Bahwa pada hari Selasa tanggal 15 Agustus 2023, pukul 14.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama yang didalilkan dalam permohonan a quo, yaitu apakah Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h bertentangan dengan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa untuk dapat menentukan ada atau tidaknya pertentangan norma dalam batang tubuh dengan penjelasan suatu norma, menurut Mahkamah, perlu dipahami terlebih dahulu substansi norma yang terkandung dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagai norma pokok dan kemudian dipersandingkan dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Persandingan tersebut dapat dilakukan baik dari sisi materi atau substansi maupun dari sisi teknik perumusan suatu penjelasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah menentukan salah satu kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam kampanye, baik oleh pelaksana, peserta, maupun tim kampanye. Larangan tersebut berupa menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk kampanye.
Secara historis, norma serupa sebelumnya telah diatur juga dalam Pasal 86 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 8/2012) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Penjelasan atas ketentuan norma Pasal 86 ayat (1) huruf h UU 8/2012 ternyata sama dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Lebih lanjut, dijelaskan pula dalam UU 8/2012 yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” pada ketentuan ini adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Sedangkan, sanksi bagi pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 299 UU 8/2012].
Selanjutnya, materi norma yang sama diatur pula dalam Pasal 84 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Namun dalam penjelasan hanya dijelaskan mengenai maksud ”tempat pendidikan” adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 270 UU 10/2008 ditegaskan ancaman pidananya jika melanggar larangan kampanye dimaksud, berupa pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 270 UU 10/2008].
Sebelum UU 10/2008, ternyata norma larangan dimaksud juga telah diatur dalam Pasal 74 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003) yang menyatakan, “Dalam kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Dengan penjelasan hanya untuk tempat pendidikan, dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu serta tidak menganggu proses belajar mengajar. Sekalipun terdapat pengecualiannya namun ditentukan pula sanksi yang dikenakan atas pelanggaran dimaksud yakni: peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye Pemilu melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan; atau penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain [vide Pasal 76 ayat (2) UU 12/2003]. Sedangkan, terkait dengan ancaman pidana atas pelanggaran penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan tersebut adalah berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) [vide Pasal 138 ayat (2) UU 12/2003]. Jika ditelusuri lebih jauh, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999), juga memuat norma larangan kampanye yang serupa, namun hanya terbatas pada larangan untuk menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah [vide Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999]. Ditegaskan pula dalam Penjelasannya bahwa adanya larangan ini dimaksudkan agar kampanye dapat berjalan dengan bebas, lancar, aman, tertib, serta tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa [vide Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU 3/1999]. Sebagai undang-undang yang dihasilkan di era awal reformasi yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu tahun 1999 rumusannya lebih singkat dibandingkan dengan undang-undang pemilu lainnya, bahkan tidak terdapat pengaturan sanksi pidana yang lengkap atas pelanggaran larangan Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999.
