Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA / 01-09-2024

Pelindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia merupakan wujud pemenuhan hadirnya Negara dalam menjamin hak asasi setiap warga negara Indonesia dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pekerja Migran Indonesia harus dilindungi mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, setelah bekerja. Pelindungan tersebut dimaksudkan agar Pekerja Migran Indonesia dalam menjalankan pekerjaannya dapat terhindar dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan, kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, guna mewujudkan upaya pelindungan tersebut maka Pelindungan Pekerja Migran Indonesia perlu dilakukan dalam suatu sistem yang terpadu yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Selama rentang waktu keberlakuannya, UU PPMI dipandang perlu untuk dilakukan analisis dan evaluasi terhadap praktik pelaksanaannya selama ini. Oleh karena itu, guna mengetahui efektivitas implementasi UU PPMI, Puspanlak UU Badan Keahlian DPR RI sebagaimana tugas dan fungsinya melakukan pemantauan pelaksanaan UU PPMI

Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan UU PPMI yang dilaksanakan dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan, ditemukan beberapa permasalahan yang terjadi baik secara normatif maupun empiris, yaitu dualisme pengaturan terkait perizinan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan pada UU Pelayaran dan UU PPMI; masih terdapat peraturan pelaksanaan UU PPMI yang belum diterbitkan; persoalan implementasi terkait pembebasan biaya penempatan Pekerja Migran Indonesia (zero cost); belum optimalnya pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam menangani Pekerja Migran Indonesia; permasalahan jaminan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia; permasalahan terkait perizinan pasca berlakunya UU Cipta Kerja; dan permasalahan terkait efektivitas penegakan hukum

1. Terhadap permasalahan terkait Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan, diberikan rekomendasi sebagai berikut:
Perlu dilakukannya harmonisasi regulasi antara UU Pelayaran berikut dengan peraturan turunannya dengan UU PPMI berikut dengan peraturan turunannya. Harmonisasi tersebut tentunya merujuk atau disesuaikan dengan hasil pengujian materiil UU PPMI yang saat ini belum diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023. Apabila nantinya Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 menolak permohonan Para Pemohon atau dengan kata lain tetap menegaskan bahwa Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan merupakan Pekerja Migran maka selain diperlukan harmonisasi regulasi, maka Kementerian Perhubungan harus segera mematuhi ketentuan PP 22/2022 untuk segera menindaklanjuti peralihan SIUPPAK ke SP3MI dan Kementerian Ketenagakerjaan harus segera menyelesaikan mandat dari PP 22/2022 untuk menyelesaikan beberapa peraturan menteri yaitu peraturan menteri ketenagakerjaan tentang peralihan perizinan SIP3MI, peraturan menteri ketenagakerjaan tentang tata cara penempatan dan pelindungan awak kapal perikanan migran, dan peraturan menteri tentang tata cara pelaksanaan kesepakatan kerja bersama.
Adapun apabila Mahkamah Konstitusi memutus sebaliknya atau dengan kata lain mengabulkan permohonan Para Pemohon sehingga Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan bukan merupakan PMI maka selain tetap perlu dilakukan harmonisasi regulasi maka Kementerian Ketenagakerjaan harus mencabut pengaturan di dalam peraturan turunan dari UU PPMI terkait perizinan penempatan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan Migran dikarenakan tidak lagi menjadi kewenangannya untuk menerbitkan izin. Namun, guna memberikan kepastian hukum pada kondisi kebutuhan hukum masyarakat saat ini maka dipandang perlu bagi Kementerian Perhubungan untuk dapat mengikuti amanat PP 22/2022 untuk melakukan peralihan dari SIUPPAK ke SIP3MI.

2. Terhadap tantangan belum diterbitkannya peraturan pelaksanaan UU PPMI dan peraturan pelaksanaan dari PP 59/2021 dan PP 22/2022, diberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. DPR RI mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan presiden terkait tugas dan wewenang Atase Ketenagakerjaan yang merupakan mandat dari Pasal 22 ayat (4) UU PPMI; dan
b. DPR RI mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan menteri kesehatan terkait jaminan kesehatan bagi PMI dan juga menerbitkan peraturan pelaksanaan dari mandat PP 59/2021 dan PP 22/2022.
Pembentukan beberapa regulasi teknis tersebut diperlukan guna mengoptimalkan pelaksanaan UU PPMI beserta aturan turunannya sehingga tidak berdampak pada persoalan implementasi di lapangan.

3. Terhadap persoalan terkait pembebasan biaya penempatan bagi PMI (zero cost), diberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. perlu adanya perumusan ulang dalam Pasal 30 UU PPMI dengan menambahkan penjelasan pada Pasal 30 ayat (1) UU PPMI yaitu “pembebasan biaya penempatan tersebut dikenakan dengan aturan komponen biaya tertentu dan jenis pekerjaan tertentu yang pengaturannya diatur lebih lanjut dalam peraturan kepala badan” atau menambahkan rumusan delegasi yang mempertegas norma terkait dengan pengaturan komponen biaya tertentu dan jenis pekerjaan tertentu yang diatur dalam peraturan kepala badan; dan
b. perlu adanya kepastian akan dukungan anggaran khusus yang dialokasikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui APBN maupun APBD pada biaya penempatan Pekerja Migran Indonesia agar semangat pemenuhan dan pelindungan PMI dapat diimplementasikan dengan baik.
c. Pengaturan mengenai jangka waktu keberlakuan izin serta jangka waktu pemenuhan syarat perpanjangan perizinan perlu diatur guna memenuhi kepastian hukum dan mencegah adanya P3MI yang sudah tidak memenuhi persyaratan tetap menjalankan usahanya.

4. Terhadap persoalan yang berkaitan dengan belum optimalnya tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia, diberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Kementerian/Lembaga, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus memiliki satu mekanisme sistem kerja bersama dalam menangani penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Melalui sistem kerja bersama tersebut memungkinkan terjadinya koordinasi yang terus dilakukan secara berkala dan batasan kewenangan yang jelas dalam penanganan Pekerja Migran Indonesia;
b. Perlu dibuatnya satu sistem data yang terintegrasi dalam hal penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan harus ada satu kementerian/lembaga/badan khusus yang mengkoordinir satu sistem data tersebut;
c. Perlu adanya pendidikan dan pelatihan secara berkala khususnya kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dan pemerintah desa terkait dengan kewenangannya dalam hal penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia dikarenakan pentingnya pemahaman mereka dalam menjalankan tupoksinya untuk mengedukasi masyarakat di daerah; dan
d. Perlu adanya anggaran khusus baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menangani Pekerja Migran Indonesia. Anggaran tersebut harus dimasukkan pada saat perencanaan baik melalui RAPBN, RAPBD, maupun RAPBDesa ataupun melalui sumber-sumber pendanaan lainnya yang dapat dioptimalkan untuk membantu efektivitas pelaksanaan penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Hal ini juga sebagai bentuk komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam melaksanakan UU PPMI.

5. Terhadap permasalahan terkait Jaminan Sosial bagi calon Pekerja Migran Indonesia dan Pekerja Migran Indonesia, diberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Berkaitan dengan pemenuhan jaminan pra penempatan, penempatan, pasca penempatan, negara melalui BP2MI harus menjamin bahwa Calon PMI yang akan ditempatkan, pada saat penempatan, dan selesai penempatan telah terdaftar setidak-tidaknya dalam sistem jaminan sosial yang berlaku di Indonesia.
b. Kemenaker sebagai regulator PMI dan BP2MI sebagai pelaksana perlindungan PMI, serta pelaksana jaminan sosial sebagaimana dalam UU SJSN harus saling berkoordinasi dan bekerja sama melalui pembangunan sistem data PMI yang terintegrasi dan sosialisasi yang menyeluruh kepada calon PMI atau seluruh masyarakat yang berpotensi menjadi Calon PMI.
c. Kemenaker dan BP2MI sebagai K/L utama yang menjadi leading sector perlindungan PMI harus melaksanakan pengawasan baik kepada penyelenggara jaminan sosial maupun P3MI untuk memastikan PMI telah menerima jaminan sosial.
d. Kemenaker dan BP2MI bersama-sama dengan Kementerian Luar Negeri harus memastikan bahwa negara tujuan PMI telah memberikan jaminan sosial sebagaimana yang berlaku pada Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya melalui fungsi diplomasi pemerintah.

6. Terhadap persoalan terkait perpanjangan izin P3MI pasca berlakunya UU Cipta Kerja, diberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Meskipun seluruh perizinan telah ditarik menjadi satu atap melalui sistem OSS, tidak berarti persyaratan perizinan menjadi hapus. Sehingga landasan pengaturan mengenai persyaratan perizinan P3MI harus tetap diatur guna memberikan perlindungan kepada PMI.
b. Wewenang dalam pemberian perizinan merupakan suatu hal yang memiliki interelasi terhadap keterikatan dalam bentuk pengaturan (regulation), pengedalian (controlling) dan penegakan hukum/pemberian sanksi. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap P3MI, maka yang dimaksud dengan pemerintah pusat dalam perizinan berusaha di bidang ketenagakerjaan khususnya dalam perizinan SIP3MI harus diatur secara eksplisit agar kewenangan pemberi izin selaras dengan tanggung jawab pengawasannya.

7. Terhadap permasalahan terkait efektivitas penerapan sanksi pidana, diberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlu adanya ancaman pidana minimum khusus dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 UU PPMI; dan
b. Peningkatan pemahaman aparat penegak hukum mengenai batasan delik tindak pidana perdagangan orang dengan delik illegal rekrut calon pekerja migran.