KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON :
1. Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan bertindak untuk
dan atas nama pribadi sebagai anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Cabang Kabupaten Cilacap yang merasakan kerugian konstitusional akibat
adanya ketentuan pasal-pasal a quo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik (selanjutnya disebut UU Partai Politik), Pemohon merasa telah
dirugikan dan dirampas hak konstitusionalnya akibat keputusan Menkum
HAM terhadap dualisme kepengurusan dan konflik internal di PPP dimana
Pemohon menjadi anggota Partai tersebut. Pemohon berpendapat Menkum
HAM dalam menjalankan kewenangannya telah mengelola dan memelihara
konflik internal partai politik kepada pemerintah yang berkuasa karena
Menkum HAM sebagai unsur pemerintah memiliki kepentingan yang sangat
kuat terhadap dukungan partai politik. (Vide perbaikan permohonan halaman
7)
2. Bahwa menurut Pemohon, kewenangan Menkum HAM terhadap
pendaftaran perubahan susunan kepengurusan partai politik tingkat pusat
berkaitan erat dengan dua hal, yaitu persyaratan permohonan dan
perselisihan internal. Jika persyaratan pemohon tidak lengkap dan masih ada
perselisihan internal, maka Menkum HAM terlarang untuk menerbitkan Surat
Keputusan. Faktanya dari beberapa perselisihan partai politik, Menkum HAM
tetap menerbitkan SK kepengurusan bagi pengurus kubu partai politik yang
mendukung pemerintah. Akibat adanya tarik menarik dukungan partai, maka
Menkum HAM telah dijadika sebagai alat politik pemerintah untuk
mendapatkan dukungan partai politik tanpa mengindahkan proses hukum
yang masih berjalan di pengadilan. (Vide perbaikan permohonan halaman 8)
3. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon merasa mendapat
perlakuan inkonstitusional dari Menkum HAM yang membuat Pemohon
mengalami kegelisahan yang tak berujung, hilang pengharapan dan
ketidakpastian dalam berkarir di dunia politik baik di PPP maupun di partai
politik lain karena bukan tidak mungkin hal sama juga akan menimpa partai
politik lain jika berseberangan dengan pemerintah. (Vide perbaikan
permohonan halaman 9).
4. Bahwa pendaftaran perubahan pengurus partai politik tingkat pusat
sangat penting artinya bagi kepastian hukum agar ada kejelasan mengenai
siapa pihak yang berhak bertindak mewakili partai politik. Pemohon
mempersoalkan pemberian kewenangan pendaftaran perubahan susunan
kepengurusan partai politik kepada Menkum HAM yang merupakan unsur
pemerintah. Seharusnya kewenangan tersebut diberikan kepada Lembaga
Negara Independen. (Vide perbaikan permohonan halaman 13).
5. Bahwa meskipun pendaftaran perubahan pengurus partai politik tingkat
pusat sangat penting, namun jika kewenangan tersebut diberikan kepada
lembaga yang wewenangnya tidak bersifat collective collegial, maka akibat
yang akan terjadi adalah kegaduhan hukum seperti yang terjadi seperti
sekarang ini. (Vide perbaikan permohonan halaman 17)
LEGAL STANDING :
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing) para Pemohon, DPR RI berpendapat bahwa sebagaimana yang
tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XIV/2016,
disampaikan bahwa ketentuan Pasal 23 adalah ketentuan yang secara spesifik
mengatur partai politik dan bukan mengatur hak perorangan warga negara
Indonesia, bahwa seandainya permohonan yang diajukan oleh Pemohon
dimaksudkan sebagai permohonan yang diajukan oleh pengurus partai
politik, Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu hak dan kewenangan
Pemohon untuk mewakili partai politik dalam pengajuan permohonan
pengujian Undang-Undang. Bahkan seandainya Pemohon dapat mewakili
partai politik, quod non, tidak berarti Mahkamah dapat mengadili
permohonan Pemohon, hal demikian karena Mahkamah telah berpendirian
bahwa partai politik yang memiliki wakil di DPR telah ikut merancang,
membahas, dan/atau mengesahkan rancangan undang-undang menjadi
suatu undang-undang, maka partai politik yang bersangkutan tidak lagi
memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan pengajuan
undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, sebagai
perorangan warga negara Indonesia maupun sebagai anggota partai politik,
Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan
pengujian ketentuan a quo. Selain itu, berdasarkan alasan-alasan yang
disampaikan Pemohon dalam perbaikan berkas permohonan, pemohon hanya
bersandar pada pendapat pribadi yang subyektif serta tidak dapat menyusun
konstruksi kerugian konstitusional yang secara nyata dialami maupun
berpotensi untuk dialami oleh pemohon sebagai akibat berlakunya ketentuan
dalam UU Partai Politik yang dimohonkan pengujiannya. Berdasarkan uraian-
uraian tersebut diatas, DPR RI berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon.
POKOK PERKARA :
1) Bahwa pembentukan UU 2 Tahun 2011 dan UU 2 Tahun 2008 adalah
sebagai bentuk amanat UUD Tahun 1945, yaitu perwujudan jaminan
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
sebagaimana Pasal 22E ayat (3) UUD Tahun 1945 yang merupakan hak asasi
manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. Hak untuk
berserikat dan berkumpul ini kemudian diwujudkan dalam pembentukan
partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik
Indonesia.
