No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran
No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran
Kerugian Konstitusional:
1. Perihal “Sertifikat Kompetensi” dan “uji Kompetensi”:
Bahwa berlakunya pasal a quo mengakibatkan, ketidakpastian hukum terkait dengan tahapan atau prosedur bagi seorang dokter untuk memperoleh izin praktik karena rumusan pasal a quo mengakibatkan dokter yang telah lulus uji kompetensi (UKMPPD) masih harus mendapatkan lagi sertifikat kompetensi secara terpisah dari sertifikat profesi yang diperoleh setelah lulus uji kompetensi, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Berlakunya pasal a quo mengakibatkan sertifikat kompetensi ini tetap harus dimiliki secara terpisah oleh mereka yang telah lulus UKMPPD baik dengan cara harus menempuh uji kompetensi lagi maupun dengan syarat membayar sejumlah biaya untuk dapat memperoleh Sertifikat Kompetensi dimaksud. Hal ini jelas mengakibatkan ketidakadilan baik bagi lulusan baru Fakultas Kedokteran, oleh karena Sertifikat Kompetensi ini mutlak dibutuhkan oleh seorang dokter untuk dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi Dokter dari KKI sebagai syarat mutlak guna memperoleh izin praktik.
(Vide permohonan halaman 58)
2. Perihal “Organisasi Profesi”:
Berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal yang membuat frasa “organisasi profesi” dalam UU Pendidikan Kedokteran juga mengakibatkan PB IDI melakukan intervensi terhadap pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter – antara lain dengan mendudukan wakilnya dalam Tim Kendali Mutu UKMPPD serta ikut menyusun soal-soal ujian – yang seyogianya bukan merupalan domain IDI sebagai “political body” dokter, melainkan domain dari Institusi Pendidikan Kedokteran dan Kolegium/MKKI, yang mana hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, karena adanya ketidakpastian terkait dengan penyelenggaraan uji kompetensi yang menjadi bagian dari system pendidikan kedokteran, hal ini tentuanya sangat merugikan para mahasiswa Fakultas Kedokteran. Wilayah akaemis atau pendidikan dalam organisasi profesi seyogianyalah merupakan wewenang kolegium dan atau MKKI (Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia) sebagai “academic body” dokter Indonesia.
(Vide permohonan halaman 56)
3. Perihal “Anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang berasal dari unsur organisasi profesi”:
Berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran mengakibatkan adanya potensi benturan kepentingan (conflict of interest) antara wakil organisasi profesi kedokteran sebagai komisioner dalam institusi KKI yang berfungsi sebagai regulator, dimana pengurus organisasi profesi kedokteran yang beranggotakan para dokter Indonesia menjadi objek regulasi, apalagi salah seorang komisioner tersebut juga adalah Ketua Umum Organisasi Profesi Kedokteran dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia
(Vide permohonan halaman 50)
Legal Standing:
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon dalam permohonan pasal a quo merasa Pasal 1 angka 4 dan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran serta Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran telah mengakibatkan lulusan baru fakultas kedokteran harus mengikuti uji kompetensi sebanyak dua kali yaitu Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) dan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh Ikatan Dokter Indonesia atau Kolegium Dokter Indonesia sehingga tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi Para Pemohon. Bahwa terhadap hal tersebut DPR RI berpandangan bahwa tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Pasal a quo. Para Pemohon yang terdiri atas dosen fakultas kedokteran, guru besar fakultas kedokteran, dokter, pegawai negeri sipil, dan konsultan tidak terkait langsung dengan keberlakuan Pasal a quo, karena yang akan mengalami potensi kerugian dari keberlakuan Pasal a quo adalah lulusan baru dari fakultas kedokteran. Oleh karena itu, tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo.
Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa terhadap permohonan permohonan pasal a quo, Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pokok Perkara:
a) Aspek Negara Hukum dan Kepastian Hukum
Sebelum kami menyampaikan keterangan terhadap pengujian materiil atas pasal a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon, perkenankan kami menyampaikan secara ringkas berkaitan dengan aspek negara hukum dan kepastian hukum.
