Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Juli 2023, pukul 14.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil KUHPerdata dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, Mahkamah berpendapat pokok permasalahan yang diajukan para Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 433 KUH Perdata, di mana para Pemohon berpendapat norma Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Berkenaan dengan dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut isu konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menguraikan hal-hal berkenaan dengan sejarah singkat, pengertian serta ruang lingkup berlakunya KUH Perdata di Indonesia.
[3.9.1] Bahwa KUH Perdata yang dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di Indonesia merupakan kodifikasi hukum perdata yang disusun di Negera Belanda. Proses penyusunan KUH Perdata tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon). Pengaruh dimaksud disebabkan karena Code Napoleon itu sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada saat itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna dan menjadi rujukan utama serta mewarnai kodifikasi KUH Perdata (BW) tersebut. KUH Perdata pada akhirnya secara konkret berhasil disusun oleh panitia yang diketuai Mr. J.M Kemper dengan sebagian besar isi bersumber dari Code Napoleon serta sebagian yang lain elaborasi dari hukum Belanda Kuno.
Secara faktual kodifikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun secara riil baru diberlakukan di Negeri Belanda pada 1 Oktober 1838, di mana pada waktu yang hampir bersamaan diberlakukan juga KUH Dagang (Wetboek van Koophandel atau WvK), peraturan susunan pengadilan Belanda (Rechterlijke Organisatie atau RO), dan ketentuan-ketentuan umum lainnya berkenaan dengan peraturan perundang-undangan Belanda (Algemene Bepalingen van Wetgeving atau AB), serta hukum acara perdata Belanda (Rechtsvordering atau Rv).
Bahwa lebih lanjut berdasarkan asas konkordansi, maka KUH Perdata Belanda dimaksud menjadi referensi atau “role model” KUH Perdata Eropa Kontinental yang akan diberlakukan di Indonesia (ketika itu masih di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda). Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana kodifikasi KUH Perdata di Indonesia selanjutnya “dimodifikasi” agar dapat mengakomodir kepentingan keperdataan di Hindia-Belanda (sekarang Republik Indonesia). Oleh karena itu, kodifikasi yang diharapkan tentunya memiliki persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia-Belanda dengan hukum dan keadaan di Belanda.
Bahwa proses kodifikasi yang harus dilakukan dengan berbagai penyesuaian, baik hukum maupun keadaan kedua negara, tidak dapat dilepaskan dari keadaan di Hindia-Belanda yang pada saat itu masih dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, hasil kodifikasi KUH Perdata di Indonesia merupakan “perkawinan” atau gabungan kondisi hukum di Belanda dan di Hindia-Belanda. Selanjutnya, kodifikasi tersebut pada akhirnya dapat diwujudkan berdasarkan asas konkordonansi yang sempit. Artinya, KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848.
Bahwa meskipun kodifikasi KUH Perdata telah diwujudkan, namun sifat berlaku KUH Perdata dimaksud masih mengalami kemajemukan yang disebabkan plural-nya golongan penduduk di Hindia-Belanda. Banyaknya varian sifat berlaku KUH Perdata disebabkan beberapa faktor yang memengaruhi, antara lain: Faktor etnis dan yuridis. Sementara itu, berkenaan faktor yuridis keberlakuan KUH Perdata berlaku dengan membagi penduduk Indonesia dalam 3 (tiga) jenis golongan sebagai berikut [vide Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)]:
a. Golongan Eropa;
b. Golongan timur asing (bangsa Tionghoa, India, dan Arab);
c. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli).
Bagi golongan warga negara yang termasuk pada masing-masing golongan tersebut berlaku dan tunduk pada KUH Perdata secara penuh dan sebagian lagi hanya pada bagian-bagian tertentu serta selebihnya lagi ada yang terikat dan tunduk hanya jika kepentingannya menghendaki.
[3.9.2] Bahwa secara doktriner pengertian hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan dalam masyarakat. Terminologi hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yang juga sering disebut dengan istilah hukum sipil, meskipun berkenaan dengan pengertian hukum sipil a quo kadang dipersepsikan sebagai bertentangan dengan hukum militer. Oleh karena itu, secara universal sebutan Hukum Perdata dipergunakan untuk memaknai seluruh peraturan berkaitan dengan hukum privat materiil tersebut.
Terkait dengan demikian luasnya pengertian hukum perdata, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda, antara lain:
1) Subekti S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
2) Sudikno Mertokusumo, S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum antarperorangan yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perorangan yang satu terhadap perorangan yang lain dalam pergaulan keluarga dan pergaulan masyarakat.
3) R Wirjono Prodjodikoro, S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah rangkaian hukum antara orang atau badan hukum yang satu dengan yang lain mengenai hak dan kewajiban.
4) L.J. Van Apeldoorn, berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan hukum yang obyeknya adalah kepentingankepentingan khusus dan yang masalahnya akan dipertahankan atau tidak, diserahkan kepada mereka yang berkepentingan.
Berdasarkan terminologi yang diuraikan sebelumnya dan penafsiran pengertian hukum perdata dari para ahli dimaksud, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara hak dan kewajiban orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain dalam pergaulan hidup masyarakat, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan/individu.
