Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG / 01-08-2023

Tindakan perdagangan orang (human trafficking) merupakan pelanggaran harkat dan martabat manusia dan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM), serta merupakan bentuk perbudakan modern (modern slavery) yang dikecam oleh negara manapun di dunia. Perdagangan orang telah menjadi bagian dari luka sejarah kemanusiaan bangsa Indonesia sejak perbudakan masa kerajaan nusantara, yang terus berlanjut pada periode penjajahan Belanda dan Jepang dimana perdagangan orang berkembang dalam bentuk pekerja rodi dan pekerja seks bagi tentara Belanda dan Jepang.

Dalam upaya penghapusan perdagangan orang, perlindungan hak asasi manusia, serta hasil tindak lanjut Konvensi Palermo 2000, DPR bersama Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU TPPO. UU TPPO sudah diberlakukan selama 16 tahun di Indonesia sejak diundangkan dan disahkan, namun dalam pelaksanaannya hingga saat ini masih mengalami banyak kendala yang dibuktikan dengan masih maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada tahun 2019-2022, terdapat 1.545 kasus TPPO dengan jumlah korban sebanyak 1.732 orang. Tren kejadian dalam 4 (empat) tahun terakhir mengalami peningkatan, pada 2019 terdapat 191 kasus dan 226 korban TPPO, pada 2020 dengan 382 kasus dan 422 korban TPPO, pada 2021 tercatat 624 kasus dan 683 korban TPPO, serta pada periode Januari hingga Oktober 2022 terlapor sebanyak 348 kasus dan 401 korban TPPO. Berdasarkan data tersebut, mayoritas yang menjadi korban adalah kelompok rentan, perempuan dan anak.

Indonesia kini masuk pada kategori darurat tindak pidana perdagangan orang. Dalam laporan US Embassy 2022 Trafficking in Persons report, Indonesia masuk kategori Tier 2 Watch List artinya “pemerintah tidak memenuhi standar minimal untuk pemberantasan perdagangan orang tetapi juga telah berusaha secara sungguh-sungguh”. Tindak kejahatan perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan hak asasi yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, UU TPPO belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat.

Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kota Batam.

1. Aspek Subtansi Hukum
a. Belum Komperehensifnya Pengaturan Objek Korban TPPO
Berangkat dari Protokol TPPO Palermo, pembuat undang-undang di Indonesia menaruh perhatian terhadap lebih terhadap lemah dan rentannya golongan perempuan dan anak sebagai korban TPPO. Hal tersebut dimuat dalam Konsiderans bagian Menimbang huruf b., serta dalam Penjelasan Umum paragraf 3, paragraf 5 dan paragraph 6 UU TPPO. Oleh karena perempuan dan anak-anak telah diakomodasi dalam UU TPPO sebagai salah satu alasan dan latar belakang dibentuknya UU TPPO, maka telah tergambar komitmen negara untuk memberi perlindungan kepada golongan tersebut.
Namun kemudian, berdasarkan fakta empiris saat ini dibutuhkan pula komitmen negara untuk melindungi profesi tertentu sebagai pihak yang kerap menjadi korban TPPO yaitu PMI dan ABK. Secara yuridis ABK telah diakomodir dalam UU PPMI dan PP 22/2022 sebagai salah satu kategori PMI.

b. Sulitnya Pembuktian Delik Formil dalam Pasal 2 UU TPPO
Secara empiris berdasarkan putusan pengadilan terkait delik TPPO, APH masih kesulitan dalam menafsirkan rumusan delik Pasal 2 UU TPPO. Penafsiran baik secara gramatikal serta sistematis maka terdapat 3 elemen kunci dalam ketentuan delik Pasal 2 Ayat (1) UU TPPO yaitu unsur perbuatan/proses, unsur cara dan unsur tujuan. Sesuai Doktriner serta ketentuan Pasal 3 Protokol TPPO Palermo, penafsiran unsur perbuatan/proses, unsur cara dan unsur tujuan haruslah diartikan sebagai delik formil yaitu delik yang terpenuhi selama unsur-unsur tindakan dalam rumusan pasal tersebut terpenuhi.
Selanjutnya, terkait unsur perbuatan/proses dan unsur cara, diartikan satu contoh dalam unsur perbuatan/proses maupun unsur cara telah terpenuhi, maka dapat dianggap unsur proses dan unsur cara telah terpenuhi. Adapun terkait unsur tujuan eksploitasi haruslah dikaitkan delik formil yang merupakan sikap niat batin dari si pelaku, maka dari itu diperlukan indikator guna pemenuhan bukti permulaan yang cukup.

