Bahwa pada hari Selasa tanggal 27 Juni 2023, pukul 12.18 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang tidak menentukan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi sama dengan kedudukan dan usia Panitera di Mahkamah Agung, serta memasukkan kepaniteraan dalam jabatan fungsional yang tidak mendapatkan kejelasan penjejangan jabatan dan usia pensiunnya bertentangan dengan Konstitusi karena tidak memberikan jaminan kedudukan yang sama serta tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon penting untuk mengutip terlebih dahulu pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 September 2012. Sebab, usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti yang termaktub dalam Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang yang merujuk pada batasan usia pensiun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012. Dalam hal ini, pertimbangan hukum pada Paragraf [3.14] menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa dengan merujuk pada kutipan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan beberapa hal berikut:
Pertama, sebagai salah satu lembaga yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menggunakan usia pensiun Panitera di lingkungan Mahkamah Agung sebagai perbandingan, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun. Namun batasan usia di Mahkamah Agung tersebut tetap diberikan catatan khusus, batasan 67 (enam puluh tujuh) tahun tersebut tidak dapat dilepaskan dari fakta, di mana usia dimaksud tidak dapat dilepaskan dari Panitera Mahkamah Agung yang berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 (enam puluh tujuh) tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung menjadi 67 (enam puluh tujuh) tahun sesuai dengan batas usia pensiun sebagai hakim tinggi.
Kedua, selain usia Panitera di Mahkamah Agung, terdapat pula fakta ihwal usia maksimal Panitera Pengganti di Mahkamah Agung, yaitu 65 (enam puluh lima) tahun. Karena Panitera Pengganti di Mahkamah Agung dijabat hakim tingkat pertama, maka usia Panitera Pengganti mengikuti usia pensiun sebagai hakim tingkat pertama. Berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah menetapkan batas usia pensiun bagi Panitera Mahkamah Konstitusi, yaitu 62 (enam puluh dua) tahun sesuai dengan batas usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Pada intinya, menurut pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 persyaratan batasan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan Mahkamah Konstitusi disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Ketiga, sebagai jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, penentuan batas usia 62 (enam puluh dua) tahun dikonstruksikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUX/2012 pada saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) belum dibentuk. Artinya, sebagai jabatan fungsional, penentuan batas usia 62 (enam puluh dua) tahun dimaksud belum didasarkan pada batasan usia jabatan fungsional sebagaimana yang diatur dalam UU 5/2014.
Keempat, adanya pertimbangan hukum yang secara ekplisit dari Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk undang-undang, apabila dilakukan perubahan, baik berupa revisi atau penggantian, perlu menetapkan syarat yang sama bagi Panitera di Mahkamah Agung dan Panitera di Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah institusi yang terdiri dari beberapa elemen, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut dapat saja dimaknai oleh pembentuk undang-undang guna melengkapi dan sekaligus menyempurnakan pengaturan semua elemen penting yang mendukung (supporting system) fungsi yudisial di Mahkamah Konstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi termasuk perubahannya tidak mengatur secara memadai supporting system di sekitar hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangan yudisial, termasuk kepaniteraan.
[3.15.2] Bahwa setelah menguraikan beberapa substansi penting dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, ihwal permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan desain kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945.
Bahwa secara konstitusional, norma Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Penegasan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan hakikat kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai suatu keniscayaan bagi negara yang berdasarkan atas hukum. Sementara itu, sebagai institusi/lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Adanya frasa “oleh sebuah Mahkamah Agung” dan “oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menunjukkan kekuasaan kehakiman Indonesia dilakukan oleh dua lembaga dengan wewenang yang berbeda, berada dalam posisi setara (equal), dan dengan jurisdiksi yang berbeda.