Sementara itu, berkaitan dengan ruang lingkup hukum perdata, juga terdapat pengertian yang berbeda, yaitu ruang lingkup hukum perdata dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian hukum perdata dalam arti luas dapat dijelaskan bahwa berkaitan dengan jangkauannya dapat meliputi seluruh peraturanperaturan yang terdapat dalam KUH Perdata, KUH Dagang, beserta peraturan undang-undang tambahan lainnya, seperti hukum agraria, hukum adat, hukum Islam, dan hukum perburuhan. Sedangkan, pengertian ruang lingkup hukum perdata secara sempit mengandung jangkauan meliputi seluruh peraturan-peraturan yang terdapat dalam KUH Perdata, yaitu hukum pribadi, hukum benda, meliputi pula hukum tentang harta kekayaan, hukum keluarga, hukum waris, hukum perikatan serta hukum pembuktian dan daluwarsa.
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Perdata ini dapat berbentuk tertulis, seperti yang dimuat dan diatur dalam KUH Perdata dan KUHD, serta peraturan perundang-undangan lainnya, dan dapat juga berbentuk tidak tertulis, seperti Hukum Adat. Demikian halnya berkenaan dengan pembagian bukunya. Di dalam KUH Perdata secara sederhana dan dalam tataran empiris dikenal Buku I yang mengatur berkenaan dengan Orang, Buku II yang mengatur berkaitan dengan Benda, Buku III yang berkenaan dengan Perjanjian, dan Buku IV yang berkaitan dengan Kadaluwarsa.

[3.10] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, berkaitan dengan isu konstitusionalitas ketentuan norma Pasal 433 KUH Perdata, Mahkamah mencermati Pasal 433 KUH Perdata a quo merupakan ketentuan yang terdapat pada bagian atau rangkaian dari KUH Perdata Bab XVII tentang Pengampuan yang terdiri dari Pasal 433 sampai dengan Pasal 462. Bab XVII itu sendiri mengatur mengenai subjek atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan, pemohon pengampuan, hukum acara atau prosedur penetapan pengampuan, akibat hukum pengampuan, tenggang waktu kewajiban pengampu, berakhirnya pengampuan, hukum acara atau prosedur pembebasan dari pengampuan, dan pengaturan mengenai anak dengan disabilitas mental.
Berkaitan dengan pengertian pengampuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 433 KUH Perdata a quo, jika merujuk pada terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio (cet. ke-30: 1999), selengkapnya memberi pengertian, bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Bahwa berkaitan dengan rujukan terjemahan KUH Perdata berkenaan dengan pengampuan dimaksud, Mahkamah menegaskan ada perbedaan antara terjemahan yang dipergunakan para Pemohon dengan terjemahan KUH Perdata yang dipergunakan oleh Mahkamah, sehingga terdapat perbedaan kutipan rumusan Pasal 433 KUH Perdata. Namun, perbedaan terjemahan demikian menurut Mahkamah tidak berpengaruh secara substansial, dan oleh karenanya terkait dengan rumusan Pasal 433 a quo Mahkamah akan merujuk pada KUH Perdata terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio sebagaimana telah diuraikan di atas, karena terjemahan a quo dinilai lebih luas dan komprehensif, sehingga sekaligus dapat diuraikan tentang muatan norma Pasal 433 KUH Perdata secara keseluruhan.
Lebih lanjut, berpijak dari rumusan pengertian pengampuan di atas, apabila diuraikan dengan mengaitkan hal-hal yang berhubungan dengan pengampuan, yaitu subjek hukum orang yang ditaruh di bawah pengampuan, pemohon pengampuan, hukum acara atau prosedur penetapan pengampuan, akibat hukum pengampuan, tenggang waktu kewajiban pengampu, berakhirnya pengampuan, hukum acara atau prosedur pembebasan dari pengampuan, dan pengaturan mengenai anak dengan disabilitas mental, maka secara garis besar dapat diuraikan, sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa apabila dicermati rumusan pengampuan menurut Mahkamah secara substansial terdiri dari dua “ayat” atau substansi yang berbeda, yaitu: 1) aturan mengenai orang dewasa yang dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”; dan 2) aturan mengenai orang dewasa yang boros.
Rumusan “ayat” atau substansi pertama, apabila dicermati terdiri dari beberapa unsur yang berlaku saling berkaitan dan bersifat kumulatif, yaitu:
1) setiap orang dewasa;
2) yang selalu berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”;
3) pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya;
4) harus ditaruh di bawah pengampuan.
Adapun “ayat” atau substansi kedua juga terdiri dari beberapa unsur yang bersifat kumulatif, sebagai berikut:
1) seorang dewasa;
2) karena keborosannya;
3) boleh juga;
4) ditaruh di bawah pengampuan.
Dari kedua rumusan demikian dapat dipahami bahwa dalam konteks orang yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”, baik kondisi tersebut bersifat permanen atau pun tidak permanen, maka terhadap subjek hukum bersangkutan harus (wajib) ditaruh di bawah pengampuan. Sementara itu, untuk orang dewasa karena keborosannya dapat ditempatkan di bawah pengampuan (tidak wajib).
