Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 13/PUU-XV/2017 / 13-02-2017

No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan

Kerugian Konstitusional:
Dengan diberlakukannya pasal termohon a quo, Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar. Selain itu, ketentuan pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan dalam UUD Tahun 1945. Ketentuan pada Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan telah merugikan pemohon berupa jaminan kerja dan penghidupan yang layak karena dengan diberlakukannya ketentuan a quo yang dapat menyebabkan terjadinya pemutusan kerja. Selain itu, pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan dalam UUD Tahun 1945 Pasal 28B ayat (1) untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.Kerugian ini dialami secara nyata oleh salah satu pemohon, saudari Yekti Kurniasih. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) dan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai PP 45 tahun 1990).
(Vide permohonan hal. 5-7)

Legal Standing:
a. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan. Namun pada penjelasan legal standing para pemohon tidak menjelaskan hak konstitusional yang dilanggar dengan diberlakukannya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan. Para Pemohon tidak menjelaskan uraian kerugian yang dialami Para Pemohon dalam permohonan a quo. Para Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi sesuai dengan parameter kerugian konstitusional yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (Vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007).

b. Bahwa dalam permohonan yang diajukan, Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Para Pemohon adalah pengurus dan anggota serikat pekerja yang bertindak untuk dan atas nama sendiri melalui permohonan bersama-sama merasa dengan diberlakukannya ketentuan pasal a quo dapat merugikan dirinya sebagai pekerja terhadap pengaturan mengenai diperbolehkannya dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja dalam hal mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
Namun dalam permohonan setiap Para Pemohon (Pemohon I - VIII) yang bertindak atas nama sendiri tidak dapat mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya dengan berlakunya Pasal a quo pada setiap Pemohon I - VIII, sehingga dengan demikian Para Pemohon sama sekali tidak memiliki kerugian konstitusional. Sebagaimana diuraikan dalam permohonan pemohon sehingga permohonan menjadi samar dan kabur (obscuur lible) karena tidak ditemukan pelanggaran hak konstitusional pada setiap Pemohon I - VIII dengan diberlakukannya pasal-pasal a quo. Dengan tidak adanya hal tersebut, Para Pemohon a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.

c. Bahwa dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Syarat adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

Pokok Perkara:
1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam memajukan kesejahteraan umum, negara bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan sehingga hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Hak atas pekerjaan dapat meningkatkan kesejahteraan seseorang sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

2) Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya supremasi hukum (A.V.Dicey) yang artinya segala upaya penegakan hukum dan penempatan hukum pada posisi tertinggi dari segalanya, serta menjadikan hukum sebagai panglima ataupun komandan dalam upaya untuk menjaga dan melindungi tingkat stabilitas dalam kehidupan suatu bangsa dan negara (Abdul Manan).

3) Bahwa dalam menyusun UU Ketenagakerjaan, pembuat UU juga telah memperhatikan standar internasional seperti Konvensi ILO dan konvensi PBB baik yang telah maupun belum diratifikasi oleh Indonesia. Ketentuan Pasal 7 clan 8 Konvensi PBB mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengenai kewajiban negara untuk menjamin setiap pekerja diperlakukan secara adil dan tanpa diskriminasi di dalam semua aspek ketenagakerjaan juga telah dimasukan dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan.

4) Bahwa ketentuan dalam pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang berbunyi "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" telah mengadopsi prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, dimana ketentuan tersebut hanya bisa dilaksanakan apabila telah disepakati oleh kedua belah pihak melalui suatu perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Selain itu, dalam membuat suatu aturan, perusahaan tidak diperkenankan memasukkan ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku dimana perusahaan tersebut berkedudukan atau berdiri. Ketentuan dalam berkontrak diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berketentuan:

"Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang."

5) Bahwa perjanjian kerja merupakan bagian dari perjanjian yang dimaksudkan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut (KUHPerdata). Sebagai bagian dari Buku III KUH Perdata maka berlaku asas-asas umum dari suatu perikatan salah satunya asas pacta sun servanda yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas pacta sun servanda menyatakan bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Undang-undang merupakan bagian dari hukum dan sebagai negara hukum otomatis setiap warga negara harus menaati perjanjian yang dibuatnya karena perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata sama dengan undang-undang bagi yang membuatnya. Perjanjian kerja juga bersifat mengikat dikarenakan merupakan hasil kesepakatan para pihak yang harusnya muncul tanpa paksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat sah perjanjian. Oleh karena itu persetujuan atau kesepakatan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan persetujuan atau kesepakatan para pihak, yakni pihak pemberi kerja dan pihak penerima kerja. Tentunya, penerimaan maupun penolakan terhadap perjanjian maupun kontrak tersebut akan menimbulkan konsekwensi tersendiri yang berbeda-beda.

