Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 66

Warning: Undefined property: stdClass::$penutupan in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91

Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-info-judicial-review.phtml on line 91
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Di Kabulkan Sebagian Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 87/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Bahwa pada hari Rabu tanggal 30 November 2022, pukul 12.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “…kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan UUD 1945, karena dapat berakibat adanya abuse of power, menciptakan angka golput yang tinggi, dan dapat dicalonkannya mantan terpidana sebagai anggota legislatif akan menularkan peluang atau potensi terjadinya korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya serta bertentangan dengan Pasal 18 UU 31/1999. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan jabatan publik yang perolehannya dengan cara pemilihan (elected officials) yaitu dalam hal ini pemilihan Presiden, anggota legislatif dan kepala daerah tidak dapat dipisahkan dengan model atau tata kelola penyelenggaraan pemilihannya, yang dikenal adanya rezim pemilihan umum dan rezim pemilihan kepala daerah. Pemilihan umum dapat berupa pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden, juga dapat berupa pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sementara itu, berkenaan dengan pemilihan kepala daerah meliputi pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 29 September 2022, telah berpendirian sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.17] dan Paragraf [3.18], sebagai berikut:
[3.17] Menimbang bahwa terkait pembelahan rezim pemilihan dalam UUD 1945, Mahkamah mengamati terdapat perubahan penafsiran yang disebabkan oleh praktik berhukum di Indonesia. Pada periode awal pasca perubahan UUD 1945, di mana pemilihan kepala daerah berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan yang belum lama dipraktikkan, Mahkamah menafsirkan adanya suatu pembedaan antara rezim Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah (vide Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas). Namun beberapa periode setelah pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan konsisten dan relatif telah menemukan bentuk terbaiknya, Mahkamah menemukan praktik berhukum yang menurut Mahkamah secara implisit telah mengubah penafsiran mengenai Pemilihan Kepala Daerah.
[3.18] Menimbang bahwa penafsiran yang dilakukan langsung melalui praktik berhukum demikian, yang menunjukkan hasil baik selama beberapa periode pemilihan umum, telah mendorong Mahkamah untuk meninjau ulang pendapat atau penafsirannya mengenai pembedaan rezim (tata kelola) kepemilihan dalam UUD 1945. Pergeseran atau perubahan penafsiran demikian dapat dilakukan oleh Mahkamah dengan tetap harus didasarkan pada alasan yang sangat kuat dan mendasar. Bagaimanapun, dalam hal tafsir atas norma Konstitusi dilakukan terlalu longgar dan relatif sering akan berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, yang kondisi ketidakpastian demikian justru berusaha dihindari dan dihilangkan oleh UUD 1945;

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, secara eksplisit, Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, berkenaan dengan salah satu persyaratan untuk menjadi calon pejabat publik yang dipilih melalui pemilihan umum, yaitu Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR/DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota yang telah pernah dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta DPD, dan calon kepada daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut ada/tidaknya ketidakselarasan antar kedua norma tersebut, mengingat keduanya mengatur tentang persyaratan formal untuk menjadi calon dalam menduduki kedua jabatan yang dipilih tersebut;
Bahwa berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada pokoknya mengatur tentang syarat mantan terpidana yang akan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 juga mengatur hal yang esensinya sama dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 10/2016 yaitu berkenaan dengan syarat mantan terpidana bagi calon kepala daerah, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Oleh karena itu, apabila dicermati dengan saksama kedua syarat formal untuk dapat menjadi calon dalam menduduki jabatan yang dipilih tersebut meskipun pada esensinya mengatur hal yang sama, akan tetapi terdapat perbedaan perlakuan yang berbeda. Perbedaan yang amat fundamental adalah berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 masih bersifat alternatif yaitu bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 mengatur syarat bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah, calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bersifat kumulatif. Artinya, diperlukan waktu tunggu 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana serta secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
[3.12.2] Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, perbedaan demikian disebabkan akibat adanya pemaknaan secara konstitusional bersyarat terhadap ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 oleh Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan salah satu syarat untuk menjadi calon kepala daerah bagi mantan terpidana, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya dan terakhir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Desember 2019 telah berpendirian, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum pada Sub-Paragraf [3.12.1] dan Sub-Paragraf [3.12.2] sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terhadap norma undang-undang yang esensi materi/muatannya sebagian memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yaitu frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan sebagian dari frasa tersebut yakni sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Bahkan sebelum berlakunya UU 10/2016 norma serupa pernah pula diputus oleh Mahkamah, norma dimaksud adalah norma yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Berkenaan dengan substansi norma dimaksud, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2012. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan putusannya tersebut adalah bahwa norma Undang-Undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Syarat yang dimaksud Mahkamah ialah: (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Dari semua putusan tersebut, pendirian Mahkamah sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah, sebab seorang calon kepala daerah harus mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Tujuan demikianlah yang hendak dicapai oleh putusan-putusan Mahkamah sebelumnya khususnya dalam memaknai syarat yang berkaitan dengan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang merupakan persyaratan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga baik pertimbangan hukum maupun amar dalam putusan-putusan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Dengan demikian, dalam hal terdapat bagian-bagian tertentu dari putusan-putusan tersebut di atas yang tidak bersesuaian dengan bagian yang lain maka harus dikembalikan kepada semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena keempat syarat tersebut diperlukan untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas maka semua syarat itu harus dipenuhi secara kumulatif dalam proses penentuan kepala daerah.
[3.12.2] Bahwa namun demikian penting untuk ditegaskan pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan pendiriannya tersebut sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.12.1] yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, sesungguhnya merupakan penegasan terhadap pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan:
“[3.18] … Mahkamah juga perlu mempertimbangkan Putusan Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tentang peniadaan norma hukum yang memuat persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004)…;
Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 menyatakan, “hal tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”; …dst;
… Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Sementara itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Mahkamah menegaskan, yang sekaligus “mengingatkan” nature Mahkamah sebagai negative legislator, dengan menyatakan, antara lain:
“... Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 ...”

Bahwa sementara itu, dalam Paragraf [3.12.3] pada putusan yang sama Mahkamah juga mengutip bagian pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017 yang menyatakan sebagai berikut:
4. ... Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan;
5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Berbeda dengan rumusan dalam norma Undang- Undang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.
6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatan-jabatan publik yang klasifikasinya bermacam macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batas- batas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap” adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut tetap berlaku.

Bahwa dengan merujuk fakta-fakta hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas. Pemberian tenggang waktu demikian juga sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah orang yang bersangkutan telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, “pernyataan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” semata-mata tidaklah memadai lagi.

[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada putusan-putusan tersebut, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah, padahal keduanya merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials), maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Adapun perbedaan secara faktual adalah dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang tidak selaras lagi dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang selengkapnya adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”

Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Sebab, sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya;
Bahwa selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali karena fakta empirik menunjukkan bahwa terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikutip tersebut di atas dan terakhir ditegaskan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap norma a quo harus diselaraskan dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.

[3.15] Menimbang bahwa oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.