•Kerugian Konstitusional frasa rakyat pencari keadilan adalah setiap
orang Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing yang mencari
keadilan pada Pengadilan di Indonesia. Pemohon beranggapan bahwa
frasa tersebut menimbulkan persoalan konstitusionalitas yaitu multi-
tafsir dan ketidakpastian hukum, apakah orang asing secara serta-merta
dapat menjadi subjek hukum di peradilan agama serta frasa tersebut
menjadi pintu masuk penyelundupan hukum kepemilikan pertanahan di
Indonesia oleh Warga Negara Asing (WNA) melalui perkawinan
campuran ilegal. •Legal Standing Bahwa Pemohon tidak mengalami
kerugian konstitusional apapun dari pasal a Quo. Dalam posita,
Pemohon menjelaskan masalah hanya mengenai yang berkaitan dengan
hukum perkawinan seperti harta gono gini yang sudah diputus sampai
pada tingkat kasasi. Kemudian dalam petitum Pemohon meminta agar
frasa “rakyat pencari keadilan” dimaknai dengan “orang asing yang sah
sebagai subjek hukum peradilan agama setelah memenuhi syarat formal
dan materiil hukum Perdata Indonesia tentang Kebendaan”. Jelas
terlihat, tidak ada kaitan antara masalah yang diuraikan Pemohon dalam
posita, dengan petitum Pemohon yang meminta penafsiran penjelasan
pasal a Quo. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan tidak jelas dan
tidak fokus (obscuur libels), karena Pemohon tidak menguraikan dan
mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo yang bersifat
spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi. Berdasarkan uraian-uraian tersebut
di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang
Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian
konstitusional. •Pokok Perkara A.) Bahwa penduduk ialah WNI dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia menurut Pasal 26 ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945. Untuk menjadi penduduk, maka WNI dan
orang asing harus bertempat tinggal di Indonesia. WNI yang bertempat
tinggal di negara lain, bukan (tidak termasuk) penduduk Indonesia.
Bertempat tinggal dalam pasal ini dalam arti residence, bukan domisili
(domicile). Residence atau tempat tinggal adalah pengertian factual
(nyata bertempat tinggal), sedangkan domisili (domicile, domicilie)
adalah pengertian hukum (rechtelijk). Untuk perbuatan hukum tertentu
seseorang dapat memilih alamat atau lingkungan wilayah hukum
tertentu, meskipun bertempat tinggal pada tempat yang berbeda.
Menurut Bagir Manan, keterangan di atas dapat menunjukkan:
a)Penduduk tidak sama dengan warga negara. Penduduk Indonesia
terdiri dari WNI dan warga negara asing atau orang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan. b)WNI dapat menjadi penduduk suatu
negara lain tanpa serta merta kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
(Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 Tahun 2006:
Bagir Manan: hlm.23) B.)dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
peristiwa hukum yang telah diputus oleh pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung karena putusannya dianggap merugikan
Pemohon, DPR RI memberikan pandangan bahwa Pasal a Quo telah
memberikan Penjelasan mengenai warga negara dan penduduk sesuai
dengan Pasal 26 UUD NRI Tahun 1945. Bahwa pengaturan pasal a Quo
UU Pengadilan Agama merupakan perwujudan negara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Sangatlah tidak tepat jika Pemohon beranggapan bahwa pasal a Quo
multi-tafsir atau menimbulkan ketidakpastian hukum, karena justru pasal
a Quo memberikan kepastian hukum kepada warga negara dan
penduduk sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UUD NRI Tahun 1945 C.)
terhadap dalil Pemohon yang mengujikan penjelasan pasal a Quo
terhadap Pasal 26 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengenai penduduk
ialah WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia, DPR RI
berpandangan bahwa justru Penjelasan Pasal a Quo sudah sangat sesuai
dengan Pasal 26 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena tidak hanya
ditujukan kepada WNI yang beragama Islam saja, tapi juga terhadap
orang asing yang beragama Islam. Apalagi Pasal 26 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 mengatur bahwa perihal warga negara dan penduduk diatur
dalam undang-undang, sehingga boleh saja UU Peradilan Agama
memberikan batasan subjek hukum di muka peradilan agama. Bahwa
pengertian warga negara dan penduduk diatur dalam UU
Kewarganegaraan yang merupakan perintah langsung dari Pasal 26 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa terhadap subjek hukum peradilan
agama sebagaimana diatur dalam pasal a quo dan penjelasannya, telah
sinkron dengan UU Kewarganegaraan. Bahwa UU a Quo merupakan
pilihan kebijakan (legal policy) pembentuk undang-undang sebagai open
legal policy. D.) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang mengujikan
penjelasan pasal a quo terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum, DPR RI berpandangan bahwa justru Penjelasan Pasal a quo
menjamin kepastian hukum dengan memberikan batasan siapa yang
menjadi subjek hukum di muka peradilan agama, yaitu WNI dan orang
asing yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang merupakan
kewenangan Peradilan Agama. Justu petitum unconditionally constitution
yang diminta Pemohon, tidak dapat memberikan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum bagi orang asing yang tidak
memenuhi syarat perdata kebendaan.
99/PUU-XV/2017
Pasal 2 angka ke 1 UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1),
Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430