Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2022, pukul 13.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian atas Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan a quo, bukti-bukti yang diajukan Pemohon, dan ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan Presiden, keterangan Komisi Pemilihan Umum, pada pokoknya permohonan Pemohon dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok.
Pertama, pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 berkenaan dengan penyusunan daerah pemilihan harus didasarkan pada ketentuan dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Ihwal ketiga norma dimaksud, Pemohon menghendaki norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 ditambahkan penegasan bahwa penyusunan daerah pemilihan harus didasarkan pada ketentuan Pasal 185 UU 7/2017 yang menyatakan, “Penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan prinsip: a. keseteraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan”. Tanpa menambahkan penegasan prinsip dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 dimaksud, sebagaimana didalilkan Pemohon, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 menjadi inkonstitusional.
Kedua, pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 ihwal daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR; serta daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR; serta daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan Peraturan KPU”. Dengan dalil dimaksud, Pemohon sekaligus juga menghendaki agar Lampiran III UU 7/2017 tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR dan Lampiran IV UU 7/2017 tentang Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Meskipun dalil Pemohon dapat dibedakan atas dua kelompok, perlu Mahkamah tegaskan, setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan a quo, terutama uraian dalam alasan-alasan mengajukan permohonan (posita, fundamentum petendi) menunjukkan arah argumentasi yang saling berhimpitan (berkelindan) di antara keduanya. Argumentasi yang saling berkelindan tersebut, salah satunya, tidak dapat dilepaskan dari posisi semua norma yang diuji konstitusionalitasnya berada dalam satu bab dengan isu yang sama, yaitu norma yang berkenaan dengan daerah pemilihan. Bahkan, dengan membaca dan memeriksa secara saksama permohonan a quo, arah permohonan Pemohon lebih fokus pada penilaian atau masalah konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 dibandingkan penilaian terhadap konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017.
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan kelompok pertama, yaitu ihwal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa secara sistematis, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon berada dalam satu bab, yaitu Bab III tentang “Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan”. Ketika menguraikan norma dalam Bab III dimaksud, pembentuk undang-undang memulai pengaturan norma di dalam bab a quo dengan ketentuan noma Pasal 185 yang memaktubkan prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dalam hal ini, norma Pasal 185 UU 7/2017 menyatakan, “penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan prinsip, yaitu: a. kesetaraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. Integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan”. Tidak hanya sebatas menyatakan prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, UU 7/2017 juga menjelaskan maksud dari setiap prinsip dimaksud sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 185 UU 7/2017.
Bahwa salah satu masalah utama yang harus dijelaskan berkenaan dengan norma Pasal 185 UU 7/2017 adalah makna “prinsip” yang dimaktubkan dalam suatu norma. Dalam hal ini, secara normatif, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) tidak memberikan pengertian tentang kata “prinsip” dimaksud. Satu-satunya pedoman untuk menjelaskan kata dimaksud yaitu dengan merujuk Lampiran I UU 12/2011 ketika menjelaskan ihwal Teknik Penyususan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 menyejajarkan penulisan kata “asas” dan kata “prinsip” menggunakan pola menempatkan keduanya dengan garis miring. Penyejajaran penulisan kedua kata dimaksud dapat ditemui ketika menuliskan kalimat: “kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma”. Namun demikian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, kata “asas” dimaknai sebagai dasar, yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Sementara kata “prinsip” dimaknai sebagai asas, yaitu sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya. Sekalipun secara gramatikal, kata “asas” dan kata “prinsip” dapat dibedakan, namun membedakan keduanya secara tegas menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Menurut Mahkamah, penyejajaran penulisan kata “asas” dan kata “prinsip” dalam UU 12/2011 karena keduanya memiliki kelindan. Dalam hal ini, secara doktriner, karena di dalamnya mengandung makna “memiliki kebenaran”, keberadaan kata “prinsip” menguatkan posisi asas. Artinya, keberadaan prinsip-prinsip hukum dalam unsur-unsur pembentukan hukum adalah memperkuat agar nilai-nilai hukum yang terkandung dalam suatu asas-asas hukum diterima oleh masyarakat.
