Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 97/PUU-XV/2017 / 30-11-2017

No. 22/2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Kerugian Konstutisional Para Pemohon adalah pengemudi taksi aplikasi
berbasis teknologi dari berbagai aplikasi yang terdiri dari Go-Car, Grab-
Car, dan Uber. Para Pemohon merasa dirugikan dengan pasal a Quo
karena Pasal a Quo belum mengakomodir taksi aplikasi berbasis
teknologi. •Legal Standing Dalam perkara a quo, Para Pemohon
mengajukan pengujian pasal 151 huruf a Undang-Undang a Quo terkait
dengan frasa yang mengatur “angkutan orang dengan menggunakan
taksi”. Sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk
memahami ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek (selanjutnya disebut PM 108 Tahun 2017), dalam ketentuan
Pasal 1 angka 15 didefinisikan bahwa “angkutan orang dengan
menggunakan taksi adalah angkutan menggunakan mobil penumpang
umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer yang
melayani angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam
kawasan perkotaan”. Bahwa selanjutnya dalam Pasal 7 PM 108 Tahun
2017 menyebutkan persyaratan angkutan orang dengan menggunakan
taksi diantaranya seperti tulisan “TAKSI” yang ditempatkan di atas atap
bagian luar kendaraan, dan sebagainya. Bahwa terkait dengan
pengaturan Pengemudi Taksi Aplikasi Berbasis Teknologi dapat dilihat
pengaturannya dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 PM 108 Tahun
2017 yang mengatur tentang angkutan sewa khusus. Dalam ketentuan
Pasal 26 PM 108 Tahun 2017 mengatur tentang persyaratan angkutan
sewa khusus, maka Go-Car, Grab-Car, dan Uber-Car (Para Pemohon)
termasuk dalam angkutan sewa khusus. Bahwa terdapat perbedaan
dalam PM 108 Tahun 2017 tersebut dalam hal antara angkutan orang
dengan menggunakan taksi dan angkutan sewa khusus dalam Lampiran
I PM 108 Tahun 2017. Artinya bahwa Para Pemohon bukan pengemudi
angkutan orang dengan menggunakan taksi tetapi berkedudukan
sebagai pengemudi angkutan sewa khusus, sehingga kerugian yang
didalilkan Para Pemohon bukan akibat dari berlakunya Pasal a quo.
Dengan demikian tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian yang konstitusional yang didalilkan Para Pemohon
dengan berlakunya Undang-Undang a quo karenanya Para Pemohon
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Berdasarkan pada hal-
hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Para
Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasannya UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian
konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
terdahulu. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo tidak
menguraikan secara konkret mengenai hak konstitusionaInya yang
dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak
konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji tersebut. •Pokok Perkara A.)DPR RI tidak
sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan berlakunya
Pasal a Quo telah menimbulkan kerugian berupa tidak mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta merasa
terganggu keamanan dan kenyamanan hak untuk bekerja mencari
mencari nafkah sebagai pengemudi/driver angkutan dengan
menggunakan aplikasi berbasis teknologi. Bahwa perlu dipahami oleh
Para Pemohon terkait frasa “angkutan orang dengan menggunakan
taksi” dalam ketentuan Pasal a Quo tidak membatasi dan tidak
menghalangi hak Para Pemohon untuk mencari nafkah dengan angkutan
yang menggunakan aplikasi berbasis teknologi, karena justru makna dari
kata “taksi” secara umum memberi payung hukum untuk angkutan
umum taksi. Sedangkan angkutan dengan menggunakan aplikasi
berbasis teknologi merupakan angkutan sewa khusus sebagaimana
diatur dalam PM 108 Tahun 2017. B.) Bahwa Pasal a quo yang mengatur
mengenai angkutan orang dengan menggunakan taksi adalah norma
hukum umum. Bahwa norma hukum umum merupakan pengaturan hal-
hal yang bersifat umum. Bahwa menurut Marbun dan Mahfud MD,
“Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norms
yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah
mengatur hal-hal yang bersifat umum (general)" (Marbun dan Mahfud
MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, 2006: 94 C.) Bahwa Pasal
a Quo mengatur tentang angkutan orang dengan menggunakan taksi,
bukan mengatur tentang angkutan sewa khusus seperti Go-car, Grab-
car, dan Uber-car seperti kategori yang diajukan oleh Para Pemohon.
Apabila Pasal a Quo ditambahkan frasa “dan taksi aplikasi berbasis
teknologi” seperti yang ditafsirkan oleh Para Pemohon menjadi tidak
relevan, karena karakteristik angkutan orang dengan menggunakan taksi
dan angkutan sewa khusus adalah hal yang berbeda jika kita merujuk
pada peraturan teknis PM 108 Tahun 2017. D.)Bahwa terkait
penambahan frasa “dan taksi aplikasi berbasis teknologi” sebagaimana
diuraikan dalam petitum Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa
penambahan frasa tersebut ialah termasuk perumusan norma baru
dalam Pasal 151 huruf a UU LLAJ yang merupakan kewenangan
pembentuk undang-undang yaitu DPR-RI dan Presiden. Bahwa
seyogyanya para Pemohon mengajukan usul perubahan UU a Quo
kepada DPR RI.

97/PUU-XV/2017

Pasal 151 Huruf a UU 22 Tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945