c. UU TPPO Belum Konsisten Menggunakan 3 Elemen Kunci dalam Merumuskan Unsur Delik TPPO.
1) Pasal 3 UU TPPO: Tidak Ada Unsur “Cara”
Rumusan Pasal 3 UU TPPO hanya memuat 2 (dua) elemen kunci saja yaitu unsur perbuatan/proses dan unsur tujuan, tanpa merumuskan unsur cara. Hal ini tidak sesuai dengan yang disyaratkan Protokol TPPO Palermo, bahwa ada 3 (tiga) elemen kunci dalam mengkategorikan delik TPPO yaitu adanya unsur perbuatan/proses, unsur cara dan unsur tujuan.
2) Pasal 4 UU TPPO: Tidak Ada Unsur “Cara” dan Terbatasnya Unsur “Perbuatan”
a) Tidak adanya unsur “cara”
Rumusan Pasal 4 UU TPPO hanya memuat 2 (dua) elemen kunci yaitu unsur perbuatan/proses dan unsur tujuan saja, tanpa merumuskan unsur cara yang disyaratkan dalam rumusan delik TPPO. Unsur perbuatan saja belum menggambarkan adanya perbuatan melawan hukum jika tidak disertai dengan unsur cara, sehingga ketiadaan unsur cara belum menggambarkan adanya actus reus yaitu perbuatan yang melanggar hukum (unsur objektif). Sedangkan unsur tujuan merupakan mens rea yang menggambarkan adanya sikap batin pelaku dalam melakukan kejahatan (unsur subjektif).
Ketiadaan unsur cara dalam rumusan Pasal 4 UU TPPO menjadikan seolah-olah adanya persetujuan dari korban, karena tidak tergambar adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu, hilangnya unsur cara menjadikan Pasal 4 UU TPPO kehilangan sifat melawan hukumnya unsur perbuatan.
b) Terbatasnya perumusan unsur “perbuatan/proses” dalam kata “membawa”
Pasal 4 UU TPPO hanya merumuskan unsur perbuatan/proses dalam bentuk kegiatan membawa WNI ke luar wilayah negara Indonesia. Dalam praktiknya, APH kesulitan menegakkan Pasal ini karena perbuatan “membawa” hanya bisa dibuktikan jika telah terjadi perpindahan di daerah embarkasi.
Selain itu, perbuatan “membawa” saat ini juga sulit dibuktikan karena modus operandi TPPO terbaru yang dilakukan melalui pengendalian jarak jauh. Sehingga dengan adanya modus pengendalian jarak jauh tanpa adanya pelaku yang membawa langsung calon korban, menjadikan unsur perbuatan “membawa” menjadi tidak terpenuhi.
3) Pasal 5 UU TPPO: Unsur “Cara” Tidak Diperlukan Dalam Korban Anak
Rumusan Pasal 5 UU TPPO telah lengkap memuat 3 (tiga) elemen kunci TPPO yang disyaratkan Protokol TPPO Palermo yaitu unsur perbuatan/proses, unsur cara, dan unsur tujuan. Namun jika korbannya anak, maka unsur cara tidak diperlukan sehingga perbuatan dengan cara apapun tetap dikategorikan sebagai TPPO jika ditujukan untuk eksploitasi anak.
Dalam implementasinya, penegakan Pasal 5 UU TPPO tidak ditemukan kendala yang berarti, hanya saja secara substansi/normanya tidak sesuai dengan prinsip Protokol TPPO Palermo yang menjadi dasar penormaan Pasal 5 UU TPPO.
4) Pasal 6 UU TPPO: Tidak Tepatnya Delik Materil Pada Korban Anak
Pasal 6 UU TPPO telah lengkap memuat 3 (tiga) elemen kunci TPPO yang disyaratkan Protokol TPPO Palermo yaitu unsur perbuatan/proses, unsur cara, dan unsur tujuan. Namun, unsur tujuan dalam Pasal 6 UU TPPO yang berbunyi “yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi” adalah termasuk dalam kategori delik pidana materiil. Oleh karena itu, perumusan delik pada Pasal 6 UU TPPO tidak sesuai dengan prinsip delik formil Pasal 2 UU TPPO sebagai genus umum delik TPPO, serta tidak sesuai dengan Pasal 3 Protokol TPPO Palermo sebagai dasar prinsip delik formil pada TPPO.

