Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 24/PUU-XV/2017 / 07-02-2017

No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
No. 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

Kerugian Konstitusional Pemohon :
a. Bahwa menurut Pemohon eksistensi Pasal 23 Ayat (2) dan (3) dan
Pasal 33 UU Parpol serta frasa a quo dalam Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada
telah memberikan ruang bagi menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia yaitu Kementerian
Hukum dan HAM untuk mengabaikan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan pasal tersebut pengakuan sahnya
pimpinan suatu partai politik yang telah menempuh upaya penyelesaian
pada pengadilan tidak lagi semata-mata digantungkan pada putusan
pengadilan, akan tetapi digantungkan juga pada pendaftaran yang
dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia yaitu Kementerian Hukum dan
HAM.
(Vide permohonan halaman 11)

b. Bahwa menurut Pemohon adanya Pasal 33 UU Parpol serta frasa a
quo dalam pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada memberi peluang kepada
kekuasaan eksekutif (Menteri Hukum dan HAM) untuk mengabaikan
putusan pengadilan. Sebuah hal yang secara langsung atau tidak
langsung melanggar prinsip Negara hukum dan prinsip jaminan
kekuasaan kehakiman yang merdeka (The Independence of Judiciary).
Seperti halnya yang terjadi pada kasus yang dialami oleh Pemohon. Oleh
karena itu, Pasal 33 UU Parpol serta Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada jelas
bertentangan dengan prinsip Negara Hukum (rechtstaat) dan prinsip
Independence of Judiciary, yang karenanya pula bertentangan dengan
Pasal 1 Ayat (3) jo. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
(Vide permohonan halaman 18)

c. Bahwa Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 23 UU Parpol
berkaitan dengan pendaftaran pergantian kepengurusan partai politik
dalam proses yang normal berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga partai politik. Ketentuan tersebut tidak menjangkau
pendaftaran pergantian kepengurusan berdasarkan putusan mahkamah
partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akibat dari
perselisihan internal partai politik. Bahwa demikian juga tidak ada
ketentuan lain dari UU Parpol yang mengatur secara spesifik pendaftaran
pergantian kepengurusan partai politik berdasarkan putusan mahkamah
partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga
ketentuan Pasal 23 Ayat (2) dan (Ayat (3) yang tidak mengatur
mekanisme pendaftaran pergantian kepengurusan parpol berdasarkan
keputusan mahkamah partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap adalah norma yang tidak memberikan kepastian hukum
yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
(Vide permohonan halaman 23-24)

d. Bahwa seharusnya menurut hukum, Kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat Partai Persatuan Pembangunan yang disahkan oleh Kementerian
Hukum dan HAM adalah kepengurusan DPP PPP yang dipimpin oleh
Pemohon. Akan tetapi, Kementerian Hukum dan HAM dengan Surat
Keputusan (SK) No. M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2016 mengabaikan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dan
mendaftarkan kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar VIII Partai
Persatuan Pembangunan yang dilaksanakan di Pondok Gede pada tanggal
8 sampai 11 April 2016 yang dipimpin oleh H.M. Romahurmuziy sebagai
Ketua Umum, padahal Muktamar Pondok Gede tersebut dilaksanakan
setelah terbitnya putusan pengadilan a quo bukan oleh Pemohon selaku
pengurus yang sah. Sehingga tindakan tersebut tentu saja sangat
merugikan Pemohon karena seharusnya Pemohon adalah orang yang
berhak untuk disahkan sebagai Ketua Umum DPP PPP oleh Kementerian
Hukum dan HAM.
(Vide permohonan halaman 9)

