UU Pornografi lahir berdasarkan Pancasila dan amanat UUD NRI Tahun 1945, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat ini pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
UU Pornografi pada dasarnya memuat hal-hal pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, penggunaan pornografi dan perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan; serta sanksi secara tegas tentang bentuk hukuman.
Di Indonesia, pornografi telah menjadi hal yang sangat umum karena sangat mudah diakses oleh setiap kalangan usia. Tayangan media massa yang menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Saat ini peran serta Pemerintah, orang tua dan sekolah masih rendah dalam upaya pencegahan kegiatan pornografi, sehingga menurut data
dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah aduan konten pornografi pada Bulan September 2021 hingga Maret 2022 menempati urutan teratas, yakni sebanyak 1.142.010.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU untuk melihat efektivitas UU Pornografi yang telah digunakan sebagai dasar hukum dalam menjawab segala permasalahan kegiatan pornografi di tengah masyarakat dalam rentang waktu 15 (lima belas) tahun terakhir.
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Provinsi D.I. Yogyakarta
1. Aspek Subtansi Hukum
a. Belum Jelasnya Definisi dan Batasan Pornografi
Masih terdapat permasalahan berupa belum jelasnya definisi pornografi disebabkan karena multitafsirnya implementasi rumusan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 UU Pornografi mengenai definisi, larangan, dan pembatasan pornografi, khususnya terkait batasan norma kesusilaan masyarakat; batasan atas perbuatan bersinggungan dengan karya seni dan budaya; batasan eksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; batasan menawarkan atau mengiklankan layanan seksual. Beberapa perbuatan dalam dinamika implementasi dan kontekstual saat ini relatif kabur untuk digolongkan sebagai pornografi, sedangkan jika ditafsirkan secara tekstual hal tersebut sebenarnya dapat memenuhi unsur dalam rumusan Pasal-Pasal tersebut. Tidak diaturnya pengecualian berupa karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan pada perbuatan yang dapat dipidana pornografi juga menjadi penyebab belum jelas dan multitafsirnya penerapan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 UU Pornografi.
b. Permasalahan Pengaturan Terkait Pornografi Anak
UU Perlindungan Anak mengatur bab khusus terkait perlindungan anak, yaitu tertuang dalam Bab III UU Pornografi Pasal 15 dan Pasal 16. Pengaturan khusus ini dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi anak dari pornografi. Dalam implementasinya, ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pornografi anak, diantaranya:
- Pasal 1 angka 1 UU Pornografi yang memuat definisi pornografi belum merepresentasikan yang dimaksud dengan pornografi anak;
- Pasal 1 angka 3 UU Pornografi yang memuat definisi setiap orang dimana frasa “orang perseorangan” tidak jelas pemaknaannya hanya ditujukan untuk pelaku dewasa atau juga mencakup pelaku anak;
- Pasal 16 UU Pornografi beserta turunannya PP 40/2011 yang berbeda pengaturan dengan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf f UU Perlindungan Anak dan PP 78/2021 terkait siapa yang berwenang dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sosial, fisik, dan mental anak korban maupun pelaku pornografi.
c. Belum Diaturnya Pemulihan Hak Korban Sebagai Materi Muatan Penting dalam UU Pornografi
Salah satu tujuan pengaturan pornografi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pornografi adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan. Namun bentuk perlindungan hanya diberikan kepada anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU Pornografi, sedangkan bentuk perlindungan khususnya berupa pemulihan hak korban yang ditujukan kepada perempuan dan korban pelanggaran pornografi lainnya belum diatur dalam UU Pornografi. Padahal, merujuk pada tujuan UU Pornografi tersebut, maka seharusnya bentuk perlindungan berupa pemulihan hak korban tidak hanya ditujukan kepada korban anak namun juga terhadap korban lainnya.
d. Inkonsistensi Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi sepanjang Frasa “Tidak Termasuk Untuk Dirinya Sendiri dan Kepentingan Sendiri” dan Pasal 8 UU Pornografi sepanjang frasa “Atas Persetujuan Dirinya”.