d. Belum Efektifnya Implementasi Delik Bagi Pelaku Korporasi dalam Pasal 13-Pasal 15 UU TPPO
UU TPPO mengatur unsur subjek pelaku adalah “setiap orang” yang terdiri atas orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi. Secara substansi, pengaturan korporasi dalam UU TPPO sudah komprehensif mulai dari subjek korporasi termasuk pengurusnya, pemberatan pidana denda, hingga penjatuhan pidana tambahan.
Namun dalam implementasinya, pelaku korporasi sulit untuk dijerat karena unsur perbuatan dan unsur cara TPPO cenderung dilakukan oleh pelaku lapangan, bukan korporasi. Selain itu, banyaknya pelanggaran yang dilakukan korporasi dalam kenyataannya tidak dibarengi dengan penegakan hukum yang efektif. Tipisnya perbedaan antara isu ketenagakerjaan dengan isu TPPO menyebabkan APH seringkali bias dalam menerapkan antara UU PPMI, UU Ketenagakerjaan, dan UU TPPO. Secara faktual, APH lebih fokus menggunakan undang-undang sektoral dibandingkan dengan UU TPPO.

e. Belum Efektifnya Pemblokiran Harta Kekayaan Bagi Pelaku TPPO dalam Pasal 32 UU TPPO
Ketentuan Pasal 32 UU TPPO baik penyidik, penuntut umum atau hakim mempunyai kewenangan melakukan pemblokiran harta kekayaan terhadap orang yang disangka atau didakwa melakukan TPPO melalui penyedia jasa keuangan. Akan tetapi, dalam UU TPPO tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme pemblokiran, maksud dan tujuan pemblokiran, bagaimana ada pihak yang keberatan atas pemblokiran dan bagaimana jika terdakwa tersebut diputus bebas.
Secara teoritis, pemblokiran tindak pidana dilandaskan pada pandangan bahwa tidak seseorangpun berhak memiliki kekayaan yang tidak patut dimilikinya. Pandangan ini tercermin dari beberapa istilah, Cime souldn’t pay; unjust enrichment atau illicit enrichment; No one benefit from his own wrong doing.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), dapat digunakan sebagai rujukan dalam mekanisme pemblokiran aset pelaku TPPO. Selanjutnya, mekanisme pembagian wewenang penyidik, penuntut umum dan hakim dalam Pasal 32 UU TPPO jika dikaitkan asas dominus litis (domain), maka penyidik berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan bagi pelaku TPPO pada tahap penyidikan, penuntut umum berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan bagi pelaku TPPO pada tahap penuntutan, dan hakim berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan bagi pelaku TPPO pada tahap persidangan.

f. Belum Terpenuhinya Hak Restitusi Bagi Korban TPPO dalam Pasal 48-50 UU TPPO
Ganti rugi terhadap korban TPPO wajib diberikan oleh pelaku tindak pidana yang berupa pemberian restitusi kepada pihak korban sesuai mekanisme yang telah ditentukan dalam Pasal 48 UU TPPO. Akan tetapi, secara empiris pemenuhan restitusi tidak berjalan sebagaimana mestinya disebabkan karena tidak efektifnya sita aset bagi pelaku TPPO, dan restitusi korban TPPO. Seringkali restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku, dan diganti dengan pidana kurungan pengganti.
Selanjutnya, paradigma pemindanaan telah beralih dari pidana sebagai pembalasan (retributive) menjadi restorative justice, sebuah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang melibatkan pelaku dan korban serta masyarakat untuk secara aktif berperan dalam upaya penyelesaian masalah yang dampaknya ditimbulkan dari terjadinya tindak pidana. Skema resitusi dalam UU TPPO yang dibebankan oleh pelaku dan jika pelaku tidak mampu membayar diganti pidana kurungan merupakan paradigma pembalasan (retributive) yang bertolak berlakang dengan konsep restorative justice.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Lemahnya Koordinasi antara LPSK dan APH dalam Pengajuan Restitusi
Pemenuhan hak restitusi pada korban TPPO tidak terlaksana dengan baik, dikarenakan masih lemahnya koordinasi antara LPSK dengan APH terutama di daerah. Penyebabnya adalah keberadaan LPSK yang hanya terdapat di pusat, sehingga sulit untuk menjangkau para saksi dan/atau korban di daerah.
Kemudian dalam hal restitusi yang diajukan oleh APH (penyidik dan penuntut umum), APH belum cukup memahami mengenai pentingnya pemenuhan hak restitusi untuk korban TPPO. APH juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk memberitahu kepada korban terkait hak restitusi yang dimilikinya, serta tidak menganggap kewajiban memberi informasi dan pendampingan restitusi adalah tugasnya. Hal ini berdampak pada korban tidak mengetahui haknya atas restitusi, dan kerugian korban menjadi tidak diganti.


