Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Oktober 2023, pukul 17.40 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua norma konstitusi tersebut sejatinya menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democratic state) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) di mana kedaulatan rakyat dan negara hukum yang menjadi fondasi bernegara harus dibangun dan ditegakkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi. Artinya, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Dengan kata lain, terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi.
Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara demokratis melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pemilu merupakan sarana demokratis untuk menyalurkan kehendak rakyat (the will of the people) dalam memilih pemimpin dan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu telah menjadi jembatan penghubung bagi rakyat dalam menentukan bagaimana dan dengan cara apa pemerintahan dapat dibentuk dan dijalankan secara demokratis. Dalam pemilu, rakyat melalui prinsip one man, one vote, one value menjadi penentu dalam memilih pemimpin maupun wakilnya yang kemudian akan mengarahkan tata kelola perjalanan bangsa. Sehingga, pemilu menjadi seperti transmission belt, di mana kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat bergeser menjadi kekuasaan negara yang kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat;
Pemilu merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang konstitusional dan prinsipil dengan cara penyediaan arena kompetisi yang terbuka dan adil bagi partai politik sepanjang telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban atas kinerjanya kepada rakyat yang telah memilihnya. Di dalam pemilu, rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasi kepada wakil-wakilnya yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksanakan aspirasinya yang akan dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensinya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu. Adapun standar pemilihan umum secara internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) terkait pemilu adalah adanya jaminan partisipasi rakyat di dalamnya yakni hak memberikan suara yang sama bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat tanpa adanya diskriminasi. Pengakuan konstitusional terhadap hak pilih merupakan hal umum bagi negara-negara demokrasi, sehingga kerangka hukum pemilu harus memastikan semua warga negara yang memenuhi persyaratan dijamin haknya memberikan suara secara universal dan adil serta tanpa diskriminasi.
Adapun mengenai jaminan hak pilih, tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, namun diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Meskipun secara eksplisit diatur dalam undang-undang, namun tidak menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Sebab, hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana disebutkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Atas dasar konstitusi tersebut, kedudukan hak konstitusional in casu hak untuk dipilih (right to be candidate) warga negara yang fundamental harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Menurut Mahkamah, dalam mendorong kepesertaan rakyat seluas-luasnya dalam pemerintahan tidak boleh dihalangi oleh syarat-syarat yang bersifat diskriminatif, tidak rasional, dan/atau tidak adil, karena semakin banyak rakyat yang ikut berpartisipasi, baik untuk memilih maupun dipilih, maka akan semakin meningkatkan kualitas proses berdemokrasi.
Presiden dan Wakil Presiden merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat (elected officials) sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945. Sebagai jabatan politik, syarat konstitusional (constitutional requirements) untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 bahwa Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, syarat lainnya diatur lebih lanjut dengan undang-undang, in casu undang-undang mengenai pemilihan umum.
Dalam sejarahnya, UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur syarat konstitusional untuk menjadi Presiden yakni orang Indonesia asli [vide Pasal 6 UUD 1945]. Sebelum perubahan (amendemen) UUD 1945 tidak mengatur batasan minimum usia presiden. Adapun syarat usia Presiden baru muncul dalam ketentuan Pasal 69 ayat (3) Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang menyatakan Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun. Demikian juga dalam Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950 menyatakan “Presiden dan Wakil-Presiden harus warga- negara Indonesia jang telah berusia 30 tahun ... dst”. Sedangkan pasca perubahan UUD 1945, semangat kedaulatan rakyat berubah dari yang sebelumnya kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan tersebut berdampak pada syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yang lebih fleksibel yaitu pengaturannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Dalam hal ini, Pasal 6 huruf q UU 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan syarat sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun, demikian juga dalam Pasal 5 huruf o UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan syarat sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sedangkan, dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mempersyaratkan calon Presiden dan Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Perbedaan syarat usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden baik 30 tahun, 35 tahun, maupun 40 tahun diatur secara beragam dari waktu ke waktu, namun berdasarkan penelusuran belum ditemukan rumus yang baku untuk menentukan usia yang tepat untuk menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Jika melihat di beberapa negara usia Presiden dan Wakil Presiden sangat beragam. Meskipun demikian, Konstitusi (UUD 1945) memang acapkali tidak memuat suatu aturan secara spesifik dan eksplisit mengatur suatu dasar konstitusional kebijakan publik, melainkan hanya memberi dasar dan prinsip-prinsip yang menjadi tolok ukurnya. Sementara penjabaran lebih jauh dalam suatu undang-undang sebagai pengaturan lebih lanjut, dalam konteks syarat usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 telah memberi rambu-rambu bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, menurut Mahkamah, secara konstitusional, pembentuk undang-undang meskipun memiliki kewenangan untuk menentukan syarat-syarat bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun pembentuk undang-undang tetap terikat pada rambu-rambu konstitusi dalam membentuk undang-undang, khususnya terkait dengan syarat-syarat yang bersifat rasional, tidak melanggar moralitas, tidak bersifat diksriminatif, dan tidak memuat adanya ketidakadilan. Bahkan, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Konstitusi, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia.
