Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI / 01-09-2024

Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Panas Bumi) ditujukan untuk menjaga keberlanjutan dan ketahanan energi nasional guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Setelah diterbitkan hampir selama 10 tahun, UU Panas Bumi belum cukup efektif menjawab kebutuhan hukum saat ini untuk perkembangan dan perluasan kebijakan investasi proyek pembangunan nasional. Merujuk pada salah satu hasil penelitian dalam Buku Putih Analisis Bisnis dan Kebijakan Untuk Mendorong Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia, ditemukan permasalahan antara lain dalam hal risiko investasi PLTP dan ketidakselarasan dan keterbatasan periode eksplorasi panas bumi. Investasi untuk pengembangan energi panas bumi membutuhkan biaya yang cukup tinggi dengan keterbatasan sumber daya manusia di bidang panas bumi yang masih terbatas.

Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Lahendong

Berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan UU Panas Bumi yang dilaksanakan dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan, ditemukan beberapa permasalahan yang terjadi baik secara normatif maupun empiris, yaitu problematika peningkatan investasi; permasalahan pengaturan terkait pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung; terdapat tantangan sosial; permasalahan perizinan; dan lemahnya pengawasan dalam penyelenggaraan panas bumi.

1. Terhadap permasalahan terkait problematika peningkatan Investasi Panas Bumi di Indonesia, maka direkomendasikan:
a. Meningkatkan peran dan kapasitas lembaga pemerintah terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian LHK, PLN, lembaga pembiayaan, dan asosiasi pengusaha, dan mengupayakan terbentuknya suatu forum lintas kementerian/lembaga dalam menangani permasalahan konflik sosial pengembangan panas bumi;
b. Pemerintah meningkatkan fasilitasi penyelesaian perizinan dan proses pembebasan lahan serta mendorong percepatan penerbitan suatu regulasi atau kebijakan tentang pemanfaatan lingkungan kawasan hutan konservasi serta pembahasan penyelesaian pengembangan panas bumi di wilayah TRHS;
c. Pemerintah segera membentuk dan mengembangkan Platform Geothermal Data Repository sebagai sistem informasi pengadministrasian, pengolahan, dan penyimpanan data digital dan metadata panas bumi yang dilengkapi analisa data proyek dan laporan, monitoring real time, terintegrasi dengan sistem perizinan/non-perizinan;
d. Pemerintah meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan percepatan dan optimalisasi kegiatan Government Drilling, PISP, maupun GREM sebagai upaya menarik minat investor panas bumi.
e. Pemerintah memperhatikan nilai keekonomian listrik panas bumi dengan pilihan kebijakan:
1) melakukan evaluasi harga pembelian listrik yang berasal dari energi panas bumi;
2) mengubah alur skema kesepakatan harga antara PLN dan IPP di mana negosiasi dan kesepakatan PJBL dilaksanakan sebelum eksplorasi; dan/atau
3) membuka kebijakan skema power wheeling dengan tetap mengutamakan konsep “penguasaan negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
f. Pembentuk undang-undang melakukan perubahan pengaturan UU Panas Bumi ke depan untuk dapat memberikan peluang bagi pelaku usaha di bidang panas bumi memanfaatkan mineral atau batuan sebagai suatu komoditas ikutan, dengan opsi sebagai berikut:
1) Penambahan frasa “dan/atau usaha penunjang lainnya yang terkait dengan kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi” untuk meningkatkan nilai tambah pada ketentuan Pemanfaatan Tidak Langsung dalam UU Panas Bumi dengan dua alternatif skema perizinan untuk usaha penunjang tersebut, pertama dengan mengkonsolidasikan perizinan untuk kegiatan usaha utama dan kegiatan usaha penunjang dalam satu Izin Panas Bumi. Kedua dengan memisahkan perizinan kedua kegiatan tersebut (unbundling), yaitu kegiatan usaha utama dengan Izin Panas Bumi di bawah kewenangan Kementerian ESDM dan kegiatan usaha penunjang dengan Izin Usaha Industri di bawah kewenangan Kementerian Perindustrian; atau
2) apabila komoditas ikutan dikategorikan sebagai Limbah B3, maka terdapat 2 (dua) alternatif usulan, yaitu:
a) dikeluarkan sebagian dari daftar Limbah B3 dengan melalui uji karakteristik, uji radioaktif, memenuhi 6 persyaratan teknis. Jika alternatif ini yang dipilih maka perlu diberikan pengaturan dalam UU Panas Bumi tentang pengecualian sebagian limbah panas bumi dari daftar Limbah B3; dan
b) dengan tidak dikeluarkan dari daftar Limbah B3 dan terdapat tiga opsi dalam pemanfaatannya, yaitu: pemanfaatan Limbah B3 dengan pengecualian dari pengelolaan sebagai Limbah B3; pemanfaatan Limbah B3 sebagai produk samping; atau pemanfaatan Limbah B3 sebagai substitusi bahan baku.

2. Terhadap permasalahan pengaturan tentang pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung, maka direkomendasikan:
a. Pemerintah melaksanakan amanat Pasal 15 UU Panas Bumi untuk membentuk peraturan pemerintah mengenai pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung; dan
b. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendampingan terhadap pelaku usaha, khususnya dalam pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, terkait pemenuhan persyaratan dalam memperoleh SLO Pemanfaatan Langsung.

3. Terhadap permasalahan tantangan sosial pengembangan panas bumi di Indonesia, maka direkomendasikan:
a. Pemerintah pusat mengadakan forum pertemuan secara rutin yang mengundang partisipasi masyarakat, LSM, pemangku kepentingan industri di setiap kawasan WKP, yang juga didukung oleh peran pemerintah daerah setempat untuk mendiskusikan perkembangan, tantangan, dan kemajuan dalam pengembangan energi panas bumi. Forum ini harus berfungsi sebagai jembatan komunikasi untuk mengurangi kesenjangan informasi dan membangun kepercayaan antara komunitas dan pengembang.
b. Menginisiasi pembentukan forum yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian LHK, Kementerian ESDM, serta pemerintah daerah. Forum ini bertujuan untuk menangani secara kolektif permasalahan atau isu sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkaitan dengan pengembangan panas bumi.

4. Terhadap permasalahan perizinan panas bumi di Indonesia, maka direkomendasikan:
a. Penyempurnaan sistem OSS dengan mengakomodasi berbagai aspek dalam pengusahaan panas bumi serta menyesuaikan program yang ada pada tiap lembaga.
b. Pembentukan tim terintegrasi antara Kementerian ESDM, Kementerian LHK dan Instansi terkait lainya agar penetapan WKP dan WPSE tidak beririsan dengan wilayah yang tidak sesuai dengan peruntukan panas bumi.

5. Terhadap permasalahan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan panas bumi, maka direkomendasikan:
a. Sinkronisasi pengaturan pengawasan dan pembinaan antara UU Panas Bumi, UU Pemda, UU Energi, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pemanfaatan panas bumi secara langsung dan pemanfaatan panas bumi secara tidak langsung.
b. Melakukan adaptasi penggunaan teknologi untuk pengawasan yang dilakukan meliputi deteksi dini dari kondisi keteknikan, lingkungan, dan manajemen terhadap upaya tindakan mitigasi tertentu dan memastikan termuatnya data informasi tentang kemajuan dan hasil mitigasi yang telah dilakukan.
c. Membangun sinergi antara pengembang, masyarakat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesadaran akan dampak dan risiko dari adanya aktivitas pemanfaatan panas bumi, khususnya apabila terjadi peristiwa yang tidak normal/wajar sehingga deteksi dini akan bahaya dapat ditindak lanjuti secara responsif