b. Belum Efektifnya Koordinasi Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pemberantasan TPPO di Indonesia
UU TPPO mewajibkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberantas TPPO dengan membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran, serta membentuk Gugus Tugas TPPO. Namun dalam pelaksanaannya menemui beberapa kendala yaitu:
1) Kurangnya koordinasi dalam pembagian tugas dan kewenangan di antara kementerian/lembaga terkait;
2) Koordinasi dan pengawasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah saat ini belum optimal;
3) Kurangnya ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan pencegahan dan penanganan TPPO.;
4) Tidak semua daerah memiliki komitmen dalam membuat kebijakan, program, maupun alokasi anggaran TPPO.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala tersebut maka dibutuhkan koordinasi yang kuat antara pemerintah dan pemerintah daerah, dengan membuat skema koordinasi dan pembagian tugas yang efektif dan efisien.

c. Pelaksanaan Amanat Gugus Tugas TPPO
1) Belum efektifnya Gugus Tugas TPPO saat ini
Pasal 58 UU TPPO mengamanatkan pembentukan Gugus tugas TPPO untuk melaksanakan pemberantasan TPPO baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi pada implementasinya, Gugus Tugas TPPO mengalami beberapa kendala, yaitu:
a) Adanya ego sektoral dalam Gugus Tugas TPPO.
b) Pola koordinasi hanya berupa penyampaian laporan.
c) Tidak semua kementerian/lembaga mampu melaksanakan pembagian tugas.
d) Tidak semua kementerian/lembaga memiliki anggaran khusus TPPO.
e) Belum semua daerah membentuk Gugus Tugas TPPO.
f) Belum pernah dilakukannya koordinasi Gugus Tugas TPPO di daerah.
g) Kementerian PPPA selaku leading sector Gugus Tugas TPPO tidak memiliki kewenangan dalam mengoordinir APH dalam penegakan hukum.
2) Rekstrukturisasi Ketua Harian Gugus Tugas TPPO menjadi Kapolri
Pada tanggal 30 Mei 2023, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk mengambil langkah cepat pencegahan dan pemberantasan TPPO dengan melakukan restrukturisasi Gugus Tugas TPPO dengan mengganti ketua harian yang awalnya diemban oleh Menteri PPPA menjadi Kapolri. Selanjutnya pada 10 Juni 2023, Bareskrim Polri membentuk secara resmi Satgas TPPO Polri yang diketuai langsung oleh Wakil Kepala Bareskrim. Restrukturisasi Gugus Tugas TPPO yang diambil alih oleh Satgas TPPO Polri, dalam pelaksanaannya cukup efektif dalam melindungi masyarakat dari TPPO.
Meskipun terjadi perubahan struktur Ketua Harian Gugus Tugas TPPO, secara substansi tugas Gugus Tugas TPPO masih tetap sama. Restrukturisasi ini menimbulkan permasalahan pada kerja Gugus Tugas TPPO yaitu kendala pergeseran anggaran yang sudah disusun oleh oleh anggota Gugus Tugas TPPO, dan pengaruhnya Rencana Aksi Nasional yang telah dibuat kementerian/lembaga untuk rentang waktu 2020-2024 yang harus menjadi capaian para anggota Gugus Tugas TPPO.
3) Usulan pembentukan badan khusus TPPO
Dengan adanya kendala pada pelaksanaan Gugus Tugas TPPO, beberapa narasumber mengusulkan untuk membentuk badan khusus TPPO yang tugasnya mulai dari pencegahan, pemberantasan, hingga pemulihan hak bagi korban.
Saat ini hanya Indonesia yang tidak memiliki lembaga khusus TPPO diantara negara-negara ASEAN. Sehingga, kerjasama internasional dalam penanganan TPPO masih sangat minim dan belum terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, usulan pembentukan badan khusus TPPO diharapkan dapat memperkuat kerjasama internasional guna menanggulangi TPPO.
Melihat pada politik hukum Indonesia terkait kejahatan transnasional yang dikriminalisasi dengan undang-undang, Indonesia telah membentuk lembaga khusus melalui undang-undang seperti BNN, PPATK, BNPT dan KPK.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Belum terbentuknnya Pusat Pelayanan Terpadu di setiap kabupaten/kota dalam Pasal 46 UU TPPO
Pasal 46 UU TPPO mengamanatkan pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu pada setia kabupaten/kota. Pada praktiknya, keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu TPPO di provinsi digabung dengan P2TP2A, sedangkan di kabupaten/kota digabung dengan UPTD PPA karena keterbatasan biaya dan terdapat fungsi yang serupa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Permen PPPA 8/2021.
Akan tetapi berdasarkan implementasinya, pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO belum sepenuhnya dilaksanakan karena belum semua kabupaten/kota terdapat UPTD PPA. Penyebab utamanya adalah masih kurangnya komitmen daerah, sehingga kerap kali pilihan kebijakan daerah tidak mendukung penyediaan Pusat Pelayanan Terpadu berupa UPTD PPA sebagai suatu sarana dan prasarana yang harus disediakan di setiap kabupaten/kota.