e. Bahwa tindakan Menteri Hukum dan HAM menerbitkan Surat
Keputusan (SK) No. M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2016 tanggal 27 April 2016
yang menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan hak konstitusionalnya
untuk menjabat sebagai Ketua Umum DPP PPP dilakukan karena
ketidakpastian pada norma yang terkandung dalam Pasal 23 Ayat (2) dan
(3) serta Pasal 33 UU Parpol dan dikukuhkan lagi dengan adanya Pasal
40A Ayat (3) UU Pilkada. Tidak adanya kepastian hukum bahwa Menteri
Hukum dan HAM wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dalam sengketa partai politik mengakibatkan
Menteri Hukum dan HAM mendapat peluang untuk tidak melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh
karena itu hubungan antara kerugian Pemohon dengan ketidakpastian
pada norma yang terkandung dalam Pasal 23 Ayat (2) dan (3) serta Pasal
33 UU Parpol serta Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada, terbukti merupakan
hubungan langsung (causa) verband), karena akibat yang dihasilkannya
bukan lagi bersifat potential loss melainkan actual loss yang dalam
perkara ini Pemohon tidak memperoleh haknya untuk menjadi Ketua
Umum DPP PPP.
(Vide permohonan halaman 10)

Legal Standing :
a. Terkait syarat adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945
Berdasarkan pemohonan Pemohon, Pemohon mendalilkan bahwa hak
konstitusional Pemohon telah diberikan oleh UUD 1945 yang didasarkan
pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD
Tahun 1945 yang menyatakan:
“Pemohon adalah perseorangan warga negara Republik Indonesia yang
dirugikan hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh konstitusi yaitu hak
untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dan hak untuk
memperoleh perlindungan keadilan dari putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Dimana seharusnya Pemohonadalah orang
yang berhak untuk disahkan sebagai Ketua Umum DPPP PPP oleh
Kementerian Hukum dan HAM. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh
Menteri Hukum dan HAM walaupun telah ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) akibat adanya norma
Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal
40A ayat (3) UU Pilkada” (vide Permohonan, hlm.5, nomor 9). Terhadap
hal tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa setiap warga Negara
mempunyai hak-hak yang dijamin dalam UUD 1945. Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal
28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan: Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

b. Terkait syarat bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu
undang-undang yang diuji
Dalam pemohonan Pemohon dinyatakan:“bahwa akibat adanya norma
undang-undang tersebut telah memberi kemungkinan kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabaikan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan Mahkamah Agung
RI No. 504K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah
Agung RI No. 601K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 yang
telah memutuskan bahwa pengurus DPP PPP yang sah secara hukum
adalah pengurus yang dipimpin oleh Pemohon sebagai Ketua Umum”
(vide Permohonan, hlm.5-6, nomor 10). Bahwa terkait dengan dalil
Permohonan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon hanya
berasumsi saja menyalahkan norma di undang-undang baik itu di Pasal
23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A
ayat (3) UU Pilkada. Pemohon menguraikan persoalan secara ambigu,
tidak jelas, dan/atau bersifat multitafsir. Adapun jikalau Pemohon
menyalahkan tindakan Menkumham yang tidak kunjung menetapkan
putusan pengadilan sebagai dasar SK yang menurut Pemohon seharusnya
adalah merupakan hal (yang jika hal tersebut benar) berada pada tataran
implementasi dan bukan terkait dengan permasalahan normatif.

c. Terkait syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi
Pemohon mendalilkan bahwa keberlakuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3)
serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada
tersebut telah merugikan Pemohon karena dengan berlakunya pasal-pasal
tersebut Pemohon kehilangan hak nya sebagai Ketua PPP yang sah
(menurut Pemohon). Adapun terkait hal ini Para Pemohon sebenarnya
hanyalah berasumsi belaka karena kerugian konstitusional dikarenakan
menghubungkan keberlakuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal
33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada dengan sikap
yang dilakukan Menkumham adalah 2 hal yang berbeda. Pemohon tidak
dapat mencampurkan hal yang sifatnya normatif berlaku dengan hal yang
sifatnya tindakan seorang pejabat dalam hal ini Menkumham. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang nyatakan oleh Para Pemohon
tersebut adalah baru sebatas asumsi belaka.

d. Terkait syarat adanya hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian
Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa keberlakuan Pasal 23 ayat (2)
dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU
Pilkada tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan
alasan akibat adanya norma undang-undang tersebut telah memberi
kemungkinan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
DPR RI berpandangan bahwa pasal-pasal a quo yang dimohonkan oleh
Pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat dengan Pemohon.
Dikarenakan Menkumham memiliki tugas dan kewajibannya sendiri,
sedangkan norma di undang-undang adalah norma yang sifatnya adaalah
perangkat aturan yang tinggal dilaksanakan oleh pihak yang diamanatkan
oleh undang-undang tersebut. Oleh karena itu DPR melihat hal ini
bukanlah persoalan norma namun persoalan implementasi sehingga
dalam hal ini tidak terdapat relevansi antara kerugian serta hak
konstitusional Pemohon.

