Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 112/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-05-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 12.23 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Terhadap Permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 pernah diajukan pengujian sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019, dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021. Adapun permohonan Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak terdapatnya ketentuan peralihan dalam UU 19/2019 padahal terdapat fakta bahwa anggota KPK yang terpilih berdasarkan persyaratan dalam UU 30/2002 belum memenuhi syarat usia 50 (lima puluh) tahun, sehingga apabila harus dilakukan proses seleksi ulang pemilihan calon anggota KPK, hal demikian akan merugikan perekonomian negara dan APBN yang selanjutnya akan dibebani kepada Pemohon sebagai pembayar pajak. Sedangkan terhadap permohonan a quo, pengujian Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan bahwa Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat mencalonkan diri kembali seketika sebagai calon pimpinan KPK karena menurut perubahan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 tersebut, Pemohon belum mencukupi batas usia minimal, padahal Pemohon telah pernah dinyatakan sanggup dan dapat membuktikan kinerjanya selama menjabat sebagai pimpinan sekaligus anggota KPK.
Bahwa terhadap Permohonan pengujian Pasal 34 UU 30/2002 yang pernah diajukan pengujian sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan ketentuan Pasal 34 UU 30/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan penafsiran Pasal 34 UU 30/2002 tentang masa jabatan pimpinan pengganti KPK yang terpilih. Sedangkan terhadap permohonan a quo, pengujian Pasal 34 UU 30/2002 menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan perbedaan masa jabatan pimpinan KPK dengan 12 lembaga non kementerian independen lainnya menimbulkan masalah hukum tentang status kedudukan dan derajat lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan yang memengaruhi pelaksanaan tugas KPK dalam penegakan hukum.
Dengan terdapatnya perbedaan pada dasar pengujian yang digunakan maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 62/PUUXVII/2019 maupun Perkara Nomor 5/PUU-IX/2011 dengan Perkara a quo, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut;
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, Keterangan DPR, Keterangan Presiden, Keterangan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi, Keterangan Ahli Pemohon dan Ahli DPR, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan Pemohon dan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.15] Menimbang bahwa norma yang dimohonkan Pemohon yaitu Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang mengatur tentang batasan usia minimal dan maksimal sebagai syarat untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pasal 34 UU 30/2002 yang mengatur tentang masa jabatan Pimpinan KPK. Sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa pembentukan KPK sesuai dengan amanat Pasal 43 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai respon terhadap tingginya angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan amanat tersebut dibentuk UU 30/2002 yang menjadi payung hukum bagi KPK. Adapun tujuan pembentukan KPK adalah untuk membantu lembaga-lembaga utama penegak hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang belum optimal menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi secara efektif dan efisien. Dalam sistem ketatanegaraan, KPK merupakan auxiliary organ yaitu lembaga penunjang yang dibentuk untuk mendorong peranan dari lembaga utama (Kepolisian dan Kejaksaan) yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. Meskipun sebagai lembaga penunjang (auxiliary organ), namun kedudukan KPK strategis dalam rangka pemberantasan korupsi maka KPK dikenal juga sebagai lembaga yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance. Kedudukan penting dan strategis lembaga KPK tampak jelas dalam Pasal 3 UU 30/2002 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
[3.15.2] Bahwa perubahan UU 30/2002 dilakukan untuk memberikan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi. Kinerja KPK sejak lembaga ini berdiri dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini lembaga penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK, permasalahan terkait penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menimbulkan celah dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK [vide Penjelasan UU 19/2019];
Pembaruan hukum dilakukan dengan menata regulasi kelembagaan KPK dengan cara penguatan tindakan pencegahan dalam rangka peningkatan kesadaran bagi penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Melalui perubahan beberapa ketentuan dalam UU 30/2002 tersebut, diharapkan KPK dapat diposisikan sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktur dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga hal tersebut dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, terpadu dan terkoordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[3.16] Menimbang bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum karena sebagai pimpinan KPK yang masih menjabat saat ini, diberikan hak konstitusional berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 untuk dapat mendaftar kembali seketika. Dalil Pemohon tersebut bermuara pada adanya perubahan syarat usia paling rendah 50 (lima puluh) tahun yang ditentukan dalam Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang tidak senafas dengan terdapatnya hak konstitusional untuk mendaftar kembali seketika sebagai pimpinan KPK sebagaimana diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002. Ketentuan Pasal 29 tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yaitu Pasal 29 huruf e UU 30/2002 yang mensyaratkan calon Pimpinan KPK berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo meskipun berkaitan dengan usia minimal dan usia maksimal pengisian jabatan publik yang merupakan syarat formal tidak secara eksplisit bertentangan dengan Konstitusi, namun secara implisit norma a quo menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif bila dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan mempunyai track record yang baik berkaitan dengan integritas dan persyaratan lain yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK a quo.