1. Bahwa Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum mengandung arti kekuasaan negara dijalankan berdasakan hukum. Unsur-unsur negara hukum (rechstaat) menurut Friedrich Julius Stahl meliputi pelindungan terhadap hak-hak manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan adanya peradilan administrasi dalam perselisihan. (Miriam Budiarjo: Dasar-Dasar Ilmu Politik: 113) Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan, yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara hukum harus tunduk pada hukum yang sama. Sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah, dan kepercayaan. (Munir Fuady: Teori Negara Hukum Modern: 3)
2. Bahwa kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupakan asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (handhaving). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu: (1) jelas dalam perumusannya; (2) konsisten dalam perumusannya, baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam pertautan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan, dan bahasa. Konsisten secara ekstern adalah adanya hubungan “harmonisasi” antara berbagai peraturan perundang-undangan; dan (3) penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti. (Zainal Arifin Hoesein: Hukum dan Dinamika Sosial: 37)
b) Aspek Uji Kompetensi dan Organisasi Profesi
1. Bahwa penjaminan mutu lulusan pendidikan kedokteran dilakukan melalui sistem sertifikasi/uji kompetensi untuk menjamin mutu lulusan. Tujuan uji kompetensi adalah untuk memastikan lulusan pendidikan kedokteran telah memiliki kompetensi yang terstandar sehingga dapat melakukan pelayanan kesehatan secara kompeten sesuai dengan keahlian ilmu dan keterampilan yang dikuasai. Penjaminan mutu lulusan pendidikan kedokteran akan dapat mewujudkan derajat pelayanan kesehatan yang optimal dalam rangka pemenuhan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Uji Kompetensi dalam ketentuan Pasal 36 dan Pasal 39 UU Pendidikan Kedokteran adalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi. Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi [vide Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran dan untuk memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi [vide Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran. Adapun UU Praktek Kedokteran tidak mengatur norma terkait penyelenggaraan uji kompetensi, hanya menjelaskan mengenai definisi sertifikat kompetensi, yaitu surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi (vide Pasal 1 angka 4). Dalam UU Praktek Kedokteran juga dijelaskan bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran harus memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan [vide penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d].
2. Bahwa berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 122/PUU-XII/2014, uji kompetensi dokter merupakan syarat kelulusan bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan profesi dokter atau dokter gigi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter atau dokter gigi. Uji kompetensi tersebut bertujuan sebagai standarisasi lulusan dalam bentuk uji kompetensi yang bersifat nasional sebagai upaya untuk menyatukan keragaman dalam kedokteran. Indonesia mempunyai 75 (tujuh puluh lima) prodi dokter dan harus diakui bahwa terdapat berbagai macam keragaman antar institusi, antara lain mencakup, proses seleksi mahasiswa, kualitas pembelajaran, proses evaluasi belajar, dan managemen pendidikan. Uji kompetensi dokter atau dokter gigi dimaksud dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Fakultas kedokteran sebagai institusi yang mendidik calon dokter mempunyai tanggung jawab untuk memastikan lulusannya menguasai kompetensi yang disyaratkan dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia. (Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 122/PUU-XII/2014: 191)
3. Bahwa profesi adalah pekerjaan pelayanan yang dilandasi oleh persiapan atau pendidikan khusus yang formal dan landasan kerja yang ideal serta didukung oleh cita-cita etis masyarakat. Salah satu unsur yang seyogyanya terdapat dalam profesi adalah adanya organisasi atau asosiasi profesi tersebut yang memiliki etika profesi yang jelas. (Muhammad Sadi: Etika Hukum Kesehatan, Teori dan Aplikasinya di Indonesia: 135) Organisasi Profesi dalam UU Praktek Kedokteran didefinisikan dengan jelas yaitu Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi (vide Pasal 1 angka 12). Sedangkan di dalam UU Pendidikan Kedokteran, organisasi profesi didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah (vide Pasal 1 angka 20). UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran sebagai suatu kesatuan hukum dalam sistem hukum nasional merupakan rangkaian hubungan harmonisasi antara norma undang-undang yang satu dengan lainnya yang saling melengkapi dan tidak bertentangan. Prinsip harmonisasi ini merupakan bagian dari upaya menjamin kepastian hukum yang adil sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, definisi organisasi profesi dalam UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran memiliki maksud yang sama, saling melengkapi, dan tidak bertentangan.