e. Terkait syarat adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa keberlakuan Pasal 23 ayat (2)
dan ayat (3) serta Pasal 33 Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU
Pilkada tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan
alasan akibat adanya norma undang-undang tersebut telah memberi
kemungkinan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
DPR RI berpandangan tidak ada kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi, karena
dampak yang disampaikan Pemohon dalam permohonan a quo hanyalah
baru sebatas asumsi belaka.

Pokok Perkara :
1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo bertentangan dengan
Pasal 1 Ayat (3) UUD Tahun 1945 berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, sangatlah tidak tepat. Bahwa ketentuan penetapan
kepengurusan partai politik dalam Pasal a quo merupakan bentuk dari
prinsip pemisahan kekuasaan dalam hal ini kewenangan kekuasaan
eksekutif. Hal ini merupakan bagian dari implementasi prinsip negara
hukum, yang didalamnya menganut prinsip supremacy of law, equality
before the law, dan due process of law yang merupakan inti dari Pasal 1
ayat (3) UUD Tahun 1945; DPR berpandangan bahwa ketentuan pasal-
pasal yang diujikan dalam perkara a quo tidak bertentangan dengan Pasal
1 Ayat (3) UUD Tahun 1945;

2) Bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi
dalam sistem organisasi di Indonesia yang merupakan Badan Hukum
sejatinya perlu diatur oleh pemerintah dalam hal tertib administrasi serta
pendaftaran dan pendataannya. Sehingga ketentuan Pasal a quo yang
mensyaratkan pendaftaran kepengurusan partai politik pada Menteri yang
membidangi urusan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal ini
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah sudah tepat;

3) Bahwa ketentuan Pasal a quo sejatinya sudah tepat namun dalam
perkara in casu yang dialami oleh Pemohon pelaksanaannya tidak sesuai
dengan norma. Sehingga dalam hal ini yang terjadi sejatinya adalah
permasalahan implementasi norma. Adapun putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum mengikat tersebut apabila tidak
dilaksanakan oleh Kementerian terkait sejatinya merupakan bentuk
pelanggaran administrasi negara, sehingga hal ini bukanlah kewenangan
dari Mahkamah Konstitusi namun kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara apabila ada pihak yang merasa dirugikan.

4) Bahwa pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastiaan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.” Dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan pasal-
pasal yang diujikan dalam perkara a quo bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD Tahun 1945, sangatlah tidak tepat. Hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastiaan hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum sejatinya juga dapat dibatasi menurut
Pasal 28J ayat (2) yang menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”, dalam hal ini melaksanakan apa yang telah
diatur dalam pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo. DPR
berpandangan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara
a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945;

5) Bahwa Pasal 28D Ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastiaan hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalil Para Pemohon yang
menyatakan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a
quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945,
sangatlah tidak tepat. Bahwa penekanan tentang kepastian hukum
kepada setiap orang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD Tahun 1945 inilah yang menjadi dasar filosofis pengaturan pasal-
pasal yang diujikan dalam perkara a quo. Ketentuan Pasal a quo justru
menjamin adanya kepastian hukum. Karena terdapat kepastian prosedur
untuk pendaftaran serta pencatatan kepengurusan Partai Politik kepada
lembaga yang berwenang melakukan pencatatan dalam hal ini
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila ketentuan Pasal a
quo dihapuskan malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena
tidak adanya dasar legalitas dari susunan kepengurusan Partai Politik
yang ditetapkan dan juga menimbilkan ketidaktertiban administrasi,
dalam hal ini pencatatan kepengurusan Partai Politik di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.