4. Aspek Budaya Hukum
a. Minimnya Pemahaman Konsep Persetujuan Korban TPPO (Pasal 26 dan Pasal 30 UU TPPO)
Pembentuk undang-undang memahami bahwa dalam kondisi relasi yang tidak setara antara korban sebagai pekerja dan pelaku sebagai perekrut/pemberi kerja, atau korban dan pelaku masih memiliki hubungan kekerabatan, maka situasi korban memberikan persetujuan hampir tidak dapat dihindari, sehingga persetujuan korban tidak diperlukan dalam menjerat pelaku TPPO.
Namun dalam praktiknya, sering kali ditemukan situasi di mana korban TPPO enggan melapor karena mereka terjebak dalam ketergantungan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan. Selain itu, rendahnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat akan eksploitasi beserta dampaknya, menyebabkan korban tidak merasa sedang menjadi korban TPPO.
Kondisi tersebut sedikit banyak telah melemahkan penegakan hukum, karena dengan adanya keengganan korban dalam memberikan keterangan sebagai saksi korban, maka akan menghambat proses penegakan hukum karena hilangnya satu alat bukti utama.

b. Belum Terjaminnya Kerahasiaan Identitas Hukum Saksi dan/atau Korban TPPO (Pasal 44 UU TPPO)
Kerahasiaan identitas dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan yang dijalani sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU TPPO. Selain pihak saksi dan/atau korban, hak kerahasiaan identitas juga diberikan kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua.
Walaupun pengaturan mengenai pemberian hak kerahasiaan identitas saksi dan/atau korban sudah diatur dengan baik dalam UU TPPO, namun dalam implementasinya masih ditemukan beberapa kendala yang terjadi di lapangan. Kendala-kendala tersebut adalah kurangnya pemahaman APH dalam melindungi identitas saksi dan/atau korban TPPO, kurang pahamnya masyarakat mengenai pentingnya menjaga kerahasiaan identitas saksi dan/atau korban, dan sering terjadinya pelanggaran kerahasiaan identitas yang dilakukan oleh media massa.

c. Belum Optimalnya Peran Serta Masyarakat dalam Membantu Upaya Pencegahan dan Penanganan TPPO
Dalam rangka melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan TPPO di Indonesia, masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU TPPO. Selain itu, Pasal 33 UU TPPO juga memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat untuk memberikan informasi dan/atau laporan adanya TPPO yang diberikan kepada APH dan jaminan perlindungan hukumnya. Dalam Pasal 61 UU TPPO juga dinyatakan bahwa pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih terdapat permasalahan yang terjadi. Permasalahan utama dan yang paling banyak disampaikan oleh pemangku kepentingan pusat maupun daerah, adalah pengaturan dalam UU TPPO masih belum dipahami secara menyeluruh oleh setiap lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan TPPO di Indonesia.


