Kerugian Konstitusional Pemohon :
Oleh karena tidak ada ketentuan Undang-Undang yang diajukan
pengujian terhadap UUD Tahun 1945, maka sudah pasti tidak terdapat
kerugian konstitusional akibat dari berlakunya suatu Undang-Undang
yang diuji.
Legal Standing :
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, DPR RI memberikan
penjelasan bahwa sesuai kualifikasi Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi Pemohon tidak dapat menyebutkan kedudukan
hukum Pemohon dan bahwa Pemohon tidak dapat menyebutkan suatu
undang-undang yang diuji sehingga tidak terdapat hak konstitusional
yang dirugikan oleh Pemohon.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak
memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan
kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak
menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji terutama dalam mengkonstruksikan adanya
kerugian hal dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas
berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Pokok Perkara :
Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat bahwa permohonan
penilaian dan pengujian atas keberadaan LKRI terhadap Pasal 1 ayat (2)
UUD Tahun 1945, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar untuk
mencapai tujuan negara.
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR RI
berpandangan dengan memberikan Keterangan/penjelasan sebagai
berikut:
a) Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengatur bahwa “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Berdasarkan penjelasan UUD Tahun 1945 sebelum amandemen
dijelaskan bahwa Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan bernama
Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara
yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang
memegang kedaulatan negara. Sehingga tujuan negara sebagaimana
yang tertera dalam UUD Tahun 1945 sudah terpenuhi, dan dengan
demikian keberadaan lembaga seperti LKRI tidak diperlukan.
b) Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus hasil
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Bahwa permohonan
Pemohon dalam hal ini tidak sesuai dengan wewenang Mahkamah
Konsitusi, karena dalam permohonannya tidak mengajukan pengujian
undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
c) Bahwa permohonan penilaian dan pengujian atas keberadaan LKRI
sebagaimana dinyatakan Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo
adalah bukan persoalan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun
1945, sehingga persoalan yang diajukan pemohon bukan merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkannya karena
kewenangan Mahkamah Konstitusi ialah sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
No. 12/PUU-XV/2017
materi konstitusi sebagai dasar pengajuan Penetapan Lembaga Kedaulatan
Rakyat Indonesia (LKRI) menjadi Lembaga Negara
Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430