[3.10.2] Bahwa ditinjau dari perspektif kepentingan hukumnya, pada subjek hukum orang yang di bawah pengampuan, dalam hal ini apabila merujuk pada konstruksi hukum dalam Pasal 433 KUH Perdata, adalah suatu kondisi hukum di mana kepentingan keperdataan seseorang diwakili/diurus oleh orang lain, yang di sisi lain seseorang yang kepentingannya diurus tersebut tidak lagi mempunyai hak untuk mengurus kepentingan keperdataannya sendiri. Dengan kata lain, di dalam konstruksi hukum pengampuan terdapat peralihan hak keperdataan dan kewajiban keperdataan dari pihak yang diampu kepada pihak yang mengampu, dengan catatan implementasi hak dan kewajiban demikian harus ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan pihak yang diampu. Oleh karena itu, konstruksi pengampuan yang dibangun KUH Perdata dimaksud tidak sekali-kali membolehkan adanya tindakan pengurusan oleh pihak pengampu yang ditujukan untuk kepentingan pribadi pihak pengampu. Batasan demikian dapat dilihat atau dicermati dalam rumusan Pasal 454 KUH Perdata, yang selengkapnya menyatakan, “Pendapatan seorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, harus teristimewa diperuntukkan guna meringankan nasibnya dan mengikhtiarkan sembuhnya”.

[3.11] Menimbang bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, dengan merujuk pada rumusan Pasal 433 KUH Perdata itu sendiri, merupakan istilah yang merujuk pada suatu kondisi abnormalitas pikiran atau abnormalitas mental, maupun abnormalitas intelektual. Artinya, secara rata-rata (statistika) kondisi demikian hanya terjadi pada sebagian kecil orang, dan karenanya dianggap sebagai abnormalitas. Abnormalitas demikian dalam perspektif hukum berpotensi memunculkan gangguan dalam lalu lintas hukum maupun lalu lintas kepentingan kemasyarakatan, sehingga hukum perlu mengaturnya secara khusus. Sebab, kecakapan bertindak secara hukum khususnya dalam lalu lintas kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah sesuatu yang fundamental, karena di sanalah terdapat bentuk tanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan, terlebih yang terkait dengan hak/kepentingan hukum pihak lain atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengalami kondisi tersebut.
Lebih lanjut, arti atau makna ketiga istilah tersebut sulit untuk diketahui dengan pasti karena ketiga istilah demikian bukan istilah ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan saat ini. Ketiga istilah demikian dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari namun dengan makna yang tidak tunggal, bahkan penggunaannya sudah mulai ditinggalkan karena dirasa kasar dan bertentangan dengan norma kesusilaan atau kesopanan. Meskipun Mahkamah meyakini bahwa pada masa ketika Burgerlijk Wetboek diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai KUH Perdata dan diserap sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia, pilihan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” tidak dimaksudkan untuk memunculkan nuansa kasar dan merendahkan martabat subjek hukum tertentu.
Namun, persoalan yang muncul saat ini secara faktual tidak sekadar berkenaan dengan arti atau istilah dari kata-kata dimaksud, akan tetapi lebih dari itu adalah ada atau tidaknya “manipulasi” atas hak subjek hukum, yang karena berada di bawah pengampuan haknya menjadi hilang atau dikurangi, bahkan dapat dikatakan terlanggar hak asasi manusia-nya. Hal demikian termasuk yang antara lain dipersoalkan para Pemohon. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah menjawab isu konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon penting untuk menguraikan pemaknaan istilah-istilah dimaksud.
[3.11.1] Bahwa saat ini, terhadap tiga istilah tersebut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa (GPU: Edisi IV Cet. Pertama, 2008), hanya mempunyai penjelasan atas dua di antaranya, yaitu: istilah “dungu” yang diartikan sebagai “sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh”. Kemudian istilah “mata gelap” yang diartikan sebagai “tidak dapat berpikir terang; mengamuk (karena marah sekali); gelap mata”. Sedangkan terhadap istilah “sakit otak” KBBI tidak menyajikan arti secara khusus (vide KBBI Pusat Bahasa, hlm. 347 dan hlm. 886).
Selanjutnya, dalam literatur hukum perdata klasik, antara lain seperti karya R Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin berjudul Hukum Orang dan Keluarga (Alumni: Cet-V, 1986), sebagaimana dikutip oleh Akhmad Budi Cahyono, ahli yang dihadirkan dalam persidangan, dapat sedikit memberikan pemahaman mengenai makna istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Meskipun memang tidak menguraikan lebih detail dari arti istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, namun buku tersebut menjelaskan berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 433- 434 KUH Perdata, yang menyebutkan adanya tiga alasan pengampuan, yaitu:
1) keborosan (verkwisting);
2) lemah pikiran (zwakheid van vermogens);
3) kekurangan daya berpikir: sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan razernij (dungu disertai dengan mengamuk).
Bahwa dari penjelasan sebagaimana diuraikan tersebut, serta dengan membandingkan penggunaan istilah tersebut sehari-hari dalam tataran empirik, terutama di lapangan hukum keperdataan, Mahkamah memperoleh pemahaman ketiga istilah tersebut tidak lain mengacu pada kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yaitu ketidakmampuan pikiran untuk melakukan analisis, kemudian mengambil keputusan atau bertindak secara layak. Layak dalam arti bahwa orang yang melakukan analisis, lalu mengambil keputusan atau bertindak tersebut mampu memahami sepenuhnya (dan bersedia menerima) konsekuensi yang akan timbul dari keputusan atau tindakannya.
Meskipun terhadap alasan keborosan mempunyai konsekuensi hukum sendiri, artinya akibat hukum bagi orang yang berada dalam kondisi tersebut, dapat ditempatkan di bawah pengampuan yang tidak bersifat imperatif, namun berkenaan alasan-alasan pengampuan dimaksud dapat saja mempunyai makna kumulatif. Oleh karena itu, antara alasan yang satu dengan alasan yang lainnya dalam ketiga kategori tersebut menjadi saling berkaitan dan melengkapi.
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang oleh Mahkamah telah dipertimbangkan di atas, yang mana hal tersebut mempunyai kesamaan karakter dengan istilah disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, Mahkamah perlu memberikan catatan khusus. Selain secara substansial istilah-istilah dimaksud mengandung persoalan yang terkait dengan subjek hukum yang merasa “diambil” hak-haknya terkait kemampuan untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum, di sisi lain secara etika dan budaya istilah-istilah tersebut dipandang tidak lazim lagi dipergunakan karena secara konotatif merendahkan harkat dan martabat seseorang. Oleh karena itu, Mahkamah memandang penting dan relevan untuk mengaitkan isu “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata a quo dengan pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang secara substansial saat ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016), sebagai wujud kehadiran negara untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap para penyandang disabilitas. Adapun yang terkait dengan disabilitas a quo, rumusan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 menerangkan bahwa:
“Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik.”
Selanjutnya penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, terutama penjelasan untuk huruf b dan huruf c, menerangkan sebagai berikut:

“Huruf b
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.”
[3.11.3] Bahwa dengan berpijak pada ketentuan norma Pasal 4 UU 8/2016 dan penjelasannya tersebut secara esensial tampak adanya relevansi, bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang ada di dalam KUH Perdata bertalian erat bukan hanya dengan pengertian disabilitas mental, namun juga dengan pengertian disabilitas intelektual. Relevansi dimaksud tidak lain disebabkan antara lain karena disabilitas mental maupun disabilitas intelektual keduanya bermuara pada suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk melakukan analisis dan membuat keputusan, atau dengan kata lain seseorang tidak mampu untuk secara layak mempertimbangkan akibat/risiko dari suatu tindakan yang dilakukannya. Di samping itu, pada sisi lain istilah disabilitas mental yang disebutkan dalam UU 8/2016 mempunyai cakupan yang luas, namun hanya sedikit yang dicontohkan. Hal demikian terlihat dari penggunaan istilah “antara lain” pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016 menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.”
[3.11.4] Bahwa berdasarkan hasil komparasi di atas dapat disimpulkan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” hanya bagian dari banyaknya kondisi yang termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menurut UU 8/2016. Sementara itu, istilah lain yang mengarah pada kesamaan makna dengan disabilitas mental adalah “gangguan jiwa” atau “gangguan mental” yang menjadi subjek ilmu kedokteran jiwa yang pada hakikatnya masih beririsan pula dengan pengertian islilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 433 KUH Perdata serta pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksud dalam UU 8/2016. Pengertian “gangguan jiwa”, merujuk pada Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM 5, yang disusun Rusdi Maslim (Bagian Kedokteran Jiwa FK UAJ: Cet-II, 2013), adalah:
“Sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat”.
Oleh karena itu, terkait dengan pengertian gangguan jiwa ini pun Mahkamah berpendapat terdapat relevansi, meskipun masing-masing mempunyai bobot dan dampak yang berbeda, terlebih jika dikaitkan dengan kemampuan atau kecakapan seseorang untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum terutama dalam lalu lintas kepentingan hak dan kewajiban keperdataan.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menyamakan pengertian “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” sebagai bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dan sebaliknya, dalam konteks perkara a quo akan membawa konsekuensi yuridis berupa menyamakan pula akibat hukum antara orang dengan kondisi “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dengan orang-orang dengan kondisi lain selama masih termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU 8/2016.
Kesimpulan Mahkamah demikian juga didasarkan pertimbangan logika yang secara vice versa mengarahkan bahwa orang-orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual selain kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, akan dapat ditaruh pula di bawah pengampuan. Padahal, sekali lagi, jenis disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, dampak hukum berupa penyamaan konsekuensi hukum yang demikian tentu bukan hal yang diinginkan, akan tetapi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
[3.12.3] Bahwa lebih lanjut menurut Mahkamah, konstruksi pengampuan secara prima facie masih diperlukan di Indonesia, namun tidak semua orang dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual perlu diletakkan di bawah pengampuan apalagi dipersamakan begitu saja dengan orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Terlebih lagi, bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang kadang-kadang berada dalam kondisi baik atau cakap secara hukum.
Seperti telah diuraikan di atas, dampak penyamaan antara istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dengan istilah “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” dapat mengakibatkan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual semua kategori dapat, bahkan harus, ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana esensi yang terdapat dalam Pasal 433 KUH Perdata. Oleh karena itu, untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan demikian, Mahkamah perlu menegaskan bahwa secara kategoris, istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” merupakan bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Oleh karena itu, orang yang menurut KUH Perdata dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” harus diperlakukan sama sebagaimana yang terdapat dalam UU 8/2016. Sementara itu, di sisi sebaliknya, orang yang menurut UU 8/2016 termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual tidak semuanya harus dikenai tindakan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 433 KUH Perdata.
[3.12.4] Bahwa permasalahan pengampuan yang disebabkan oleh kondisi “dungu”, “sakit” otak”, dan “mata gelap” yang bersumber pada Pasal 433 KUH Perdata, yang menjadi bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksud dalam UU 8/2016, adalah sedemikian kompleks. Oleh karena itu, seandainya di kemudian hari seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian secara komprehensif, terutama bidang psikologi dan psikiatri, terdapat kondisi baru yang memengaruhi derajat kecakapan (atau ketidakcakapan) orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, misalnya ditemukan terapi tertentu, maka penyerapan perkembangan keilmuan demikian ke dalam wilayah hukum sangat terbuka. Terkait dengan perkembangan demikian, pembentuk undang-undang mempunyai kewenangan untuk menambah dan/atau mengurangi kategori orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang dapat diletakkan di bawah pengampuan.

