Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 30-09-2022

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Perlindungan dan jaminan kebutuhan umat muslim untuk menggunakan dan/atau mengkonsumsi produk halal dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal). UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Jaminan Produk Halal diundangkan dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal; belum optimalnya pengawasan terkait produk halal oleh BPJPH dengan Kementrian dan/atau Lembaga terkait terkait; keterbatasan sarana dan prasarana, dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebagaimana diamanatkan oleh UU Jaminan Produk Halal.

Provinsi Riau dan Daerah Istimewa Yogyakarta

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Ketidakjelasan Definisi “Produk”
Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan definisi Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada tataran implementasi ruang lingkup frasa definisi “jasa, produk rekayasa genetik, barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat” dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal terlalu luas dan menimbulkan multitafsir sehingga banyak pelaku usaha dan konsumen yang belum memahami frasa tersebut dan ketidakjelasan tersebut akan berdampak bagi pelaku usaha sehubungan “produk” yang wajib disertifikasi halal.

b. Belum Terakomodirnya Standar Halal Terhadap Produk Yang Beredar Di Indonesia Dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal
Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal menentukan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” untuk menjamin kepastian hukum dari setiap produk yang akan dilakukan sertifikasi halal maka standar halal merupakan suatu parameter yang diperlukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam melakukan proses sertifikasi halal terhadap suatu produk. Namun, Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal belum mengkaomodir pengaturan terkait standar halal dalam suatu proses sertifikasi produk melainkan dalam implementasinya hanya ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya yang juga berdampak pada kurang optimalnya tujuan penyelenggaraan jaminan produk halal pada saat ini dikarenakan tidak adanya pengaturan lebih lanjut terkait standar halal terhadap proses suatu produk guna mendapatkan sertifikasi halal.


c. Belum Adanya Pengaturan Lebih Lanjut Terkait Halal Self Declare Dalam Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal
Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal mengatur kewajiban sertifikasi halal produk bagi setiap pelaku usaha mikro dan kecil yang didasarkan pada pernyataan halal pelaku usaha mikro dan kecil/halal self declare. Namun, hingga pada saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai halal self declare hanya diatur Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2022 tentang Manual Sistem Jaminan Produk Halal Untuk Sertifikasi Halal Dengan Pernyataan Pelaku Usaha Mikro Dan Kecil (Self Declare) yang bersifat penetapan administratif (beschikking) bukan bersifat mengatur (regeling) tersebut sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan/ketidakpastian hukum dalam tataran implementaisnya, sebab produk UMK yang diperdagangkan berpotensi tidak dapat dijamin 100% (seratus persen) kehalalannya.

d. Frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal
Dibentuknya UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Guna menjamin terseleggaranya jaminan produk halal telah dibentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Jaminan produk Halal. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal mengatur bahwa “Dalam hal diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.” Namun, dalam pelaksanaannya BPJPH belum memiliki perwakilan di daerah hingga saat ini, sehingga fungsi dari BPJPH belum dapat berjalan optimal, salah satu faktor belum adanya perwakilan BPJPH di daerah adalah frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal sehingga berpotensi menghambat koordinasi antara LPH maupun lembaga lain dengan BPJPH dalam rangka penyelenggaraan JPH halal dikarenakan BPJPH yang hanya berada di pusat, sedangkan fungsi BPJPH sangat diperlukan keberadaaanya di daerah.

e. Belum Adanya Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pemalsuan Sertifikat Dan/Atau Label Halal
Terdapat kekosongan hukum dalam UU Jaminan Produk Halal terkait belum adanya pengaturan sanksi untuk pemalsuan Sertifikat Halal dan Label Halal padahal secara empiris, telah terjadi beberapa kasus pemalsuan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal. Dalam permasalahan tersebut sanksi pidana merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula ketika telah terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.

f. Perbedaan Pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU Lainnya
1) Perbedaan Pengaturan terkait kewenangan pengawasan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Pangan
Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan terkait pengaturan pengawasan dalam penyelenggaraan jaminan produk halal. Pasal 95 ayat (1) UU Pangan mengatur bahwa pengawasan terhadap produk halal dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Namun, Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal hanya menentukan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh BPJPH dan Kementerian dan/atau Lembaga terkait tanpa adanya pengaturan pengawasan oleh Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terhadap kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.