6) Bahwa dapat disimpulkan memang sejatinya penyelesaian
perselisihan partai politik yang dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik
sekalipun susunan mahkamah partai politik atau sebutan lain disampaikan
oleh pimpinan partai politik kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia sebagai perwakilan pemerintah yang menyelenggarakan tugas
tertib administrasi partai politik. Begitu pula dengan susunan
kepengurusan baru partai politik juga harus didaftarkan dan disahkan
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Partai Politik sebagai
salah satu pilar demokrasi dalam sistem organisasi di Indonesia yang
merupakan Badan Hukum sejatinya perlu diatur oleh pemerintah dalam
hal tertib administrasi serta pendaftaran dan pendataannya. Sehingga
ketentuan Pasal a quo yang mensyaratkan pendaftaran kepengurusan
partai politik pada Menteri yang membidangi urusan Hukum dan Hak
Asasi Manusia dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
adalah sudah tepat. Sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia, yaitu :

Pasal 2
“Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.”

Pasal 3 huruf a
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
peraturan perundang-undangan, administrasi hukum umum,
pemasyarakatan, keimigrasian, kekayaan intelektual, dan hak asasi
manusia;”
Pasal 14
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pelayanan administrasi hukum umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Ketentuan Pasal a quo sejatinya sudah tepat namun dalam perkara in
casu yang dialami oleh Pemohon pelaksanaannya tidak sesuai dengan
norma. Sehingga dalam hal ini yang terjadi sejatinya adalah
permasalahan implementasi norma.

7) Bahwa Pemohon juga mempersalahkan norma yang berlaku Pasal
23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A
ayat (3) UU Pilkada ketika Menteri Hukum dan HAM tidak menggunakan
pijakan putusan pengadilan yang didalilkan oleh Pemohon sebagai
putusan yang terakhir (menurut Pemohon). Adapun ketika
mempersoalkan bahwa pihaknya adalah yang benar melalui Putusan
pengadilan yang dimaksud pemohon dalam hal ini adalah Putusan
Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 jo.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 601K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2
November 2015 tersebut, maka janganlah norma undang-undang yang
dipersalahkan. Sikap Menteri Hukum dan HAM jikalau belum bersikap
ketika keluar Putusan Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015 tanggal
20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 601K/Pdt.Sus-
Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 tersebut adalah sikap seorang
pejabat negara, sehingga bukanlah kesalahan norma dalam undang-
undang. Oleh karena itu persoalan ada pada tataran implementasi dan
persoalan politik, bukan persoalan konstituonalitas dari norma pasal-pasal
tersebut.

8) Bahwa lebih lanjut lagi jika menyelami maksud dan mendalami
keinginan dari Pemohon yang tergambar dari petitum permohonan ini,
sejatinya Pemohon dikarenakan merasa putusan yang menguatkan
dirinya diabaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, maka meminta kepada
MK agar frasa “dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia” dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Sejatinya dalam hal ini berarti Pemohon minta ketika ada
putusan pengadilan, maka putusan pengadilan itu harus langsung berlaku
dan menjadi rujukan tanpa menunggu Menteri Hukum dan HAM
mengganti SK partai yang dimaksud. Hal ini adalah pemahaman yang
keliru. Mengapa keliru? Putusan adalah vonis yang berarti perintah dan
juga peroduk dari lembaga peradilan, sedangkan SK partai adalah
keputusan (beschikking) yakni penetapan administratif. Sehingga adalah
sudah tepat norma yang berlaku saat ini karena putusan haruslah
dilanjutkan oleh penetapan administratif dahulu. Oleh karena itu adalah
tidak tepat keinginan Pemohon dengan landasan kondisi faktual dan
empiris yang dialami langsung tersebut. Ketika Menteri Hukum dan HAM
tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015
tanggal 20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.
601K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015, bukan berarti
persoalan ada di norma sehingga ingin menghilangkan peran Menteri
Hukum dan HAM yang diatur dalam norma yang berlaku saat ini, karena
jelas putusan dan keputusan adalah dua produk hukum yang berbeda.

9) Bahwa terkait norma Pasal 40A UU Pilkada ini juga, Pemohon perlu
memahami bahwa pengaturan untuk penanganan kepesertaan partai
politik dalam pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik
merupakan suatu pilihan kebijakan yang lahir dari delegasi kewenangan
yang diberikan kepada pembentuk undang-undang, dan hal ini semata-
mata demi mewujudkan Pilkada yang demokratis. Sehingga
sesungguhnya pengaturan dalam Pasal 40A UU Pilkada merupakan
pengaturan yang konstitusional. Hal ini dikarenakan sistem-sistem
tersebut adalah wujud pilihan sistem yang lahir dari delegasi kewenangan
yang dimandatkan UUD Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang
demi mewujudkan Pilkada yang dilaksanakan secara demokratis. Pasal 18
UUD Tahun 1945 menyatakan sebagai berikut:

Pasal 18 UUD Tahun 1945
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintahan Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.

Oleh karena Pasal 18 UUD Tahun 1945 terutama pada ayat (7)
mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang, maka sejatinya
pilihan kebijakan untuk penanganan kepesertaan partai politik dalam
pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik tersebut
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40A UU Pilkada adalah
konstitusional. Hal lainnya yang juga menguatkan alasan bahwa MK tidak
pernah membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma
tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan
sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang terdapat dalam
Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-
VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal
konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau
sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan
terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk
Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai
buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan
jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat
membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti
inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas
melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang
menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang
melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan
penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan
dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat
dibatalkan oleh Mahkamah”.
Oleh karena itu selama norma yang diatur oleh pembentuk undang-
undang adalah norma yang berupaya mewujudkan amanat dari konstitusi
itu sendiri dan demi terlaksananya Pilkada yang demokratis, maka
sejatinya pengaturan untuk penanganan kepesertaan partai politik dalam
pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 40A UU Pilkada adalah benar adanya dan tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karena itu dalam hal ini
dapat diketahui bahwa Para Pemohon kurang memahami hal yang
dimohonkannya sendiri.

10) Bahwa pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma
selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat
membawa kemanfaatan. Apalah artinya norma yang ada dilestarikan
namun memunculkan kekisruhan/ keresahan. Hal ini juga tidak sejalan
dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya mengandung nilai-nilai
dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit). Radbruch
menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas.
Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung
dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya
merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah
tujuan hukum itu sendiri yaitu memajukan kebaikan dalam hidup
manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang dimaksud dibuat
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai
justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan
di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembentuk undang-undang dalam
hal ini membuat norma yang membawa kemanfaatan dalam Pasal 23 ayat
(2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3)
UU Pilkada.
11) Bahwa ketentuan dalam Pasal 23 Ayat (2) UU Parpol menyatakan
bahwa: “Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai
Politik tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.”
Sedangkan Pasal 23 Ayat (3) UU Parpol menyatakan bahwa : “Susunan
kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diterimanya persyaratan.”

Hal ini menegaskan kewenangan Penyelenggara Negara Bidang Eksekutif
dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
menjalankan tugasnya mengesahkan dan menetapkan Susunan
Kepengurusan Partai Politik.

Sementara dalam Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada menyatakan bahwa : Jika
masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik
tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan
kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan
dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Dapat disimpulkan bahwa penetapan oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan
dihilangkan sebagai bentuk penyelenggaraan kekuasaan bidang eksekutif.

Sehingga menurut DPR RI, pengaturan dalam Pasal a quo sudah
menjamin kepastian hukum dan tidak menimbulkan multitafsir dalam
pelaksanaannya, karena sudah sesuai dengan prinsip pemisahan
kekuasaan.

12) Bahwa dalam setiap penetapan maupun keputusan yang
dikeluarkan oleh Pejabat Publik selalu mengacu pada ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan).
Sesuai dengan dasar menimbang huruf c UU Administrasi Pemerintahan
yang berbunyi :

“Bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi
pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi
pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari
keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan”

Lebih lanjut dalam UU Administrasi Pemerintahan dijabarkan lebih lanjut
mengenai tata cara penetapan suatu keputusan oleh Pejabat Publik, yaitu
:

Pasal 8
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(2) Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan
Wewenang wajib berdasarkan:
a. peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB.
(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan.

Pasal 9
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Pasal 52
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Sehingga sejatinya dalam setiap penetapan maupun keputusan yang
dikeluarkan oleh Pejabat Publik termasuk juga Pejabat Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia tentunya mengacu kepada ketentuan
dalam UU Administrasi Pemerintahan tersebut.

24/PUU-XV/2017

Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23 Ayat (3), Pasal 33 UU Parpol dan Pasal 40A Ayat
(3) UU Pilkada

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945