[3.13.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan open legal policy dalam penentuan batas usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, dan sejarah pengaturannya, yang selengkapnya sebagai berikut:
Sejak perubahan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia menegaskan kedudukannya sebagai negara hukum yang demokratis. Tujuannya, selain untuk menjamin bahwa konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (constitution as the supreme law), juga untuk menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial (presidential system) yang berbasis pada checks and balances yaitu adanya kontrol dan keseimbangan di antara pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang menjalankan tugas dan fungsi, antara lain membentuk undang-undang bersama Presiden, dan tugas legislatif lainnya yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [vide Pasal 20 UUD 1945] serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) [vide Pasal 22D UUD 1945]. Cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang kekuasaan yang berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dijalankan oleh lembaga-lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945].
Presiden dan wakil presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif merupakan salah satu dari jabatan politik kategori elected officials bersama kepala daerah-wakil kepala daerah (gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota) yaitu jabatan politik yang diangkat dalam jabatan melalui proses politik, in casu pemilihan umum. Dalam kaitannya dengan kriteria usia jabatan elected officials ini, meskipun sama-sama dipilih dalam pemilu, namun UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut diatur dalam undang-undang, yang menyebabkan persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum diatur secara berbeda-beda dalam berbagai undang-undang sesuai dengan jenis jabatan masing-masing. Terkait hal tersebut, dalam pengujian undang-undang tentang Pemerintahan Daerah khususnya batas usia kepala daerah, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007 sebagai berikut:
"........bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang- undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945."
Mahkamah juga menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Desember 2019, bahwa perihal batas usia kepala daerah, sebelumnya Mahkamah berpendirian sebagai berikut:
”..... Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk undang- undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Bahkan, Mahkamah telah menegaskan pula, andaipun perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang melainkan diserahkan kepada peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan Permohonan a quo, pertanyaannya kemudian, apakah terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya.”
Berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah di atas, Mahkamah pada dasarnya dapat berubah pendiriannya dalam menilai isu konstitusionalitas suatu perkara yang diperiksa dan diadili selama terdapat alasan yang mendasar termasuk dalam perkara a quo, jika Mahkamah berpendapat lain terkait dengan syarat usia pemilih dan yang dipilih, in casu batas usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden apabila terdapat alasan yang mendasar dalam perkembangan ketatanegaraan. Selain itu, berkaitan dengan kebijakan hukum (legal policy atau open legal policy) terkait batas usia, Mahkamah dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan legal policy acapkali berpendirian bahwa legal policy dapat saja dikesampingkan apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah. Selain itu, norma yang berkaitan dengan legal policy adalah sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam Konstitusi karena jika diatur secara tegas dalam konstitusi, maka undang-undang tidak boleh mengatur norma yang berbeda dengan norma konstitusi. Dalam beberapa putusan terakhir, Mahkamah memberikan tafsir ulang dan mengesampingkan open legal policy seperti dalam perkara yang terkait batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara karena dipandang oleh Mahkamah norma yang dimohonkan pengujiannya dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian usia minimal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan juga pada pokoknya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun bagi jaksa, dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun Panitera di Mahkamah Konstitusi. Apalagi, baik DPR maupun Presiden selaku pemberi keterangan dalam sidang Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU- XXI/2023 (tanpa bermaksud menilai perkara pada masing-masing nomor perkara tersebut), pada pokoknya fakta hukum dalam persidangan dimaksud menunjukan bahwa DPR dan Pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus terkait pasal a quo (Pasal 169 huruf q UU 7/2017) [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023; Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023; Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, bertanggal 1 Agustus 2023, hlm. 8 dan hlm. 13], sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, Mahkamah harus menilai dan mengadili norma yang dipersoalkan oleh pemohon berdasarkan hukum, konstitusi dan keadilan, termasuk di dalamnya berdasarkan Pancasila, UUD 1945, prinsip keadilan dan hak asasi manusia (HAM).