c) Terhadap Pokok Permohonan
1. Perihal “Sertifikat Kompetensi” dan “Uji Kompetensi”
• Yang dianggap Para Pemohon pasal a quo mendefinisikan pengertian dari “sertifikat kompetensi” dan tidak mengatur norma terkait penyelenggaraan uji kompetensi. Terhadap argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya, menurut DPR RI uji kompetensi bagi mahasiswa pendidikan kedokteran dilakukan sebagai bukti kompetensi untuk mampu berprofesi sebagai dokter secara profesional, sehingga uji kompetensi profesi dokter yang pertama kali dilakukan merupakan hasil pendidikan yang dialami pada satuan pendidikan (Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi) melalui kerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Mahasiswa yang lulus uji kompetensi akan memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan perguruan tinggi [vide Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran]. Adapun sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium dokter dan dokter gigi yang bersangkutan [vide penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktek Kedokteran] digunakan sebagai syarat untuk memperoleh surat tanda registrasi. Dengan demikian, sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing secara berbeda dengan sertifikat profesi yang dikeluarkan perguruan tinggi.
• Bahwa terhadap argumentasi Para Pemohon berikutnya, menurut DPR RI, pengaturan mengenai pelaksanaan uji kompetensi hanya terdapat dalam UU Pendidikan Kedokteran. Uji kompetensi dilaksanakan oleh fakultas kedokteran/kedokteran gigi melalui kerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi [vide Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran]. Pengaturan yang jelas mengenai uji kompetensi dalam UU Pendidikan Kedokteran dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum yang adil sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, alasan Para Pemohon yang menyatakan sertifikat kompetensi ini tetap harus dimiliki secara terpisah, baik dengan cara harus menempuh uji kompetensi lagi yang diselenggarakan kolegium maupun dengan syarat membayar sejumlah biaya, bukan merupakan persoalan kostitusionalitas suatu undang-undang melainkan persoalan penerapan norma dan pelaksanaan dari suatu undang-undang. Diperlukan sertifikasi kompetensi karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan perguruan tunggi dan harus dilakukan secara ketat karena berhubungan dengan kesehatan dan nyawa manusia. Dalam hal penerbitan sertifikat kompetensi diterbitkan melalui proses Uji kompetensi dan dinyatakan lulus, untuk kemudian digunakan sebagai salah satu dasar diterbitkannya Surat Tanda Registrasi (STR).
• Uji kompetensi menjadi bagian dari proses pendidikan kedokteran/kedokteran gigi dan hanya diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (vide Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas)). Sehingga tidak dibenarkan ada penyelenggaraan uji kempetensi diluar satuan pendidikan yang terakreditasi sebagaimana tersebut.Dasar diberlakukannya uji kompetensi adalah:
- Untuk menjamin mutu lulusan program pendidikan kedokteran agar sesuai dengan standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI). Di tengah-tengah maraknya pendirian fakultas kedokteran dengan mutu yang beragam, dengan mutu lulusan yang beragam pula, uji kompetensi berfungsi menyamakan standar lulusan antar satuan pendidikan baik negeri maupun swasta.
- Untuk melindungi masyarakat dari praktik kedokteran/kedokteran gigi yang tidak bermutu dan tidak aman. Tantangan dan persaingan pasar global mengharuskan setiap tenaga kesehatan untuk tetap menjamin masyarakat akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman. Secara tidak langsung uji kompetansi sebagai filter/mencegah munculnya satuan pendidikan yang tidak berkualitas. Ujian kompetensi menjadi satu kesatuan dengan proses pendidikan kedokteran/kedokteran gigi dan dilakukan setelah mahasiswa kedokteran lulus pre klinik dan klinik. Setelah lulus uji kompetensi akan mendapatkan sertifikat kompetensi yang akan digunakan sebagai salah satu dasar diterbitkannya “STR sementara” sebelum menjalani internship. Setelah selesai internsif, sertifikat kompetensi digunakan sebagai salah satu dasar diterbitkannya “STR” yang menjadi syarat diperbolehkan menjalani praktik kedokteran (diterbitkannya Surat Izin Praktik/SIP). Terhadap argumentasi Para Pemohon tersebut, menurut DPR RI sangat terkait dengan tafsiran dan kebijakan dari Kolegium Dokter Indonesia.