[3.13] Menimbang bahwa ketentuan mengenai pengampuan, selain diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata juga diatur dalam Pasal 32 juncto Pasal 33 UU 8/2016. Kedua ketentuan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 433 KUH Perdata
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Pasal 32 UU 8/2016
“Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan negeri”.

Berdasarkan uraian di atas, khususnya dalam penyandingan muatan ketentuan norma yang terkait dengan pengampuan, Mahkamah menyampaikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut:
Dengan demikian, setelah Mahkamah mencermati persandingan dimaksud, terlihat bahwa Pasal 433 KUH Perdata dan Pasal 32 UU 8/2016 mengatur secara berbeda konsekuensi hukum bagi orang yang termasuk kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”. Atau dengan kata lain, terdapat ketidakselarasan konsekuensi yuridis antara kedua pasal dimaksud.

[3.14] Menimbang bahwa selain kedua undang-undang tersebut, yaitu KUH Perdata dan UU 8/2016, terdapat setidaknya satu undang-undang yang juga mengatur mengenai disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yaitu UndangUndang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU 18/2014). Namun, di dalam UU a quo tidak diatur mengenai tindakan hukum berupa pengampuan bagi penyandang disabilitas mental, yang di dalam UU 18/2014 disebut dengan istilah “Orang Dengan Gangguan Jiwa” (ODGJ). Oleh karena itu, di dalam pertimbangan hukum ini keberadaan UU 18/2014 tidak turut dipertimbangkan.
Lebih lanjut, dalam rezim Pasal 433 KUH Perdata, orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap” harus ditaruh di bawah pengampuan. Dengan kata lain, jika ada permohonan berkenaan dengan pengampuan pengadilan negeri harus menetapkan pengampuan bagi seorang yang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, tanpa pengadilan mempunyai pilihan lain.
Sementara itu, pada rezim Pasal 32 (juncto Pasal 33) UU 8/2016, orang dengan ketiga kategori tersebut (yang secara umum termasuk sebagai bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual) tidak harus ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan dapat menyatakan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual tersebut tidak cakap dan karenanya baru yang bersangkutan diwakili kepentingannya. Fakta hukum dalam UU 8/2016 a quo membawa makna bahwa tidak semua penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual harus ditaruh di bawah pengampuan/perwakilan. Artinya, ada pilihan bagi pengadilan negeri untuk menggunakan kewenangannya untuk menolak permohonan pengampuan bagi seseorang penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, karena seseorang yang dimintakan untuk ditempatkan di bawah pengampuan tersebut ternyata cakap bertindak dan bertanggung jawab secara hukum.

[3.15] Menimbang bahwa untuk lebih memahami secara komprehensif, letak perbedaan antara kedua norma antara Pasal 433 KUH Perdata dan Pasal 32 UU 8/2016, harus pula diingat bahwa istilah penyandang disabilitas yang disebutkan dalam Pasal 32 UU 8/2016 berada pada konteks yang luas, yang menurut Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 meliputi disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, serta disabilitas sensorik. Di samping itu, UU 8/2016 juga menegaskan tentang masing-masing kategori tersebut pada bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, yang berdasarkan fakta hukum di atas, Mahkamah berpendapat penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagiannya dapat “diidentikkan” dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 433 KUH Perdata “hanya” fokus pada kondisi disabilitas dan implikasi disabilitas yang berupa “dungu”, “sakit otak”, serta “mata gelap”. Terlebih, sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada pertimbangan hukum sebelumnya, bahwa orang dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dapat dikategorikan sebagai bagian penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut, dalam hal terdapat konflik norma antara norma KUH Perdata dengan norma UU 8/2016, maka berlaku asas lex posterior derogate legi priori dan karena KUH Perdata bersifat lebih umum maka berlaku pula asas lex specialis derogate legi generali. Dalam konteks kedua asas yang menjadi solusi konflik norma dimaksud, UU 8/2016 merupakan lex posterior dan lex specialis. Sementara KUH Perdata merupakan legi priori dan legi generali. Hal demikian sebagian sesuai dengan pendapat DPR dalam keterangannya yang disampaikan di persidangan (vide Keterangan DPR, bertanggal 23 November 2022, hlm. 10-11).
Bahwa di samping itu, perlu juga dikaitkan dengan semangat dalam UU 8/2016 yang lebih mengakomodasikan esensi etika, harkat serta martabat daripada subjek hukum yang diatur dalam UU 8/2016. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pembacaan atas Pasal 433 KUH Perdata harus diselaraskan dengan ketentuan Pasal 32 UU 8/2016 yang berperan sebagai lex posterior dan lex specialis. Dengan demikian, pemaknaan kedua rezim ketentuan norma a quo harus saling melengkapi esensi perlakuan terhadap orang yang dalam kondisi “dungu”, “sakit otak” dan “mata gelap” serta penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, baik di dalam menilai kecakapan dalam bertindak dan bertanggung jawab secara hukum, maupun dalam perlindungan hak-hak keperdataannya.