2) Perbedaan Pengaturan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdagangan
Bahwa terdapat potensi disharmoni terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdangangan. Dalam Pasal 1 Angka 14 UU Perdagangan, menyebutkan “Setiap orang perseorangan warga negara Indonesia, …”. Namun, dalam Pasal 1 Angka 12 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan “Orang Perseorangan”. Dengan demikian, dalam UU Perdagangan unsur “perseorangan” lebih dikhususkan hanya warga negara Indonesia. Oleh karena itu, rumusan definisi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal berpotensi multitafsir pada tataran implementasinya serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kedudukan orang perseorangan WNA yang melakukan kegiatan perdangangan di wilayah Indonesia.

3) Perbedaan Pengaturan Antara UU Jaminan Produk Halal Dengan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan
Terdapat perbedaan pengaturan terkait kewenangan pengawasan dalam pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam hal ini khususnya pegawasan terhadap produk hewan. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah ikut serta dalam pengawasan produk hewan namun dalam UU Jaminan Produk Halal hanya mengamantkan BPJPH dan lembaga dan/atau kementrian terkait dalam pengawasan JPH di daerah, hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan tidak efektif dalam pelaksanaannya.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Belum Optimalnya Penyelenggaraan Sertifikasi Halal
BPJPH berwenang sebagai koordinator, verifikasi, penerbitan sertifikat dalam penyelenggaraan JPH, sedangkan LPH sebagai pemeriksa dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk serta MUI berwenang melakukan sidang fatwa dan penentuan kehalalan produk. Akan tetapi dalam implementasinya berdampak tidak terpenuhinya jangka waktu sertifikasi halal yang telah ditetapkan dalam UU Jaminan Produk Halal sehingga menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan penyelenggaran JPH.

b. Belum adanya Mutual Recoginition Arrangment (MRA) Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
MRA sebagai suatu instrumen dalam perdagangan bebas memainkan peranan penting dalam pengembangan kerja sama internasional jaminan produk halal. MRA membuka peluang Indonesia untuk percepatan ekspor produk halal dan menjadi pemain dalam pasar halal global bukan hanya sebagai konsumen. Namun, sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum melakukan MRA terkait JPH sehingga bahan baku mentah yang diimpor dari negara pengirim tetap harus dilakukan sertifikasi halal ketika sampai di Indonesia serta sulitnya sertifikat halal terhadap suatu produk dari BPJPH diterima di beberapa negara.

c. Belum Optimalnya Pengawasan Penyelenggaraan Produk Halal
Bahwa belum optimalnya pengawasan penyelenggaraan produk halal oleh BPJPH dikarenakan beberapa faktor, yakni pertama, penghubung BPJPH di daerah hanya berupa Satgas Halal yang menjalankan tugas dan fungsinya hanya sebagai tugas tambahan bukan berupa tugas pokok sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan JPH belum berjalan optimal. Kedua, Pemerintah Daerah belum terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan JPH. Ketiga, minimnya kolaborasi dan koordinasi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait pengawasan penyelenggaraan JPH sehingga amanat Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 UU Jaminan Produk Halal mengenai pengawasan penyelenggaraan produk halal.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Minimnya Jumlah LPH di Indonesia
LPH berfungsi melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk guna pelaksanaan sertifikasi halal, namun pada saat ini jumlah keberadaan LPH di Indonesia masih minim. Hingga saat ini baru terdapat 11 (sebelas) LPH yang terakreditasi BPJPH. Namun jumlah LPH tersebut tidak proporsional dengan kebutuhan sertifikasi halal pada saat ini. Sehingga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan sertifikasi halal seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal.

b. Belum Optimalnya Aplikasi Penunjang Sertifikat Halal
Bahwa saat ini BPJPH telah mempunyai sistem layanan penyelenggaraan JPH menggunakan layanan berbasis elektronik yang terintegrasi sebagai penunjang sertifikasi produk Halal dengan nama aplikasi SiHalal, akan tetapi dalam Impelementasinya aplikasi tersebut masih belum optimal sehingga timeline sertifikasi halal belum sesuai sebagaimana ketentuan UU Jaminan Produk Halal jo. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 39/2021) serta merugikan pelaku usaha.