Bahwa sekalipun UUD 1945 hasil perubahan mengatur lebih terinci berkenaan dengan kekuasaan kehakiman dan bahkan membentuk pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, sebagai hukum dasar, UUD 1945 tidak mengatur segala hal yang terkait dengan kebutuhan dan pengelolaan institusi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk menjawab segala kebutuhan institusi Mahkamah Agung, Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Begitu pula dengan kebutuhan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menyatakan, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Dengan adanya kata “susunan” dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan adanya frasa “ketentuan lainnya” dalam Pasal 24C ayat (6) UUD 1945, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memerlukan undang-undang untuk mengatur segala kebutuhan pengelolaan institusi agar mampu melaksanakan semua kewenangan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sebagai sebuah organisasi, kedua lembaga ini memerlukan kepaniteraan, Sekretariat Jenderal/kesekretariatan, dan supporting system lainnya di sekitar hakim agung dan hakim konstitusi.
Bahwa salah satu substansi undang-undang adalah berkaitan dengan pengaturan kepaniteraan. Sekalipun sama-sama sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dan diposisikan setara, pengaturan ihwal pelembagaan kepaniteraan yang membantu hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenang yudisial tidak diatur lebih rinci dan jelas syarat-syarat serta tata cara pengangkatan sebagaimana kepaniteraan pada Mahkamah Agung. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) mengatur tentang pengangkatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung yaitu sebagai berikut:
Pasal 20 ayat (1) huruf d:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding.”
Pasal 20 ayat (2) huruf b:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi.”
Pasal 20 ayat (3) huruf b:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama.”
Berbeda dengan Mahkamah Agung, pengaturan ihwal kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi masih sangat sumir dalam mengatur kedudukan, tugas dan fungsi kepaniteraan. Berkenaan kepaniteraan, misalnya, undang-undang pertama tentang Mahkamah Konstitusi, in casu Pasal 7 UU 24/2003 menyatakan, “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan”. Selanjutnya, Pasal 8 UU 24/2003 mendelegasikan pengaturan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Kemudian, Pasal 7 UU 8/2011 sebagai perubahan atas UU 24/2003 menyatakan, “Di Mahkamah Konstitusi dibentuk sebuah kepaniteraan dan sekretariat jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi”. Berkenaan dengan kepaniteraan, norma Pasal 7A ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2011 menyatakan:
Pasal 7A ayat (1):
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.”
Pasal 7A ayat (2):
“Tugas teknis administratif peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi;
b. pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
c. pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.”
[3.15.3] Bahwa lebih lanjut untuk mempertegas hal-hal yang telah diuraikan di atas, berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga peradilan yang relatif masih baru, pengaturan secara lebih rinci mengenai kepaniteraannya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004 tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (Keppres 51/2004). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keppres a quo, ditentukan bahwa panitera dan pejabat di lingkungan kepaniteraan adalah pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan dan pemberhentiaan panitera oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 10 ayat (5) dan Pasal 11 Keppres 51/2004].
Bahwa sejalan dengan diubahnya beberapa ketentuan dalam UU 24/2003 melalui UU 8/2011, pengaturan mengenai kepaniteraan termasuk materi yang mengalami perubahan dengan ditegaskannya kepaniteraan sebagai rumpun jabatan fungsional dalam rangka menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi. Tugas teknis administratif peradilan dimaksud meliputi: 1) koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi; 2) pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara; 3) pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan 4) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya [vide Pasal 7A UU 8/2011]. Sebagaimana ketentuan sebelumnya, pengaturan lebih lanjut mengenai kepaniteraan Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 7A UU 8/2011, Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (Perpres 49/2012). Berdasarkan Perpres a quo ditentukan pengorganisasian kepaniteraan, penjenjangan jabatan/pangkat dan batas usia pensiun kepaniteraan dikoordinasikan oleh seorang panitera yang dibantu oleh 2 (dua) orang Panitera Muda, 4 (empat) orang Panitera Pengganti Tingkat I, dan 12 (dua belas) orang Panitera Pengganti Tingkat II. Selain itu dinyatakan pula bahwa Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti Tingkat I, dan Panitera Pengganti Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan fungsional kepaniteraan non angka kredit [vide Pasal 3 Perpres 49/2012]. Dalam kaitan ini, mulai ditentukan mengenai batas usia dalam jabatan kepaniteraan dengan batas usia pensiun jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan adalah 56 (lima puluh enam) tahun. Namun, batas usia pensiun Panitera dan Panitera Muda dapat diperpanjang sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun dengan mempertimbangkan aspek prestasi kerja, kompetensi, kaderisasi, dan kesehatan. Perpanjangan batas usia pensiun dimaksud dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk masa paling lama 2 (dua) tahun [vide Pasal 9 Perpres 49/2012]. Perpres a quo menentukan batas usia pensiun kepaniteraan tidak secara spesifik dan terinci sebagaimana yang berlaku di Mahkamah Agung karena UU 3/2009 pada pokoknya menentukan untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding” [vide Pasal 20 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b UU 3/2009]. Selanjutnya, untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi [vide Pasal 20 ayat (3) huruf b UU 3/2009], dan untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama. Dengan demikian, usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Muda pada Mahkamah Agung disesuaikan/disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat banding yaitu 67 tahun. Sedangkan, Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung adalah 65 tahun mengikuti usia pensiun hakim tingkat pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012]. Artinya, jabatan panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pada Mahkamah Agung dijabat oleh hakim sehingga usia pensiunnya pun melekat pada usia pensiun sebagai hakim.