Bahwa berdasarkan uraian berkenaan dengan dua peraturan perundangundangan di atas, Mahkamah menemukan suatu konstruksi hukum bahwa orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, yang bersangkutan kadangkadang berada dalam keadaan baik atau cakap. Artinya, ada saatnya orang dalam ketiga kategori demikian dipandang cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual mempunyai hak keperdataan dengan cara memilih atau mewakilkan kepentingan keperdataannya baik di dalam maupun di luar pengadilan (vide Pasal 9 huruf h UU 8/2016). Artinya, yang bersangkutan dapat bertindak sendiri untuk memilih maupun mewakilkan hak-hak keperdataannya.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah kedua norma tersebut dapat dipertemukan dengan cara menyesuaikan pemaknaan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata. Akan tepat apabila makna kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata merujuk pada makna kata “dapat” dalam Pasal 32 UU 8/2016. Artinya, setelah adanya Pasal 32 UU 8/2016 maka Pasal 433 KUH Perdata dimaknai bahwa bagi/terhadap setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, baik permanen atau pun sementara, pengadilan negeri mempunyai pilihan apakah akan menetapkan yang bersangkutan berada di bawah pengampuan atau tidak, sepanjang sikap pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada fakta hukum di persidangan, khususnya yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUH Perdata. Pengadilan negeri dapat berkesimpulan bahwa orang yang dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan apabila yang bersangkutan terbukti dalam keadaan baik atau cakap, dan mampu bertindak serta bertanggung jawab secara hukum, maka permohonan pengampuan tidak beralasan untuk dikabulkan. Sedangkan jika fakta hukum membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu pemohon terbukti dalam keadaan tidak baik atau tidak cakap, pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan pengampuan tersebut.
[3.17] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menegaskan penyesuaian atau penyelarasan kedua norma yang terdapat dalam KUH Perdata dengan yang terdapat dalam UU 8/2016, terlebih dahulu Mahkamah akan menguraikan pengertian pengampuan (curatele) atau istilah lain yang senafas dengan itu. Pengampuan secara umum dimaknai sebagai penempatan seseorang di bawah perwakilan karena seseorang dimaksud oleh pengadilan dianggap tidak cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum atas namanya sendiri dalam lalu lintas hukum, khususnya berkaitan dalam ruang lingkup keperdataan.
Bahwa secara doktriner, orang yang ditempatkan di bawah pengampuan akan disebut sebagai terampu atau curandus, sementara orang yang mewakili disebut sebagai pengampu atau curator. Dalam konteks perkara a quo, yaitu pengujian Pasal 433 KUH Perdata, sudah tentu makna pengampuan merujuk pada pengampuan di bidang keperdataan, khususnya terkait dengan orang, yang berkenaan dengan hak-hak privatnya. Oleh karena itu, seandainya terdapat konsep pengampuan di wilayah non keperdataan, hal demikian membutuhkan kajian yang terpisah dan bukan bagian dari pertimbangan hukum putusan a quo.
[3.17.1] Bahwa di dalam konsep pengampuan terkandung dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah pembatasan hak, sementara dimensi yang kedua adalah perlindungan hak. Bagi pihak yang dimohonkan/dimintakan untuk diampu, apalagi yang sudah dinyatakan ditaruh di bawah pengampuan (curandus), in casu penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dimensi yang dirasakan dominan adalah pembatasan hak. Terhadap hal a quo, Mahkamah dapat memahami munculnya nuansa dominasi pembatasan hak ini karena disebabkan adanya ketidakseimbangan derajat, di mana curandus memang dapat dikatakan tidak lagi mempunyai hak apapun untuk menentukan nasibnya sendiri.
Bahwa kewenangan secara mandiri terhadap yang bersangkutan sebagai manusia, orang, atau subjek hukum, menjadi hilang, sehingga semua hal terkait kepentingan yang bersangkutan akan diputuskan oleh orang lain, yang tentu saja orang lain ini secara alamiah tidak mampu secara utuh memahami dan merepresentasikan dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan atau isi hati curandus. Namun demikian, secara seimbang harus dipahami dan diakui bahwa dalam keseharian benar-benar terdapat orang-orang yang derajat disabilitasnya (secara mental dan/atau intelektual) tidak memungkinkan untuk melakukan semua hal secara mandiri. Bagi orang dengan derajat disabilitas yang demikian akan lebih terlindungi hak-haknya manakala yang bersangkutan dibantu dalam mempertimbangkan dan membuat keputusan serta bertindak yang menyangkut kepentingannya.
Bahwa oleh karena itu, berangkat dari perspektif demikian menurut Mahkamah pengampuan mempunyai dimensi lain yaitu sebagai upaya perlindungan hak terutama dalam hubungan hukum, yang setidaknya salah satu pihak dalam hubungan itu adalah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Suatu hubungan hukum, sebagaimana relasi sosial pada umumnya, membutuhkan jaminan kepastian sehingga para pihak dalam hubungan hukum dapat memprediksi hasil, manfaat, dan/atau sekaligus akibat dalam hubungan hukum dimaksud.
[3.17.2] Bahwa bagi pihak yang bukan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, perlindungan hukum dibutuhkan untuk menghilangkan kekuatiran bahwa hubungan hukum yang mereka lakukan kelak di kemudian hari akan batal demi hukum, atau setidaknya tidak mempunyai nilai eksekusi karena pihak yang berlawanan tidak mempunyai kapabilitas rasional. Sementara itu, dari sisi penyandang disabilitas, apabila yang bersangkutan dibebaskan memutuskan dan bertindak sendiri, selalu terdapat potensi yang bersangkutan dimanipulasi atau dimanfaatkan kelemahan mental dan/atau intelektualnya oleh pihak yang melakukan hubungan hukum dengannya.