c. Minimnya Jumlah Auditor Halal
Auditor halal merupakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai tugas penting dalam hal proses mendapatkan sertifikat halal suatu produk, sebab auditor halal bertugas untuk memeriksa kehalalan suatu produk mulai dari bahan hingga proses produksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UU Jaminan Produk Halal. Namun, dalam pelaksanaannya pada saat ini jumlah auditor halal baik di pusat maupun di daerah tidak proporsional (minim) dengan banyaknya jumlah produk yang harus dilakukan sertifikasi halal sehingga berakibat terhadap lamanya proses pemeriksaan kehalalan produk dikarenakan keterbatasan jumlah auditor halal yang juga berdampak terhadap penerbitan sertifikat halal dan label halal. Selain itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada terhambatnya pelaku usaha untuk menjual produknya sehingga menyebabkan kerugian terhadap pelaku usaha, dengan demikian penyelenggaraan jaminan produk halal tidak dapat berjalan optimal.

4. ASPEK BUDAYA HUKUM
Peran serta masyarakat sebagai konsumen maupun sebagai Pelaku Usaha masih minim dalam rezim mandatory Halal. Hal tersebut dikarenakan pemahaman masyarakat sebagai konsumen terkait produk non-halal masih sebatas produk yang memiliki kandungan daging babi saja. Selanjutnya, bagi Pelaku Usaha, masih minimnya informasi terkait mekanisme sertifikasi halal mandatory. Serta baik Konsumen maupun Pelaku Usaha belum memahami maksud dan tujuan halal mandatory yang diamanatkan UU Jaminan Produk Halal.

5. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA
Terdapat beberapa pasal dalam UU Jaminan Produk Halal yang berpotensi dan bertentangan dengan sila pertama dan sila ke 2 (dua):
a. Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal yang belum mengakomodir asas syariat sebagai salah satu asas dalam UU Jaminan Produk Halal, mengingat bahwa lahirnya UU Jaminan Produk Halal merupakan jaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan umat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Dengan demikian Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal berpotensi bertentangan dengan sila pertama Pancasila;
b. Bahwa dihilangkannya sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal jo. UU Cipta Kerja berpotensi bertentangan dengan indikator Pancasila terhadap sila ke-2 (dua).

1.Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. perubahan perumusan yang lebih lengkap dan jelas terkait definisi produk dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal;
b. penambahan ayat terkait frasa “standar halal” dengan mengamanatkan peraturan pelaksana dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal;
c. pengaturan lebih lanjut terkait halal self declare dengan mendelegasikan peraturan pelaksana sebagai mekanisme halal self declare;
d. perubahan terhadap frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal;
e. penambahan pengaturan rumusan tindak pidana serta bentuk sanksi pidana bagi subjek hukum yang memalsukan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal;
f. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan;
g. harmonisasi pengaturan terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 12 UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 1 angka 14 UU Perdangangan;
h. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.

2.Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. konsep halal by design yaitu perbaikan secara komprehensif dimulai dari Pertama, perlu adanya pengaturan terkait standar halal. Kedua, perlu adanya penguatan kewajiban sertifikasi halal dari sektor hulu. Ketiga, perlu adanya sinergitas antara LPH di seluruh Indonesia dalam memeriksa produk halal dan kerjasama yang optimal antara BPJPH, MUI, LPH serta Lembaga dan Kementerian terkait dalam penyelenggaraan JPH;
b. sinergi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait untuk. memulai MRA sebagai suatu langkah bagi Indonesia sebagai pengembangan kerjasama internasional dalam JPH;
c. optimalisasi dalam sistem pengawasan JPH antara lain: pertama, BPJPH perlu ada perwakilan di daerah serta ada jabatan khusus pengawas produk halal terutama di daerah. Kedua, BPJPH perlu lebih mengoptimalkan koordinasi dan kolaborasi lintas kementerian dan/atau Lembaga serta Pemerintah Daerah terkait pengawasan produk halal.

3.Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. dukungan fasilitas pendirian LPH yang berkualitas oleh Pemerintah di berbagai daerah;
b. perbaikan sistem apalikasi SiHalal;
c. menambah SDM Auditor halal dengan melakukan berbagai rekrutmen auditor halal yang berkompeten di seluruh wilayah Indonesia.

4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
sosialisasi kepada masyarakat oleh BPJPH terkait keberadaan UU Jaminan Produk Halal serta memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berperan dalam penyelenggaraan JPH.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. penambahan asas prinsip syarih dalam Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal;
b. perubahan sanksi yang lebih tegas, jelas, berkeadilan, dan berkeadaban dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal.