Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN AKHIR MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2022, pukul 12.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 40A UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 40A UU 11/2021 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Bahwa terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada Rabu, 20 April 2022 yang amarnya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena permohonan para Pemohon bersifat kabur. Sementara itu, dalam Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 40A UU 11/2021 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sedangkan untuk permohonan para Pemohon a quo yang dilakukan pengujian adalah Pasal 40A UU 11/2021 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil permohonan para Pemohon, meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Terlebih lagi, terhadap permohonan sebelumnya Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil (permohonan para Pemohon bersifat kabur). Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali. Oleh karenanya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.

[3.9] Menimbang bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang [vide Penjelasan Umum UU 11/2021]. Dalam melaksanakan kekuasaan dan/atau kewenangannya tersebut, kejaksaan harus merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, meskipun berkaitan dengan kedudukan kejaksaan a quo Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011, menyatakan pada pokoknya, kejaksaan termasuk lembaga pemerintahan, yang ditandai dengan masa jabatan Jaksa Agung yang dilantik dan berhenti bersamaan dengan masa jabatan kabinet. Oleh karena itu, berdasarkan penegasan Mahkamah a quo terjadi dual obligation atas kedudukan kejaksaan, yaitu sebagai penegak hukum yang melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis dan yuridis dengan adanya dual obligation ini maka kedudukan kejaksaan adalah penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekalipun tidak disebutkan dalam UUD 1945. Sehingga dalam penataan organisasi kejaksaan, meskipun merupakan bagian dari lembaga pemerintah, namun oleh karena kejaksaan juga menjalankan fungsi penegakan hukum yang merupakan bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman, maka harus pula memperhatikan prinsip-prinsip independensi sebagaimana sebuah lembaga penegak hukum pada umumnya.

[3.10] Menimbang bahwa sejak tahun 1961 telah ada undang-undang yang mengatur mengenai institusi kejaksaan yaitu dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Kemudian UU a quo dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, lalu kembali dicabut dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang akhirnya diubah dengan UU 11/2021 yang saat ini dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon.
Bahwa UU 11/2021 membawa perubahan yang cukup signifikan pada institusi kejaksaan. Terdapat tambahan tugas dan kewenangan kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C UU 11/2021 antara lain di bidang pemulihan aset, di bidang intelijen penegakan hukum, serta kewenangan lainnya yang dinyatakan dalam dan Pasal 30C UU 11/2021. Selain itu UU 11/2021 juga mengatur perubahan pada batasan usia dalam syarat untuk diangkat sebagai jaksa dan batas usia pensiun jaksa.
[3.11] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan utama dalam permohonan para Pemohon adalah perubahan batas usia pensiun jaksa, yang sebelumnya 62 tahun sebagaimana diatur dalam UU 16/2004, menjadi 60 tahun sebagaimana diatur dalam UU 11/2021. Berkaitan dengan batasan usia pensiun, pada prinsipnya Mahkamah telah berpendirian dalam putusan-putusan terdahulu bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011 dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022, pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
“Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945…”

Bahwa dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada persoalan dengan penurunan batas usia pensiun jaksa yang sebelumnya 62 tahun menjadi 60 tahun dengan berlakunya UU 11/2021 karena hal tersebut sepenuhnya adalah kewenangan pembentuk undang-undang sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka, yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai kebutuhan. Termasuk dalam hal ini adalah penurunan batas usia pensiun jaksa dalam UU 11/2021 yang juga dibarengi dengan perubahan ketentuan syarat usia minimal untuk diangkat menjadi jaksa yang sebelumnya dalam UU 16/2004 batas usia pengangkatan jaksa paling rendah adalah 25 tahun, lalu diturunkan menjadi 23 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU 11/2021 yaitu:
“(1) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa adalah:
e. berumur paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun;

Bahwa berkaitan dengan batasan usia pada umumnya dan termasuk usia pensiun maupun usia minimum pengangkatan untuk jaksa, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, adalah menjadi kebijakan pembentuk undang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum pembentuk undang-undang untuk dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Pihak Terkait Kejaksaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, pada pokoknya menegaskan bahwa menghadapi perkembangan modernisasi dan memenuhi ekspektasi negara dan masyarakat, Politik hukum perubahan usia jaksa tidak hanya terhadap batas usia pensiun, perubahan juga berkaitan dengan ketentuan syarat usia minimal untuk dapat diangkat menjadi jaksa paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun, yang sebelumnya berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana termuat dalam Pasal 9 UU Kejaksaan. Oleh karena itu, keadaan perubahan usia pensiun dan syarat usia minimal diangkat menjadi jaksa sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan merupakan politik hukum yang berkaitan dengan perbaikan sumber daya manusia di institusi Kejaksaan Republik Indonesia [vide keterangan tertulis Pihak Terkait Kejaksaan RI hlm. 6-7]
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, terkait dengan penurunan batas usia pensiun jaksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 11/2021 Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap ketentuan norma a quo. Meskipun secara faktual norma a quo tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, namun oleh karena para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 40A UU 11/2021, maka di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas ketentuan norma tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 a quo. Oleh karena itu, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dengan alasan tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif.