Terdapat inkonsistensi pengaturan terkait perbuatan membuat suatu bentuk media yang bermuatan pornografi dengan maksud untuk dirinya sendiri sebagaimana diatur melalui Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dengan Pasal 8 UU Pornografi sepanjang frasa “atas persetujuan dirinya”. Inkonsistensi Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 8 UU Pornografi pada tataran implementasinya dapat memberikan celah kriminalisasi pada korban yang membuat dan awalnya hanya dimaksudkan untuk kepentingannya sendiri berisiko menjadi seorang pelaku.
e. Kesamaan Rumusan terkait Pembagian Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi
Di dalam UU Pornografi juga terdapat pengaturan tugas dan wewenang Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah terkait pencegahan pornografi yang tercantum pada Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi, namun permasalahannya adalah terdapat kesamaan rumusan yang terdapat didalam kedua pasal ini pada huruf a hingga c, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam implementasinya dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Selain itu, kewenangan “pengembangan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi” dalam rangka pencegahan pornografi hanya dimiliki oleh pemerintah daerah berdasarkan Pasal 19 huruf d UU Pornografi. Pengaturan tersebut tidak selaras dengan UU Pemda.
f. Perbedaan Pengaturan Antara UU Pornografi dengan UU Lain
1) UU KUHP
Terdapat dua perbedaan pengaturan antara UU Pornografi dengan KUHP, yang pertama yaitu KUHP memberikan batasan terkait kepada siapa perbuatan menawarkan, memperlihatkan dan membacakan tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan dilarang, yaitu hanya dilarang dilakukan kepada orang yang belum dewasa. Sedangkan, UU Pornografi tidak memberikan batasan tersebut dan mengatur bahwa setiap orang dilarang menawarkan, memperdengarkan atau mempertontonkan produk pornografi kepada orang lain. Kedua, terdapat perbedaan pengaturan antara KUHP dengan UU Pornografi terkait pengenaan sanksi pidana untuk perbuatan membacakan, memperdengarkan dan mempertontonkan tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan atau pornografi serta perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum, yang mana UU Pornografi mengatur sanksi pidana untuk kedua perbuatan tersebut lebih berat.
2) UU Perfilman
Terdapat perbedaan sanksi pidana antara Pasal 29 UU Pornografi dan Pasal 80 UU Perfilman terkait lamanya pidana penjara dan besaran denda yang dikenakan atas kejahatan pornografi, dimana ketentuan sanksi pidana yang diatur UU Pornografi lebih berat. Selanjutnya, terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pornografi dengan Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) UU Perfilman mengenai sanksi pidana penjara, pidana denda, penentuan angka tambahan ancaman pidana denda, dan jenis-jenis pidana tambahan atas pelanggaran pornografi terhadap korporasi. Perbedaan pengaturan tersebut dapat menimbulkan multitafsir dan tumpang tindih, khususnya bagi para APH dalam menggunakan pasal untuk dikenakan kepada pelaku pornografi perseorangan maupun korporasi yang melakukan kejahatan pornografi pada sektor perfilman, serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat umum.
3) UU ITE
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal UU Pornografi dan UU ITE, terdapat 2 (dua) permasalahan utama atas perbedaan pengaturan kedua undang-undang tersebut, sebagai berikut:
Pertama, Pasal 29 UU Pornografi mengatur sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 4 UU Pornografi. Jenis-jenis perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat telah secara eksplisit diatur. Sedangkan, dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE hanya merumuskan larangan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik memuat materi yang melanggar kesusilaan tanpa menjelaskan jenis muatan kesusilaan tersebut. UU Pornografi yang telah mengatur secara khusus mengenai perbuatan pornografi justru tidak efektif digunakan dan dikesampingkan dengan adanya ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Kedua, lamanya pidana penjara dan besaran denda yang dikenakan atas pelanggaran kesusilaan dan pornografi dalam Pasal 29 UU Pornografi dengan ketentuan sanksi atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, dimana ketentuan sanksi pidana UU Pornografi lebih berat. Atas perbedaan pengaturan Pasal-Pasal a quo UU Pornografi dan UU ITE tersebut, maka dalam implementasinya menimbulkan multitafsir dan tumpang tindih terkait jenis-jenis perbuatan yang melanggar dan bermuatan kesusilaan serta penerapan ketentuan pidana dalam kedua undang-undang tersebut. Perbedaan pengaturan mengenai sanksi pidana berdampak pada perbedaan persepsi APH dalam menggunakan pasal untuk dikenakan kepada pelaku, serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat umum.
4) UU TPKS
Terdapat dua perbedaan pengaturan antara UU Pornografi dengan UU TPKS, yang pertama yaitu UU TPKS menganut konsep concent dalam mengatur perbuatan menjadikan orang lain sebagai objek perekaman yang bermuatan seksual yang ditunjukan dengan penggunaan frasa “di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman” dalam rumusan substansinya, sedangkan UU Pornografi tidak mengenal konsep concent dalam ketentuan larangan menjadikan orang lain sebagai objek bermuatan pornografi, sehingga setiap perbuatan dengan atau tanpa persetujuan tetap akan dikenakan sanksi pidana. Kedua, yaitu terdapat perbedaan pengenaan sanksi pidana antara UU Pornografi dan UU TPKS terkait perbuatan membuat dan menjadikan orang lain sebagai objek bermuatan seksual atau pornografi.