Bahwa sementara itu, kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi dijabat oleh pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN), bukan oleh hakim. Oleh karenanya ditentukan rumpun jabatannya adalah jabatan fungsional. Dalam kondisi ketidakpastian batas usia pensiun kepaniteraan sebagai bagian penting penyelenggaraan fungsi peradilan, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, telah memberikan pertimbangan hukum perihal batas usia pensiun panitera, panitera muda, dan panitera pengganti adalah 62 (enam puluh dua) tahun. Putusan a quo kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP 49/2012 (Perpres 73/2013) yang menyatakan pada pokoknya panitera, panitera muda, panitera pengganti tingkat I dan panitera pengganti tingkat II batas usia pensiunnya adalah 62 (enam puluh dua) tahun. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo selanjutnya diakomodasi dalam perubahan UU MK, in casu Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020, tanpa adanya pengaturan lebih lanjut mengenai esensi kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan dalam jabatan fungsional karena melekat pada seorang PNS atau ASN yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan konstitusi, in casu Mahkamah Konstitusi yang notabene setara kedudukannya dengan Mahkamah Agung.
Bahwa apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [UU ASN], jabatan fungsional dimaksud diartikan sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Dalam kaitan ini, keberadaan Panitera dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi merupakan pegawai negeri sipil selaku pejabat fungsional yang memiliki keahlian tertentu dalam membantu atau mendukung pelaksanaan tugas pokok peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Jenjang jabatan fungsional keahlian dimaksud terdiri atas: 1) ahli utama; 2) ahli madya; 3) ahli muda; dan 4) ahli pertama [vide Pasal 18 ayat (2) UU ASN]. Berkaitan dengan batas usia pensiun, UU ASN telah menentukan bahwa batasan usia pensiun bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat adalah apabila telah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi, mencapai usia 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional [vide Pasal 87 ayat (1) huruf c UU ASN].
Bahwa dalam perkembangan, tatkala Perpres 49/2012 diubah dengan Perpres 65/2017, berkaitan dengan batas usia pensiun kepaniteraan tidak dilakukan perubahan karena perubahan hanya terkait dengan materi jumlah panitera muda yang bertambah menjadi 3 orang [vide Pasal 3 ayat (2) Perpres 65/2017]. Oleh karenanya, ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat fungsional yang dimaksudkan oleh UU ASN mengacu pada peraturan pelaksana UU ASN, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Managemen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP a quo, telah ditentukan jenjang jabatan fungsional keahlian terdiri atas: ahli utama; ahli madya; ahli muda; dan ahli pertama. Untuk jenjang jabatan fungsional ahli utama melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tertinggi. Sedangkan, jenjang jabatan fungsional ahli madya melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tinggi. Untuk jenjang jabatan ahli muda melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat lanjutan, dan untuk jenjang jabatan fungsional ahli pertama melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat dasar [vide Pasal 69 PP 11/2017]. Dalam kaitan ini, PP 11/2017 juga menegaskan mengenai batas usia pensiun PNS yang diberhentikan dengan hormat yaitu: a). 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan; b). 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan c). 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional ahli utama [vide Pasal 239 PP 11/2017].