[3.12] Menimbang bahwa Pasal 40A UU 11/2021 menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401)” adalah ketentuan peralihan yang mengatur pemberlakuan Pasal 12 huruf c UU 11/2021 yang menentukan bahwa jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah mencapai usia 60 tahun. Berkaitan penentuan batas usia pensiun a quo, ketentuan peralihan ini diperlukan karena ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 berakibat hukum kepada jaksa yang terdampak akibat perubahan batasan usia pensiun jaksa yang semula 62 tahun menjadi 60 tahun. Perubahan batas usia pensiun ini menimbulkan persoalan bagi jaksa yang akan, telah, atau melewati usia 60 tahun, oleh karena itu ketentuan peralihan a quo menjadi hal yang fundamental untuk menjadi rujukan dalam pemberlakuan aturan peralihan norma usia pensiun jaksa a quo terkait dengan kepastian hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif.
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, sebagai sebuah ketentuan peralihan maka Pasal 40A UU 11/2021 terikat dengan batasan yang ditetapkan pada Bagian C.4 angka 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang menyatakan:
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Bahwa terkait ketentuan tersebut, Mahkamah dalam putusan terdahulu telah berpendirian bahwa pada dasarnya ketentuan peralihan merupakan norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai “jembatan” antara keberlakuan norma (undang-undang) yang lama dengan keberlakuan norma (undang-undang) yang baru, atau norma pengganti. Oleh karena itu, ketentuan peralihan memuat penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan yang baru tersebut dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan permasalahan hukum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 77 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011 dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, hlm 125 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022].
Bahwa dengan demikian yang menjadi persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah, apakah Pasal 40A UU 11/2021 sebagai sebuah ketentuan peralihan sudah memberikan perlindungan hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi pihak yang terkena dampak atas adanya perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. Untuk menjawab persoalan a quo Mahkamah akan terlebih dahulu menilai dengan cara memaknai ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 secara gramatikal. Apabila dimaknai secara gramatikal, Mahkamah menemukan adanya persoalan terhadap ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yaitu memiliki makna ganda. Dalam kalimat “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” hal ini dapat dimaknai pertama, bahwa jaksa yang saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021] telah berusia 60 tahun atau lebih tetap mengikuti batas usia pensiun yang diatur UU 16/2004 [62 tahun], namun di sisi lain dapat pula dimaknai (sebagai pemaknaan kedua) yaitu, sejak saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021] pemberhentian jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan UU 16/2004 [usia pensiun 62 tahun], sehingga pada pemaknaan kedua seakan-akan semua jaksa berusia 60 tahun atau lebih akan terus tunduk pada UU 16/2004. Padahal pembentuk undang-undang sebagaimana keterangan Presiden dan keterangan DPR memaknai Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana pemaknaan pertama yaitu batas usia pensiun 62 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004 tetap berlaku bagi jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021].

[3.13] Menimbang bahwa terlepas dari persoalan adanya penilaian secara gramatikal norma Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, namun yang menjadi persoalan utama adalah apakah Pasal 40A UU 11/2021, yang dimaknai oleh pembentuk undang-undang bahwa bagi jaksa yang telah berusia 60 tahun atau lebih pada tanggal 31 Desember 2021 [saat UU 11/2021 berlaku] tetap mengikuti batasan usia pensiun yang diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004, memberikan kepastian hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi para Pemohon, khususnya jaksa yang pada saat UU 11/2021 diundangkan berusia kurang dari 60 tahun sebagai pihak yang tidak disebut secara langsung dalam ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 akan tetapi terdampak atas adanya perubahan UU 16/2004 menjadi UU 11/2021 dimaksud.
