 3 (tiga) kegiatan meliputi: (a) pembuatan hukum (law making), (b) pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang bisa disebut dengan penegakan hukum dalam arti sempit (law enforcement). (Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum Dan Penegakan Hukum di Indonesia, hlm.1) Negara Indonesia juga mendeklarasikan diri sebagai negara yang berlandaskan atas hukum (Rechsstaat). Penegasan bahwa Indonesia adalah Negara hukum secara konstitusional dinyatakan dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”;

3) Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warga negaranya sebagai sarana untuk ikut serta dalam pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. UUD NRI Tahun 1945 telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kehidupan bernegara. Hal ini ditegaskan dengan diaturnya perpajakan dalam konstitusi, yaitu Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang“;

4) Bahwa pajak merupakan salah satu sumber untuk keperluan Negara guna penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada masyarakat. Oleh karenanya pengenaan pajak dan pungutan lain yang membebani masyarakat berdasarkan konstitusi harus didasarkan pada undang-undang

5) Bahwa dalam penyusunan Undang-Undang bidang perpajakan sebagaimana amanat Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945, pembuat Undang-Undang juga mempertimbangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menganut asas otonomI dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah memerlukan sumber dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan pelayanan kepada masyarakat. Sumber dana dimaksud memegang peranan penting guna mendukung kelangsungan pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Sumber dana tersebut dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk salah satu diantaranya adalah pajak;

6) Bahwa dalam rangka menjalankan amanat langsung dari ketentuan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUD NRI 1945, maka Pemerintah dan DPR RI membentuk UU PDRD yang di dalamnya mengatur mengenai ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam UU PDRD, pembentuk Undang-Undang telah menetapkan jenis, tarif, subjek maupun objek pajak daerah yang kewenangan untuk melakukan pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pengaturan tersebut, pembuat Undang-Undang juga memberikan batasan mengenai jenis pajak yang dapat dipungut daerah dan tarif pajak daerah tidak boleh melebihi yang telah ditetapkan dalam UU PDRD; dan

7) Bahwa dalam UU PDRD juga diatur mengenai PKB dan BBNKB alat alat berat dan alat-alat besar sebagai salah satu objek yang dapat dipungut pajak oleh pemerintah daerah. Jenis pajak yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah atas PKB dan BBNKB alat-alat berat dan alat-alat besar juga telah ditetapkan batas maksimum atas tarif pajak yang boleh dipungut oleh pemerintah daerah. Penetapan objek pajak tersebut sebagai pajak daerah telah dilakukan melalui proses demokrasi bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dapat disampaikan bahwa maksud dan tujuan pembuat undang-undang menetapkan PKB dan BBNKB alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai objek pajak daerah di dalam ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD adalah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

8) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:

…Bahwa Para Pemohon menganggap hak-hak konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945, nyata-nyata telah dirugikan dengan berlakunya norma dalam UU PDRD, yaitu norma yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan menjadikan alat berat sebagai objek pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD…
(Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 17 angka 23)

…Bahwa berlakunya UU PDRD tersebut, maka hak-hak konstitusional para Pemohon telah dirugikan karena para pemohon selaku pihak yang memiliki dan/atau menguasai alat berat harus membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan (BBNKB) sebagaimana kendaraan bermotor pada umumnya padahal alat berat bukan kendaraan bermotor…
(Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 17 angka 24)

…Bahwa dengan adanya pengaturan PKB dan BBNKB terhadap alat berat, maka Para Pemohon yang memiliki dan/atau menguasai alat berat telah dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut baik karena timbulnya ketidakpastian hukum, kerugian finansial, dan persoalan administrasi yang harus ditanggung oleh Para Pemohon sehingga keruguan yang dialami oleh Pemohon adalah kerugian yang spesifik, aktual, dan telah terjadi...
(Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 18-19 angka 27)

...Bahwa adanya ketentuan dalam Pasal 1 angka 13 UU PDRD yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena seakan-akan ada dua norma hukum yang saling bertolak belakang yang berlaku terhadap alat berat yaitu alat berat sebagai kendaraan bermotor dan alat berat bukan kendaraan bermotor padahal alat berat dimaksud meliputi jenis yang sama misalnya excavator, bulldozer, dan lain lain. Bagaimana mungkin misalnya terhadap excavator atau bulldozer sebagai alat berat yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bukan kendaraan bermotor berdasarkan UU LLAJ akan tetapi pada bagian lain berdasarkan UU PDRD masih menjadi bagian dari kendaraan bermotor...
(Vide perbaikan permohonan hlm. 20 angka 31 & hlm. 41)