[3.15.4] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah dapat memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Meskipun dalam permohonan a quo tidak berkaitan langsung dengan kepentingan hakim Konstitusi namun secara kelembagaan, keberadaan kepaniteraan merupakan unsur penting dan berkelindan dengan tugas dan wewenang hakim konstitusi dalam menjalankan fungsi yudisial. Oleh karena itu, apabila hal demikian dikaitkan dengan prinsip universal dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri, namun, dalam konteks ini ada tiga alasan bagi Mahkamah untuk “menyimpangi” sehingga tetap mengadili perkara a quo karena: tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; perkara ini memiliki kepentingan konstitusional berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan, bukan semata-mata kepentingan lembaga Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah bersikap imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah norma pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
Bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah menguji konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah dalam mengadili perkara a quo pun tetap berada dalam menjalankan fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan Konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi;
[3.16] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan ketidaksamaan usia pensiun Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dengan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti yang ada di Mahkamah Agung. Padahal, keduanya sama-sama menjalankan tugas dan fungsi kepaniteraan pada lembaga peradilan dan kedua lembaga peradilan tersebut berkedudukan sederajat sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa untuk menjawab dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 pada Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.14] yang menyatakan:
[3.13] Menimbang bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim, oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali beberapa hal penting berikut;
[3.16.2] Bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus diduduki oleh hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung karena Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga peradilan di bawahnya. Mahkamah Konstitusi hanya ada di ibukota negara [vide Pasal 3 UU 24/2003]. Oleh karenanya siapapun PNS/ASN yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kebutuhan kewenangan Mahkamah berdasarkan peraturan perundang-undangan, dapat diseleksi sebagai Panitera. Pengangkatan jabatan fungsional kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan tertutup karena PNS/ASN hanya berkarir sebagai Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya tidak mungkin hakim, terlebih hakim konstitusi yang akan menduduki jabatan Panitera. Termasuk juga, tidak terdapat jenjang karir di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung untuk dapat menjadi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi karena UU 48/2009 pada pokoknya telah menegaskan pula bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang [vide Pasal 19 UU 48/2009]. Hakim yang dimaksud tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut, yang ditegaskan berstatus sebagai pejabat negara [vide Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 UU 48/2009]. Sementara itu, UU MK berikut peraturan pelaksanaannya telah menegaskan bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi adalah jabatan fungsional. Oleh karena itu, tidak mungkin jabatan fungsional kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi dijabat oleh hakim sebagaimana di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan pengaturan sehingga memberikan kepastian atas batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Pilihan ini diambil karena Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi bukan hakim seperti di Mahkamah Agung.