[3.15.2] Bahwa berdasarkan telaahan historis pengaturan larangan kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan telah diatur, paling tidak sejak era reformasi. Bahkan, telah pula diatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atas larangan tersebut. Namun, jika dicermati secara saksama norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang mengutip kembali norma Pasal 299 UU 8/2012 yang sama-sama menentukan larangan bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Bahkan, terhadap larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tersebut ditentukan sanksi yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 521 UU 7/2017]. Ketentuan pidana ini pun mengutip kembali rumusan yang diatur dalam Pasal 299 UU 8/2012. Masalahnya, apakah sanksi pidana tersebut dapat diterapkan secara efektif karena dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ditentukan adanya unsur pengecualian atas norma larangan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Selanjutnya, dijelaskan pula yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
[3.15.3] Bahwa berkenaan dengan adanya pengecualian dalam Penjelasan suatu undang-undang di luar norma pokok yang telah ditentukan, penting bagi Mahkamah untuk merujuk ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat dalam butir 176 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Ketentuan teknis tersebut telah memberikan panduan atau pedoman dalam merumuskan penjelasan, pengertian dan sekaligus fungsi penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Tidak hanya itu, butir 178 Lampiran II UU 12/2011 juga telah menentukan bahwa “penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam kaitan ini, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” telah menimbulkan kondisi pertentangan dengan materi muatan atau norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Misalnya, apabila dipelajari secara cermat frasa “dapat digunakan jika” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, secara leksikal frasa dimaksud mengandung pengertian pembolehan atas otoritas atau hak untuk melakukan sesuatu secara terbatas, padahal batas atau syarat tersebut telah ditentukan sebagai sebuah larangan. Oleh karena itu, apabila diletakkan dalam pemahaman materi pokoknya yang sifatnya memberikan larangan atau pembatasan untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintahan, tempat ibadah dan tempat pendidikan maka materi Penjelasan a quo sepanjang frasa yang dimohonkan para Pemohon adalah mengandung makna adanya pengecualian daripada sebagai sebuah penjelasan yang merupakan interpretasi resmi mengenai arti, ruang lingkup, dan implikasi dari materi norma pokok yang dijelaskannya. Frasa yang dimohonkan tersebut berbeda dengan penjelasan perihal yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi”.
Dalam konteks materi muatan suatu peraturan perundang-undangan, antara norma larangan dengan pengecualian sebenarnya mengandung maksud mengesampingkan norma pokoknya karena adanya sebuah klausa atau pernyataan yang mengaitkan pelaksanaan suatu norma dengan terjadinya suatu peristiwa atau kondisi tertentu pada waktu atau batas waktu tertentu di luar peristiwa atau kondisi pokok yang dikehendaki dalam norma larangan. Kedua kondisi tersebut sebenarnya adalah seimbang dan masing-masing seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah materi muatan dari norma pokok, bukan merupakan esensi penjelasan suatu norma. Materi muatan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 di atas secara jelas dan tegas melarang pelaksanaan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Terlebih, telah ditentukan pula sanksi pidana penjara dan/atau denda yang dijatuhkan bagi pihak-pihak yang melanggar larangan tersebut, di mana berpotensi ketentuan sanksi tersebut sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu, apabila terhadap norma yang memuat pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 a quo masih atau tetap diperlukan, seharusnya hal tersebut dimuat dalam batang tubuh UU 7/2017 sebagai norma tersendiri yang mengecualikan atas hal-hal yang dilarang selama kampanye, bukan diletakkan pada bagian Penjelasan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”, dengan penekanan pada anak frasa “dapat digunakan jika” justru menimbulkan ambiguitas dalam memahami dan menerapkan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang dalam pelaksanaannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, perihal perumusan norma pengecualian tersebut seharusnya diletakkan sebagai bagian norma batang tubuh UU 7/2017 karena merupakan bagian dari pengecualian atas larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan. Namun, karena kedua tempat tersebut dilarang sehingga Mahkamah perlu memasukkan sebagian dari pengecualian sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Pemuatan ke dalam norma pokok tersebut didasarkan pada ketentuan UU 12/2011, di mana penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, terlebih lagi jika penjelasan tersebut bertentangan dengan norma pokok. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, penting untuk memasukkan sebagian dari esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye. Oleh karena terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, meskipun inskontitusionalitas norma Pasal a quo tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun karena norma a quo berkaitan erat dengan penjelasan yang akan dinyatakan dalam amar putusan adalah inkonstitusional, maka untuk kepentingan kampanye pemilu, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Dengan demikian, terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 selengkapnya akan dimaknai sebagaimana dalam amar Putusan a quo.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah menyatakan frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, oleh karena terdapat sebagian materi Penjelasan yang dimasukkan ke dalam norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 maka penting bagi Mahkamah untuk memberikan pengecualian dalam norma pasal a quo sebagaimana yang akan dimuat dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, oleh karena amar putusan tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum permohonan a quo, menurut Mahkamah, pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430