Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Permohonan Pemohon Untuk Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 13.59 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XXI/2023 Perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
Permohonan Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan perkara a quo dalam rangka bela negara mempersiapkan diri untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan taat asas, paling tidak asas jujur dan adil. Oleh karena itu, mohon kiranya Mahkamah Konstitusi berkenan menjadikan permohonan a quo sebagai (salah satu) permohonan prioritas mengingat singkatnya waktu menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Terhadap dalil permohonan Provisi Pemohon tersebut dan dikaitkan dengan petitum provisi sebagaimana termaktub dalam hlm. 58 sampai dengan hlm. 60, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat uraian yang memadai dan berkorelasi dengan petitum dimaksud. Terlebih lagi petitum provisi a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan karena telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU-PRES/XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Juni 2019. Selain itu, petitum dimaksud tidak menunjukkan keterkaitan dengan norma Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo. Menurut Mahkamah, permohonan Provisi Pemohon tidak ada relevansinya sehingga tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama Permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan perbedaan dalam menentukan batas waktu pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017. Perbedaan dimaksud berpotensi menimbulkan masalah konstitusional dalam pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.11] di atas, merujuk substansi dalil Pemohon, masalah konstitusionalitas norma dalam permohonan a quo dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jangka waktu, yaitu ihwal “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017, dan “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017. Terhadap kedua jangka waktu yang menjadi substansi dalil-dalil permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan inkonstitusionalitas “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum a quo.
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh perihal “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan ketentuan mengenai “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, secara normatif, ditentukan oleh 2 (dua) undang-undang, yaitu UU MK dan UU 7/2017. Dalam hal ini, norma Pasal 74 ayat (3) UU MK menyatakan,“Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”, serta norma Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 menyatakan, “dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, ihwal jangka waktu pengajuan permohonan dapat dilakukan “dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional” dan “dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”.
Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, dengan adanya dua ketentuan tenggat waktu tersebut dapat menimbulkan perbedaan tafsir atau makna ketika Mahkamah menyelesaikan kasus konkret, in casu menyelesaikan permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Setidaknya, perbedaan dimaksud dapat terjadi saat menentukan: apakah permohonan diajukan paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam atau 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Dengan adanya perbedaan penafsiran dalam menentukan batas waktu pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terbuka ruang untuk terlanggarnya prinsip kepastian hukum sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah perlu memberikan pemaknaan ketentuan dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK yang menyatakan, “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”, dimaknai menjadi “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”. Pemaknaan baru tersebut diselaraskan dengan ketentuan dalam norma Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”. Selain memberikan kepastian hukum sebagaimana ditentukan UUD 1945, penyelarasan dimaksud juga akan memberikan keuntungan bagi pasangan calon yang akan mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah. Dengan memaknai kata “sejak” menjadi “setelah” dan “frasa 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam” menjadi “3 (tiga) hari”, pemohon dalam pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki kelonggaran waktu dalam mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini, pilihan untuk menggunakan kata “setelah” dan tidak mengabulkan pilihan 7 (tujuh) hari tidak bisa dilepaskan dari prinsip proses peradilan cepat (speedy trial) dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam desain kewenangan Mahkamah sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena jangka waktu yang dimohonkan Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan jangka waktu yang dikabulkan Mahkamah, dalil Pemohon perihal jangka waktu untuk mengajukan permohonan perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seperti dimaksud dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang pada intinya menyatakan jangka waktu bagi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara selama 14 (empat belas) hari kerja adalah bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana didalilkan Pemohon, jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja a quo tidak cukup bagi Mahkamah untuk menyelesaikan permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, batas waktu dalam kedua norma sebagaimana termaktub dalam UU tersebut akan menjadi konstitusional bilamana dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja. Menurut Pemohon jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja tidaklah dimaksudkan untuk seluruh waktu harus digunakan memeriksa, mengadili dan memutus perkara melainkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi Mahkamah mengelaborasi perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pengucapan putusan;
Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu: a. Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden”, dan ketentuan dalam norma Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi” adalah benar berada dalam rentang waktu yang terbatas. Secara konstitusional, batas waktu demikian tidak mungkin dilepaskan dari desain sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Dalam posisi demikian, jikalau terdapat pemilihan umum dua putaran, terbuka kemungkinan adanya permohonan penyelesaian sengketa hasil Pemilu setiap putaran dimaksud. Artinya, menambah atau memperpanjang jangka waktu lebih lama dari yang ditentukan dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan norma Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 potensial mengganggu jadwal ketatanegaraan, in casu batas waktu untuk pengambilan sumpah atau janji sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 9 UUD 1945. Selain itu, menambah atau memperpanjang jangka waktu dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara sebagaimana dalil Pemohon adalah tidak sejalan dengan prinsip peradilan cepat (speedy trial) dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan pertimbangan di atas, “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden” dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 tidak memadai dalam memutus perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden jika tidak dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon mengenai jangka waktu pengajuan permohonan dan jangka waktu penyelesaian perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya