Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 94/PUU-XVI/2018 / 21-01-2019

No. 36/1999 tentang Telekomunikasi

Kerugian Konstitusional:
Bahwa Pemohon beranggapan bahwa Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi hanya membatasi subjek hukum yang dapat memperoleh rekaman percakapan pada: (i) Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan (ii) penyidik untuk tindak pidana tertentu. Ketentuan ini tidak memberikan landasan hak bagi subjek lain yaitu tersangka dan/atau terdakwa (incasu Pemohon) di dalam proses peradilan pidana untuk memperoleh rekaman percakapan. Padahal bukti rekaman percakapan tersebut sangat krusial untuk bisa membuktikan apakah Pemohon dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana atau tidak. Dengan demikian ketentuan a quo tidak memberikan kesempatan bagi Pemohon untuk mengajukan bukti di persidangan pidana guna kepentingan pembelaan Pemohon. Selain itu, implikasi dari ketentuan a quo telah menciderai hak atas peradilan yang adil (right to a fair trial) Pemohon dalam proses peradilan pidana yang tengah Pemohon jalani. (vide Perbaikan Permohonan hal. 4 angka 6)

Legal Standing:
a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945.

Bahwa Pemohon beranggapan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang di jamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara melainkan menegaskan tentang penyelenggaraan negara Indonesia adalah negara hukum sehingga tidaklah berdasarkan hukum apabila dipertentangkan dengan ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi.

Bahwa ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi mengatur penyelenggara jasa telekomunikasi untuk dapat merekam informasi dan dapat memberikan informasi yang diperlukan hanya berdasarkan permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kapolri dan permintaan penyidik untuk keperluan proses peradilan tindak pidana tertentu. Dalam hal identitas Pemohon yang berprofesi sebagai penerjemah dan saat ini berstatus sebagai terdakwa dalam tindak pidana narkotika, Pemohon bukan merupakan pihak-pihak yang memiliki wewenang berdasarkan pasal a quo, yaitu penyelenggara jasa telekomunikasi, Jaksa Agung, Kapolri, atau penyidik, atas dasar itu ketentuan Pasal a quo UU Telekomunikasi telah memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil di dalam proses peradilan pidana. Oleh karenanya, pasal a quo UU Telekomunikasi sama sekali tidak ada keterkaitan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dengan demikian Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian pasal a quo UU Telekomunikasi terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji.

Bahwa DPR RI berpandangan ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi sama sekali tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, karena Pemohon tetap berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum dalam proses peradilan pidana. Dalam hal kedudukan Pemohon sebagai terdakwa, Pemohon tetap dapat memperoleh perlakuan yang sama dalam proses peradilan pidana yang sedang dijalaninya. Hak-hak Pemohon sebagai terdakwa berdasarkan Pasal 50 s/d Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masih tetap dilindungi oleh negara. Oleh karenanya tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan diberlakukannya ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi.

c. Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa rekaman percakapan dapat berguna untuk menemukan kebenaran materiil terhadap perkara Pemohon untuk membuktikan ada atau tidaknya komunikasi antara Pemohon dengan siapa pun berkenaan peredaran gelap narkotika. Pemohon tidak menjelaskan implikasi yang konkrit dan spesifik dengan berlakunya pasal a quo UU Telekomunikasi, bahwa dalil Pemohon tersebut hanya berupa asumsi dari Pemohon.

Bahwa sebagaimana uraian diatas, DPR RI berpandangan bahwa tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi. Selain itu, Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi yang dialami oleh Pemohon akibat dari berlakunya pasal a quo UU Telekomunikasi.

d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Bahwa dengan tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi, maka sudah jelas dan pasti tidak terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi yang dimohonkan pengujian.

e. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Bahwa DPR RI berpandangan dengan tidak adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya pasal a quo UU Telekomunikasi yang dimohonkan pengujian, maka tidak ada implikasi atau pengaruh apa pun yang akan terjadi pada Pemohon dengan dikabulkannya permohonan a quo sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara dan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa:

…Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection.


Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

Pokok Perkara:
1) Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi telah bertentangan dengan prinsip due process of law sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena tidak memberikan posisi yang sama bagi tersangka, terdakwa, maupun terpidana (incasu Pemohon), dalam mempertahankan hak-haknya secara seimbang ketika mengajukan permintaan rekaman percakapan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk dibuka dan dihadirkan sebagai bukti dalam persidangan (vide Perbaikan Permohonan hal. 12 angka 34).
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut:

a) Bahwa dalam sistem peradilan pidana, due process of law diartikan sebagai suatu proses hukum yang baik, benar, dan adil. Pengadilan yang adil merupakan suatu usaha perlindungan paling dasar untuk menjamin bahwa para individu tidak dihukum secara tidak adil. Proses hukum yang demikian terjadi apabila aparat penegak hukum yang terkait dengan proses tersebut, tidak hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga memastikan agar semua hak tersangka atau terdakwa yang telah ditentukan, diterapkan. Proses hukum adil juga wajib mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses hukum yang adil tersebut.

b) Bahwa KUHAP menganut prinsip “due process of law” dimana proses hukum yang fair bagi tersangka yaitu hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar tentang pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi, dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihat hukum, diapun berhak mengajukan pembelaan dan penuntut umum harus membuktikan kesalahannya di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak (Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 41).

c) Bahwa hak-hak tersangka atau terdakwa dalam menjalani proses hukum tetap dilindungi oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Pemohon tidak menjelaskan dalam surat permohonannya bahwa terdapat hak-haknya yang diciderai selama menjalani proses hukum sejak proses penyelidikan hingga persidangan. Proses hukum yang dijalani oleh Pemohon sudah sesuai dengan proses hukum berdasarkan prinsip due process of law yang diatur dalam perundang-undangan.