6) DPR RI berpandangan bahwa tidak benar ketentuan pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan kebebasan membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas dasar kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan. Pekerja bebas melakukan perkawinan dengan siapapun yang dikehendaki dan dirasa telah cocok, namun dengan adanya ketentuan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan yang melarang untuk menikah dengan sesama pekerja pada perusahaan tersebut, maka salah satu pekerja dapat mengundurkan diri karena ketentuan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama ataupun peraturan perusahaan tersebut telah disepakati dan berlaku mengikat bagi seluruh pekerja di instansi tersebut. Sebaliknya, apabila pekerja memaksakan untuk melakukan pernikahan dengan sesama pekerja pada instansi dimana ia bekerja, maka pekerja tersebut telah melakukan wanprestasi dan kepadanya dapat dikenakan sanksi tertentu sesuai dengan ketentuan perusahaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

7) Bahwa pada dasarnya, larangan adanya ikatan perkawinan dalam satu perusahaan dimaksudkan untuk menjaga profesionalitas karyawan. Di samping itu, larangan adanya ikatan perkawinan dalam satu perusahaan juga dimaksudkan agar tidak terjadi konfik kepentingan (conflict of interest) antara suami-isteri yang bekerja dalam satu perusahaan. Konflik berkepentingan dapat terjadi ketika individu atau organisasi terlibat dalam berbagai kepentingan, sehingga dapat mempengaruhi motivasi untuk bertindak dan berbagai aktivitas lainnya. Konflik kepentingan muncul ketika seseorang pada posisi tertentu memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas.

8) Bahwa menurut Thomas Hobbes keadilan merupakan suatu penataan terhadap suatu perjanjian. Sehingga keadilan dipandang sebagai perbuatan yang telah diatur didalam suatu perjanjian. Pekerja yang telah menandatangi suatu perjanjian atau kontrak kerja yang didalamnya termuat suatu aturan bahwa dilarangnya terjadi suatu ikatan perkawinan harus menaati ketentuan hal yang telah disepakati. Sesuai dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes apabila pekerja yang melanggar ketentuan yang termuat dalam suatu perjanjian yang telah disepakati dapat dikatan melakukan perilaku yang tidak adil dan dapat berakibat pada perolehan keadilan bagi orang lain akan terganggu.

9) Bahwa hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah memang telah menjadi salah satu hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD Tahun 1945. Akan tetapi hak ini tidaklah termasuk dalam salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun menurut Pasal 28I UUD Tahun 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Sehingga dalam keadaan tertentu hak untuk membentuk keluarga dapat disimpangi. Pasal 153 ayat (1) huruf (f) UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk pasal yang menyimpangi aturan ini.

10) Aturan penyimpangan ini tidak hanya terdapat dalam UU Ketenagakerjaan, akan tetapi juga dalam UU khusus yang mengatur perkawinan yaitu Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Pasal tersebut melarang dilangsungkannya perkawinan antara dua orang yang mempuyai hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lainyang berlaku dilarang kawin. Keberadaan pasal ini menegaskan bahwa larangan untuk melangsungkan perkawinan juga dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya termasuk UU Ketenagakerjaan.

11) Bahwa terjadinya pemecatan atau pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja yang melakukan pernikahan dengan sesama pekerja, yang berarti pekerja tersebut telah melanggar ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama sehingga dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi atau pelanggaran kesepakatan yang telah dilakukan oleh pihak pemberi kerja dan pekerja ketika ikatan kontrak dibangun diantara para pihak, merupakan konsekwensi yang telah diatur dengan jelas menurut kesepakatan para pihak melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perusahaan. Oleh karena itu tidak benar bahwa ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun1945.

12) Bahwa jika ada permasalahan dengan perjanjian kerja, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU 2 Tahun 2004) sesungguhnya telah mengatur bagaimana cara/proses penyelesaian perselisihanhubungan industrial diantara para pihak baik di luar pengadilan maupun dalam pengadilan. Perselisihan berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja merupakan salah satu bentuk perselisihan hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 1 UU 2 Tahun 2004.

13/PUU-XV/2017

Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.