2) Bahwa sebagai perwujudan atas prinsip negara hukum yang
berdemokrasi, maka untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan partai
politik telah dibuat UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011. Sebagai sebuah
open legal policy, UU Partai Politik memberikan kewenangan kepada
Pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM untuk menerima
permohonan dan melakukan pendaftaran atas penggantian atau perubahan
susunan kepengurusan partai politik di tingkat pusat dan untuk keperluan
bukti pendaftaran tersebut dikeluarkan keputusan Menteri Hukum dan HAM.
Selanjutnya untuk memberikan kepastian hukum serta perlakuan yang sama
dan adil terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 23 UU Partai Politik agar
sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi pemerintahan sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka
Pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Serta Pergantian Kepengurusan Partai Politik.
3) Bahwa demi terselenggaranya ketertiban dalam administrasi
pemerintahan, Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat pemerintahan
memperoleh wewenang melalui atribusi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,
dimana Menteri Hukum dan HAM memiliki bertanggung jawab atas
kewenangan tersebut sebagai pejabat pemerintahan, yang dalam hal ini
termasuk kewenangan untuk pemberian wewenang pendaftaran perubahan
susunan kepengurusan partai politik tingkat pusat.
4) Bahwa keberadaan Pasal 23 merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dengan Pasal 24, 25, dan Pasal 26 UU Partai Politik, yang harus
dipahami sebagai suatu rangkaian pasal sebagai bentuk pengakuan terhadap
keberadaan lembaga atau badan permusyawaratan tertinggi, baik dalam
bentuk Muktamar/Musyawarah Nasional dan/atau nama yang lain.
5) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang mempersoalkan dikeluarkannya SK
Menteri Hukum dan HAM terhadap salah satu kepengurusan partai politik
yang menyatakan mendukung pemerintah, dalam hal ini DPR RI berpendapat
bahwa apa yang disampaikan Pemohon tidak berdasar, karena apa yang
dijalankan oleh Menteri Hukum dan HAM RI semata-mata bersifat
administratif dalam menjalankan UU Partai Politik untuk memberikan
kepastian hukum. Sedangkan pernyataan menyatakan dukungan merupakan
perwujudan kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan
pendapat yang merupakan hak asasi manusia yang keberadaannya dijamin
dalam konstitusi. Oleh karena itu DPR RI dalam hal ini berpendapat bahwa
Pemohon tidak dapat dapat menunjukkan secara nyata adanya kerugian
konstitusionalitas yang secara nyata ataupun berpotensi untuk dilanggar
akibat adanya rumusan norma yang dimohonkan pengujiannya.
6) Bahwa terkait dalil Pemohon untuk memaknai secara bersyarat seperti
yang dicantumkan dalam petitum, DPR RI berpendapat bahwa hal tersebut
justru akan menimbulkan ketidakpastian dan kekosongan hukum yang bisa
saja akan menimbulkan chaos dalam penyelenggaran administrasi
pemerintahan, selain itu hal tersebut bukanlah merupakan wewenang
Mahkamah Konstitusi untuk menambah, mengurangi, ataupun merubah
kewenangan pemerintah dalam hal ini melalui Menteri Hukum dan HAM,
kepada sebuah lembaga yang bukan saja tidak disebutkan ataupun diakui
dalam UUD Tahun 1945, tetapi bahkan tidak ada keberadaannya dalam
struktur pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia.
7) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa mengalami
kerugian inkonstitusional dari Menkum HAM mengalami kegelisahan tak
berujung, hilang pengharapan dan ketidakpastian dalam berkarir politik,
dalam hal ini DPR RI berpendapat bahwa hal tersebut tidak berhubungan
dengan adanya pengajuan permohonan perkara pasal a quo, karena hal
tersebut lebih merupakan suatu implementasi di lapangan. Hal ini
menunjukkan adanya ketidakcermatan Pemohon dalam menyusun
permohonan yang menimbulkan ketidakjelasan sebab-akibat yang
ditimbulkan atas adanya permohonan pengujian pasal a quo. Keberadaan
Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 sebagai sebuah rangkaian justru
memberikan perlakuan hukum yang adil dan tidak diskriminatif bagi hak
asasi manusia sebagai warga negara Indonesia dalam berkumpul dan
menyatakan pendapat. Untuk itu menurut DPR RI alasan yang diajukan
Pemohon mengenai kekhawatiran karir di bidang politik tidak beralasan.
8) Bahwa terkait dengan dalil Pemohon untuk memaknai seperti yang
disebutkan dalam petitum, dalam hal ini DPR RI berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan norma baru yang sama sekali berbeda dan merupakan
usulan perubahan norma. Bahwa dalam hal ini perumusan norma baru
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan
Pemerintah sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945.
9) Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa
pasal-pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun
1945 karena tidak ada hak konstitusi yang dilanggar secara aktual dan
kausalitas. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR RI berpandangan
ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UU Partai Politik, serta Pasal 24 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik tidak bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
84/PUU-XIV/2017
Pasal 23 ayat (2) dan (3) UU Partai Politik :
“(2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik
tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak dibentuknya kepengurusan yang baru.
(3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak diterimanya persyaratan,”
Pasal 24 UU Partai Politik:
“Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum
tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan
kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan
terselesaikan.”
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430