Bahwa perubahan ketentuan yang mengatur batas usia bagi calon pimpinan KPK tersebut terjadi ketika Pemohon telah mengikuti seleksi jabatan pimpinan KPK dan telah terpilih sebagai pimpinan KPK. Hal demikian menurut Mahkamah, harus dipandang bahwa ketika Pemohon mendaftar sebagai calon pimpinan KPK Pemohon telah dapat memperkirakan kemungkinan jika kelak Pemohon akan kembali mendaftar sebagai pimpinan KPK untuk periode kedua, maka Pemohon akan tetap memenuhi syarat pencalonan karena Pemohon telah berusia lebih dari batas minimal yang ditentukan yaitu 40 tahun (vide Pasal 29 huruf e UU 30/2002). Namun, ketika Pemohon menjabat sebagai pimpinan KPK telah terjadi perubahan terhadap syarat minimal batasan usia untuk dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK sehingga menyebabkan Pemohon tidak lagi memenuhi kualifikasi untuk menjadi pimpinan KPK, hal ini menurut Mahkamah telah menyebabkan ketidakadilan bagi Pemohon. Hak konstitusional Pemohon untuk dapat dipilih kembali dalam pencalonan sebagai pimpinan KPK telah ternyata diabaikan dan dilanggar dengan berlakunya norma Pasal 29 UU 19/2019.
Bahwa menurut Mahkamah, dalam proses seleksi pemilihan pimpinan KPK, terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pimpinan yang akan mengikuti seleksi yaitu syarat yang bersifat formal atau disebut sebagai syarat administrasi dan syarat substansi yang salah satunya dapat berupa pendidikan dan pengalaman kerja. Berdasarkan Pasal 29 UU 19/2019, pembentuk undang-undang telah secara jelas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK, antara lain syarat pendidikan, keahlian, dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, serta syarat usia minimal dan maksimal. Berkaitan dengan persyaratan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata. Sebab, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga. Terlebih, persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang membutuhkan pengalaman. Seseorang yang berpengalaman akan mampu membangun tim yang kuat dengan cara memberikan bimbingan untuk menyelesaikan setiap tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh lembaga. Terlebih lagi mengingat KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat berat dan luas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 19/2019. Sehingga, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan kemudian akan mencalonkan diri kembali, baik seketika maupun dengan jeda, sepanjang jika yang bersangkutan memenuhi persyaratan lainnya, misalnya rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan merupakan calon yang potensial untuk dipertimbangkan oleh panitia seleksi karena pengalaman memimpin KPK yang dimilikinya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait Pasal 29 huruf e UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” adalah beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 34 UU KPK yang menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa pada dasarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus terkait masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana Pasal 34 UU KPK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011 dengan amar putusan menyatakan inkonstitusional bersyarat sebagai berikut:
“5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
• Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
• Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
• Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Berdasarkan amar putusan a quo, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 34 UU KPK dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, ini sejatinya tidak secara spesifik menguji masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun, melainkan hanya menguji penafsiran Pasal 34 UU KPK terkait pertanyaan apakah masa jabatan pimpinan KPK mengenal pergantian antar waktu atau tidak apabila terdapat pimpinan KPK yang berhenti sebelum masa jabatannya selesai. Dalam kondisi seperti ini, apakah pimpinan KPK selanjutnya yang dipilih melalui Pansel yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi pimpinan KPK untuk menggantikan pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan hanya melanjutkan masa sisa jabatan pimpinan KPK sebelumnya ataukah masa jabatannya berlaku penuh selama 4 tahun. Menurut Mahkamah, berdasarkan pada putusan a quo, masa jabatan pimpinan KPK yang menggantikan berlaku penuh selama 4 tahun. Oleh karena itu, ada kemungkinan masa jabatan pimpinan KPK tidak semua berakhir secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keberlangsungan dan kesinambungan pelaksanaan tugas KPK dalam pemberantasan korupsi. Berikut pendapat Mahkamah selengkapnya.