Bahwa dengan penjelasan di atas, 7 (tujuh) prinsip penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 dimaksudkan untuk memperkuat asas-asas pemilihan umum, yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dilaksanakan secara berkala dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, 7 (tujuh) prinsip penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 juga memperkuat asas pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 7/2017. Dengan keberadaan kata “prinsip” berkelindan dengan kata “asas” dan sekaligus memperkuat keberadaan asas, jika dikaitkan dengan keseluruhan norma dalam Bab III UU 7/2017, penerapan norma-norma lain yang berada dalam lingkup penyusunan daerah pemilihan harus tunduk pada prinsip yang ditentukan dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Keharusan untuk tunduk pada prinsip tersebut merupakan bentuk nyata atas pemenuhan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon yang menghendaki norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 diperlukan penegasan berkenaan dengan penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yaitu penegasan berupa pemaknaan (konstitusional bersyarat) perihal penyusunan dimaksud didasarkan kepada norma Pasal 185 UU 7/2017. Bilamana tidak dimaknai demikian, menurut Pemohon, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 menjadi inkonstitusional. Sebagaimana diuraikan pada paragraf di atas, sebagai norma yang berisikan prinsip-prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan, Pasal 185 UU 7/2017 harus diposisikan sebagai norma yang menyinari sekaligus mewadahi kebenaran yang menjadi dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak segala hal yang berkaitan dengan penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Menurut Mahkamah, ketujuh prinsip penyusunan daerah pemilihan tersebut wajib dijadikan dasar dalam menyusun daerah pemilihan. Namun, setelah Mahkamah mencermati norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, ketiga norma a quo tersebut berisikan ruang lingkup daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Artinya, sekiranya terdapat ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip dengan praktik penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, hal demikian haruslah dipandang sebagai persoalan implementasi norma, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih lagi, dalam teknis penyusunan norma, menambahkan makna sebagaimana yang dikehendaki Pemohon, yaitu dengan cara menambahkan frasa “yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185” untuk norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi, penambahan pemaknaan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon dapat menggerus posisi Pasal 185 sebagai norma yang menyinari dan mewadahi kebenaran dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak dalam menyusun daerah pemilihan sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 bilamana tidak dimaknai yang pada intinya daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185 UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil dalam UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan kelompok kedua, yaitu ihwal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV sebagai ikutan kedua norma dimaksud. Norma pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi serta Lampiran III dan Lampiran IV dipersoalkan konstitusionalitasnya karena dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil tersebut, untuk menjelaskan ihwal pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 serta pencantuman dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, asas pemilihan umum “jujur” dan “adil” dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menjadi dasar konstruksi konstitusional utama yang harus digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengaturan norma-norma dan lampiran a quo. Jamak dipahami, kedua asas pemilihan umum tersebut menghendaki pengaturan dan penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan dalam kerangka kontestasi pemilihan umum yang adil. Keadilan pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh regulasi yang digunakan, proses penyelenggaraan yang menjamin kesetaraan semua peserta, perlindungan hak pilih, dan kemandirian penyelenggara dalam melaksanakan seluruh tahapan pemiliihan umum. Dalam konteks regulasi, keadilan akan ditentukan dari sejauh mana regulasi menentukan batas-batas kontestasi yang adil pada semua tahapan pemilihan umum yang ada, regulasi mampu memberi garansi semua peserta diperlakukan setara dan proporsional, dan ketentuan yang dimuat dalam regulasi mengandung kepastian hukum.
[3.15.1] Bahwa berdasarkan kerangka berpikir demikian, ihwal konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, menurut Mahkamah, semua rangkaian kontestasi pemilihan umum harus tunduk pada tahapan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam hal ini, norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017 menentukan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum;
b. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
c. pendaftaran dan verifikasi peserta pemilihan umum;
d. penetapan peserta pemilihan umum;
e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f. pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
g. masa kampanye pemilihan umum;
h. masa tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil pemilihan umum; dan
k. pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Bahwa sesuai dengan norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan pemilihan umum. Secara konseptual, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu unsur yang membangun sistem pemilihan umum. Dengan demikian, penetapan daerah pemilihan merupakan bagian dari proses kontestasi pemilihan umum. Sebab, posisi daerah pemilihan merupakan bagian dari kompetisi bagi seluruh kontestan pemilihan umum untuk meraih suara pemilih dan penentuan perolehan jumlah kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagai area kompetisi, penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus rasional dan memenuhi prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi. Demi menjaga rasionalitas dan pemenuhan prinsip-prinsip dalam menentukan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus dilakukan dalam kerangka penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Selain itu, data kependudukan yang dinamis harus pula dijadikan sebagai basis utama penentuan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari suatu kontestasi pemilihan umum ke kontestasi periode berikutnya.