2. Perihal “Organisasi Profesi”
• Organisasi profesi merupakan Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi. Terhadap argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya, menurut DPR RI bahwa ketentuan Pasal a quo yang menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi justru untuk menjamin kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Hal ini mengingat peran penting dan krusial dari organisasi profesi yang diamanatkan oleh UU Praktek Kedokteran, di antaranya membentuk kolegium (vide Pasal 1 angka 13), menetapkan dan menegakkan etika profesi (vide Pasal 8 huruf f dan huruf g), ikut dalam menyusun standar pendidikan profesi [vide Pasal 26 ayat (3)], mengadakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan [vide Pasal 28 ayat (1)], membina dan mengawasi kendali mutu dan kendali biaya [vide Pasal 49 ayat (3)], serta ikut dalam melakukan pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran (vide Pasal 71). Dengan demikian, diperlukan kejelasan dan kepastian hukum akan organisasi profesi untuk dokter dan dokter gigi sesuai dengan ketentuan Pasal a quo agar pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan organisasi profesi dapat dipertanggungjawabkan.
• Pada dasarnya ketentuan Pasal a quo ditujukan bagi ketertiban pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan organisasi profesi sehingga dapat dipertanggungjawabkan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Guna menjamin ketertiban umum tersebut maka UU Praktek Kedokteran dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa organisasi profesi untuk dokter adalah Ikatan Dokter Indonesia dan untuk dokter gigi adalah Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Selain itu, Para Pemohon dalam permohonannya juga megakui bahwa “dalam lingkungan organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terdapat sejumlah perhimpunan dari masing-masing cabang disiplin ilmu yang bersifat independen dan otonom seperti halnya Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Dokter Bedah Indonesia (IKABI), Perhimpunan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI), dan lain sebagainya.”
• Selain itu, untuk mendapatkan surat izin praktik maka dokter atau dokter gigi harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya adalah rekomendasi dari organisasi profesi. Untuk menjamin kepastian hukum, organisasi profesi dalam UU Praktek Kedokteran secara jelas telah ditetapkan hanya Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia. (vide Pasal 1 angka 12) Keterlibatan organisasi profesi (vide Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran) dimaksudkan agar dalam penyusunan standar nasional pendidikan kedokteran, dapat disusun secara bersama dengan melibatkan setiap pihak yang berkepentingan, salah satunya adalah organisasi profesi yang berwenang membentuk kolegium. Didalam organisasi profesi juga terdapat komponen-komponen lainnya, termasuk kolegium kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi bersangkutan. Bahwa dalam UU Praktek Kedokteran telah menempatkan kolegium sebagai “academic body” bagi dokter Indonesia dengan kewenangan menyusun standar pendidikan profesi kedokteran spesialis dan kedokteran gigi spesialis [vide Pasal 26 ayat (2) huruf b] serta ikut berkoordinasi dalam menyusun standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi yang disusun oleh asosiasi institusi pendidikan [vide Pasal 26 ayat (3)], kolegium juga berwenang menyusun standar kompetensi (vide penjelasan Pasal 8 huruf c) dan mengeluarkan sertifikat kompetensi [vide penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d].
Dengan demikian, berlakunya ketentuan Pasal a quo selama ini tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon untuk tetap dapat berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sesuai ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945.
3. Perihal “Anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang berasal dari unsur organisasi profesi”
• Terhadap argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya, menurut DPR RI bahwa Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan yang independen yang akan menjalankan fungsi regulator, yang terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas berbagai unsur dan latar belakang sesuai ketentuan Pasal a quo adalah untuk menjamin terwakilinya unsur dari pihak yang terkait dengan penyelenggaraan praktik kedokteran. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945. Dalil permohonan Para Pemohon yang menyatakan terjadinya potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang berasal dari organisasi profesi tidak beralasan hukum karena UU Praktek Kedokteran mengamanatkan bahwa dari 17 (tujuh belas) orang anggota Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas berbagai unsur dan latar belakang serta telah mengatur secara jelas mengenai tata kerja dari Konsil Kedokteran Indonesia, yaitu melalui rapat pleno anggota yang dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu (vide Pasal 22). Selain itu, salah satu syarat untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia adalah “melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia” (vide Pasal 18 huruf h). Oleh karena itu, 2 (dua) anggota sebagai perwakilan dari organisasi profesi juga harus tunduk pada tata kerja dan persyaratan yang telah diatur dalam UU Praktek Kedokteran. Dengan demikian, pengaturan yang jelas dan tegas mengenai persyaratan dan tata kerja dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam UU Praktek Kedokteran adalah untuk menjamin kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Pada dasarnya pengaturan mengenai adanya perwakilan dari organisasi profesi dalam keanggotan konsil juga terdapat dalam undang-undang lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (selanjutnya disebut UU Keperawatan) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut UU Tenaga Kesehatan).
• Bahwa prinsip dasar dibentuknya “Konsil Kedokteran/Kedokteran Gigi” adalah untuk melindungi masyarakat dari pelayanan kedokteran yang tidak bermutu. Konsil Kedokteran/Kedokteran Gigi beranggotakan semua unsur yang terkait dengan penjagaan mutu pelayanan kedokteran/Kedokteran Gigi, yang salah satunya adalah unsur organisasi profesi. Organisasi profesi sebagaimana sudah diuraikan diatas yaitu IDI yang didalamnya tergabung semua profesi-profesi dokter/dokter gigi yang ada di Indonesia, maka semua kepentingan dapat tersalurkan. Pasal 6 huruf c Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia (selanjutnya dsiebut Perpres 35 Tahun 2008), menyatakan “usulan calon Anggota Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan secara tertulis kepada Menteri disertai dengan keterangan mengenai: c. Surat pernyataan kesediaan melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi Anggota Konsil Kedokteran Indonesia”, ditujukan untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan.
d) Pembahasan dalam risalah
Penjelasan tentang sertifikat kompetensi dan uji kompetensi terdapat pada risalah Raker dengan Kemkes tanggal 10-5-2004, halaman 497 – 514. Terkait dengan Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran dan terkait dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2), dalam Rapat Panitia Kerja RUU Pendidikan Kedokteran yang diselenggarakan tanggal 25-26 Juni 2013 di Hotel Atlet Century Senayan, telah mengalami perdebatan yang cukup panjang untuk dapat menghasilkan pasal-pasal tersebut. Berikut ini merupakan cuplikan perdebatan tersebut:
• Ir. Sunartoyo dari Fraksi PAN, menyampaikan bahwa “Yang dimaksud kerja sama kalau mungkin dengan Rumah Sakit Pendidikan atau Wahana Pendidikan Kedokteran lainnya oke, tetapi kerjasama dengan Organisasi Profesi itu sampai seberapa jauh kerjasamanya ini.” “Undang-Undang Sisdiknas soal standar pendidikan nasional itu memang ditentukan kementerian dengan dibentuk tim. Sementara standar pendidikan nasional begitu sudah nyampe di fakultas, itu urusannya fakultas untuk membuat standar pendidikan perguruan tinggi. Urusannya fakultas membuat struktur dan kerangka dasarnya kurikulum itu, itu urusannya fakultas. …. Jadi, betul sebenarnya organisasi profesi itu hanya membantu di kementerian bukan di fakultasnya. Pada saat menentukan standar nasional pendidikan itu memang organisasi profesi diperlukan.”
• Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan dari Fraksi PG, menyampaikan bahwa “Nanti harus ada PP saya rasa atau Peraturan Menteri atau apa, mengenai keikutsertaan atau kerjasama dengan Organisasi Profesi. Bahwa ini dimasukkan ke sini itu memang ada baiknya, karena tidak mungkin kita bisa berpisah dengan mereka. Artinya seluruh dunia juga seperti itu, tapi karena kita ingin supaya jelas dimana peran mereka seperti apa, sejauh mana saya rasa ini perlu ada peraturan.” ”Tidak mungkin kita itu meninggalkan mereka, karena merekalah yang ahli dalam segi itu. Kalau kita tidak ikut sertakan mereka, saya tidak bisa membayangkan bagaimana itu nanti jalannya.”
• Ferdiansyah, S.E., M.M dari Fraksi PG, menyampaikan bahwa “Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Ini kalau melihat penjelasan Ibu Dekan, betapa terlibatnya organisasi ini dari A sampai Z. Sedangkan ini adalah sebenarnya tugasnya perguruan tinggi untuk membuat kerangka dasar dan struktur kurikulum.”
• Rohmani, S.Pd dari Fraksi PKS, menyampaikan bahwa: “Yang pertama mungkin saya perlu penjelasan di UU Dikti lazim tidak seperti ini. Jadi keikutsertaan Organisasi Profesi. Kalau berikutnya nanti fakultas. Ada tidak di UU Dikti kita, kalau tidak ada saya kira karena ini leg spesialis dari UU Dikti, ya tidak perlu saya kira. Karena kalau ini diberlakukan nanti semua Organisasi Profesi kita, itu akan menuntut semua keterlibatan di setiap penyelenggaraan pendidikan kita.”