“[3.25] Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945];”

[3.17.2] Bahwa dalam Perkara a quo, isu hukum yang diuji berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun. Namun demikian, sebagaimana terungkap dalam persidangan [vide Keterangan Ahli Pemohon yaitu Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., dalam persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 3 April 2023]., terdapat setidaknya 12 (dua belas) lembaga negara independen yang masa jabatan pimpinannya 5 (lima) tahun. tampak bahwa terdapat 12 (dua belas) lembaga negara dan komisi independen yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Namun demikian, dalam perspektif hukum tata negara, tidak semua dari kedua belas lembaga negara yang bersifat independen tersebut dan memiliki masa jabatan pimpinan/anggotanya selama 5 (lima) tahun merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan atau derajat yang sejajar dengan lembaga negara yang ada dalam UUD 1945 atau yang dikenal sebagai lembaga constitutional importance. Beberapa lembaga negara atau komisi independen meskipun tidak disebutkan di dalam UUD 1945, namun memiliki constitutional importance karenanya dianggap penting seperti Kejaksaan, KPK, Otoritas Jasa Keuangan, dan Komnas HAM (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XX/2022; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014). Menurut Mahkamah, KPK merupakan komisi yang bersifat independen, sebagai salah satu lembaga constitutional importance yang dalam melaksanakan tugasnya menegakan hukum bebas dari campur tangan (intervensi) cabang kekuasaan manapun. Namun, masa jabatan pimpinannya hanya 4 (empat) tahun, berbeda dengan komisi dan lembaga negara independen lainnya yang juga termasuk dalam lembaga constitutional importance namun memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance. Selain itu, berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya, sehingga siklus waktu pergantian pimpinan KPK seharusnya adalah 5 (lima) tahun sekali, yang tentu saja akan jauh lebih bermanfaat daripada 4 (empat) tahun sekali. Terlepas dari kasus konkrit berkaitan dengan kinerja pimpinan KPK yang saat ini masih menjabat, alasan berdasarkan asas manfaat dan efisiensi ini pula yang digunakan oleh Mahkamah tatkala memutus apakah perlu masa jabatan pimpinan KPK diberlakukan konsep Pergantian Antar Waktu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011. Berikut pendapat Mahkamah pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.24] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benarbenar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (Lembaran Negara Republilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurut Mahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi;”

Oleh karena itu, dalam putusan a quo Mahkamah kembali menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan KPK pengganti memiliki masa jabatan yang sama dengan pimpinan KPK lainnya dan tidak melanjutkan sisa waktu masa jabatan pimpinan yang digantikan. Meskipun saat ini ada pergeseran pengaturan seleksi pimpinan KPK pengganti antara Pasal 33 UU 30/2002 yang mensyaratkan dibentuknya Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih pimpinan KPK pengganti dengan Pasal 33 UU 19/2019 yang menegaskan bahwa apabila pergantian terhadap pimpinan KPK, maka Presiden cukup mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR dari calon pimpinan KPK yang tidak terpilih di DPR dari ranking berikutnya berdasarkan hasil seleksi DPR. Meskipun demikian, pada prinsipnya masa jabatan pimpinan KPK pengganti tidak melanjutkan masa jabatan pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan. Dalam hal ini, bukan merupakan pergantian antar waktu namun penggantinya akan menjalani masa jabatan yang penuh. Sebab, karakter pengisian pimpinan KPK berbeda dengan pengisian anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, dapat diyakini akan semakin menjamin keberlangsungan dan kesinambungan tugas pimpinan KPK dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUXVI/2018], merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUUXIII/2015 dan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya] dan/atau bertentangan dengan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah, sehingga pada perkara a quo terkait dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan penentuannya kepada pembentuk undang-undang. Terlebih, dalam perkara a quo sangat tampak adanya perlakuan yang tidak adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice principle).
Pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 (lima) tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan.
[3.18] Menimbang selain dari pada itu perlu Mahkamah menegaskan bahwa KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dijamin independensinya yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, sebagai upaya melindungi independensi KPK sebagai lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, perlu adanya jaminan perlakuan yang adil terhadap lembaga KPK, salah satunya terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 UU 30/2002.
Bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002 selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan telah ternyata menyebabkan dalam satu kali periode masa jabatan Presiden dan DPR yaitu selama 5 (lima) tahun in casu Periode 2019-2024, dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Dalam hal ini, secara kelembagaan, KPK diperlakukan berbeda dengan lembaga negara penunjang lainnya namun tergolong ke dalam lembaga constitutional importance yang sama-sama bersifat independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang karena terhadap lembaga constitutional importance yang bersifat independen tersebut, yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 (lima) tahun, dinilai sebanyak satu kali selama 1 (satu) periode masa jabatan Presiden dan DPR. Sebagai contoh, Presiden dan DPR yang terpilih pada Pemilu tahun 2019 (Periode masa jabatan 2019-2024), jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK 4 (empat) tahun, maka Presiden dan DPR masa jabatan tersebut akan melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu pertama pada Desember 2019 yang lalu dan seleksi atau rekrutmen kedua pada Desember 2023. Penilaian sebanyak dua kali sebagaimana diuraikan di atas setidaknya akan berulang kembali pada 20 (dua puluh) tahun mendatang. Namun, jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun, maka seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh Presiden dan DPR Periode 2019-2024 yaitu pada Desember 2019 yang lalu, sedangkan seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK Periode 2024-2029 akan dilakukan oleh Presiden dan DPR periode berikutnya (Periode 2024-2029).
Bahwa sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema 4 tahunan berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja dari pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan Presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja mempengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Perbedaan masa jabatan KPK dengan lembaga independen lain menyebabkan perbedaan perlakuan yang telah ternyata menciderai rasa keadilan (unfairness) karena telah memperlakukan berbeda terhadap hal yang seharusnya berlaku sama. Hal demikian, sejatinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu menurut Mahkamah, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 (lima) tahun.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan adalah beralasan menurut hukum.
Sementara itu, menurut Pasal 21 ayat (1) UU 19/2019 yang menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas: a. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang; b. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dewan Pengawas dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diatur oleh UU 19/2019, sedangkan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam peraturan terkait dengan Aparatur Sipil Negara. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa seiring dengan reformulasi masa jabatan pimpinan KPK dari semula 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun, maka hal itu berdampak pula terhadap masa jabatan Dewan Pengawas. Berdasarkan ketentuan Pasal 37A UU 19/2019 yang menyatakan “Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.” Dalam rangka menjaga konsistensi dan harmonisasi dalam pengaturan masa jabatan pimpinan KPK dan masa jabatan Dewan Pengawas, maka reformulasi masa jabatan pimpinan KPK menurut penalaran yang wajar berlaku pula bagi Dewan Pengawas, sehingga masa jabatan Dewan Pengawas yang semula selama 4 (empat) tahun juga disamakan menjadi 5 (lima) tahun

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dan Pasal 34 UU 30/2002 jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan diskriminasi sebagaimana yang didalilkan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.