Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
Keterangan DPR Perkara No. 82/PUU-XV/2017 / 17-01-2018

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON :

1. Bahwa Pemohon adalah warga Negara yang telah dirugikan haknya
dengan berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf I dan huruf k dan Pasal 14 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya
disebut dengan UU Pemasyarakatan) karena tidak mengandung kepastian
hukum yang adil dalam rumusannya sesuai dengan amanat konstitusi
berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, sehingga menimbulkan
berbagai penafsiran yang dapat menghilangkan atau setidak-tidaknya
mengurangi hak-hak Pemohon sebagai narapidana perkara korupsi. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 (PP
32 Tahun 1999), Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2006 (PP 28 Tahun 2006),
Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 (PP 99 Tahun 2012).
(Vide Perbaikan Permohonan halaman 15-16).

2. Bahwa ketiga PP tersebut bersumber dari UU Pemasyarakatan namun
memberikan pengaturan yang berbeda yang disebabkan pengaturan remisi
dan pembebasan persyarat dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf I, huruf k, dan Pasal
14 ayat (2) UU Pemasyarakatan yang bersifat ambigu dan tidak memberikan
kepastian hukum yang menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional
Pemohon berdasarkan Pasal 28H Ayat (2) UUD Tahun 1945.
(Vide Perbaikan Permohonan halaman 15-16).

3. Bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Permasyarakatan yang mempunyai
fungsi delegasi kepada peraturan di bawahnya seharusnya memberikan
ketegasan dan pengaturan yang jelas untuk menjamin agar peraturan di
bawahnya tidak membatasi hak-hak remisi dan pembebasan bersyarat bagi
Narapidana Perkara Korupsi. Dengan tidak adanya penegasan dan kejelasan
tersebut maka muncullah peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan
dengan fungsi yang ditetapkan dalam Pasal 28j ayat (2) UUD Tahun 1945.
(Vide Perbaikan Permohonan hal 8)

LEGAL STANDING :

a. Bahwa tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal 14
Ayat (2) UU Pemasyarakatan adalah ketentuan delegasi yaitu ketentuan
Undang-Undang yang mendelegasikan kepada Peraturan di bawahnya untuk
mengatur tentang tata cara dan persyaratan perolehan remisi. Jika Pemohon
sejak 13 Oktober 2016 sampai dengan sekarang tidak pernah mendapatkan
remisi (Vide Perbaikan permohonan halaman 7) maka hal tersebut karena
Pemohon tidak memenuhi kriteria syarat dan tata cara perolehan remisi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang mengatur mengenai syarat dan tata cara
perolehan remisi.

b. Bahwa tidak ada ketentuan atau norma dalam ketentuan UU a quo yang
menghalangi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi. Sedangkan di
Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan sudah jelas mengatur bahwa “setiap
narapidana berhak mendapatkan remisi” yang artinya adalah semua
narapidana termasuk narapidana kasus korupsi. Dengan demikian, dalil-dalil
permohonan tidak jelas dan tidak fokus (obscuur), karena Pemohon tidak
menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo yang
bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi. Selain itu tidak ada hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian dengan yang dialami oleh Pemohon.

c. Bahwa DPR RI berpandangan bahwa tidak ada hubungan hukum antara
UU Pemasyarakatan dengan kerugian konstitusional yang didalilkan
Pemohon. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada
pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
menurut Mahkamah:
…Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan
maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point
d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder
belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat
dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang
menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no
action without legal connection.

POKOK PERKARA :

1) Bahwa sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah sistem
dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan,
sedangkan tujuannya adalah melakukan resosialisasi dan rehabilitasi pelaku
tindak pidana, pengendalian dan pencegahan kejahatan serta mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana itu
terdiri dari empat sub sistem yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakatan. Sistem ini bekerja untuk melakukan penyidikan,
penuntutan sampai penentuan bersalah tidaknya seseorang oleh Hakim dan
pelaksanaan pidana penjara. (Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty,
2008, Pembaruan Pemikiran DR.Saharjo Mengenai Pemasyarakatan Pidana,
Jakarta:Ind Hill Co, hal 23.)

2) Bahwa hak asasi yang erat kaitannya dengan para terpidana salah
satunya adalah remisi, remisi merupakan pengurangan masa pidana, yang
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan menyatakan salah satu hak
terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
Pemidanaan di Indonesia selain untuk menegakkan hukum, juga ditekankan
pada resosialiasi agar narapidana berhasil berintegrasi dengan komuntitasnya
dengan tujuan agar warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Selain itu, Warga Binaan
Pemasyarakatan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.