Sehubungan hal tersebut, menurut Mahkamah, keberadaan kebijakan hukum atau kebijakan hukum terbuka (open legal policy) meskipun dapat diterima dalam praktik ketatanegaraan, namun dalam perkembangannya seperti dalam beberapa putusan Mahkamah tersebut di atas, Mahkamah dapat mengabaikan/mengesampingkan seraya memberi tafsir ulang terhadap norma yang merupakan open legal policy tersebut. Bahkan, Mahkamah dapat menilai norma yang sebelumnya termasuk open legal policy dimaksud apakah tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. Terlebih, setiap pengujian undang-undang meskipun sama isu konstitutionalnya, belum tentu sama karakter perkaranya baik karena berbeda batu ujinya, posita dan petitumnya, maupun perbedaan dari segi makna (frasa) yang dimohonkan oleh pemohon. Sehingga, perbedaan karakter perkara dimaksud dapat berimplikasi pada perbedaan hasil atau putusan Mahkamah, antara lain seperti dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, dan/atau Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022, yang telah dikemukakan di atas.
Secara konseptual, open legal policy merupakan domain pembentuk undang-undang untuk menentukan norma yang tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Pembentuk undang-undang sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya dapat merumuskan norma dalam undang-undang sebagai kebijakan hukum terbuka sepanjang norma tersebut tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945 dan norma tersebut berlaku dan mengikat umum sampai dengan diputus atau diberi makna lain oleh Mahkamah. Oleh karena itu, norma dalam undang- undang yang merupakan open legal policy tetap berlaku mengikat sebagaimana perundang-undangan lainnya sebagai hukum positif (ius constitutum) dan tetap konstitusional sesuai dengan asas presumption of constitutionality. Namun demikian, apabila suatu pasal, norma, atau undang-undang yang berlaku positif tersebut kemudian dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka open legal policy pembentuk undang-undang berhenti (exhausted), selanjutnya memberi kesempatan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma dalam undang- undang yang muaranya dapat berupa norma yang diuji tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. Sehingga, implikasi konstitusi/hukumnya adalah norma yang semula merupakan kebijakan hukum terbuka, terlepas dari hasilnya, telah mendapat penilaian/uji konstitusionalitas oleh Mahkamah. Ihwal ini, telah menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji ulang dengan bersandar pada Konstitusi termasuk Pancasila, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia (HAM). Demikian pula, Mahkamah dapat menilai open legal policy apakah masih relevan ataukah tidak relevan sehingga menyebabkan adanya penafsiran baru (reinterpretasi) terhadap pasal, norma, frasa, atau undang-undang yang sedang diuji konstitusionalitasnya. Artinya, konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaannya namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebijakan hukum terbuka selama tidak menjadi objek pengujian undang-undang di Mahkamah. Dalam konteks demikian, Mahkamah harus tegas menerima atau menolak suatu perkara berdasarkan penilaiannya terhadap UUD 1945 in casu hukum dan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, Mahkamah dalam memutus perkara harus berdasarkan konstitusi, termasuk di dalamnya nilai-nilai Pancasila, prinsip keadilan, dan HAM, bukan justru menyerahkan keberlakuan norma yang dimintakan pengujian dikembalikan kepada pembentuk undang-undang dengan alasan open legal policy. Terlebih lagi, apabila DPR maupun Presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus hal dimaksud, maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi Mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan- akan berlindung dibalik open legal policy. Mahkamah sebagai lembaga peradilan seyogianya menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan perselisihan (disputes settlement), memberikan kepastian hukum yang adil, dan memberi solusi konstitusional, serta menuntaskan perbedaan tafsir dengan memberikan tafsir akhir berdasarkan konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Sehubungan hal tersebut di atas, pada dasarnya tidak salah anggapan beberapa sarjana hukum yang menilai bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negative legislator, bukanlah lembaga pembentuk undang-undang. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru jika Mahkamah Konstitusi disebut negative legislator. Namun, Mahkamah dapat saja beranjak dari posisi negative legislator dan memberi pesan (judicial order), pemaknaan baru, bahkan mengubah norma sekalipun yang dimintakan pengujian oleh warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya norma dalam undang-undang. Mahkamah Konstitusi akan beranjak dan mengambil langkah judisial apabila Mahkamah menilai norma dalam undang-undang melanggar konstitusi dan/atau keadilan, in casu Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan HAM. Meskipun demikian, tidak menjadikan Mahkamah serta merta atau dengan mudah menganulir norma yang telah berlaku, jelas, dan pasti. Mahkamah selalu berhati-hati dan senantiasa profesional dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara. Memperlakukan setiap perkara sama dengan memahami karakteristik masing-masing perkara yang sama atau tidak sama. Mahkamah akan bereaksi dan memutus suatu isu konstitusional jika terdapat norma, frasa, pasal, ayat, atau bagian undang-undang yang mencederai Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan/atau HAM guna meneguhkan Mahkamah sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Bahwa berkenaan dengan persyaratan usia minimal bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, apabila ditelusuri pada Risalah Perubahan UUD 1945, telah terdapat wacana memasukkan usia minimum Presiden dan Wakil Presiden ke dalam UUD 1945. Pada Rapat PAH I BP MPR Ke-19 tanggal 23 Februari 2000 dan Rapat PAH I Ke-26 tanggal 3 Maret 2000, terkait persyaratan Presiden, Anton Reinhart dari UKI dan Irma Alamsyah dari Kowani, yang menyatakan perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1): ”Presiden dan Wakil Presiden ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 40 tahun dan telah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal dalam negara Republik Indonesia.” Sementara itu, Soewarno, juru bicara F-PDIP pada Rapat PAH I Ke-34 tanggal 24 Mei 2000 mengusulkan agar Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan pemerintah Negara Jilid I, hal.159]. Pada akhirnya mayoritas fraksi sepakat memilih untuk tidak mencantumkan syarat usia minimal Presiden dan Wakil Presiden dalam perubahan UUD 1945. Hal ini cukup menunjukkan bahwa isu syarat minimal usia Presiden dan Wakil Presiden sudah mulai menjadi diskursus sejak awal perubahan UUD 1945 berlangsung;
[3.13.3] Bahwa selain presiden dan wakil presiden, jabatan lainnya yang didapatkan melalui pemilihan umum (elected officials) adalah gubernur, bupati, dan walikota, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota masuk ke dalam rumpun jabatan eksekutif, sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masuk ke dalam rumpun jabatan legislatif. Meskipun sama-sama masuk dalam rumpun jabatan eksekutif, namun ternyata terdapat perbedaan penentuan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden, dengan gubernur, bupati, dan walikota. Batas usia minimum calon Presiden dan Wakil Presiden adalah 40 tahun [vide Pasal 169 huruf q UU 7/2017], batas usia minimum calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun [vide Pasal 7 ayat (2) huruf (e) UU Pilkada], dan batas usia minimum calon Bupati dan Wakil Bupati serta calon Walikota dan Wakil Walikota adalah 25 tahun [vide Pasal 7 ayat (2) huruf (e) UU Pilkada]. Sedangkan batas usia calon anggota legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota justru disamakan yakni 21 tahun [vide Pasal 240 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 182 huruf (a) UU 7/2017];

Penentuan batas usia minimal bagi calon yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials) khususnya yang akan menduduki jabatan dalam rumpun eksekutif dan rumpun legislatif seyogianya didasarkan pada pertimbangan yang objektif, rasional, jelas, dan tidak bersifat diskriminatif serta tidak menciderai rasa keadilan. Pertanyaannya adalah apakah persyaratan berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden? Dalam hubungan ini, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007 menegaskan bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam menjalankan aktivitas pemerintahan, baik Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak bekerja sendiri. Presiden dan Wakil Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya di Pusat, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya di Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
[3.13.4] Bahwa apabila melihat perbandingan dengan negara lain, tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika pertama kali dilantik/menjabat antara lain, Gabriel Boric Presiden Chile diangkat di usia 35 tahun, Vjosa Osmani Presiden Kosovo diangkat di usia 38 tahun, dan Emmanuel Macron Presiden Prancis diangkat di usia 39 tahun. Bahkan negara Amerika Serikat yang seringkali menjadi rujukan dalam penerapan sistem pemerintahan yang demokratis, justru secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi Amerika Serikat sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana ditegaskan dalam Article II section 1 Konstitusi Amerika Serikat 1789 (rev. 1992). Demikian juga dengan beberapa negara Eropa mengatur batas usia minimal 35 tahun untuk dapat menduduki jabatan sebagai Presiden, misalnya di Austria 35 tahun [vide Article 60 (3) Konstitusi Austria 1920 (amendemen 2013)], di Polandia 35 tahun [vide Article 127 (3) Konstitusi Polandia 1997 (amendemen 2009)], di Ukraina 35 tahun [vide Article 103 Konstitusi Ukraina 1996 (amendemen 2019)], di Irlandia 35 tahun [vide Article 14 (4) Konstitusi Irlandia 1937 (amendemen 2019)].