Sementara itu, pengaturan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 harus didasarkan pada prinsip kepastian hukum. Terkait dengan prinsip tersebut, konsep kepastian hukum yang dikehendaki ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mencakup kejelasan pengaturan atau aturan yang ada tidak multitafsir atau tidak bertentangan satu sama lain. Pada saat yang sama, kepastian hukum juga menuntut aturan hukum yang mampu menjamin tidak adanya potensi konflik kepentingan dalam pengaturan dan penerapannya. Dalam kerangka itu, norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 harus mampu mewujudkan adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
[3.15.2] Bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan dan menjawab dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, perlu dijelaskan terlebih dulu pengaturan terkait dengan daerah pemilihan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999) menyerahkan ihwal kewenangan pembentukan daerah pemilihan dan jumlah alokasi kursi per-daerah pemilihan untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) [vide Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (4) UU 3/1999]. Begitu pula dengan Pemilihan Umum Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 12/2003) masih menempatkan KPU sebagai lembaga yang berwenang membentuk daerah pemilihan [vide Pasal 25 huruf e dan Pasal 46 ayat (2) UU 12/2003]. Pengaturan daerah pemilihan dalam kedua undang-undang a quo hanya diatur dalam pasal-pasal dan tidak termasuk memuat dalam lampiran undang-undang.
Bahwa berbeda dengan kedua undang-undang di atas, sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009, pengaturan daerah pemilihan tidak hanya dalam pasal-pasal undang-undang tetapi pemuatan daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi juga dimuat dalam lampiran undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan UU 7/2017. Artinya, pengaturan daerah pemilihan demikian telah berjalan lebih kurang selama 3 (tiga) periode pemilihan umum. Selama itu pula, proses evaluasi terhadap pengaturan daerah pemilihan belum pernah dilakukan, kecuali apabila terdapat pemekaran daerah, baik provinsi atau kabupaten/kota yang kemudian diiringi dengan penambahan jumlah daerah pemilihan dan kursi DPR. Oleh karena itu, praktik pelaksanaan tiga kali pemilihan umum dimaksud sudah kuat menjadi basis penilaian terhadap pengaturan daerah pemilihan yang diadopsi dalam UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan Pemohon, kesesuaian antar prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan dengan realitas penentuan daerah pemilihan perlu dipertimbangkan lebih jauh agar jaminan terhadap penyelenggaraan dan pemenuhan asas-asas pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan keterpenuhan prinsip kepastian hukum pengaturan dan penetapan daerah pemilihan tetap dapat dijaga. Artinya, upaya memastikan asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum dimaksud sekaligus merupakan upaya mewujudkan kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
[3.15.3] Bahwa sehubungan dengan itu, dalil-dalil Pemohon berkenaan dengan terjadinya ketidakpastian hukum dalam pengaturan daerah pemilihan dalam Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017, termasuk pencantuman daerah pemilihan dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa UU 7/2017 secara tegas mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, in casu dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Prinsip penentuan daerah pemilihan dimaksud mencakup: kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilihan umum proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan. Berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan, khususnya bukti P-4 sampai dengan bukti P-6, keterangan Pemerintah dan keterangan DPR, penentuan daerah pemilihan sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran III UU 7/2017 telah menghasilkan ketimpangan “harga” suara yang signifikan antar-daerah pemilihan, terjadinya disproporsionalitas jumlah dan alokasi kursi, dan terdapatnya daerah pemilihan yang tidak memenuhi prinsip integralitas wilayah di beberapa daerah pemilihan. Sekalipun ketimpangan “harga” suara masing-masing daerah pemilihan tidak hanya sekedar diukur memakai selisih suara masing-masing, tetapi juga harus mempertimbangkan kemahalan biaya yang mesti dikeluarkan peserta pemilihan umum dalam melaksanakan fungsi representasi. Dalam hal ini, ketimpangan “harga” kursi tidak boleh terjadi terutama jika ketimpangan tersebut menghasilkan standar deviasi yang sangat tinggi. Jika hal demikian terjadi, prinsip penentuan daerah pemilihan sesungguhnya telah terlanggar. Ketika alokasi atau penentuan daerah pemilihan tersebut dicantumkan dalam lampiran undang-undang, hal itu akan berdampak terhadap ketidaksinkronan antar-norma yang mengatur prinsip daerah pemilihan dengan lampiran undang-undang yang mencantumkan pembagian daerah pemilihan. Ketidaksinkronan dimaksud akan bermuara terjadinya ketidakpastian hukum dan sekaligus berdampak pada kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, kepastian hukum sebuah norma juga harus didukung oleh tingkat keajegan suatu keadaan yang diatur oleh norma dimaksud. Dalam konteks ini, keajegan hal-hal dalam menentukan suatu daerah pemilihan sangat mempengaruhi kepastian pengaturan daerah pemilihan. Faktor utama yang mempengaruhi eksistensi sebuah daerah pemilihan adalah eksistensi daerah otonom dan jumlah penduduk. Ketika terjadi perubahan daerah otonom provinsi atau kabupaten/kota melalui kebijakan pemekaran atau penggabungan daerah, akan berdampak pada penentuan daerah pemilihan. Selain itu, perubahan komposisi jumlah penduduk, baik karena migrasi, penambahan atau pengurangan jumlah penduduk juga akan mempengaruhi daerah pemilihan dan alokasi kursi. Hal yang menyebabkan dinamisnya faktor-faktor yang memengaruhi penetapan daerah pemilihan, membuat atau menempatkan pencantuman daerah pemilihan dalam lampiran suatu undang-undang akan menyebabkan penentuan daerah pemilihan untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan baik disebabkan adanya perubahan daerah otonom maupun karena adanya perubahan jumlah penduduk sehingga menjadi tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap undang-undang dimaksud. Artinya, pemuatan daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang justru akan menimbulkan ketidakpastian dalam memenuhi prinsip-prinsip penyusunan atau penentuan daerah pemilihan. Ketidakpastian tersebut semakin terasa bilamana terdapat fakta perihal politik legislasi undang-undang pemilihan umum justru menuju pada titik tidak dilakukan perubahan setiap periode pemilihan umun, melainkan digunakan atau diberlakukan untuk beberapa periode pemilihan umum. Oleh karena itu, demi menjaga kepastian hukum dalam penentuan atau penyesuaian daerah pemilihan, pencantuman dalam lampiran undang-undang pemilihan umum jelas memiliki masalah konstitusional yang berpotensi mengancam kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945. Bahwa merujuk pengaturan tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan pemilihan umum yang dijalankan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Sejalan dengan itu, secara normatif, UU 7/2017 mengatur penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum merupakan tugas KPU. Pengaturan demikian merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Berkaitan dengan hal ini, ketentuan Pasal 12 huruf d UU 7/2017 menyatakan, “KPU bertugas mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilihan umum”. Jika ketentuan Pasal 167 ayat (4) dan Pasal 12 UU 7/2017 dibaca dalam hubungan sistematis, konstruksi normanya secara sederhana dipahami “pelaksanaan tahapan pemilihan umum berupa penetapan daerah pemilihan merupakan tugas dari KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum”. Bilamana daerah pemilihan ditetapkan sebagai bagian dari undang-undang, berarti pembentuk undang-undang telah mengambil peran dalam penetapan daerah pemilihan. Padahal, penetapan daerah pemilihan merupakan suatu tahapan dari penyelenggaraan pemilihan umum yang berada dalam lingkup tugas KPU. Dengan demikian, selama penetapan daerah pemilihan menjadi bagian dari Lampiran undang-undang, KPU akan kehilangan peran secara signifikan dalam penentuan daerah pemilihan. Bagaimanapun dengan diaturnya daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang, penetapan daerah pemilihan tidak lagi menjadi bagian dari tugas KPU. Realitas demikian menunjukkan terdapat contradictio in terminis antara norma yang mengatur tentang penetapan daerah pemilihan dan wewenang KPU untuk menetapkan daerah pemilihan dengan ketentuan yang mengatur tentang daerah pemilihan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi. Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan mandat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menuntut adanya jaminan kepastian hukum terhadap hal-hal yang diadopsi dalam undang-undang.