Bahwa dengan pemaknaan yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, Pasal 40A UU 11/2021 memiliki akibat hukum bagi semua jaksa yang pada tanggal 31 Desember 2021 (saat UU 11/2021 berlaku) belum berusia 60 tahun, yaitu akan tunduk pada Pasal 12 huruf c UU 11/2021 sehingga akan diberhentikan dengan hormat saat usianya 60 tahun. Maka setelah UU 11/2021 berlaku dimulailah rezim UU 11/2021 dengan usia pensiun jaksa yaitu 60 tahun. Fakta hukum a quo apabila dikaitkan dengan prinsip dasar yang menegaskan sebuah ketentuan peralihan harus memberikan perlindungan bagi pihak yang terdampak [vide pada Bagian C.4 angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang seharusnya menjadi jembatan yang memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak akan adanya perubahan norma akibat berlakunya undang-undang baru, namun justru tidak mencerminkan fungsi ketentuan peralihan sebagaimana dimaksud UU 12/2011. Sebab, ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 hanya menegaskan bahwa Pasal 12 huruf c UU 16/2004 masih diberlakukan bagi jaksa yang saat UU 11/2021 berlaku telah berusia 60 tahun atau lebih dan mengenyampingkan jaksa yang akan berusia 60 tahun terkait dengan bentuk perlindungan hukumnya di dalam memperoleh kepastian hukum yang adil. Dengan kalimat lain, aturan peralihan ini tidak memperhatikan jaksa lain yang dalam waktu dekat akan diberhentikan dengan hormat, in casu dalam kaitan ini termasuk para Pemohon. Meskipun tidak bermaksud menilai kasus konkret yang dialami para Pemohon, secara doktrinal aturan peralihan seharusnya memberikan perlindungan bagi pihak yang terdampak dari kerugian akibat perubahan norma, namun norma Pasal 40A UU 11/2021 hanya memberikan perlindungan bagi sebagian jaksa yang terdampak.
Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, terlepas dari penentuan usia pensiun merupakan open legal policy, namun penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali bahwa perubahan norma dari suatu undang- undang tidak boleh merugikan pihak yang terdampak, in casu dalam hal ini jaksa yang belum berusia 60 tahun. Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 secara seketika sejak UU 11/2021 diundangkan menyebabkan jaksa terdampak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Menurut Mahkamah seseorang yang akan menghadapi masa pensiun berhak mempersiapkan diri, baik secara mental maupun secara materil karena saat seseorang memasuki masa pensiun maka penghasilan yang selama ini diterima akan terhenti atau setidak-tidaknya berkurang, dalam hal ini aparatur sipil negara (ASN) hanya akan menerima hak pensiun yang jumlahnya terbatas. Dengan berlakunya Pasal 40A UU 11/2021 yang menyebabkan pemberhentian seketika bagi jaksa yang terdampak maka seketika itu pula akan berkurang penghasilan yang selama ini diterima. Selain itu, jaksa yang terdampak juga akan dirugikan karena kehilangan masa jabatannya secara seketika, kehilangan masa jabatan selama 2 (dua) tahun yang bisa jadi dalam masa jabatan itu terjadi kenaikan pangkat yang kemudian menentukan golongan ruang jaksa dimaksud karena kehilangan waktu yang turut menentukan perolehan hak-hak pensiun yang akan diterima. Meskipun bersifat materil, akan tetapi menurut Mahkamah kerugian demikian tidak dapat dipisahkan dan bisa jadi merupakan bagian dari adanya persoalan inkonstitusionalitasnya suatu norma dari undang-undang. Oleh karenanya memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 secara seketika sejak UU 11/2021 diundangkan kepada seluruh jaksa yang terdampak, khususnya yang berusia di bawah 60 tahun, menyebabkan jaksa terdampak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun.