Namun demikian, pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.13] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 tersebut, sesungguhnya tidak sekedar dipahami berhenti pada paragraf tersebut tetapi berkaitan erat dengan Paragraf berikutnya [3.14] yang pada pokoknya menyatakan “berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Oleh karena itulah ke depan, Mahkamah menegaskan juga dalam pertimbangan hukum Putusan a quo agar pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”. Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas telah ternyata jenjang karir kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi adalah berbeda dan tidak mungkin dipersamakan dengan kepaniteraan di Mahkamah Agung sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Lebih lanjut, berkenaan dengan jabatan fungsional di Mahkamah Konstitusi selain kepaniteraan, yaitu antara lain asisten ahli hakim konstitusi (ASLI), arsiparis, pustakawan telah memiliki jenjang karir yang jelas dan pasti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kepaniteraan yang dalam undang-undang ditegaskan sebagai jabatan fungsional, demi kepastian hukum yang adil, dalam batas penalaran yang wajar maka tidak ada pilihan lain selain melekatkan jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN, yaitu Panitera Konstitusi dengan penjenjangan sebagai berikut: (1) Panitera Konstitusi Ahli Utama; (2) Panitera Konstitusi Ahli Madya; (3) Panitera Konstitusi Ahli Muda; dan (4) Panitera Konstitusi Ahli Pertama.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena jenjang karir kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi melekat pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN maka sebagai konsekuensi yuridis dan logis harus dilakukan penyesuaian/inpassing jenjang jabatan Panitera Konstitusi yang tidak boleh merugikan keberadaan dan keberlangsungan karir Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang sedang menjabat (existing). Demikian demikian, berkaitan dengan batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang existing adalah minimal 62 (enam puluh dua) tahun dan maksimal batas usianya adalah 65 (enam puluh lima) tahun. Adapun bagi jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan yang direkrut setelah putusan a quo berlaku sesuai dengan penjenjangan jabatan fungsional berdasarkan UU ASN. Oleh karena jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan yang tertutup maka penyesuaian/inpassing jenjang jabatan tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan penataan kepaniteraan untuk segera dilakukan penyesuaian dengan menetapkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim. Konsekuensinya, Mahkamah Konstitusi sekaligus menjadi instansi pembina kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitan ini, untuk melaksanakan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi maka terhadap jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dimaksud dikelompokkan ke dalam jabatan Panitera yang setara dengan pejabat eselon IA, Panitera Muda yang setara dengan pejabat eselon IIA dan Panitera Pengganti yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah telah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 sehingga sebagai konsekuensinya penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkenaan dengan penguatan kelembagaan supporting system yang lain di Mahkamah Konstitusi, in casu Asisten Ahli Hakim Konstitusi (ASLI). Dalam kaitan ini, jika dirunut dari proses awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi, peran ASLI dijalankan oleh Tenaga Ahli. Kemudian, peran tersebut digantikan oleh para Peneliti yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan inovasi Nasional [Perpres 78/2021], tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres 78/2021, seluruh peneliti di kementerian/lembaga dikehendaki untuk diintegrasikan di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dengan melihat kekhususan tugas dan fungsi peneliti yang melekat pada Mahkamah Konstitusi, peneliti tersebut tetap dipertahankan karirnya di Mahkamah Konstitusi dengan berganti nomenklatur jabatan fungsional menjadi ASLI [vide Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 tentang Jabatan Fungsional Asisten Ahli Hakim Konstitusi]. Dengan demikian, ASLI akan dikoordinasikan oleh seorang koordinator atau sebutan lain yang jabatannya setara dengan pejabat eselon IIA yang diatur berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Bahwa ASLI merupakan jabatan fungsional dengan nomenklatur baru yang merupakan transformasi dari jabatan fungsional peneliti yang telah lama berkarir di Mahkamah Konstitusi. Para Peneliti yang saat ini menjadi ASLI telah dididik dan dibina untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Sebagaimana halnya jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, jabatan fungsional ASLI termasuk juga jabatan fungsional tertutup yang hanya ada di Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu perlu ada jaminan hak atas kepastian hukum dan kesejahteraan dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi sesuai dengan perubahan desain, sistem dan pola kerja ASLI yang lebih terfokus pada tugas penanganan perkara konstitusi.
Bahwa sekalipun persoalan ASLI tidak didalilkan oleh para Pemohon, namun karena berkaitan erat dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya bermuara pada esensi pelembagaan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, maka untuk memberi kepastian hukum sekaligus memperjelas pelembagaan dimaksud, ASLI menjadi bagian dari struktur organisasi Kepaniteraan yang tidak lagi berada di bawah struktur organisasi Sekretariat Jenderal. Artinya, ASLI merupakan bagian dari struktur organisasi kepaniteraan yang berfungsi sebagai supporting system hakim dalam menjalankan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi.
Berkenaan dengan hal itu, sebagaimana halnya dengan jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan maka untuk jabatan ASLI pun instansi pembinanya adalah Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, telah ternyata norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, namun oleh karena pemaknaan norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang dimohonkan oleh para Pemohon, sebagaimana yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo, tidak seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum, maka permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430