[3.15.4] Bahwa dengan maksud menjaga penerapan asas adil dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang muncul akibat ketidaksinkronan norma yang satu dengan yang lain terkait dengan penetapan daerah pemilihan dalam UU Pemilihan Umum. Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU. Pilihan ini akan sejalan dengan kerangka tugas KPU dan tahapan pemilihan umum yang diatur UU 7/2017. Artinya, dengan mengembalikan tugas penetapan daerah pemilihan, in casu penetapan daerah pemilihan serta alokasi kursi pada masing-masing daerah pemilihan, baik bagi anggota DPR maupun DPRD provinsi, segala potensi pertentangan UU 7/2017 dengan UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum akan dapat dijawab dan diakhiri. Dalam hal ini, Undang-Undang Pemilihan Umum cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD. Sementara itu, rincian berkenaan dengan pembagiannya diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai dengan ketentuan Pasal 167 ayat (8) UU 7/2017 yang intinya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur dengan Peraturan KPU. Dengan mengembalikan tugas ini kepada KPU maka perubahan jumlah penduduk yang menjadi basis penetapan daerah pemilihan akan lebih mudah dan cepat dilakukan dan disesuaikan tanpa harus mengubah undang-undang. Pilihan ini lebih tepat untuk menghindari atau mengatasi soal ketidakpastian hukum akibat pencantuman rincian daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang. Namun demikian, hal terpenting yang harus dilakukan, dalam menyusun peraturan dimaksud, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah [vide Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 10 Juli 2017].
[3.15.5] Bahwa apabila dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, mengembalikan tugas penentuan daerah pemilihan secara utuh kepada KPU, termasuk daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi dapat menjaga kualitas penyelenggaran pemilihan umum. Terkait dengan hal tersebut, mempertahankan tugas KPU dalam semua tahapan pemilu sejak awal hingga akhir, menjadi bagian dari upaya menjaga independesi penyelenggaraan pemilihan umum. Sebab, bilamana terdapat pihak lain yang ikut menentukan tahapan, terbuka kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan tersebut amat mudah dilacak dari kebijakan penentuan daerah pemilihan, terutama daerah pemilihan bagi anggota DPR. Terlebih lagi, dalam perkembangan penentuan daerah pemilihan disadari terdapat daerah-daerah yang tidak proporsional dalam pendistribusian jumlah kursi di DPR atau ketidakberimbangan jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR. Karena itu, secara faktual, terdapat sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih besar dibandingkan proporsi jumlah penduduk (over represented) dan terdapat pula sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih kecil jika dibandingkan proporsi jumlah penduduk (under represented). Apabila fakta tersebut tidak diperbaiki, penentuan jumlah kursi akan semakin menjauh dari keadilan keterwakilan wilayah dan prinsip proporsionalitas dalam sistem pemilihan umum proporsional.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, agar ketentuan dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV berkenaan dengan pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi agar tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah tidak mempunyai pilihan dan demi mewujudkan penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil, menyatakan bahwa daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, termasuk untuk DPR dan DPRD provinsi diatur dalam Peraturan KPU sebagaimana dimuat dalam amar putusan a quo. Karena penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi diatur dalam Peraturan KPU, maka implikasinya Lampiran III UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPR RI dan Lampiran IV UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon perihal Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil adalah beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa dengan pendirian Mahkamah pada Paragraf [3.15] di atas, oleh karena kewenangan penetapan rincian daerah pemilihan dan alokasi kursi DPR dan DPRD provinsi kembali menjadi wewenang KPU, sementara tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan sudah dimulai sejak tanggal 14 Oktober 2022 dan akan berakhir pada tanggal 9 Februari 2023. Artinya, tahapan dimaksud belum berakhir, Mahkamah perlu menegaskan agar dalam menetapkan daerah pemilihan dan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan disusun sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU 7/2017. Selain itu, dalam penentuan daerah pemilihan dan evaluasi penetapan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan a quo dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 dan pemilihan umum selanjutnya.
Bahwa terkait dengan hal tersebut, Mahkamah juga perlu memberikan batasan bahwa dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan daerah pemilihan, misalnya prinsip kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antardaerah pemilihan, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya “harga” kursi dari aspek jumlah suara untuk masing-masing kursi di daerah pemilihan, namun juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya seperti tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilihan umum. Sehingga, proporsionalitas kursi antara daerah pemilihan, terutama antara daerah pemilihan di Pulau Jawa dengan daerah pemilihan di Luar Jawa tetap dapat dijaga secara proporsional.
[3.17] Menimbang bahwa dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan daerah pemilihan dan penentuan alokasi kursi daerah pemilihan, perubahan dimaksud harus disesuaikan dengan Putusan a quo.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430