No. 9/2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang
Kerugian Konstitusional :
1. Pemohon sebagai pemilik rekening nasabah pada lembaga keuangan dan perbankan beranggapan dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 8 Lampiran Undang-Undang a quo, hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D dan Pasal 28G UUD Tahun 1945, secara potensial dapat dilanggar dan/atau diabaikan oleh lembaga perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya yang ada di Indonesia, sebagai akibat pembatalan ketentuan-ketentuan perundangan terkait rahasia nasabah yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak sesuai dengan materi muatan Automatic Exchange of Finansial Information (AEOI);
(Vide Perbaikan Permohonan Halaman 4 – 5)
2. Pemohon beranggapan Pasal 8 Lampiran UU a quo adalah ketentuan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak konstitusional Pemohon, yaitu hak privasi yang diberikan oleh Pasal 28G UUD Tahun 1945 dan dapat melahirkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D UUD Tahun 1945.
(Vide Perbaikan Permohonan Halaman 12 – 21)
Legal Standing:
DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pokok Perkara:
1) Bahwa Pemohon tidak spesifik menjelaskan Pasal 1 Lampiran UU a quo dianggap tidak konsisten dan menyimpang dengan obyek informasi keuangan menurut Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Pemohon hanya membandingkan ketentuan Pasal 1 Lampiran UU a quo, dengan ketentuan Pasal 1 angka 29 UU KUP.
Pasal 1 Lampiran UU a quo:
“Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.”
Pasal 1 angka 29 UU KUP:
“Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.”
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon yang mempertentangkan ketentuan Pasal 1 Lampiran UU a quo mengenai “objek informasi keuangan” dengan Pasal 1 angka 29 UU KUP mengenai “Pembukuan” adalah tidak beralasan hukum, karena ketentuan Pasal 1 Lampiran UU a quo adalah ketentuan yang berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP, mengingat ketentuan Pasal 1 Lampiran UU a quo mengatur Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan perpajakan. Sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 29 UU KUP mengatur mengenai pembukuan. Kedua ketentuan tersebut mengandung materi muatan dan makna yang berbeda. Perlu dipahami oleh Pemohon dalam pengujian UU a quo, tidak diuji dengan UU tetapi diuji dengan UUD Tahun 1945.
2) Bahwa menurut Prof. Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa, “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu:
Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57)
3) Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa “Pasal 1 Lampiran UU a quo merupakan ketentuan yang mencampuradukan yurisdiksi hukum antar tata hukum nasional dan hukum internasional, yang tidak menggambarkan maksud perjanjian internasional”.
Karena penyelenggaraan Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan di Bidang Perpajakan harus merujuk standar internasional yang telah disepakati Pemerintah RI pada perjanjian internasional di bidang perpajakan guna memenuhi komitmen implementasi AEOI, Indonesia harus memiliki legislasi primer dan sekunder tersebut paling lambat 30 Juni 2017.
Bahwa pemenuhan komitmen implementasi AEOI tersebut mengedepankan prinsip-prinsip yang menjamin, melindungi, dan memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap pihak yang terikat dengan adanya perjanjian internasional. Bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional dan telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yaitu AEOI yang mengharuskan Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana diatur dalam UU a quo.
4) Bahwa Pemohon beranggapan bahwa: “Pasal 2 Lampiran UU a quo merupakan penyerahan mandat kewenangan yang bertentangan dengan Pasal 17 UUD Tahun 1945”. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak tepat apabila Pemohon mempertentangkan ketentuan Pasal 2 Lampiran UU a quo dengan Pasal 17 UUD Tahun 1945 yang mengatur kementerian negara. Bahwa Pasal 17 UUD Tahun 1945 yang mengatur kementerian Negara tersebut hanya mengatur tentang menteri sebagai pembantu Presiden dan tidak mengatur tentang atribusi kewenangan yang diberikan kepada menteri. Pemohon perlu memahami bahwa ketentuan Pasal 2 Lampiran UU a quo mengatur kewenangan Dirjen Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan tanpa melalui menteri, sehingga sama sekali tidak ada relevansinya dengan ketentuan Pasal 17 UUD Tahun 1945. Bahwa pemberian kewenangan Dirjen Pajak oleh UU a quo termasuk atribusi kewenangan yang secara langsung diberikan oleh UU a quo. Bahwa pemberian kewenangan kepada Dirjen Pajak juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) UU KUP untuk melakukan tugas dan fungsinya di bidang perpajakan, salah satunya adalah melakukan pemeriksaan pembukuan dan meminta keterangan atau bukti dari bank atau pihak lainnya dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
5) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang beranggapan bahwa: “Pasal 8 Lampiran UU a quo adalah ketentuan yang melanggar Hak Asasi Manusia yang merupakan hak konstitusional Pemohon, yaitu hak privasi yang diberikan oleh Pasal 28G UUD Tahun 1945” adalah tidak berdasar. Bahwa ketentuan Pasal 28G ayat (1) berbunyi:
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**)
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.** )
Bahwa amanat Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 tersebut tidak mengatur hak privasi sebagaimana dimaksud dan dikehendaki oleh Pemohon, dengan demikian Pemohon keliru dalam menafsirkan ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 sehingga tidak tepat jika Pemohon mendasarkan batu uji Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 dalam permohonan pengujian UU a quo.
6) Bahwa Konvensi Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan telah mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 (Perpres 159/2014). Sedangkan MCAA adalah ketentuan yang isinya melaksanakan ketentuan Konvensi Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan. Adapun MCAA adalah komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis berdasarkan Common Reporting Standard (CRS), yang disusun oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20, yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 3 Juni 2015 dan Indonesia terikat untuk mulai melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis pada bulan September 2018.
7) Bahwa dengan demikian DPR RI berpandangan bahwa pengesahan Konvensi Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan yang telah mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia Perpres 159/2014 dan Persetujuan Multilateral Antar-Pejabat yang Berwenang / Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Finansial Account Information (MCAA) yang diadopsi dalam UU a quo. justru lebih memberi kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 28G UUD Tahun 1945.
102/PUU-XV/2017
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 8 Lampiran UU No 9 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan perpajakan menjadi undang-undang
Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23A,Pasal 28D, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430