Berdasarkan pernyataan Para Pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa pasal-pasal a quo sesungguhnya telah mengakomodir atau melaksanakan perintah langsung dari UUD NRI Tahun 1945 sebagai kategorisasi objek yang dapat dikenai pajak dalam rangka perluasan objek pajak untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Penyebutan alat-alat berat sebagai kendaraan bermotor hendaknya dipahami dari sisi jenis kegiatan yang secara sepesifik memerlukan tempat dan peralatan khusus. Pemungutan PKB dan BBNKB alat-alat berat dan alat-alat besar yang telah dilakukan sejak Tahun 1934 berdasarkan Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 1934 dan sejak tahun 1959 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, didasarkan atas pertimbangan bahwa alat-alat berat dan alat-alat besar:

a. termasuk dalam kategori personal-property tax atau pajak kekayaan;
b. secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak jalanan;
c. mudah diadministrasikan dan tidak mudah disembunyikan;
d. tarifnya relatif kecil dibandingkan dengan kendaraan lainnya dan tidak dikenakan bobot sehingga tidak menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai salah satu objek pajak daerah, dimana hal tersebut juga dilakukan di beberapa Negara bagian Amerika Serikat seperti Carolina Utara, Georgia, dan Texas, yang mengenakan pajak atas alat-alat berat dan alat-alat besar. Apabila dilihat dari segi asas-asas umum perpajakan pemungutan PKB dan BBNKB alat alat berat ini pun telah berdasarkan atas asas-asas perpajakan yang berlaku secara universal yaitu asas equality, asas certainty, asas convenient dan asas efisiensi. Oleh karena itu dengan dimasukannya alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai salah satu objek pajak daerah telah tepat dan sesuai dengan asas-asas umum perpajakan. Sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pungutan atas PKB dan BBNKB atas alat berat dan besar telah menimbulkan pajak berganda (double taxation) dapat disimpulkan bahwa walaupun subjek dan masa pajaknya sama, namun karena dasar ketentuan pemungutan dan jenis pajaknya berbeda, secara yuridis, pembayaran PPh badan, PPN, PKB dan BBN-KB oleh wajib pajak, tidak dapat dikatakan telah terjadi pungutan pajak berganda (double taxation).

9) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:

…Bahwa dengan menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan menjadi objek PKB dan BBNKB, beberapa daerah provinsi telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang terkait dengan pengaturan penarikan PKB dan BBNKB sebagaimana terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua, dan lain lain. Dengan diberlakukannya beberapa Perda yang terkait dengan penarikan PKB dan BBNKB tersebut beberapa Pemprov telah melakukan penarikan PKB dan BBNKB terhadap alat berat, sebagai contoh pada tanggal 3 November 2016 terdapat surat dari dinas pendapatan daerah / SAMSAT Mappi Provinsi Papua nomor 973/95/XI-SM/2016 perihal PKB yang pada pokoknya menagih PKB dan BBNKB kepada Pemohon dengan merujuk pada UU PDRD, Perda Nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta surat Menteri Dalam Negeri nomor 975/2956/KEUDA tanggal 9 Agustus 2016 tentang penegasan penjelasan pelaksanaan pemungutan PKB dan BBNKB alat berat/besar. Surat tersebut dikeluarkan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2015 tertanggal 31 Maret 2016 yang telah membatalkan pengelompokan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor. Rujukan surat dari Kementerian Dalam Negeri nomor 975/2956/KEUDA pada pokoknya menyatakan bahwa putusan MK tersebut hanya berlaku terhadap UU LLAJ bukan pada UU PDRD. Padahal putusan MK bersifat erga omnes berlaku umum tidak saja berlaku pada para pihak namun berlaku umum bagi siapapun warga negara dan berlaku juga pada ketentuan peraturan perundang-undangan... (vide Perbaikan Permohonan, hlm. 17-18 angka 25)

Berdasarkan pernyataan Para Pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa dengan adanya Pasal-pasal a quo yang mengatur mengenai PKB dan BBNKB terhadap alat-alat berat dan alat-alat besar justru memberikan hak-hak sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan tidak bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, baik bagi Para Pemohon maupun masyarakat sebagai subjek pajak pada umumnya.
Pasal-pasal a quo bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat mengenai objek-objek pajak apa saja yang dapat dikenakan pajak oleh Pemerintah Daerah, dan juga tarif maksimum dan minimum dalam pengenaan PKB dan BBN-KB tersebut oleh Pemerintah Daerah.
Selain hal tersebut di atas dapat sampaikan bahwa UU PDRD merupakan undang-undang yang sifatnya closed list, dimana daerah tidak diperkenankan untuk memungut jenis pajak atau retribusi di luar yang telah ditetapkan di dalam UU a quo, selain itu UU PDRD juga memberikan diskresi kepada Pemerintah Daerah Provinsi untuk menambah pengecualian objek PKB dan BBN-KB yang ditetapkan dengan Perda. Dalam UU PDRD, berkaitan dengan PKB dan BBN-KB, Daerah diberikan diskresi untuk:

a. tidak memungut PKB dan BBN-KB;
b. menambah pengecualian objek PKB dan BBN-KB;
c. menetapkan besaran tarif definitif PKB dan BBN-KB untuk setiap objek Pajak.

Berdasarkan kutipan pasal di atas, maka persoalan pengaturan pengenaan PKB dan BBNKB terhadap alat-alat besar dan alat-alat berat pada UU PDRD dan UU LLAJ, bukan merupakan bentuk dari objek diskriminasi. Jika Para Pemohon mendalilkan bahwa pengaturan pengenaan PKB dan BBNKB terhadap alat-alat besar dan alat-alat berat pada UU PDRD dan UU LLAJ adalah suatu bentuk diskriminasi, sebaliknya DPR RI menilai bahwa justru menyamakan pengaturan pengenaan PKB dan BBNKB terhadap alat-alat besar dan alat-alat berat pada kedua Undang-Undang yaitu UU PDRD dan UU LLAJ yang pada dasarnya terdapat perbedaan politik hukum atau filosofi pembentukan kedua Undang-Undang tersebut, adalah suatu bentuk diskriminasi yang sesungguhnya.

Para Pemohon perlu memahami bahwa ruang lingkup diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum sebagai berikut:

“Firstly, it stipulates that those individuals who are in similar situations should receive similar treatment and no be treated less favourably simply because of a particular ‘protected’ characteristic that they posses. This is known as ‘direct’ discrimination. Secondly, [it] law stipulates that those individuals who are in different situations should receive different treatment to the extent that this is needed to allow them to enjoy particular opportunities on the same basis as others. Thus, those same ‘protected grounds’ should be taken into account when carrying out particular practices or creating particular rules. This is known as ‘indirect discrimination.’ (Handbook on European Non-Discrimination Law: The European Court of Human Rights and the European Union Agency for Fundamental Rights: hlm.21-22).”

“Equality before the law and the equal protection of the law do not mean identity or abstract symmetry of treatment. Distinctions need to be made for different classes and groups of persons, and a classification based n reasonable and objective criteria is permitted. (The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence: Nihal Jayawickrama: hlm.818-819)”

Pernyataan di atas senada dengan pernyataan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa, “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84).
Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu:

“Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57)”

Dengan demikian berdasarkan pernyataan di atas, apabila Para Pemohon hendak menyamakan pengaturan pengenaan PKB dan BBNKB terhadap alat-alat besar dan alat-alat berat pada UU PDRD dan UU LLAJ, justru akan menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian hukum.

10) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 13 UU PDRD beserta turunannya yaitu Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI dengan tegas menolak dalil para Pemohon tersebut dan berpendapat bahwa dalil tersebut tidak berdasar dan tidak tepat. Ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan a quo oleh Para Pemohon pada hakekatnya memberikan suatu hak konstitusional bagi setiap orang yang berupa hak pengakuan di hadapan hukum, hak jaminan di hadapan hukum, hak perlindungan hukum, hak kepastian hukum serta hak perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga PKB dan BBNKB terhadap alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai pajak daerah provinsi sudah tepat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal a quo karena telah memenuhi kriteria untuk ditetapkan menjadi objek pajak daerah sesuai dengan prinsip keadilan pemungutan pajak yaitu berdasarkan daya pikul/kemampuan untuk membayar. PKB dan BBNKB terhadap alat-alat berat dan alat-alat besar tidak bertentangan dengan filosofi pembentukan Undang-Undang terhadap pengenaan objek pajak sehingga tidak melanggar asas persamaan dihadapan hukum, karena telah berlaku secara universal.

11) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:

…Bahwa adanya norma pengelompokan Alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor dalam pengertian kendaraan bermotor dalam UU PDRD dan adanya norma penarikan PKB dan BBNKB terhadap alat alat berat dalam UU PDRD telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum karena telah mempersamakan alat berat dengan kendaraan bermotor sehingga alat berat dikenakan PKB dan BBNKB padahal setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2015 tertanggal 31 Maret 2016 alat berat sudah bukan menjadi bagian dari kendaraan bermotor...
(Vide perbaikan permohonan hlm. 18 angka 26)

…Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2015 alat berat telah ditetapkan bukan bagian dari kendaraan bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ sehingga demi adanya kepastian hukum, keadilan, persamaan dimuka hukum tanpa ada diskriminasi termasuk menghindari dualisme hukum karena penafsiran yang berbeda, maka tidak boleh ada ketentuan lain yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor…
(Vide perbaikan permohonan hlm. 20 angka 30)

...Bahwa adanya dualisme pengaturan terhadap alat berat tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon dan pemilik alat berat lainnya, karena dapat menimbulkan ketidakjelasan alat berat seperti apa yang termasuk kendaraan bermotor dan yang bukan kendaraan bermotor atau bisa juga terhadap alat berat yang sama bisa diperlakukan berbeda dimana yang satu diperlakukan sebagai bukan kendaraan bermotor dan yang satu lagi alat berat diperlakukan sebagai kendaraan bermotor...
(Vide perbaikan permohonan hlm. 20 angka 32)

Berdasarkan pernyataan Para Pemohon di atas yang menyatakan bahwa kedudukan alat berat yang telah dikeluarkan dari ketagori kendaraan bermotor sesuai dengan putusan MK dalam perkara Nomor 3/PUU-XIII/2005 secara mutatis mutandis seharusnya pengkategorian alat berat sebagai kendaraan bermotor dalam Pasal 1 angka 13 UU PDRD beserta turunannya yaitu Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

DPR RI berpandangan bahwa putusan MK tidak serta merta atau berlaku mutatis mutandis terhadap keberlakuan undang-undang lain. Dengan perbedaan istilah dalam UU PDRD dengan UU LLAJ disampaikan bahwa karena kedua undang-undang tersebut berbeda, latar belakang, tujuan dan maksud serta kriteria pembentukannya berbeda (misalnya Undang-Undang Pajak dengan tujuan perolehan penerimaan yang memadai dan penyederhanaan administrasi dan kepatuhan, serta menutup celah pengelakan pajak) adalah wajar saja kalau suatu istilah yang sudah didefinisikan dalam suatu Undang-Undang didefinisikan lain dalam UU PDRD, guna memberikan kepastian hukum dan keadilan tentang besaran pajak yang harus dibayar, maka rumusan tentang dasar pengenaan pajak dan tarif pajak merupakan sesuatu keharusan adanya (conditio sine qua non) dalam Undang-Undang perpajakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adanya, terkait dengan pajak berganda disampaikan bahwa walaupun subjek dan masa pajaknya sama, namun karena dasar ketentuan pemungutan dan jenis pajaknya berbeda, secara yuridis, pembayaran PPh badan, PPN, PKB dan BBNKB oleh wajib pajak, tidak dapat dikatakan telah terjadi pungutan pajak berganda.

12) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:

…Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma a quo. Oleh karena itu, apabila norma a quo dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku, maka kerugian yang diderita oleh para Pemohon tidak lagi terjadi… (Vide perbaikan permohonan hlm. 19 angka 29)

DPR RI mengutip pertimbangan putusan angka [3.17] dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan:

..”Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable..”

Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan:

..”sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.

Oleh karena itu, pasal-pasal a quo selain merupakan norma yang telah umum berlaku, juga merupakan pasal yang tergolong sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy) karena merupakan delegasi kewenangan langsung dari konstitusi. Dengan demikian, perlu kiranya Para Pemohon memahami bahwa terkait hal yang dipersoalkan oleh Para Pemohon bukan merupakan objectum litis bagi pengujian undang-undang, namun merupakan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy)

15/PUU-XV/2017

Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945