Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 11/PUU-XV/2017 / 02-02-2017

No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada yang pada intinya mengatur pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Para Pemohon mengatakan bahwa kata “sejak” dalam frasa “paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak dimumkan penetapan” dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat diskriminatif karena menimbulkan multitafsir dalam memaknai bunyi pasal a quo.

Bahwa dalam konteks pasal yang diujikan, kata “sejak” secara hukum dapat dimaknai “mulai dari hari diumumkannya penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU”, dihitung sebagai 1 (satu) hari, sedangkan apabila menggunakan kata “setelah” dapat dimaknai “sesudah hari diumumkannya penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU”, yang berimplikasi pada terjadinya selisih 1 (satu) hari. (Vide Perbaikan Permohonan halaman 6).

Legal Standing:
1) Bahwa kata “sejak” sudah sangat memberikan kepastian hukum dan tidak multitafsir. Dari sudut pandang kepastian hukum, kata “sejak” justru memberikan kepastian mengenai waktu dimulainya penghitungan 3 (tiga) hari kerja. Artinya, tidak ada hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Pasal a quo.

2) Bahwa tidak ada kerugian hak konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, karena para Pemohon tidak mempunyai kepentingan langsung dalam permohonan a quo serta tidak menguraikan kerugian hak konstitusionalnya secara konkrit.

3) Bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan pemohon bukanlah diakibatkan oleh pemberlakuan Pasal a quo. Artinya, bukanlah merupakan konstitusional suatu norma.

4) Bahwa implikasi selisih waktu seperti yang didalilkan para Pemohon hanya 1 (satu) hari dalam pengajuan keberatan atas penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU sedangkan waktu yang ditempuh untuk beberapa daerah di NKRI menuju Ibukota Jakarta, tempat kedudukan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi berada menghabiskan waktu berhari-hari. Artinya walaupun dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka hal tersebut tidak akan berpengaruh atau tidak akan merubah keadaan yang ada.

Berdasarkan argumentasi tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini. Tidak ada kerugian hak konstitusional Para Pemohon dari pemberlakuan Pasal a quo, sehingga tidak ada dasar bagi pengujian pasal-pasal a quo. Hal ini senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “menurut Mahkamah:

Pemohon selaku pendukung salah satu pasangan calon tidak ada relevansinya dengan permohonan a quo karena Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam mengajukan permohonan a quo sebab Pemohon bukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau pun walikota dan wakil walikota. Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection).

Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Akan tetapi, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

Pokok Perkara:
(1) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa kata “sejak” dalam Pasal a quo menimbulkan ketidakpastian hukum. DPR RI memberikan pandangan bahwa kata “sejak” dalam Pasal a quo tidaklah menyebabkan ketidakpastian hukum. Kata “sejak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai “kata penghubung untuk menandai mulai dari”. Artinya, kata “sejak” dalam Pasal a quo sebagai penegas bahwa penghitungan “3 hari kerja” dalam Pasal a quo dimulai dari diumumkannya penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU. Bahwa dengan adanya kata “sejak”, justru menimbulkan kepastian hukum dan tidak multitafsir karena memberikan kepastian kapan masa 3 (tiga) hari kerja untuk pengajuan permohonan tersebut dimulai.

(2) Bahwa penggunaan kata “setelah” dalam pasal a quo dapat dimaknai “sesudah diumumkannya penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU”. Oleh karena itu dapat disimulasikan, apabila KPU Provinsi/Kabupaten/Kota mengumumkan penetapan rekapitulasi pada hari Senin pukul 14.00, maka penghitungan 3 (tiga) hari kerja untuk pengajuan permohonan dengan mengacu pada kata “sesudah diumumkannya penetapan” bisa diartikan hari Senin pukul 15.00, keesokan hari atau mungkin seminggu setelah penetapan rekapitulasi. Dengan demikian, tidak ada kepastian kapan masa 3 (tiga) hari kerja untuk pengajuan permohonan tersebut dimulai. DPR RI memberikan pandangan bahwa penggunaan kata “setelah” atau “sesudah” dalam Pasal a quo justru akan menimbulkan ketidakpastian dan multitafsir.

(3) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan penggunaan kata “sejak” dalam Pasal a quo berimplikasi pada terjadinya selisih 1 (satu) hari jika dibandingkan menggunakan kata “setelah”. DPR RI memberikan pandangan bahwa penambahan kata “hari” dalam kutipan para Pemohon tidaklah tepat karena dalam Pasal a quo tidak terdapat kata “hari” sehingga merubah kalimat maupun arti dari Pasal a quo. Inilah yang menyebabkan terjadinya selisih 1 (satu) hari seperti yang didalilkan Para Pemohon.

(4) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon bahwa pembatasan yang dibuat dan diberlakukan Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada tidaklah memenuhi syarat-syarat pembatasan yang diatur pada Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945, khususnya syarat “untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis”. DPR RI memberikan pandangan bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon a quo, maka perlu terlebih dahulu mengutip pertimbangan hukum MK dalam Putusan Mahkamah No 114/PUU-VII/2009, tanggal 31 Desember 2009, yang antara lain sebagai berikut:

“.... Bahwa pembatasan pengajuan permohonan selama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam memang dapat dirasa memberatkan bagi peserta Pemilu manakala hendak mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu kepada Mahkamah karena sistem Pemilu, kondisi geografis dan tingkat pemahaman serta partisipasi pemilih di Indonesia yang masih belum memungkinkan dilaksanakannya tahapan Pemilu secara efektif dan efisien sebagaimana yang dipratikkan oleh negara-negara maju, namun demikian, hal tersebut bukanlah menyangkut konstitusional suatu norma karena pengaturan pembatasan pengajuan permohonan selama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, dan prinsip non-diskriminasi;

Bahwa sepanjang petitum para Pemohon yang meminta agar pasal 74 ayat (3) UU MK harus dibaca bahwa hal tersebut tidak menghalangi pemohon perselisihan hasil pemilihan umum untuk mengajukan permohonan setelah selesainya tenggat waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sepanjang permohonan yang diajukan benar-benar signifikan mempengaruhi hasil Pemilu dan meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 74 ayat (3) tidak berlaku khusus bagi para Pemohon . Menurut Mahkamah, apabila penafsiran demikian dibenarkan oleh Mahkamah, justru akan dimanfaatkan oleh mereka yang selalu tidak puas dengan penetapan hasil Pemilu untuk selalu mengajukan permohonan keberatan hasil Pemilu kepada Mahkamah, sementara tahapan Pemilu dan agenda ketatanegaraan tetap harus berjalan sesuai dengan Undang-Undang. Dengan demikian, penafsiran seperti itu justru akan menciptakan ketidakpastian hukum. Bahwa, tenggat waktu pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum selama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam yang telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2004 tidak menghalangi para Pemohon yang ingin mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum.“

Berdasarkan pertimbangan dalam Putusan Nomor 114/PUU-VII/2009 tersebut diatas, meskipun Undang-Undang yang diuji dalam Putusan 114/PUU-VII/2009 berbeda dengan perkara a quo, namun oleh karena yang diuji substansinya sama, yakni mengenai jangka waktu pengajuan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan umum maka perhitungan hukum dalam Putusan 114/PUU-VII/2009 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan dalam perkara a quo. Bahwa yang dipersoalkan para Pemohon sesungguhnya bukan merupakan konstitusional suatu norma karena tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, dan prinsip non-diskriminasi serta tidak menghalangi para Pemohon yang ingin mengajukan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan umum.

11/PUU-XV/2017

Pasal 157 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945