Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 15.11 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pengadilan Pajak dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Berkenaan hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan para Pemohon dan disandingkan dengan permohonan sebelumnya yang pernah melakukan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002, yaitu Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, selanjutnya Perkara Nomor 57/PUU-XVIII/2020 menguji konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, di mana beberapa dasar pengujian tersebut telah digunakan pada Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 57/PUU-XVIII/2020, namun oleh karena terhadap pengujian norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 pada kedua permohonan tersebut terdapat alasan-alasan permohonan yang berbeda dan kedua putusan perkara tersebut menyatakan permohonan tidak dapat diterima, sehingga pokok permohonan belum dipertimbangkan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan a quo tidak terhalang dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, sehingga terhadap ketentuan norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai isu konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 yang dilakukan pengujian oleh para Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap pokok permohonan Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa salah satu unsur fundamental dari negara hukum yaitu adanya lembaga peradilan yang independen. Terkait hal ini dalam konstitusi juga telah ditentukan secara tegas, bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Secara doktriner, sebagai negara hukum, salah satu faktor atau ciri terpenting terletak pada kemandirian lembaga peradilan, di mana dimungkinkan selalu timbul adanya sengketa antara yang diperintah dengan yang memerintah. Dalam hal ini, sengketa antara penyelenggara negara yang berhadapan dengan rakyatnya, sebagaimana halnya yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan pengadilan pajak. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, independen dari pengaruh segala unsur kekuasaan apapun. Tanpa adanya independensi maupun kemandirian terhadap badan kekuasaan kehakiman dapat memberikan pengaruh dan dapat berdampak tercederainya rasa keadilan termasuk peluang munculnya penyalahgunaan atau penyimpangan kekuasaan maupun juga diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan juga lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkenaan hal tersebut Hakim dalam hal ini sebagai badan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai kedudukan yang sentral, sebab pada dasarnya kekuasaan kehakiman mempunyai pilar-pilar yang terdiri dari badan-badan peradilan yang dibentuk dan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga termasuk tugas dan kewenangannya masing-masing yang mempunyai sifat dan perlakuan yang sama.
Lebih lanjut dijelaskan, di antara semua lembaga peradilan, Pengadilan Pajak merupakan satu-satunya pengadilan yang keberadaannya diharapkan dapat memberikan keadilan dalam bidang pemungutan pajak sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan negara di bidang pajak. Oleh karena itu, demi tercapainya harapan tersebut, Pengadilan Pajak perlu memiliki hakim-hakim yang memenuhi persyaratan yang ketat, baik secara integritas maupun kompetensi. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU 14/2002 untuk dapat diangkat menjadi hakim, setiap calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indoensia;
b. berumur paling rendah 45 tahun;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
f. mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
i. sehat jasmani dan rohani.
Adapun terhadap pelaksanaan rekrutmen hakim Pengadilan Pajak selalu terdapat syarat tambahan dari syarat-syarat selain yang telah ditentukan pada pasal a quo, misalnya pada rekrutmen hakim Pengadilan Pajak, panitia rekrutmen pernah menambahkan persyaratan khusus terutama keahlian dan pengalaman di bidang perpajakan atau kepabeanan dan cukai.
