Bahhwa salah satu upaya pembangunan dalam kerangka pembangunan nasional yang diselenggarakan pemerintah adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum tersebut memerlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional dan daerah namun tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Untuk memastikan pengadaan tanah yang demikian maka diperlukan suatu perencanaan pembangunan yang komprehensif dengan melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraannya. Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Pengadaan Tanah), diharapkan tidak hanya dapat menjawab semua permasalahan, perkembangan, dan kebutuhan hukum terkait pengadaan tanah bagi kepentingan umum, tetapi juga dapat menjadi acuan dalam perumusan kebijakan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Selama lebih dari 12 (dua belas) tahun berlakunya undang-undang ini, tercatat banyak dinamika pelaksanaan UU Pengadaan Tanah sehingga perlu dilakukan kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan undang-undang ini. Oleh karena itu, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI sebagaimana tugas dan fungsinya telah melakukan pemantauan pelaksanaan UU Pengadaan Tanah. Adapun hasil evaluasi pemantauan tersebut dapat digunakan untuk mendukung fungsi pengawasan DPR RI atas pelaksanaan undang-undang.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Kalimantan Timur
Berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan UU Pengadaan Tanah yang dilaksanakan melalui diskusi/konsultasi publik dengan berbagai pemangku kepentingan, ditemukan beberapa persoalan yang terjadi baik secara normatif maupun empiris. Persoalan tersebut antara lain penegasian antar kepentingan umum dalam undang-undang tentang pengadaan tanah, perubahan penilaian ganti kerugian oleh penilai menjadi bersifat final dan mengikat dalam Pasal 34 UU Pengadaan Tanah berimplikasi inkonsistensi norma dengan ketentuan Pasal 37 UU Pengadaan Tanah, penilaian ganti kerugian immaterial yang belum memenuhi kondisi layak dan adil, Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah yang belum menggambarkan kondisi real, permasalahan konsinyasi dalam pengadaan tanah, dan konsultasi publik yang belum maksimal menghadirkan pelibatan masyarakat. Permasalahan tersebut merupakan fakta yang masih terjadi dalam penyelenggaraan pengadaan tanah sampai dengan saat ini.
1. Terhadap permasalahan penegasian antar kepentingan umum dalam UU Pengadaan Tanah, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Untuk menjaga kelestarian alam dan menekan kasus land grabbing dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yakni dengan adanya kewajiban penggantian Lahan LSD atu LP2B dengan terukur yang tertuang dalam dokumen perencanaan pengadaan tanah; dan
2) Pengaturan pembatasan waktu konsensi yang wajar dalam hal pembangunan bagi kepentingan umum.
2. Terhadap permasalahan dokumen perencanaan pengadaan tanah yang belum menggambarkan kondisi real, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Pemberian sosialisasi maupun pelatihan bagi Tim Penyusun DPPT sebelum dilakukannya penyusunan DPPT;
2) IYMT dalam penyusunan DPPT wajib melibatkan instansi terkait, seperti Kementerian bidang Agraria dan Tata Ruang, Kementerian bidang kehutanan dan lingkungan hidup, dan pemerintah daerah untuk mendapatkan data dan informasi tekstual maupun spasial yang menjadi muatan utama dalam DPPT; dan
3) Dalam hal penyusunan DPPT melibatkan lembaga/kalangan professional di bidang tertentu maka terhadap pelaksanaannya juga harus didampingi dan disupervisi oleh IYMT.
3. Terhadap permasalahan pelibatan masyarakat dalam konsultasi publik pengadaan tanah belum dilakukan secara optimal, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat dalam penyelenggaraan tanah dari tahap awal perencanaan hingga tahap pemanfaatan;
2) Penyediaan dokumen penyelenggaraan tanah yang accessible bagi masyarakat termasuk rencana pengadaan tanah itu sendiri hingga dokumen bukti pelibatan masyarakat dalam platform yang mudah diakses atau pada masyarakat terdampak secara langsung melalui pemerintah daerah;
3) Memberikan ruang kepada ahli atau akademisi di bidang pertanahan, tata ruang, hukum dan perizinan, maupun lingkungan, dan ahli dalam bidang antropologi maupun sosiologi yang berkenaan langsung dengan masyarakat atau bidang lainnya dalam proses penyelenggaraan pengadaan tanah; dan
4) Membentuk tim pengawasan fungsional dalam setiap pengadaan tanah yang berasal dari luar unsur pemrakarsa atau IYMT.
4. Terhadap permasalahan polaritas pengaturan penilaian ganti kerugian oleh penilai dalam Pasal 34 UU Pengadaan Tanah dan Pasal 37 UU Pengadaan Tanah, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Adanya penataan regulasi dengan memberikan penegasan terhadap proses pemberian ganti kerugian yang bersifat konsisten, yaitu apakah dengan menggunakan proses musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besaran ganti kerugian atau musyawarah hanya dilaksanakan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian saja, sedangkan besaran ganti kerugian bersifat final dan mengikat;
2) Proses penetapan ganti kerugian dalam pengadaan tanah harus dikembalikan kepada konsep dasar pengadaan tanah yang mengutamakan prinsip keadilan, transparansi, dan keseimbangan antara kepentingan publik dan hak-hak pemilik tanah agar tercipta solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
5. Terhadap permasalahan penilaian ganti kerugian immaterial yang belum memenuhi kondisi layak dan adil, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Pembentuk Undang-Undang perlu menata ulang atau melakukan sinkronisasi materi muatan Pasal 34 dan Pasal 37 UU Pengadaan Tanah yang inkonsistensi sebagai dampak dari perubahan Pasal 34 UU 2/2012 oleh UU Cipta Kerja;
2) Pelibatan masyarakat secara langsung wajib dilakukan sebelum penilaian ganti kerugian oleh penilai ditetapkan untuk dapat mendengarkan dan mengetahui dampak kerugian yang dialami masyarakat dan diusahakan semaksimal mungkin untuk dapat mendapatkan kesepakatan nilai dan bentuk ganti kerugian;
3) Penilaian ganti kerugian oleh penilai haruslah ditempatkan dengan suatu nilai yang maksimal dengan memperhitungan seluruh kerugian immaterial yang terdampak, apabila penilaian yang ditetapkan oleh penilai bersifat final dan mengikat;
4) Asosiasi yang menaungi profesi Penilai atau Penilai Publik di Indonesia bersama dengan pemerintah segera membentuk suatu pedoman penilaian yang mengatur dasar-dasar perhitungan kerugian immaterial beserta dengan konversi kedalam suatu nilai tertentu agar nilai ganti kerugian non fisik/kerugian immaterial juga menjadi lebih terukur dan akan mendekati nilai yang sesungguhnya diharapkan para pemegang hak atas tanah yang sudah berkorban untuk bangsa dan negara.
6. Terhadap permasalahan pengakuan tanah adat dalam pengadaan tanah, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Penambahan pengaturan dalam UU Pengadaan Tanah dengan memasukan pengaturan terkait peran serta Pemerintah secara aktif untuk melaksanakan identifikasi, pengakuan dan pendaftaran masyarakat hukum adat sebagaimana telah diatur dalam PMNA/Ka. BPN No.14 Tahun 2024; dan/atau
2) Segera disahkannya RUU tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi undang-undang. Kehadiran undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sangat penting karena ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat terus terjadi dalam bentuk konflik horizontal dan vertikal. RUU Masyarakat Hukum Adat memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan kepada masyarakat hukum adat ditengah maraknya perkembangan. Diharapkan, kehadiran undang-undang masyarakat hukum adat menjadi payung hukum yang berkeadilan khususnya dalam konteks pengadaan tanah.
7. Terhadap permasalahan kedudukan alat bukti tertulis hak lama dalam pengadaan tanah yang belum memberikan kepastian hukum karena statusnya yang hanya sebagai petunjuk, maka disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Pengakuan keberadaan bukti hak lama yang masih memerlukan surat pernyataan penguasaan fisik harus ada ketentuan limitasi waktu secara empiris penggunaan tanah tersebut; dan
2) Pengaturan mekanisme verifikasi dari pihak ATR/BPN untuk menilai secara objektif surat pernyataan penguasaan fisik tersebut.
8. Terhadap permasalahan quo vadis pengaturan konsinyasi dalam pengadaan tanah, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Merekonstruksi kembali Pasal 34 UU 6/2023 terkait besarnya nilai ganti rugi berdasarkan Penilaian penilai bersifat final dan mengikat ;
2) Merekonstruksi kembali mekanisme penitipan uang ganti kerugian di Pengadilan (konsinyasi) yang hendaknya diterapkan dalam persyaratan sudah didasari atas kesepakatan namun ganti rugi belum bisa terbayarkan karena alasan tertentu. Konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum hendaknya ditempatkan sebagai upaya penyelesaian sengketa terakhir (last resort) pada saat tidak terjadinya suatu kesepakatan dalam konflik pengadaan tanah; dan
3) Meningkatkan kecermatan setiap penyelenggara negara dalam proses musyawarah ganti rugi dalam arti tindakan penyelenggara negara harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap dalam melaksanakan musyawarah untuk mencapai kesepakatan kepada pihak yang berhak.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430