Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa
hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh
berlakunya Pasal 46 ayat (1) UU KPK. Menurut Pemohon
tindakan KPK dalam melakukan upaya pemeriksaan dan
penyidikan terhadap Pemohon dengan berpedoman pada
Pasal 46 ayat (1) UU KPK. Pasal a quo dianggap oleh
Pemohon bertentangan dengan konstitusi di mana
Pemohon selaku pejabat Negara DPR RI memiliki hak
imunitas serta kedudukan Pemohon dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah (UU MD3) telah dinyatakan bahwa terhadap
pemeriksaan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Presiden. Menurut Pemohon hal tersebut
dikesampingkan oleh KPK dalam melakukan pemeriksaan
dan menetapkan Pemohon sebagai tersangka.
1.Bahwa korupsi adalah kejahatan internasional
sebagaimana tertuang dalam United Nations Convention
Against Corruption yang telah diratifikasi Indonesia dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Korupsi merupakan
jenis tindak pidana luar biasa, serius, berdampak luas bagi
masyarakat, bangsa, dan negara sehingga penanganannya
dengan cara-cara khusus. Cara-cara khusus tersebut di
antaranya tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang di luar KUHP, yakni UU Tipikor Selain itu,
juga terdapat lembaga khusus yang menangani seperti KPK
dan dengan hukum acara yang berbeda.
2.Bahwa Pemohon dalam permohonannya mendalilkan,
bahwa Pasal a quo dianggap bertentangan dengan
konstitusi (jaminan hak imunitas pada Pasal 20A ayat (3)
UUD Tahun 45), serta mengesampingkan Pasal 245 ayat
(1) dan Pasal 224 ayat (5) UU MD3, yang telah diputus MK
bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari
Presiden. (setelah putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014
tertanggal 20 November 2014)
3.Bahwa Pemohon tidak cermat dalam menafsirkan
Putusan Mahkamah Konstitusi 76/PUU-XII/2014, terkait
dengan pemanggilan Anggota DPR yang melakukan tindak
pidana yang harus mendapatkan ijin Presiden. Bahwa
dalam amar putusan 76/PUU-XII/2014 Mahkamah pada
intinya menyatakan bahwa
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya
menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap Anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari
Presiden”
Pasal 224 ayat (5) UU MD3 selegkapnya
menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
Bahwa dalam Putusan 76/PUU-XII/2014 tidak menguji
Pasal 245 ayat (3) UU MD3 yang telah jelas mengatur
bahwa:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila anggota DPR:
a.tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b.disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan
dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang
cukup; atau
c.disangka melakukan tindak pidana khusus”.
Artinya dalam hal anggota DPR melakukan tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 245 ayat (3) UU MD3 tersebut
tidak memerlukan ijin atau persetujuan tertulis dari
Presiden.
95/PUU-XV/2017
Pasal 46 ayat (1) UU KPK
Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayat (3), dan Pasal 28D ayat
(1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430