Badan peradilan di bidang perpajakan yang diselenggarakan oleh Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena putusannya memengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak dan peningkatan penerimaan negara di bidang pajak sehingga penyelenggaranya harus merupakanpihak yang kompeten, jujur, adil, dan berwibawa. Adanya syarat khusus untuk menjadi hakim Pengadilan Pajak selain yang telah ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU 14/2002 membuat Pengadilan Pajak menjadi pengadilan yang hakim dan jajarannya diwajibkan memiliki keahlian khusus misalnya di bidang perpajakan atau kepabeanan dan cukai. Hakim pengadilan pajak secara fungsional mempunyai kedudukan yang utama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana hakim-hakim pada badan peradilan lain, sebab hal demikian juga diamanatkan dalam Konstitusi di Indonesia, bahwa kekuasaan kehakiman yang terdiri atas fungsi masing-masing badan peradilan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang. Artinya, dalam mengimplementasikan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim harus profesional dalam menjalankan ruang lingkup kewajiban dan tugas yang telah diatur dalam perundang-undangan. Selain hakim, semua pihak yang terintegrasi berada di dalam lembaga peradilan tersebut juga diharapkan menjadi pihak yang mempunyai kompetensi yang cukup dan jujur dalam melaksakanan tugasnya, yang secara integral berada dalam naungan sebuah badan pembinaan yang utuh dan tidak terpisahkan. Namun, persyaratan terwujudnya independensi badan peradilan yang seharusnya secara sistem selalu terintegrasi dimaksud, secara faktual baru terbatas pada cita-cita dan semangat saja, karena secara faktual Pengadilan Pajak selama ini masih diselenggarakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu di satu sisi tunduk pada pembinaan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan tetapi pada kewajiban lainnya, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan pembinaannya tunduk pada Kementerian Keuangan.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan fakta hukum adanya dualisme kewenangan pembinaan pada Pengadilan Pajak dimaksud, maka hal demikian jelas sama dengan mencampuradukan pembinaan lembaga peradilan yang seharusnya secara terintegrasi berada dalam satu lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman dan terpisah dengan campur tangan kekuasaan eksekutif ataupun kekuasaan manapun. Sebab, makna pembinaan secara universal adalah melakukan bimbingan baik secara teknis yudisial maupun non yudisial, di mana kedua hal tersebut berpotensi tumpang tindih (overlapping) karena tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan pilar akan kemandirian lembaga peradilan. Lebih jauh, dengan tetap mempertahankan pembinaan badan peradilan pada lembaga yang tidak terintegrasi, maka hal tersebut dapat memengaruhi kemandirian badan peradilan atau setidak-tidaknya berpotensi lembaga lain turut mengontrol pelaksanaan tugas dan kewenangan badan peradilan in casu Pengadilan Pajak, meskipun hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi dan keuangan. Namun hal tersebut, menunjukkan Pengadilan Pajak tidak dapat secara optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya secara independen. Terlebih, dalam perspektif negara hukum berkaitan dengan sistem peradilan dan proses-proses penegakan hukum untuk memberikan keadilan dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan, merupakan unsur yang fundamental dalam penguatan kedudukan lembaga peradilan yang merupakan satu kesatuan implementasi adanya konsep negara hukum yang mencita-citakan adanya supremasi hukum maupun penegakkan hukum yang adil. Dengan demikian, tanpa adanya independensi dalam lembaga peradilan dan juga setidak-tidaknya badan peradilan yang masih berpotensi dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah atau eksekutif, hal ini dapat memperlebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia/hak konstitusional warga negara oleh penguasa, akibat terabaikannya independensi badan peradilan.
Secara konstitusional, perihal independensi peradilan, telah diatur secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, tujuan yang ingin dicita-citakan dari adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau dalam hal ini disebut sebagai independensi peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Independensi peradilan merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dan telah menjadi sifat kekuasaan peradilan. Kekuasan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan juga badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan, in casu Pengadilan Pajak, sebenarnya dibentuk sebagai kelanjutan dari keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak berdasarkan UU 14/2002, di mana undang-undang ini memiliki beberapa kekhususan apabila Pengadilan Pajak dibandingkan dengan pengadilan lainnya dalam sistem peradilan di Indonesia. Kekhususan tersebut, pertama, tentang pembinaan Pengadilan Pajak terbagi oleh Mahkamah Agung dan oleh Departemen Keuangan. Kedua, tentang upaya hukum pada Pengadilan Pajak yang tidak mengenal upaya hukum pada Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi pada Mahkamah Agung. Ketiga, adalah tentang alasan-alasan permohonan Peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak yang mengandung beberapa perbedaan dengan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali pada umumnya. Keempat, adalah tentang Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menambah pajak yang harus dibayar dan dapat dikategorikan sebagai putusan bersifat ultra petita, karena melebihi dari nilai yang diajukan gugatan/keberatan. Kelima, adalah tentang tempat kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya terdapat di Ibukota Negara, meskipun terdapat mekanisme sidang di luar tempat kedudukan.
Bahwa berkenaan dengan sistem peradilan, setelah diundangkannya UU 14/2002, terdapat perubahan dalam sistem peradilan di Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 dan perubahan UU 48/2009, di antaranya adalah tentang ketentuan mengenai pengadilan khusus dan hubungannya dengan lingkungan-lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebab, sejak tahun 2004, hanya ada 4 (empat) lingkungan peradilan yang diakui di Indonesia yaitu lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan demikian, mengenai pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam dan melekat pada salah satu dari lingkungan peradilan tersebut. Sehingga, sejak saat itu Pengadilan Pajak dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus yang termasuk dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara di bawah Mahkamah Agung.