Bahwa dengan demikian Pasal 40A UU 11/2021 yang hanya memberikan perlindungan bagi jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih saat UU 11/2021 diundangkan, menyebabkan kerugian bagi jaksa yang terdampak yaitu jaksa yang belum berusia 60 tahun saat UU 11/2021 diundangkan, yang menurut Mahkamah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa penurunan batas usia pensiun jaksa dari usia 62 tahun menjadi 60 tahun adalah konstitusional dan merupakan kebijakan hukum terbuka, dalam hal ini politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menyesuaikan dengan kebutuhan terkini instansi Kejaksaan Republik Indonesia, namun dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berpendapat bahwa ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 40A UU 11/2021 tidak memberi kepastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif menurut Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari semangat pembentuk undang-undang di dalam melakukan perubahan usia pensiun jaksadari usia 62 tahun menjadi 60 tahun, yaitu adanya kebutuhan institusi kejaksaan yang disebabkan semakin bertambahnya kewenangan kejaksaan, antara lain di bidang pemulihan aset yang diatur dalam Pasal 30A UU 11/2021, di bidang intelijen penegakan hukum yang diatur dalam Pasal 30B UU 11/2021, serta kewenangan lainnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30C UU 11/2021. Dengan alasan tersebut, maka berdampak pada bertambahnya beban kerja profesi jaksa yang dapat berimplikasi pada produktivitas dan hasil kerja institusi kejaksaan. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya perubahan batasan usia untuk diangkat menjadi jaksa lebih dini dan usia pensiun dikurangi akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan handal dalam melaksanakan fungsi dan wewenang jaksa [vide keterangan DPR tanggal 22 September 2022, hlm. 20]. Dengan demikian, untuk mempertemukan adanya persiapan masa pensiun yang cukup dengan politik hukum pembentuk undang-undang yang juga diperkuat dengan keterangan Pihak Terkait Kejaksaan, dalam rangka memberdayakan sumber daya manusia untuk menyongsong kewenangan kejaksaan yang semakin bertambah, maka Mahkamah berpendapat diperlukan waktu yang cukup agar pelaksanaan aturan peralihan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40A UU 11/2021 tersebut dapat dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain, pelaksanaan aturan peralihan Pasal 40A UU 11/2021 tidak boleh diperlakukan seketika, karena tidak memberikan perlindungan hukum terhadap jaksa yang seketika terdampak dengan pensiun secara tiba-tiba, namun juga tetap pula mengakomodir tujuan pemberdayaan sumber daya manusia kejaksaan yang lebih mampu menghadapi tantangan karena adanya beban kerja yang makin bertambah seiring dengan bertambahnya kewenangan institusi kejaksaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah memandang adalah adil apabila pemberlakuan ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 dilakukan 5 (lima) tahun sejak putusan atas perkara a quo diucapkan. Sehingga, dengan pendirian Mahkamah demikian, maka sejak ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 a quo diberlakukan, bagi jaksa yang telah berusia 60 tahun atau lebih dengan sendirinya akan pensiun secara bervariasi sesuai dengan capaian usianya masing-masing dengan maksimal usia pensiun 62 tahun. Dengan demikian, selama 5 (lima) tahun ke depan usia pensiun jaksa mengikuti ketentuan usia pensiun dalam UU 16/2004.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap petitum ketiga para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Putusan ini berlaku surut (retroaktif) yaitu sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 diberlakukan yakni tanggal 31 Desember 2021, menurut Mahkamah petitum a quo tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena dengan pemaknaan Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah pada Paragraf [3.14], maka dengan sendirinya jaksa yang berusia 60 tahun tetap akan pensiun pada usia 62 tahun hingga ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 dinyatakan berlaku yaitu 5 (lima) tahun sejak putusan perkara a quo diucapkan. Di samping itu, putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat sejak diucapkan, kecuali Mahkamah dalam amar putusan menentukan lain [vide Pasal 47 UU MK].

[3.16] Menimbang bahwa sehubungan dengan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum tersebut di atas, maka berkenaan dengan adanya hasil indeks evaluasi kinerja beberapa Kejaksaan Tinggi yang disampaikan Pihak Terkait Kejaksaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, yang menyatakan bahwa jaksa yang telah berumur di antara 60 tahun sampai dengan 62 tahun sudah berkurang produktivitasnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh undang-undang yang berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh sulit ditingkatkan semangat kerja dan kinerjanya, sehingga dirumuskan batas usia pensiun menjadi 60 tahun sebagaimana Pasal 12 huruf c UU 11/2021, menurut Mahkamah hal tersebut menjadi tugas Kejaksaan Republik Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas dan memberdayakan jaksa yang berusia di atas 60 tahun dan memberikan job description yang berorientasi pada tugas-tugas fungsionalnya secara maksimal seiring dengan beban tugas dan wewenang kejaksaan yang semakin bertambah. Sehingga, adanya pandangan bahwa jaksa yang telah berusia 60 tahun tidak diberikan penugasan yang maksimal karena hanya sekadar menunggu waktu pensiun dapat dieliminir. Bahkan, jaksa tersebut sebagai jaksa senior yang telah berpengalaman praktik cukup lama dengan berbagai varian perkara dapat memberikan alih pengetahuan dan pengalaman kepada jaksa yang lebih muda dalam rangka menghadapi tantangan tugas institusi kejaksaan ke depan.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang berpendapat ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 inkonstitusional secara bersyarat adalah beralasan menurut hukum, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon tidak seperti pemaknaan konstitusional bersyarat yang menjadi pendirian Mahkamah, maka menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.18] Menimbang bahwa oleh karena dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, maka terhadap Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Oktober 2022 harus dinyatakan tetap sah.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.