Bahwa pada hari Selasa tanggal 28 Februari 2023, pukul 12.47 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 182 huruf g UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi Pemohon yang meminta untuk menjadikan permohonan a quo sebagai prioritas dalam pemeriksaan. Karena, menurut Pemohon tahapan pencalonan anggota DPD telah dimulai sejak tanggal 6 Desember 2022 dan akan berakhir pada tanggal 5 November 2023. Sehingga, untuk memberikan kepastian hukum maka norma syarat pencalonan anggota DPD sebagaimana dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah, tidak lagi diberlakukan.
Bahwa terhadap permohonan provisi Pemohon di atas, Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 7 Februari 2023 dan Sidang Panel Perbaikan Permohonan pada tanggal 20 Februari 2023. Berkenaan dengan hal tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 Februari 2023 telah memutuskan bahwa permohonan a quo tidak dilanjutkan ke sidang pleno untuk mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Selain alasan sebagaimana dimaksud dalam Paragraf [3.10] di bawah, putusan untuk tidak membawa ke pleno juga berkaitan dengan batas waktu pendaftaran calon anggota DPD. Oleh karena itu, terlepas ada atau tidaknya permohonan provisi dari Pemohon Mahkamah telah dengan sendirinya menjatuhkan terhadap permohonan a quo dalam waktu yang cepat tanpa harus mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Terlebih, menurut Mahkamah permohonan a quo mempunyai urgensi untuk segera diputus. Dengan demikian, permohonan provisi Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut, oleh karenanya tidak beralasan menurut hukum.
Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama, telah ternyata permohonan Pemohon substansinya berkenaan dengan persyaratan bagi mantan terpidana yang akan menjadi peserta Pemilu. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Desember 2019 menyatakan bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga, terhadap norma yang mengatur hal tersebut, yakni Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016) selengkapnya berbunyi:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Sementara itu, berkenaan dengan mantan terpidana yang akan mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPR dan calon anggota DPRD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 November 2022, Mahkamah pun telah memaknai sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
“(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
[3.12] Menimbang bahwa berdasakan kedua putusan Mahkamah di atas, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah dalam perkara a quo adalah apakah syarat kumulatif bagi mantan terpidana yang akan menjadi peserta Pemilu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 harus pula diselaraskan bagi calon anggota DPD yang berstatus sebagai mantan terpidana karena sama-sama merupakan jabatan yang dipilih melalui Pemilu. Selain itu, apakah perlu menambahkan syarat tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga syarat masa jeda lima tahun dihitung setelah selesainya seluruh pidana termasuk pidana tambahan, kecuali jika pidana tambahan tersebut dijatuhkan seumur hidup. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials) baik melalui pemilihan umum yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum angota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilihan kepala daerah yakni pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022 pada intinya telah menegaskan tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Berdasarkan perkembangan tersebut, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, Mahkamah telah memberlakukan syarat kumulatif bagi mantan terpidana yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana pemberlakuan syarat kumulatif dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diperuntukkan bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pemberlakuan syarat bagi mantan terpidana yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
“[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada putusan-putusan tersebut, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah, padahal keduanya merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials), maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Adapun perbedaan secara faktual adalah dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang tidak selaras lagi dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang selengkapnya adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Sebab, sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya;
Bahwa selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali karena fakta empirik menunjukkan bahwa terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikutip tersebut di atas dan terakhir ditegaskan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUXVII/2019. Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.
[3.12.2] Bahwa dengan telah diselaraskannya antara norma persyaratan calon bagi mantan terpidana yang akan mengajukan diri sebagai kepala daerah dan calon anggota DPR dan DPRD telah memberikan kepastian hukum dan sekaligus telah mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota serta calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan. Namun demikian, belum semua jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan memiliki pemaknaan yang sama. Ketidaksamaan pemaknaan dimaksud antara lain dapat dibaca dari persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD.
[3.12.3] Bahwa berkenaan dengan salah satu syarat untuk mernjadi calon anggota DPD, yaitu sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017, sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada pokoknya mengatur tentang syarat mantan terpidana yang akan menjadi calon anggota DPD. Apabila dibaca secara saksama, norma-norma yang telah diberikan pemaknaan di atas esensinya mengatur hal yang sama dengan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017, yaitu berkenaan dengan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, dengan belum diberikan pemaknaan untuk Pasal 182 huruf g UU 7/2017 terbuka kemungkinan bagi calon anggota DPD dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri tanpa terlebih dahulu memenuhi pemaknaan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Oleh karenanya, substansi norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 belum sejalan dengan semangat yang ada dalam kedua putusan tersebut. Padahal kepala daerah, anggota DPR dan DPRD serta anggota DPD, merupakan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan (elected officials). Dengan adanya pembedaan yang demikian berakibat terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dalam pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPD bagi mantan terpidana, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penegasan dan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPD, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagai syarat kumulatif sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017;
[3.13] Menimbang bahwa terhadap petitum permohonan Pemohon yang juga menghendaki adanya pemaknaan tambahan, yaitu “tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, menurut Mahkamah, pada satu sisi, pemaknaan tambahan demikian akan mengakibatkan perbedaan persyaratan antara calon kepala daerah, anggota DPR dan anggota DPRD dengan persyaratan calon anggota DPD. Hal demikian dapat menciptakan ketidakselarasan dan ketidakharmonisan norma syarat pencalonan bagi semua jabatan yang dipilih dalam pemilihan. Sementara di sisi lain, pemaknaan tambahan tersebut potensial menciptakan ketidakpastian hukum. Karena, pidana tambahan merupakan jenis pidana yang bersifat fakultatif yang dapat dijatuhkan hakim untuk kasus konkret yang ditangani oleh lingkup peradilan di luar Mahkamah. Terlebih lagi, dalam penjatuhan pidana tambahan yang bersifat sementara tidak mudah menemukan ukuran waktu antara pemberlakuan pidana tambahan dengan tenggang waktu masa tunggu (jeda) bagi mantan terpidana untuk mengajukan diri sebagai calon peserta Pemilu, sehingga menyulitkan dalam penerapannya. Sementara itu, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik secara permanen atau seumur hidup adalah di luar konteks mantan terpidana sebagaimana dimaksud dalam putusan-putusan di atas. Dengan demikian, agar tercipta perlakuan yang sama bagi semua calon yang akan ikut kontestasi jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials), hingga saat ini Mahkamah tetap dengan pendirian sebelumnya dan belum terdapat alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk menambahkan dalam syarat kumulatif berupa pidana tambahan sebagaimana dimohonkan Pemohon.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma dan tidak selaras dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sehingga, pemaknaan terhadap Pasal 182 huruf g UU 7/2017 akan dituangkan dalam amar putusan a quo;
[3.15] Menimbang bahwa oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430