Bahwa jika hal demikian yang terjadi, maka hukum dapat dikatakan telah kehilangan perannya sebagai pelindung hak dan penjamin kesetaraan. Padahal jaminan akan kesetaraan dalam suatu lalu lintas hukum keperdataan bukan hanya cita hukum, melainkan amanat Konstitusi sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pada titik itulah Mahkamah memandang lembaga pengampuan bukan berarti menghalangi atau menghilangkan kemandirian seseorang, justru sebagai sarana penguatan (semacam “affirmative action”) guna menyejajarkan kembali penyandang disabilitas dengan non penyandang disabilitas dalam hubungan hukum keperdataan, yang berpotensi menimbulkan kerugian yang bersifat materiil dan melibatkan kepentingan para pihak yang berada dalam wilayah keperdataan.
[3.17.3] Bahwa, sekali lagi, bagi Mahkamah justru tidaklah memberikan perlindungan hukum manakala seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada derajat yang serius, kemudian dibiarkan melakukan semuanya sendirian walaupun dengan alasan menghargai hak yang bersangkutan untuk mandiri. Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 menegaskan hak-hak yang demikian, selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 28G ayat (1)
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28H ayat (2)
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal 28H ayat (4)
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Bahwa dalam kaitannya dengan pertimbangan demikian, bagi Mahkamah lembaga pengampuan tetap diperlukan selama penekanannya adalah penghargaan, pensejajaran, sekaligus perlindungan bagi semua pihak yang terkait dengan kondisi disabilitas mental atau intelektual seseorang. Pihak-pihak dimaksud tak lain adalah penyandang disabilitas itu sendiri serta orang lain yang mempunyai atau setidaknya akan mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang akan terdampak dengan adanya hubungan hukum keperdataan yang bersangkutan.

[3.18] Menimbang bahwa bentuk pengampuan itu sendiri, seperti yang dipraktikkan sebagai keharusan sebagaimana diperintahkan Pasal 433 KUH Perdata, dewasa ini dianggap “out of date” dan mendapatkan penentangan karena dinilai memanipulasi hak-hak keperdataan penyandang disabilitas yang diampu (curandus). Dari pendapat beberapa ahli serta pihak yang didengar Mahkamah dalam persidangan, serta penelusuran berbagai literatur, Mahkamah mengelompokkan berbagai pendapat terkait hal tersebut dalam tiga kelompok besar. Pertama, menyatakan pengampuan tidak lagi relevan sehingga lembaga pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata harus dihapuskan. Kedua, menyatakan pengampuan masih relevan, sehingga lembaga pengampuan dalam Pasal 433 KUH Perdata tetap dipertahankan. Ketiga, menyatakan lembaga pengampuan masih diperlukan namun harus diposisikan sebagai pilihan terakhir (the last resort).
[3.18.1] Bahwa terhadap ketiga pendapat demikian, menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, peran lembaga pengampuan sebagai sarana perlindungan hukum masih dibutuhkan hingga saat ini. Demikian halnya, apabila dikaitkan dengan beberapa konsep alternatif yang ditawarkan para ahli tersebut, seperti pendampingan –di mana pendamping memberikan pertimbangan manakala penyandang disabilitas membutuhkan namun pembuatan keputusan tetap di tangan penyandang disabilitas–, menurut Mahkamah di satu sisi memang lebih menghargai nilai-nilai derajat kemanusiaan terhadap penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Namun, konsep alternatif tersebut tidak mampu menjawab kebutuhan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak manakala penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual bersepakat melakukan atau membangun hubungan keperdataan dengan orang/pihak lain.
Terlebih lagi, juga dimungkinkan adanya kesulitan berkenaan dengan tata cara pengambilan keputusan serta objektivitas atau rasionalitasnya, manakala suatu hal diputuskan berdasarkan keadaan bersangkutan yang sedang tidak cakap mempertimbangkan dan mengambil keputusan mandiri. Secara sederhana dapat dideskripsikan ketika penyandang disabilitas melakukan kesalahan dalam mitigasi risiko karena kekurangan atau kelemahan kondisi mental dan/atau kondisi intelektual. Hal demikian tentunya akan mempersulit tuntutan pertanggungjawaban atas konsekuensi yang ditimbulkan. Demikian pula terhadap subjek hukum yang harus bertanggung jawab, serta hal-hal yang dapat dituntut sebagai akibat yang ditimbulkan, sekalipun hubungan hukum yang terjadi, misalnya, berkenaan dengan perjanjian yang pada hakikatnya merupakan suatu kesepakatan. Bahkan, dalam perspektif pertanggungjawaban pidana, tanpa bermaksud menjadikan hukum pidana sebagai acuan dalam pertimbangan perkara a quo, kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual merupakan faktor signifikan dalam pengenaan atau penjatuhan pidana. Lebih dari itu dapat dikatakan bahwa kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dalam konteks hukum pidana dapat menjadi faktor bagi alasan pemaaf dan/atau penghapus pertanggungjawaban pidana.
[3.18.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum demikian, menurut Mahkamah penghilangan atau penghapusan lembaga pengampuan dari Pasal 433 KUH Perdata justru dapat menjadi penyebab berkurangnya perlindungan hukum bagi orang atau subjek hukum yang mengalami kondisi “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang merupakan bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Lebih lanjut, meskipun KUH Perdata merupakan hukum peninggalan era kolonial, yang citranya lekat dengan penjajahan dan penindasan hak asasi manusia, Mahkamah tidak memungkiri bahwa semangat pengampuan yang diusung KUH Perdata dalam keadaan-keadaan tertentu masih relevan untuk diimplementasikan guna melindungi hak-hak keperdataan.
Oleh karena itu, Mahkamah menegaskan terhadap penerapan lembaga pengampuan demikian, secara berkesinambungan dilakukan evaluasi, dan untuk itu Mahkamah memberikan catatan bahwa penerapan pengampuan secara longgar/mudah tanpa disertai pedoman jelas, berpotensi semakin memberatkan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, terlebih jika hal tersebut dapat meringankan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Berdasarkan hal demikian, pengadilan negeri sebagai lembaga yang berwenang menetapkan pengampuan harus benar-benar cermat dan hati-hati di dalam memberikan putusan/ketetapan atas permohonan pengampuan. Sebagaimana telah Mahkamah tegaskan sebelumnya, penjatuhan putusan/ ketetapan dimaksud harus benar-benar didasarkan pada fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, termasuk yang paling esensial adalah memperhatikan hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUH Perdata.
[3.18.3] Bahwa sebenarnya seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang tidak permanen dan sedang dalam keadaan cakap, tetap mempunyai kebebasan memilih apakah akan menggunakan skema pengampuan, skema pendampingan, atau bahkan skema lain yang sudah dikenal dan dipraktikkan di luar wilayah hukum keperdataan. Sebab, keputusan atas diri atau kehendak pribadi subjek hukum dalam wilayah keperdataan tergantung dari kepentingan diri pribadi yang bersangkutan. Sementara, bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang permanen, sekali lagi setelah melalui pembuktian yang ketat, pengadilan tetap terikat untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan ditaruh di bawah pengampuan serta, setelah melalui pembuktian yang ketat pula, menetapkan atau menunjuk pengampu (curator) yang benar-benar mampu dan dapat bertanggung jawab mengurus kebutuhan yang tidak boleh merugikan pihak terampu (curandus).

[3.19] Menimbang bahwa Mahkamah pada satu sisi dapat memahami adanya kekuatiran beberapa pihak akan potensi penyalahgunaan pengampuan sehingga merugikan pihak terampu, dan di sisi lain menguntungkan pribadi pihak pengampu dan/atau pihak lainnya. Menurut Mahkamah potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan memang ada, namun potensi demikian tidak lantas mengakibatkan lembaga pengampuan menjadi tidak diperlukan lagi. Di samping itu, untuk mengurangi bahkan menutup potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan, Mahkamah menegaskan bahwa prosedur atau hukum acara pengampuan yang diatur di dalam KUH Perdata, UU 8/2016, dan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan a quo, permohonan pengampuan harus diperiksa secara ketat oleh lembaga peradilan yang menangani permohonan pengampuan. Dengan demikian, pelibatan ahli di bidang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menjadi prosedur wajib dalam perkara pengampuan untuk memastikan (menegakkan diagnosis) bahwa penyandang disabilitas yang dimohonkan diampu benar-benar dalam kondisi tidak cakap untuk berpikir dan bertindak secara wajar, sehingga pengadilan mempunyai landasan yang kuat untuk menetapkan apakah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dimaksud tidak cakap hukum.
Di samping itu, perubahan makna Pasal 433 KUH Perdata seperti telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. Pengadilan negeri tidak lagi “harus” menetapkan seseorang dimaksud ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan negeri dapat memutuskan mekanisme lain untuk membantu seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual terutama yang tidak permanen, misalnya menetapkan suatu pendampingan bagi yang bersangkutan.

[3.20] Menimbang bahwa dalam petitumnya para Pemohon memohon agar Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Posita para Pemohon, jika dicermati dan dikaitkan dengan posita yang diterangkan secara lisan, serta diperkuat oleh keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, terlihat menghendaki supaya Mahkamah menghapus lembaga pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata. Namun di sisi lain, dalam petitumnya para Pemohon justru tidak meminta dihapuskannya atau diubahnya lembaga pengampuan, melainkan meminta agar istilah “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Oleh karena itu, seandainya Mahkamah mengikuti petitum para Pemohon dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, maka rumusan Pasal 433 KUH Perdata akan tetap seperti sediakala tanpa perubahan sama sekali, yang artinya lembaga pengampuan tetap ada dan bersifat imperatif.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 433 KUH Perdata harus diberikan penafsiran ulang dengan menyelaraskannya dengan semangat yang terdapat dalam UU 8/2016 khususnya Pasal 32 UU 8/2016. Penafsiran ulang demikian bertujuan agar dapat dipastikan terwujudnya efek atau dampak upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan tetap mempertahankan lembaga pengampuan yang ada dalam Pasal 433 KUH Perdata.
Penafsiran ulang ini dilakukan dengan menyatakan kondisi “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap” sebagai bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau isabilitas intelektual, serta kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata dimaknai menjadi “dapat”. Dengan penyelarasan demikian maka Pasal 433 KUH Perdata selengkapnya akan berbunyi, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
[3.22] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berkesimpulan Pasal 433 KUH Perdata telah ternyata terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma pada bagian-bagian tertentu, dan Mahkamah menyatakan terhadap norma Pasal 433 KUH Perdata inkonstitusional secara bersyarat dan pemaknaan demikian tidak sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, maka Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.