[3.12.3] Bahwa berkaitan dengan keberadaan Pengadilan Pajak yang secara faktual adalah merupakan pengadilan khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara dan hal ini telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2016 pada Paragraf [3.11] dan Paragraf [3.12] pada pokoknya menyatakan:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedua masalah pokok pengujian konstitusionalitas dari permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan menjawab dasar dari status Pengadilan Pajak apakah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :
1. Bahwa tujuan utama di bentuknya Pengadilan Pajak adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air, sehingga diperlukan dana yang memadai yang terutama bersumber dari perpajakan. Dikarenakan demikian banyaknya sengketa perpajakan sebagai upaya wajib pajak yang berusaha untuk mencari keadilan dan kepastian hukum pada akhirnya menjadikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi tidak relevan lagi untuk menyelesaikan sengketa sehingga negara pada akhirnya memberikan solusi dengan membentuk Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2. Bahwa meskipun pada awal pembentukannya Pengadilan Pajak ada ketidakjelasan berkenaan dengan statusnya dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi dan pembentuk Undang-Undang telah mempertegas tentang keberadaan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. Bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13 Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut: “bahwa Pasal 22 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945”.
4. Bahwa Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 8, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”
Penjelasan Pasal 27 ayat (1), “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.

[3.12] Menimbang bahwa meskipun Pengadilan Pajak telah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di atas, namun faktanya dalam Undang-Undang a quo, kewenangan Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mengatur segala hal yang terkait dengan Pengadilan Pajak, Mahkamah Agung hanya diberikan kewenangan dalam hal pengaturan tentang pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak sedangkan terkait dengan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) [vide Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Pajak]. Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan in casu Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal dengan “one roof system” atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.
Oleh karena itu, berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas telah ternyata Mahkamah memberikan penegasan bahwa Pengadilan Pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 sehingga termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian perlu dilakukan “one roof system”, terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak di mana pembinaan secara teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, tanpa adanya campur tangan lembaga lain.
[3.12.4] Bahwa dengan diwujudkannya sistem peradilan satu atap maka akan diperoleh adanya badan peradilan yang terbebas dari pengaruh-pengaruh pihak lain, hal ini membuktikan fungsi lembaga peradilan yang memberikan keadilan secara independen benar-benar dapat dinikmati oleh para pencari keadilan (justiciabelen) dan dengan sendirinya keadilan dan kepastian hukum adalah keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dan dipercaya publik.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut dan sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, setelah Mahkamah memeriksa bukti yang diajukan para Pemohon, telah ternyata pula terhadap UU 14/2002 telah dilakukan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak (vide bukti P-15), di mana Pasal 5 RUU a quo dirumuskan sebagai berikut:
(1) Pembinaan teknis peradilan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung;
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan;
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap;
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus tetap menjamin kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Oleh karena itu, adanya bukti rancangan undang-undang tersebut semakin meyakinkan Mahkamah bahwa sesungguhnya sudah terdapat niat dari pembentuk undang-undang untuk secara ideal meletakkan seluruh pembinaan Pengadilan Pajak secara bertahap ke dalam satu atap yaitu di bawah Mahkamah Agung. Demikian halnya pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, juga telah secara tegas mengingatkan kepada pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan tentang keberadaan Pengadilan Pajak a quo guna ditempatkan pembinaannya secara keseluruhan di bawah Mahkamah Agung. Namun, ternyata hal tersebut hingga saat ini belum juga diwujudkan oleh pembentuk undang-undang.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut dan merujuk fakta belum ditindaklanjutinya putusan Mahkamah Konstitusi hingga saat ini, Mahkamah berkesimpulan cukup beralasan secara hukum dalam putusan perkara a quo untuk menentukan tenggang waktu yang pasti kepada pembentuk undang-undang tidak hanya sekadar pesan-pesan sebagaimana dalam putusan Mahkamah sebelumnya. Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah untuk menetapkan dengan memerintahkan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 dinilai sebagai tenggang waktu yang adil dan rasional untuk menyatukan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, sejak putusan atas perkara a quo diucapkan, secara bertahap para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) segera mempersiapkan regulasi berkaitan dengan segala kebutuhan hukum, termasuk hukum acara dalam rangka peningkatan profesionalitas sumber daya manusia Pengadilan Pajak, serta mempersiapkan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengintegrasian kewenangan di bawah Mahkamah Agung dimaksud. Dengan demikian, selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 seluruh pembinaan Pengadilan Pajak sudah berada di bawah Mahkamah Agung.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya berbeda dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.