3) Bahwa dalam sistem pemasyarakatan, remisi sebenarnya mempunyai
fungsi: 1) Katalisator (usaha untuk mempercepat) upaya meminimilasi
pengaruh prisonisasi, 2) Berfungsi sebagai katalisator (untuk mempercepat)
proses pemberian tanggungjawab di dalam masyarakat luas, 3) Sebagai alat
modifikasi perilaku dalam proses pembinaan selama di dalam lapas. Secara
langsung dapat mengurangi gejala over kapasitas di dalam lapas, 4) Dalam
rangka melakukan efisiensi anggaran Negara (Didin Sudirman, Masalah-
masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan, Jakarta: Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia
Republik Indoensia, hlm 118)

4) Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12 Tahun 2011) Lampiran
198 – 200, ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan merupakan suatu
ketentuan pendelegasian kewenangan:

• Lampiran 198: Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah.
• Lampiran 199: Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu
Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah
Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.
• Lampiran 200: Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut
dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan
b. jenis Peraturan Perundang-undangan.

Bahwa ketentuan Pasal 14 UU Pemasyarakatan telah jelas merumuskan ruang
lingkup dan jenis peraturan perundang-undangan yang akan didelegasikan
yatu mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana” dan
kepada “Peraturan Pemerintah”. Pendelegasian pengaturan tersebut
merupakan politik hukum (legal policy) pembentuk undang-undang untuk
mendelegasikannya kepada Pemerintah untuk mengatur mengenai syarat dan
tata cara perolehannya. Pasal 14 UU Pemasyarakatan tidak membatasi
terhadap seluruh narapidana untuk mendapatkan hak remisi atau
pengurangan masa pidana termasuk para terpidana kasus korupsi. Setiap
narapidana menerima haknya sebagai narapidana yang mana hak-hak
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan. Maka
tidaklah benar bahwa ada hak-hak narapidana yang telah dibatasi atau
bahkan dihilangkan dalam UU Pemasyarakatan.

5) Bahwa DPR RI mengutip pertimbangan putusan angka [3.17] dalam
Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan:

“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi
tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya,
jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat
ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun
seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak
dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti
inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas
melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.”

Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan MK Nomor
010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan:
“Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui
kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan
kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka
pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.

6) Bahwa jika Pemohon merasa dirugikan terhadap pengaturan yang ada di
dalam PP 32 Tahun 1999, PP 28 Tahun 2006, dan PP 99 Tahun 2012 dan
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang yang mendelegasikannya,
maka Pemohon dapat mengajukan gugatan uji materi (judicial review) kepada
yang berwenang untuk mengadilinya yaitu Mahkamah Agung.

7) Bahwa dalam kasus pemberian remisi terhadap narapidana tindak
pidana korupsi, pada tahun 2013 Pernah diajukan gugatan uji materi (judicial
review) terhadap PP 99 Tahun 2012 ke Mahkamah Agung dengan register
perkara 51P/HUM/2013 karena dianggap bertentangan dengan UU
Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Namun Mahkamah Agung (MA) memutus
menolak permohonan gugatan tersebut. Dengan penolakan dari Mahkamah
Agung mengenai pengetatan remisi tersebut sama saja dengan dikatakan
bahwa tidak ada yang salah dari Peraturan Pemerintah tersebut dan
pengaturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang
berada di atasnya berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut.
(http://www.politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=50627)

8) Bahwa DPR RI mengutip pendapat Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa:
“Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan
membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir
Manan: hlm. 8).

Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa:
“Ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang
sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84).

Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman
Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu:
Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan,
“Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya
dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam
keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan
syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu
membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan
juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah
ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat
untuk mewujudkan keadilan. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-
X/2012: hlm.57)

9) Bahwa Pasal 14 UU a quo tidak menghalangi bagi setiap narapidana
termasuk narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, namun hanya
syarat dan tata cara perolehannya yang diatur secara khusus dalam Peraturan
Pemerintah. Korupsi adalah tindak pidana khusus, dan harus dibedakan
dengan tindak pidana biasa. Tidak bisa kita menyamakan pengaturan yang
berlaku bagi tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus seperti
korupsi. Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakatsecara luas, sehingga
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara khusus dan luar biasa.

10) Bahwa dengan adanya pengetatan syarat pemberian remisi koruptor
yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b PP 99 Tahun
2012 menjadi salah satu bentuk untuk menanggulangi terjadinya tindak
pidana korupsi di Indonesia. Ini berarti dapat dikatakan Pemerintah telah
melakukan satu hal atau kebijakan kontrol yang ketat dan serius. Implikasi
yuridis dari adanya kebijakan pengetatan pemberian remisi koruptor terhadap
penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu apabila narapidana
korupsi memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b PP
99 Tahun 2012 untuk mendapatkan remisi, maka syarat pada huruf a dan b
merupakan langkah preventif dan represif di dalam mengungkap kasus-
kasus korupsi di Indonesia dan dapat memudahkan penegak hukum untuk
mengungkap kasus-kasus korupsi serta menghukum para koruptor di
Indonesia.