2) Bahwa Pemohon mendalilkan telah nyata pasal a quo UU Telekomunikasi tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap Pemohon saat menjalani proses peradilan pidana, karena tidak memberikan ruang bagi tersangka dan/atau terdakwa untuk meminta sendiri rekaman percakapan untuk kepentingan proses peradilan pidana guna mereka (incasu Pemohon) pakai sebagai pembelaan di persidangan.

Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut:

a) Bahwa salah satu asas dalam penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan Pasal 2 UU Telekomunikasi adalah asas kepastian hukum. Asas tersebut berarti bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan adanya perlindungan hukum, termasuk juga kepada pengguna telekomunikasi. Salah satu bentuk pelaksanaan dari asas tersebut ialah adanya larangan bagi setiap orang untuk melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi. Larangan tersebut ditujukan untuk melindungi hak pribadi yang dimiliki oleh setiap pengguna jasa telekomunikasi.

Bahwa pasal a quo UU Telekomunikasi berketentuan:
“Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :

a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.”

Bahwa syarat-syarat tersebut terdiri dari syarat materil, yaitu hanya untuk keperluan proses peradilan tindak pidana tertentu, dan syarat formil, yaitu harus ada permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan/atau Kapolri atau permintaan dari penyidik tindak pidana tertentu. Pemberian syarat-syarat tersebut merupakan upaya negara untuk tetap menjaga kerahasiaan dari informasi yang merupakan hak pribadi dari pengguna jasa telekomunikasi.

b) Bahwa Pasal 66 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Beban untuk membuktikan ada-tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum sehingga akses terhadap penguasaan bukti (possession of evidence) lebih diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Ketentuan ini merupakan penjelmaan dari asas “praduga tak bersalah” sebagai perlindungan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia milik tersangka atau terdakwa (incasu Pemohon). Oleh karena itu subjek yang dapat meminta alat bukti berupa rekaman informasi dibatasi hanya penyelidik atau penyidik, bukan tersangka atau terdakwa.

c) Bahwa subjek-subjek yang dapat mengajukan permintaan rekaman merupakan pegawai aparatur sipil negara yang karena jabatannya mempunyai kewenangan tertentu berdasarkan undang-undang. Oleh karenanya negara dapat meminta pertanggungjawaban yang pasti dan jelas kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara jika terjadi penyalahgunaan informasi yang diberikan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi. Jika pasal a quo UU Telekomunikasi tidak memberikan batasan subjek yang dapat meminta rekaman informasi, maka tidak ada jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam proses peradilan pidana bahwa rekaman tersebut tidak akan disalahgunakan oleh pihak yang menguasainya. Oleh karenanya akan terdapat ketidakpastian hukum terhadap perlindungan hak pribadi atas informasi yang merupakan milik dari setiap pengguna jasa telekomunikasi.

d) Bahwa ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi justru merupakan salah satu pengejewantahan prinsip-prinsip negara hukum, yaitu prinsip pertama bahwa pemerintah atau aparat atau pejabat negara, dalam hal ini Jaksa Agung, Kapolri, atau penyidik tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku bekerja dalam suatu kerangka yang batas-batasnya ditentukan oleh hukum. Prinsip kedua yaitu pasal a quo UU Telekomunikasi memuat substansi yang memuat adanya suatu tertib hukum (legal order) yang dibuat dan dipertahankan oleh negara yaitu memuat norma yang bersifat umum, prospektif, memberi perlakuan sama, dan memberi kepastian sehingga setiap orang sejak awal sudah mengetahui perbuatan apa yang diperbolehkan ataupun yang dilarang untuk dilakukan. Pasal a quo UU Telekomunikasi juga menunjukkan bahwa hukumlah yang memerintah, bukan kemauan penguasa di mana hal itu kemudian akan dibuktikan melalui proses peradilan.

e) Perlindungan terhadap hak pribadi atas informasi tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kemudian Pasal 31 ayat (4) UU ITE menetapkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. Institusi tersebut seperti Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

f) Bahwa Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi sudah sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan justru memberikan perlindungan hukum serta menjamin kepastian hukum bagi warga negara Indonesia dalam menjalani proses peradilan pidana. Hal ini dikarenakan rekaman oleh penyelenggara jasa komunikasi tidak bisa diminta setiap orang tanpa kualifikasi tertentu demi perlindungan informasi pribadi setiap orang. Rekaman yang disimpan oleh penyelenggara jasa komunikasi besar kemungkinan tidak hanya mencakup kasus yang dipermasalahkan oleh Pemohon, melainkan hal-hal lain yang merupakan privasi pemilik informasi yang tentu saja tidak layak untuk diketahui keseluruhannya oleh publik.

g) Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi juga telah diatur secara spesifik mengenai tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun ke atas, seumur hidup atau mati. Contoh tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang undang yang berlaku ialah tindak pidana yang sesuai dengan Undang undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang sesuai dengan Undang undang tentang Psikotropika.

h) Bahwa perlindungan hukum dan persamaan kedudukan di mata hukum tetap terjaga dan dapat diterapkan oleh Pemohon dengan mengajukan bukti dalam sidang pengadilan. Putusan hakim untuk menghadirkan bukti rekaman dimaksud akan ditindaklanjuti oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan meminta rekaman tersebut dari penyedia jasa telekomunikasi. Hal ini dapat dilakukan oleh Pemohon baik dalam tahap pengadilan tingkat pertama maupun pada tingkat banding.

Berdasarkan pandangan di atas, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan pasal a quo UU Telekomunikasi tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945, khususnya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan apabila permohonan Pemohon dikabulkan justru akan memberikan ketidakpastian hukum dalam melindungi hak pribadi pengguna jasa telekomunikasi.

94/PUU-XVI/2018

Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.