Selain itu, beberapa negara di benua Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika juga secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi mereka masingmasing yakni sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima), selengkapnya sebagaimana dalam tabel sebagai berikut:
Sedangkan dalam konteks usia kepala pemerintahan di negara-negara dengan sistem parlementer, terdapat pula Perdana Menteri yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika dilantik/menjabat yaitu di antaranya Leo Varadkar Perdana Menteri Irlandia yang diangkat di usia 38 tahun, Dritan Abazovic Perdana Menteri Montenegro diangkat di usia 37 tahun, Sanna Marin Perdana Menteri Finlandia diangkat di usia 34 tahun, Jacinda Ardern Perdana Menteri New Zealand diangkat di usia 37 tahun, dan bahkan Sebastian Kurz yang diangkat menjadi Kanselir Austria di usia 31 tahun, serta negara dengan sistem monarki seperti Arab Saudi yang dipimpin oleh Pangeran Mohammed bin Salman yang diangkat pada usia 37 tahun. Artinya, secara komparatif dengan negara lain, tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden, dan Perdana Menteri yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika dilantik/menjabat. Seluruh data/informasi di atas, menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda (younger). Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 (empat puluh) tahun dapat saja, incertus tamen, menduduki jabatan baik sebagai Presiden maupun Wakil Presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat/setara;
[3.13.5] Bahwa berkenaan dengan apakah seseorang yang dipilih dalam pilkada (gubernur, bupati, dan walikota) termasuk dalam kategori “sepanjang memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu“, menurut Mahkamah penting untuk melihat kembali sejarah masuknya pilkada ke dalam rezim pemilu. Pada awalnya, sengketa atas hasil perselisihan hasil Pilkada adalah wewenang Mahkamah Agung yang kemudian dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- 073/PUU-II/2004. Selanjutnya, pada tahun 2013 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah mengatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang dalam memutus perselisihan hasil sengketa Pilkada. Hal itu disebabkan karena Mahkamah menilai rezim pemilu dengan pilkada adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian, dan agar tidak terjadinya kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil sengketa Pilkada serta belum terdapat undang-undang yang mengatur hal tersebut maka, penyelesaian perselisihan hasil sengketa Pilkada tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya, terkait perbedaan antara kedua rezim pemilihan di atas, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 26 Februari 2020, sebagaimana dimuat pada Sub-paragraf [3.15.1] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.15.1] ... bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan perihal keserentakan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilhan. Di antara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2) Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak yang bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden dapat diikuti juga dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan (7) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat....”
Selanjutnya berkenaan dengan “kewenangan penyelesaian perselisihan hasil sengketa Pilkada”, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022, sebagaimana dimuat pada Paragraf [3.20] dan Paragraf [3.21] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.20] Menimbang bahwa tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota.
[3.21] Menimbang bahwa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung serta tidak pula berada di bawah Mahkamah Konstitusi. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah Mahkamah Konstitusi, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, jelas bahwa kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil sengketa Pilkada menjadi kewenangan tetap Mahkamah Konstitusi. Sementara, badan peradilan khusus yang semula direncanakan untuk menyelesaikan sengketa pilkada menjadi tidak relevan lagi untuk dibentuk. Sehingga, terjadi pergeseran rezim penanganan penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikota dari sebelumnya merupakan rezim pilkada menjadi rezim pemilu. Andaipun sekiranya ada pemikiran dari kalangan di masyarakat yang masih berfikir memisahkan pemilu dengan pilkada, - quod non-, maka baik pemilu maupun pilkada adalah bagian dari ruang lingkup pengertian pemilu. Oleh karena itu, pilkada telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rezim pemilu. Dengan demikian, dalam perkara a quo, nomenklatur yang digunakan untuk pemilu adalah termasuk pilkada. Dengan demikian, pemilihan umum (pemilu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022, terdiri atas: (1) pemilihan anggota DPR; (2) pemilihan anggota DPD; (3) pemilihan presiden dan wakil presiden; (4) pemilihan anggota DPRD; (5) pemilihan gubernur dan wakil gubernur; (6) pemilihan bupati dan wakil bupati; dan (7) pemilihan walikota dan wakil walikota. Dalam perkara a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) adalah termasuk dalam pemilihan umum.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama sebagaimana yang didalilkan dan termuat dalam petitum permohonan a quo, yaitu apakah penambahan syarat alternatif, in casu “atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota” pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa mengingat batas usia ini tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, namun dengan melihat praktik di berbagai negara memungkinkan presiden dan wakil presiden atau kepala negara/pemerintahan dipercayakan kepada sosok/figur yang berusia di bawah 40 tahun, serta berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan RIS (30 tahun) maupun di masa reformasi, in casu UU 48/2008 telah pernah mengatur batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Sehingga, guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda atau generasi milenial untuk dapat berkiprah dalam konstestasi pemilu untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden, maka menurut batas penalaran yang wajar, memberi pemaknaan terhadap batas usia tidak hanya secara tunggal namun seyogianya mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta dalam kontestasi sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putera puteri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan, in casu sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, jika syarat Presiden dan Wakil Presiden tidak dilekatkan pada syarat usia namun diletakkan pada syarat pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials). Sehingga, tokoh/figur tersebut dapat saja, dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) karena terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat, publik atau kepercayaan negara. Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik Tahun 2022, terdapat sekitar 21,974 juta jiwa penduduk rentang usia 30-34 tahun, dan 21,046 juta jiwa penduduk rentang usia 35-39 tahun (Statistik Indonesia 2022, Badan Pusat Statistik, hlm. 91). Artinya, jika diletakkan pada rentang usia 30-39 tahun, terdapat setidaknya 43,02 juta penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan calon-calon pemimpin generasi muda, terlepas dari pengalaman yang mereka miliki dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan berpotensi besar. Hal ini berarti bahwa, secara a contrario, adanya batasan syarat Presiden dan Wakil Presiden berusia minimum 40 tahun berpotensi merugikan hak konstitusional generasi muda. Pentingnya generasi muda ikut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara termasuk juga mendapatkan kesempatan menduduki jabatan publik, in casu Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak saja sejalan dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini tapi juga merupakan konsekuensi logis dari bonus demografis yang dimiliki bangsa Indonesia. Setidak-tidaknya, keberadaan sumber daya generasi muda tidak terhalangi oleh sistem yang berlaku dalam kontestasi menuju pemilihan umum sebagai sarana demokrasi untuk mendapatkan pemimpin nasional. Figur generasi muda yang berpengalaman dalam jabatan elected officials sudah sepantasnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan tanpa memandang batas usia minimal lagi. Andaipun jabatan elected officials dicantumkan secara tegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi a quo, selain tidak dapat dikatakan bahwa norma jabatan elected officials dimaksud adalah inkonstitusional juga tentu saja tidak merugikan kandidasi bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Bahkan, pembatasan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden 40 tahun semata (an sich), menurut Mahkamah merupakan wujud perlakuan yang tidak proporsional sehingga bermuara pada terkuaknya ketidakadilan yang intolerable. Ketidakadilan yang intolerable dimaksud karena pembatasan demikian tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur/sosok generasi muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu, artinya terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat dalam pemilu yang pernah diikuti sebelumnya, seperti dalam pemilihan kepala daerah. Ihwal demikian, tentu saja menghalangi pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) untuk ikut berkontestasi sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden yang merupakan rumpun yang sama dengan jabatan elected officials lainnya. Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang intolerable dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena, kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dan jabatan elected officials dalam pemilu legislatif (anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD) yang pernah/sedang menjabat sudah sepantasnya dipandang memiliki kelayakan dan kapasitas sebagai calon pemimpin nasional. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, pada prinsipnya syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel.
Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, setiap warga negara memiliki hak pilih (right to vote), dan seharusnya juga memiliki hak untuk dipilih (right to be candidate), termasuk hak untuk dipilih dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pandangan demikian ini tidak salah, sesuai logika hukum dan tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan juga sejalan dengan pendapat sebagian kalangan yang berkembang dalam masyarakat. Apabila logika ini digunakan maka sudah barang tentu setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih (right to vote) dapat menggunakan kesempatan untuk diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dalam usia yang relatif muda dan selanjutnya menyerahkan pada preferensi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukannya. Menurut mahkamah, ihwal ini dipandang riskan apabila calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diletakkan pada kepemilikan hak pilih semata karena meskipun tidak salah dari sudut pandang konstitusi, namun tidak adil dari segi kepercayaan publik karena sosok/figur tersebut belum membuktikan diri pernah terlibat dalam suatu kontestasi pemilu. Artinya, tidak adil jika calon yang diajukan belum pernah mendapat kepercayaan rakyat untuk menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu. Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dari segi usia, untuk diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya didasarkan pada pembatasan usia dalam makna satuan angka/kuantitatif (an-sich), tetapi juga harus diberi ruang alternatif usia yang bersifat kualitatif berupa pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Terpenuhinya syarat alternatif demikian menunjukkan figur yang telah pernah dipilih oleh rakyat yang didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people), dipandang telah memenuhi prinsip minimum degree of maturity and experience serta sejalan dengan prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara adil, rasional dan akuntabel.
[3.14.2] Bahwa kekuasaan pemerintahan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi konstitusi (supremasi konstitusi) sehingga penyelenggaraan negara dan pemerintahan seharusnya dikelola menurut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam hubungannya dengan jabatan publik, perwujudan pemerintahan yang baik dapat terealisasi jika para pejabat negara telah memahami prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya, dan pola tindak pemerintahan yang demokratis, objektif, adil dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Terhadap hal demikian, Mahkamah menilai bahwa pengalaman yang dimiliki oleh pejabat negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam proses pemilihan umum. Pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun. Artinya, jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh/figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial. Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki atau pernah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden atau wakil presiden. Menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials), artinya tidak lagi diukur dari lamanya menjabat, tetapi figur dimaksud pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat elected officials yang dapat dibuktikan dengan surat keputusan pengangkatan atau pelantikan dalam jabatan dimaksud yang didasarkan pada hasil pemilu. Selanjutnya, apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut Mahkamah, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden bukan berarti tidak rasional, namun tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapapun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat debatable sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman masing-masing, sehingga penentuan batas usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden selain diletakkan pada batas usia (40 tahun), penting bagi Mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials), tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials) seperti penjabat atau pelaksana tugas dalam jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum dimaksud, karena jabatan appointed officials dimaksud tidaklah didasarkan pada jabatan yang dipilih melalui pemilu. Sedangkan, bagi figur tertentu atau pejabat publik yang memiliki kapasitas menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun tidak pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, maka figur tersebut memenuhi syarat usia jika telah berusia 40 tahun. Sehingga, menyandingkan usia 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu seperti Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota memenuhi unsur rasionalitas yang berkeadilan. Dengan demikian, dalam konteks kelayakan dan kepantasan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, pejabat demikian itu dapat dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi dalam jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum, di samping syarat berusia 40 (empat puluh) tahun.
Andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota), tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik [vide Pasal 6A ayat (2) UUD 1945], dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat [vide Pasal 6A ayat (1) UUD 1945]. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional berikutnya yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40 (empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan sejenisnya. Bagi pejabat “appointed officials” semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun. Menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 tahun, syarat tersebut tidak akan merugikan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Karena, syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 (empat puluh) tahun semata. Oleh karena itu, terdapat dua “pintu masuk” dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional. Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini. Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian, apabila salah satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3.14.3] Bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “... atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota”. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum pilihan/pengganti yaitu “ex aequo et bono” yang tertera dalam petitum permohonan Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo. Oleh karena itu, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta-merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berlaku sejak putusan ini selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK).
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, ternyata norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.