5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU TPPO yang tidak selaras nilai-nilai Pancasila, antara lain:
a. Masih terdapat delik dalam UU TPPO yang belum terstandardisasi Internasional yaitu Protokol TPPO Palermo khususnya Delik dalam Pasal 4 UU TPPO. Seharusnya delik dalam Pasal 4 UU TPPO terdapat unsur perbuatan/proses, cara dan tujuan agar sesuai Protokol TPPO Palermo. Dengan adanya kejelasan unsur dalam delik tersebut agar aparat penegak hukum dapat menegakkan hukum lebih optimal terhadap pelaku yang merupakan bagian sindikat internasional. Hal ini perwujudan sila ke-2 dan sila ke-3 Pancasila.

b. Implementasi pemenuhan restitusi belum optimal dirasakan oleh korban TPPO, hal ini dikarenakan dalam UU TPPO belum ada jaminan jika pelaku tidak mampu membayar restitusi. Maka dari itu, UU TPPO belum sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

1. Aspek Subtansi Hukum, diperlukan:
a. Penambahan unsur PMI sebagai objek TPPO selain perempuan dan anak.
b. Penjelasan lebih lanjut untuk menjelaskan unsur perbuatan/proses, dan unsur cara dalam Pasal 2 UU TPPO.
c. Perumusan indikator “eksploitasi” untuk menentukan bukti permulaan yang cukup dalam delik TPPO.
d. Perumusan ulang Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPO dengan menambahkan unsur cara.
e. Perumusan ulang Pasal 5 UU TPPO dengan mengabaikan unsur cara pada korban anak.
f. Perumusan ulang Pasal 6 UU TPPO dengan mengubah delik materiil menjadi delik formil agar sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku tepat dan tidak ada permasalahan yang dapat berimplikasi pada putusan pengadilan.
g. Penambahan norma yang menguatkan penegakan hukum kepada pelaku korporasi sebagai pelaku utama TPPO.
h. Penambahan perumusan mekanisme formil pemblokiran aset bagi tersangka atau terdakwa TPPO dalam UU TPPO.
i. Penambahan substansi skema kompensasi Victim Tust Fund (VTF) berupa Dana Bantuan Korban yang berasal dari masyarakat untuk diolah dan disalurkan untuk program pemenuhan korban.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Penguatan komitmen dan kepahaman APH terkait pemenuhan hak restitusi korban TPPO, berupa pemberian informasi dan pendampingan restitusi.
b. Penguatan koordinasi antara APH dengan LPSK dalam pemenuhan hak restitusi korban TPPO di daerah.
c. Penguatan koordinasi antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah dalam pembuatan kebijakan, kerjasama dalam membuat serta melaksanakan program pemberantasan TPPO, serta perencanaan dan pembagian alokasi anggaran yang memadai dalam penanganan TPPO.
d. Pembentukan Direktorat TPPO dan TPPA atau badan khusus TPPO yang fokus menangani TPPO.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan penguatan komitmen dari pemerintah daerah untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di setiap kabupaten/kota.

4. Aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. Penguatan kesadaran masyarakat yang lebih sistematis dengan menggerakkan peran masyarakat dan pemerintah desa sebagai hulu dari TPPO.
b. Penyuluhan dan sosialisasi kepada APH, media massa dan masyarakat terkait pentingnya menjaga kerahasiaan identitas saksi dan/atau korban terkait rkerahasiaan identitas saksi dan/atau korban.
c. Sosialisasi dan pemberian edukasi terhadap masyarakat terkait TPPO dan peran masyarakat dalam pencegahan dan penanganan TPPO di Indonesia.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Ketentuan delik dalam Pasal 4 UU TPPO seharusnya terdapat unsur proses dan cara sesuai Protokol TPPO Palermo. Hal ini merupakan perwujudan nilai -nilai Pancasila.
b. Dalam UU TPPO seharusnya terdapat jaminan pembayaran restitusi jika pelaku tidak mampu, dimana hal ini merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.