11) Bahwa Pemohon memandang penanganan khusus terhadap Narapidana
Perkara Korupsi adalah kontraproduktif dan bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 yang mengurangi hak-hak narapidana
dan melahirkan ketidakadilan, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip
pemasyarakatan yang menekankan pada rehabilitasi, resosialisasi dan
secepat mungkin mengembalikan narapidana ke masyarakat (Vide Perbaikan
Hlm. 18). Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal itu
tidaklah benar. Mahkamah Konstitusi telah dalam putusan Perkara Nomor
42/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa :

“Apabila dikaitkan dengan... dari perspektif sosiologis dan filosofis
penggantian penjara pada pemasyarakatan dimaksudkan bahwa pemidanaan
selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial. Secara filosofis dan sosiaologis, sistem pemasyarakatan
memandang narapidana sebagai subyek hukum yang tidak berbeda dengan
manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan
kekhilafan yang daat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah suatu upaya
untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya
mengembalikan menjadi warga negara yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, keamanan dan ketertiban dan
dapat aktif berperan kembali dalam pembangunan serta hidup wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Ketentuan Pasal 14 ayat (1) mengakui hak-hak narapidana dan menyebutkan
hak-hak tersebut. Dalam pelaksanaannya, edukasi terhadap narapidana
tindak pidana korupsi juga dilaksanakan dalam pemidanaan narapidana. Yang
dalam pemberian hak-hak narapidana, dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi narapidana tersebut. Sifat tindak pidana tertentu dalam
pemasyarakatan ini adalah tindak pidana luar biasa yang proses edukasinya
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana tindak pidana umum atau
dipersamakan. Tujuan dilakukannya pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana tentunya tidak bisa lepas dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Sehingga
tidak benar ketentuan Pasal a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

12) Bahwa jika narapidana dengan mudahnya mendapat pengurangan
hukuman, bagaimana Indonesia dapat terbebas dari korupsi dan narapidana
akan cenderung berpikiran bahwa jika korupsi itu sistem pemidanaan atau
hukuman penjaranya ringan selain juga hukuman yang diputus oleh Hakim
pun ringan. Oleh sebab itu, perlu adanya proses penegakan hukum yang baik
dengan model sistemperadilan korupsi yang efektif dan efisien berdasarkan
asas-asas good government dan good governance yang dapat berjalan
dengan baik, utamanya perlu adanya tindak lanjut dari aturan yang ada.
Sehingga salah satu wujud kebijakan aturan pengetatan syarat pemberian
remisi koruptor ini dapat menjadi salah satu bentuk penanggulangan tindak
pidana korupsi di Indonesia.

13) Bahwa Pemohon dalam petitumnya secara inkonstitusional bersyarat
meminta agar MK menyatakan:
• Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 sepanjang frasa “narapidana” tidak ditafsirkan “narapidana,
termasuk narapidana perkara korupsi berhak : i.mendapat pembebasan
bersyarat”. (Vide perbaikan permohonan hal 42)
• Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD Tahun
1945 sepanjang frasa “syarat-syarat” tidak ditafsirkan sebagai “syarat-syarat
administrative dan syarat substansial berupa kelakukan baik selama
menjalani masa pidana”

Terhadap hal ini, DPR RI berpandangan bahwa apa yang dimintakan oleh
Pemohon dalam petitumnya tidak diperlukan karena norma yang ada di
dalam Pasal 14 ayat (1) telah jelas (expresiss verbis) berlaku bagi semua
narapidana termasuk narapidana perkara korupsi. Begitupun halnya dengan
ketentuan norma Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan yang telah jelas
mengatur untuk mendelegasikan syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan
hak-hak narapidana ke dalam Peraturan Pemerintah. Terhadap ketentuan
norma undang-undang yang telah jelas (expressis verbis) tidak perlu untuk
ditafsirkan lagi. Hal ini serupa dengan pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 79/PUU-XV/2017 yang menguji ketentuan
Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbangan hukumnya
Mahkamah Konstitusi menyatakan:

Bahwa Pasal 55 UU MK sudah sangat jelas (expressis verbis) sehingga tidak
memerlukan tafsir lain dan oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa
kerugian yang dialami Pemohon bukan disebabkan oleh
inskonstitusionalitasnya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian
sehingga bukan merupakan kerugian hak konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. … (Vide Pertimbangan MK Nomor
[3.10.3] dalam Putusan Nomor 79/PUU-XV/2017).

Dengan demikian petitum inkonstitusional bersyarat sebagaiman a diajukan
oleh Pemohon, pasal a quo telah sangat jelas (expressis verbis) sehingga
tidak memerlukan tafsir lain.

82/PUU-XV/2017

Pasal 14 UU Pemasyarakatan :

(1) Narapidana berhak:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani dan jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi):
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas;
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak
narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah

Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 :
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 :
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”.

Pasal 28I ayat (5) UUD Tahun 1945 :
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”