Bahwa pada hari Selasa tanggal 13 Februari 2024, pukul 15.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU 30/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undnag-Undnag dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian ketentuan dalam UU 30/1999 melalui permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang memeriksa permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut perihal kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999, menurut Pemohon, norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis dan menimbulkan ambiguitas. Hal tersebut dikarenakan perumusan norma dalam ketentuan dimaksud dilakukan dengan cara yang tidak sistematis sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon, Pasal 65 UU 30/1999 seharusnya memuat norma yang memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberitahukan secara patut perihal pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan, in casu Arbiter, Pemohon, Termohon dan/atau kuasanya.
[3.3.2] Bahwa dalam petitum permohonannya, Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 65 UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(1) Yang berwenang menangani masalah pendaftaran serta eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; (3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional dan menyampaikannya kepada Arbiter, Pemohon, Termohon, dan/atau Kuasanya paling lama 14 (empat belas) hari sejak permohonan pendaftaran diterima; (4) Permohonan eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional harus melampirkan Surat Permohonan dan Salinan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional”; serta menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(2) Terhadap permohonan eksekuatur dan eksekusi putusan arbitrase internasional sebagaimana ketentuan Pasal 66 huruf d, Ketua Pengadilan Negeri dapat menerima dengan memberikan eksekuatur sekaligus perintah pelaksanaan/eksekusi putusan atau menolak permohonan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang ini.”
[3.3.3] Bahwa setelah membaca secara saksama alasan-alasan permohonan (posita) dan permintaan (petitum) Pemohon, terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, petitum permohonan Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 UU 30/1999, in casu petitum Pemohon sepanjang frasa “(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional” telah diatur dalam norma Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999. Di samping itu, petitum permohonan Pemohon tidak menguraikan argumentasi yang jelas dan memadai pada bagian alasan permohonan (posita). Pemohon lebih menguraikan mengenai fakta empiris terkait pengalaman Pemohon dalam menangani perkara arbitrase internasional dan kemudian mendalilkan norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis dan menimbulkan ambiguitas. Terlebih, dalam persidangan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan, Pemohon mengakui tidak memberikan alasan adanya penambahan dan perubahan norma yang diuji konstitusionalitasnya, khususnya terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan menjadi pendaftaran putusan arbitrase internasional, dalam posita [vide halaman 8-9, Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 4/PUUXXII/2024, tanggal 5 Februari 2024]. Namun, Pemohon justru secara “ujug-ujug” dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 tanpa memberikan uraian yang jelas berkaitan pertentangan dengan norma yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, seharusnya Pemohon dalam bagian posita menjelaskan secara jelas dan memadai terlebih dahulu adanya pertentangan norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya sebagai denyut nadi dari permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sekaligus menjadi pemandu arah petitum permohonan. Dalam konteks demikian, petitum permohonan tidak boleh berubah arah dari makna dan jiwa posita permohonannya.
[3.4] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1) PMK 2/2021 menyatakan, “Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: a. adanya ketidaksesuaian antara dalil dalam posita dengan petitum“. Oleh karena itu, setelah Mahkamah mencermati secara saksama antara posita dan petitum permohonan Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) PMK 2/2021 yang diuraikan di atas. Dengan demikian, terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan yang dimohonkan (petitum) kepada Mahkamah, maka tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.5] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon kabur, terhadap kedudukan hukum, pokok permohonan dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430