• Abdul Kadir Karding dari Fraksi PKB, menyampaikan bahwa ”Yang pertama saya kira harus dijawab dulu sejauh mana disebut kerja sama itu. Yang kedua, organisasi profesi yang seperti apa kriterianya, karena organisasi profesi itu nanti kedokteran pun nanti bisa muncul banyak di era demokrasi seperti ini bisa saja tidak hanya satu organisasi profesi”.
• DR. Jefirston R. Riwu Kore, M.M dari Fraksi PD, menyampaikan bahwa ”… Mau tidak mau organisasi itu ikut terlibat di dalamnya. Padahal terlibat dalam kaitan ini dia juga ikut campur dalam hal apapun. … Apapun yang dikerjakan, apapun yang kita bentuk perguruan tinggi itu harus atau terlibat dia dalam bekerja sama itu, Organisasi Profesi itu.”
• H. Nasrullah, S.IP dari Fraksi FPAN menyampaikan bahwa “Ini kita mau mulai dari penyelenggaran pendidikan kedokteran. Nah dalam ketentuan-ketentuan memang jelas fakultas kedokteran itu apa, kemudian Rumah Sakit Pendidikan itu apa, Wahana Pendidikan juga ada. Nah kemudian tiba-tiba dalam penyelenggaraan muncul Organisasi Profesi yang tidak pernah kita kenal dalam ketentuan, nah ini mengagetkan. Kemudian yang kedua, sebenarnya persoalan kerja sama dengan Organisasi Profesi itu bisa dimunculkan di pasal lain yang terkait dengan kerjasama fakultas, setelah fakultas itu ada. Syarat mau mendirikan fakultas kedokteran itu harus punya kerja sama perguruan tinggi dengan rumah sakit. Nah setelah jadi baru kemudian bisa saja kerja sama dengan Organisasi Profesi tapi bukan dari awal pembentukannya.”
• Prof. Akmal dari Pemerintah/Kemenkes, menyampaikan bahwa ”Jadi yang pertama tentang kebiasaan organisasi profesi ini sebenarnya di UU Dikti ada pasal 17 ayat (2) yang berbunyi Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan bekerja sama dengan kementerian lain atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi pendidikan.”
“Tentu saja dalam pendidikan kedokteran secara nasional, kita tidak dapat meninggalkan Organisasi Profesi. Karena mereka-mereka itulah yang mengetahui dengan jelas substansi pendidikan kedokteran, terutama yang bidang profesi. Oleh sebab itu, Organisasi Profesi sangat penting pada saat penetapan standar pendidikan dokter dan penetapan standar kompetensi. Kedua standar ini diterjemahkan oleh fakultas kedokteran menjadi cara menyelenggarakannya dan kurikulum. Dalam pelaksanaan mencapai kompetensi atau Dekan mencapai kompetensi anak didik, di dalam pelaksanaan di dalam fakultas, organisasi tidak ikut di dalamnya. Pada saat nanti Dekan sudah mendidik anak ini dengan baik, dan kita ingin mendapatkan Sertifikat Kompetensi, organisasi boleh ikut di dalamnya untuk ikut menilai apakah anak didik ini sudah sesuai dengan standarnya. … Kalau kita bicara pendidikan spesialis dan sub spesialis ini keterlibatan dari pada korien atau organisasi profesi ini memegang peranan yang sangat penting. Kita menyebut ini ... dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi tentang peranan dari pada profesi. Yang mesti kita perhitungkan bahwa dalam ke depan Indonesia tentu kita tidak bisa menyampingkan diri dari pergaulan internasional atau suatu global standar. Jadi, memang dalam pendidikan spesialis, subspesialis di dunia manapun juga yang namanya peranan dari pada profesi atau kolegium itu merupakan leading sector. Tetapi kita di Indonesia kita tidak mampu menjadi leading sector. Tidak apa-apa, kita menjadi satu yang namanya 3 pilar pendidikan. Saya sudah bagikan edaran dari World Federation of Medical Education dan juga dari pada pendidikan untuk common wealth. Jelas di sini yang namanya pendidikan spesialis dan subspesialis di mana peranan dari pada profesi itu memiliki peran yang penting. Contohnya, bagi kita yang namanya profesi atau kolegium dia yang membuat resep. Kemudian yang menjalankan atau kokinya itu adalah institusi pendidikan. Sedangkan dapurnya adalah rumah sakit. Maka itu kalau kita kenal dimanapun di dunia kita mengenal 3 pilar pendidikan.”
“Saya hanya memberikan klarifikasi, kalau kita bicara mengenai pendidikan kalau versi profesi itu bukan IDI-nya tetapi yang namanya kolegium. Kolegium itu sebenarnya itu ada di profesinya. Di bawah IDI. Tetapi tidak semua cabang mempunyai kolegium. Kolegium itu hanya di tingkat pusat. Saya hanya ingin mengajukan data. Ada 36, 35 kolegium tentang pendidikan spesialis dan sub spesialis. 35, Pak. Ditambah dengan kalau ada kolegium pelayanan primer jadi 36. Saya membayangkan dalam scenario tersebut kalau 36 kolegium itu tidak ada dalam pendidikan mengadvokasi Pemerintah … Kemendikbud dan kemudian dengan perguruan tinggi, bisa dibayangkan maka akan terjadi kelambatan di dalam pencapaian keilmuan dan pencapaian kompetensi.”
• Prof. Masis dari Pemerintah/Kemenkes, menyampaikan bahwa “Kita punya draft tahun 2002 yang lalu. Kemudian draft ini ditangguhkan, kalau istilah kami adalah distagnasi artinya tidak hidup dan tidak mati. Oleh karena pada waktu itu kita sangat keberatan dengan draft Tahun 2002 tentang Profesi. Karena memang pada draft 2002 peranan dari profesi itu dan KKI hilang. Kemudian saya sedikit menceritakan, kami dipanggil oleh Menteri Pendidikan dan Dirjen Dikti untuk ikut kembali dalam Panja Pemerintah. Kami cuma satu syaratnya, bahwa peranan profesi jangan dihilangkan kami bersedia ikut kembali untuk berbicara tentang RUU Kedokteran. Nah pada waktu itulah kami mengatakan bahwa kami akan berperan serta tapi tolong kalau memang peranan profesinya dihapuskan kami tidak akan ikut kembali. Itu yang jadi prinsip. Kalau menurut hemat saya, di dunia kedokteran manapun peranan profesi itu tentunya bersifat universal. Pendidikan dasar kedokteran adop best medical education, di dunia manapun di ujung langit manapun juga itu lebih banyak dominan dari pada institut pendidikan atau fakultas kedokteran. Padahal begitu masuk ke pendidikan spesialis dan sub spesialis, di sini peranan dari pada profesi yang dominan, terutama Kolegium. Nah tentunya kita kalau kita masuk ke dalam suatu dunia pendidikan, tentu tidak bisa terlepas dari suatu ketentuan-ketentuan universal, kalau memang kita mau dianggap pendidikan kita setara dengan pendidikan global. … Dalam proses pendidikan tiga pilar ini bisa diperhatikan:
1. Institut Pendidikan;
2. Rumah Sakit Pendidikan; dan
3. Organisasi Profesi atau Kolegium.”
• Dirjen Dikti selaku Pemerintah menyampaikan bahwa “Jadi bunyinya barang kali begini, “Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bekerjasama dengan rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran lainnya serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi”. Koordinasi memang koordinasi, misalnya standar dan lain sebagainya. Jadi koordinasi itu seperti Kementerian Pendidikan. Ini saya kira tadi di UU Praktik Kedokteran bunyinya begitu.” “Yang dikatakan Pak Sunartoyo itu benar bahwa ada yang standar nasional pendidikan tinggi disusun oleh sebuah badan. Namun ketika kita menyusun standar per misal bidang atau ya bidang di bawah rumpun, itu memang melibatkan organisasi profesi. Oleh karena itu, mengapa undang-undang ini kan bukan undang-undang yang general ya tetapi yang lex specialis itu sehingga ini harus melibatkan organisasi profesi sesuai dengan amanah di dalam Undang-Undang Dikti juga bahwa penyelenggaraan profesi atau spesialis itu juga bekerja sama dengan organisasi profesi, di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 24.
10/PUU-XV/2017
Pasal 1 angka 4, angka 12, dan angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf (a), Pasal 38 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; dan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430