2. Aspek Struktur Hukum
a. Belum Optimalnya Peran Pemerintah dalam Pencegahan Pornografi
1) Peran Pemerintah Pusat
Kewajiban pemerintah pusat untuk melaksanakan pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi telah diatur melalui Pasal 18 UU Pornografi. Namun setelah 15 (lima belas) tahun sejak diundangkannya UU Pornografi, masih terdapat permasalahan terkait pelaksanaan pencegahan pornografi yang diamanatkan kepada pemerintah pusat yaitu, belum optimalnya pemutusan jaringan dan pemblokiran konten bermuatan pornografi oleh pemerintah, belum maksimalnya pengawasan yang dilakukan terhadap penyebarluasan pornografi oleh pemerintah serta koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan media sosial yang masih berorientasi pada penanganan belum kepada pencegahan masuknya konten pornografi yang berasal dari luar jaringan domain Indonesia.
2) Peran Pemerintah Daerah
Kewajiban pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi tidak hanya berada di pemerintah pusat melainkan diwajibkan juga pada pemerintah daerah, hal ini sebagaimana diatur melalui Pasal 19 UU Pornografi. Dalam implementasinya, meskipun telah terdapat kewajiban pemerintah daerah namun masih banyak daerah yang tidak memiliki political will untuk melakukan pencegahan terhadap pornografi. Selain itu, ditemukan kurang koordinasi pemerintah daerah kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Lebih lanjut, terkait kewenangan pemutusan jaringan yang diamanatkan oleh Pasal 19 UU Pornografi pada implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat dilaksanakan, bahwa Diskominfo tidak dapat melakukan pemutusan jaringan terhadap konten bermuatan pornografi, Diskominfo hanya dapat memberikan laporan melalui Polda dan Bareskrim untuk kemudian pemutusan jaringan dilakukan oleh Kemenkominfo. Hal-hal ini menyebabkan pencegahan pornografi di daerah tidak maksimal.
b. Belum Optimalnya Penerapan Sanksi Pidana dalam UU Pornografi
Pasal 29 s.d Pasal 38 dan Pasal 40 s.d Pasal 41 UU Pornografi mengatur sanksi pidana kejahatan pornografi. Namun, ketentuan sanksi pidana tersebut masih belum efektif karena belum konsisten diterapkan dalam implementasi penegakan hukum pornografi. Permasalahan belum optimalnya penerapan sanksi pidana UU Pornografi adalah karena adanya pemahaman APH yang lebih memilih menggunakan undang-undang lain seperti KUHP dan UU ITE yang memiliki irisan sanksi pidana dalam pengaturannya. Begitupula pada kasus pornografi yang dilakukan oleh korporasi pada praktiknya belum ditegakkan secara tegas karena pidana korporasi sulit dalam penyidikan dan sulit dibuktikan dalam dakwaan.
c. Belum Optimalnya Peran Gugus Tugas dalam Pelaksanaan UU Pornografi
Pasal 42 UU Pornografi mengamanatkan untuk dibentuknya gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga guna mengefektifkan pelaksanaan upaya pencegahan dan penanganan pornografi. Pembentukan gugus tugas tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui pembentukan Perpres 25/2012. Dalam implementasinya selama ini, sejak Tahun 2019 gugus tugas yang ada tersebut tidak lagi aktif. Selain itu, pembentukan GTP3 di Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan penyusunan Rencana Aksi Daerah GTP3 di Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga terhenti. Tidak aktifnya gugus tugas tersebut salah satunya disebabkan oleh nomenklatur kementerian/lembaga dan mitra dalam GTP3 dan sub GTP3 yang telah banyak mengalami perubahan dan struktur keanggotaan dari GTP3 dan sub GTP3 yang tidak lagi mencerminkan amanat Perpres 25/2012. Hal ini yang kemudian menyebabkan pelaksanaan upaya pencegahan dan penanganan pornografi belum terlaksana dengan optimal yang berdampak pada semakin maraknya kasus pornografi.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
Pasal 19 huruf d UU Pornografi mengamanatkan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi terkait pencegahan pornografi. Dalam implementasinya selama ini, kewenangan tersebut di beberapa daerah masih belum optimal dilaksanakan oleh pemerintah daerah dikarenakan:
a. Minimnya SDM yang mumpuni;
b. Minimnya anggaran guna mendukung pengembangan sistem informasi; dan
c. Persebaran sistem informasi yang tidak merata dikarenakan koneksi internet di beberapa daerah yang sulit dan terpencil.
Selain itu, masing-masing OPD di daerah mengembangkan sistemnya sendiri-sendiri yang mengakibatkan upaya pencegahan terlaksana secara parsial. Pelaksanaan kewenangan secara parsial ini juga dilakukan di tingkat pusat dimana masing-masing kementerian/lembaga memiliki sistem informasi dan edukasi sendiri-sendiri dalam hal pencegahan pornografi.
4. Aspek Budaya Hukum
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting, disamping peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan pornografi. Peran masyarakat dalam UU Pornografi telah diatur dalam Bagian Kedua yang terdapat dalam Pasal 20 hingga Pasal 22, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat dalam pencegahan pornografi belum berjalan optimal, hal ini disebabkan antara lain karena rendahnya literasi masyarakat terhadap UU Pornografi; minimnya upaya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah kepada masyarakat; dan minimnya pemahaman masyarakat mengenai keterlibatannya dalam upaya pencegahan pornografi.
5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat pengaturan dalam UU Pornografi yang tidak selaras dengan Sila Sila ke-5 Pancasila, yaitu Pasal 8 UU Pornografi menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ketidakjelasan tujuan apakah dalam konteks untuk kepentingan pribadi atau untuk penyebarluasan secara komersil. Sehingga, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Sila ke-5, dimana seharusnya peraturan perundang-undangan berfungsi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia baik lahir maupun batin.
1. Aspek Substansi Hukum:
a. Definisi pornografi dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi perlu diatur secara lebih jelas dengan mengatur pengecualian pornografi dan pemidanaannya terhadap perbuatan yang merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan. Pengecualian tersebut juga menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 407 KUHP Nasional.
b. Frasa “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi perlu ditafsirkan secara sistematis dan konsisten dengan memperhatikan batasan larangan pornografi sebagaimana diatur Pasal 4 UU Pornografi untuk menghindari kekaburan makna frasa tersebut, yaitu terbatas pada ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang harus dilihat berdasarkan tempat dan waktu perbuatan.
c. Larangan Pasal 4 UU Pornografi perlu diatur secara lebih jelas unsur-unsurnya agar tidak multitafsir dalam menilai unsur perbuatan terkait eksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual serta batasan menawarkan atau mengiklankan layanan seksual yang tidak secara eksplisit menunjukkan alat kelamin dan/atau ketelanjangan.
d. Perlu menambahkan definisi “Pornografi Anak dalam Pasal 1 UU Pornografi atau dapat memberikan tambahan penjelasan terkait definisi pornografi anak di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU Pornografi.
e. Perlu dilakukannya harmonisasi pengaturan antara UU Pornografi dan PP 40/2011 dengan UU Perlindungan Anak dan PP 78/2021 khususnya terkait kewenangan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik, dan mental anak korban dan pelaku pornografi.
f. Perlu adanya penambahan rumusan norma terkait pemulihan hak korban pornografi dalam UU Pornografi.
g. Perlu dilakukan harmonisasi antara Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dengan Pasal 8 UU Pornografi dengan mempertimbangkan bahwa bentuk pornografi untuk dirinya sendiri adalah termasuk ke dalam forum internum yang harus dihormati dan diberikan perlindungan. Selain itu, harmonisasi ketentuan pasal a quo perlu mengutamakan perlindungan dan kepastian hukum pada korban khususnya dalam ranah penegakan hukumnya untuk mencegah kriminalisasi pada korban.
h. Perlunya melakukan revisi terhadap norma Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi dengan memetakan kembali kewenangan pencegahan yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan kewenangan yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
i. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan untuk menambahkan kewenangan pemerintah pusat dalam hal pencegahan pornografi, yaitu “kewenangan pengembangan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi” dalam rangka pencegahan pornografi sehingga selaras dengan pengaturan dalam UU Pemda.
j. Dapat diupayakan penyelesaiannya yaitu dengan penerapan asas lex spesialis derograt legi genaralis dengan menggunakan UU Pornografi sebagai acuan penegakan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang lebih khusus.
k. Perlu dilakukan harmonisasi terhadap Pasal-Pasal a quo terkait batasan kepada siapa saja yang dilarang untuk melakukan perbuatan memperdengarkan atau mempertontonkan muatan pornografi.
l. Perlu melakukan revisi terhadap Pasal 29 UU Pornografi menyesuaikan dsengan Pasal 407 KUHP Nasional. Sebab, dalam implementasinya ketentuan ini juga banyak menimbulkan multitafsir dengan peraturan perundang-undangan lainnya (UU Perfilman dan UU ITE).
m. Perlu dilakukan harmonisasi antara Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pornografi dengan Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) UU Perfilman agar tidak menimbulkan multiinterpretasi.
n. Diperlukan penerapan sanksi pidana dalam UU Pornografi secara konsisten dari maka APH agar dapat mengenakan sanksi pidana berlapis untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi, tidak hanya menggunakan sanksi pidana dalam UU ITE.
o. UU Pornografi dapat menganut konsep concent sebagaimana UU TPKS, misalnya dengan penggunaan frasa “di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang” atau “harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan” dalam rumusan substansinya.
p. Perlunya harmonisasi antara UU Pornografi dengan UU TPKS terkait perbedaan sanksi pidana yang dikenakan untuk “perbuatan yang memuat muatan seksual atau pornografi” serta perbuatan menjadikan orang lain sebagai objek muatan pornografi.
2. Aspek Struktur Hukum:
a. Perlu optimalisasi pemutusan jaringan dan pemblokiran terhadap konten-konten pornografi yang tersebar di internet sebelum konten tersebut dapat masuk pada ranah privat yang sulit dijangkau pemerintah.
b. Perlu peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan patroli cyber sehingga penyebarluasan pornografi khususnya di ruang internet dapat lebih terkontrol dan tidak mudah diakses.
c. Perlunya peningkataan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat dengan stakeholder luar negeri khususnya perusahaan media sosial terkait pemblokiran konten bermuatan pornografi di media sosial serta kerja sama dalam upaya pencegahan melalui penjaringan terhadap konten-konten bermutan pornografi yang berada di luar jaringan domain Indonesia agar tidak dapat masuk ke jaringan domain Indonesia.
d. Perlunya kejelasan terkait leading sector di daerah yang berwenang untuk melakukan pencegahan dan penanganan isu-isu pornografi.
e. perlunya melakukan pemetaan kembali kewenangan pencegahan dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi terkait kewenangan mana yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan kewenangan mana yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
f. Perlu peningkatan pemahaman substansi pornografi bagi APH guna penyamaan persepsi dalam penegakan hukum terkait kejahatan pornografi dan Perlu komitmen APH untuk menerapkan sanksi pidana UU Pornografi secara konsisten, baik terhadap perseorangan maupun korporasi. Misalnya, dengan membuat dakwaan menjadi berlapis dalam hal kasus pornografi memiliki keterkaitan dengan tindak pidana lainnya.
g. Perlu mengefektifkan kembali GTP3 dan Sub GTP3 baik di pusat maupun daerah. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan kembali gugus tugas tersebut dengan melakukan revisi terhadap Perpres 25/2012; melakukan pemetaan kembali kelembagaan gugus tugas, sub gugus tugas dan sekretariat dengan unit kerja kementerian/lembaga yang ada saat ini; melakukan evaluasi GTP3 di daerah, dan menyusun rancangan rencana aksi terkait pencegahan penanganan pornografi 2023-2026.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Mereformulasi ulang kewenangan pemerintah pusat dan daerah khususnya terkait pengembangan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi terkait pencegahan pornografi. Hal ini agar kewenangan tersebut dapat menjadi kewenangan berjenjang yang tidak hanya dimandatkan kepada pemerintah daerah namun juga pemerintah pusat;
b. Membangun satu sistem data yang terintegrasi antara pusat dan daerah dan antar OPD di daerah sebagai wadah informasi, komunikasi, dan edukasi dalam mendukung upaya pencegahan pornografi;
c. Menyediakan SDM yang mempuni melalui proses rekrutmen dan penjaringan SDM yang yang tersistem/terpadu, peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan; dan
d. Menyediakan perangkat/peralatan yang mendukung dengan anggaran yang cukup agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan teknologi saat ini.
4. Aspek Budaya Hukum
a. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terkait UU Pornografi kepada semua lapisan masyarakat baik di sekolah-sekolah maupun dalam organisasi kemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia secara konsisten dan berkesinambungan guna memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat terkait perannya dalam upaya pencegahan pornografi.
b. Pemberian penghargaan (reward) kepada masyarakat yang berperan aktif dalam melakukan upaya pencegahan terhadap Pornografi guna meningkatkan keaktifan masyarakat dalam ikut mengupayakan pencegahan pornografi.
5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
Perlu diatur secara jelas terkait rumusan Pasal 8 UU Pornografi dalam konteks pribadi atau komersial.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430