Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 17.45 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU 18/2003) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Pertimbangan demikian diperlukan untuk menentukan apakah norma a quo dapat dimohonkan kembali karena norma a quo telah pernah diajukan pengujian dan telah diputus dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya. Berkenaan dengan fakta tersebut:
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut, ketentuan norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 30 November 2006, dengan amar “Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya”; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 November 2019, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 menggunakan dasar pengujian, yaitu: Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, serta Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menggunakan dasar pengujian, yaitu: Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 pada intinya adalah larangan rangkap jabatan pimpinan organisasi advokat sebagai pengurus partai politik, sedangkan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menggunakan alasan pada intinya berkenaan dengan pembentukan organisasi advokat. Berdasarkan uraian di atas, setelah membandingkan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 dengan permohonan a quo, telah terdapat perbedaan dasar pengujian dalam mengajukan permohonan inkonstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003. Dalam hal ini, Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018. Selain dasar pengujian, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.7] angka 1 sampai dengan angka 5, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah ketiadaan pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan tersebut menjadi sangat relevan karena selama ini pengaturan berkenaan dengan masa jabatan pimpinan suatu organisasi advokat hanya diatur atau didasarkan AD/ART organisasi advokat. Sebagaimana didalilkan Pemohon, sebagai organisasi penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam desain besar penegakan hukum di Indonesia, pembatasan masa jabatan pimpinan menjadi sesuatu yang mendasar dalam menjaga eksistensi organisasi advokat.
[3.13] Menimbang bahwa pada prinsipnya advokat bertatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU 18/2003. Secara doktrinal penegak hukum merupakan aparat yang berhubungan, salah satunya dengan masalah peradilan (litigasi). Dalam menciptakan sistem peradilan yang mengedepankan supremasi hukum dan hak asasi manusia, selain unsur penegak hukum lainnya, diperlukan campur tangan dan pengaruh dari luar yaitu profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia (vide konsiderans Menimbang UU 18/2003). Artinya, usaha mewujudkan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, advokat memiliki peran dan fungsi yang sama dengan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. Sehubungan dengan posisi itu, Mahkamah telah pernah mempertimbangkan dan memutus bagaimana sejatinya posisi advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum. Dalam hal ini, paling tidak, ihwal kelindan advokat dengan penegak hukum lainnya dapat ditelusuri dari pertimbangan hukum yang termaktub dalam halaman 57 angka 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 yang menyatakan, “Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan...”. Selanjutnya, pertimbangan hukum putusan Mahkamah a quo menegaskan, “advokat mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya”, tetap terkait erat dengan penegak hukum lainnya, antara lain seperti hakim, polisi dan jaksa, dalam rangka menjaga dan menjamin terciptanya kepastian hukum bagi semua pencari keadilan untuk mewujudkan supremasi hukum dan keadilan”.
[3.14] Menimbang bahwa sebagai sebuah organisasi yang berkaitan dengan penegakan hukum, adovat merupakan profesi mulia (officium nobile). Sebagai sebuah organisasi profesi, Louis Dembitz Brandeis, advokat terkemuka dan pernah menjadi Hakim Agung Amerika Serikat (1916-1939) mengemukakan bahwa sebuah perkerjaan dapat dikatakan sebagai profesi apabila memiliki ciri-ciri pengetahuan; diabadikan untuk kepentingan orang lain; keberhasilan bukan didasarkan pada keuntungan finansial; didukung oleh adanya organisasi profesi; dan adanya standar kualifikasi profesi. Dari kesemua ciri yang harus dimiliki tersebut, organisasi profesi merupakan salah satu pilar penopang keberadaan sebuah profesi. Keberadaan organisasi profesi bagi sebuah profesi sangat dibutuhkan karena organisasi profesi akan melaksanakan sejumlah fungsi seperti fungsi menetapkan kode etik profesi. Fungsi menetapkan kode etik profesi merupakan sebuah fungsi membentuk norma etika yang akan berlaku bagi seluruh anggota organisasi profesi. Selain fungsi menetapkan kode etik, umumnya organisasi juga melaksanakan fungsi penegakan kode etik bagi anggota-anggotanya.
Tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya, ciri-ciri yang sama juga berlaku bagi organisasi advokat sebagai sebuah organisasi profesi. Sebagai sebuah profesi, para advokat juga tergabung dalam organisasi advokat yang melaksanakan fungsi membentuk kode etik, menegakkan kode etik dan fungsi lain seperti menyelesaikan masalah-masalah profesi, membela hak-hak anggota dan juga sebagai sarana saling berbagi informasi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas profesi. Jika dikaitkan dengan substansi yang diatur dalam UU 18/2003, dapat dipahami organisasi advokat sebagai sebuah organisasi profesi juga merujuk pada kerangka organisasi profesi dimaksud. Dalam hal ini, organisasi advokat diberi tugas dan fungsi untuk menyusun kode etik dan pada saat yang sama, organisasi profesi juga melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi. Fungsi organisasi profesi dimaksud harus dilaksanakan secara profesional. Sebab, sebuah organisasi profesi menuntut segala aspek yang berkenaan dengan profesi, termasuk pengelolaan organisasi secara profesional. Sejalan dengan itu, organisasi profesi harus dijauhkan dari segala praktik pengelolaan yang dapat meruntuhkan kewibawaan organisasi di mata para anggota penyandang profesi. Bagaimana pun, wibawa organisasi profesi menjadi sangat penting agar organisasi profesi tetap solid dan memiliki semangat yang sama dalam mematuhi dan melaksanakan etika profesi yang telah disepakati bersama.
Berkenaan dengan pertimbangan di atas, bagaimana agar organisasi profesi tetap profesional, berwibawa dan terjaga soliditasnya. Salah satu cara yang paling umum adalah keharusan diterapkannya prinsip tata kelola organisasi profesi yang baik. Di antara prinsip tata-kelola organisasi dimaksud adalah adanya partisipasi anggota, yaitu organisasi profesi memberikan ruang yang sama bagi semua anggota profesi untuk terlibat dalam mengelola dan berperan dalam organisasi profesi. Partisipasi anggota dalam pengelolaan organisasi mengharuskan praktik dominasi dalam organisasi untuk dicegah sedemikian rupa. Pada posisi demikian, partisipasi anggota tanpa dominasi dimaksud mengharuskan organisasi profesi untuk mengatur pembatasan terhadap pemegang kekuasaan organisasi profesi. Dalam hal ini, advokat sebagai penegak hukum sudah seharusnyalah memiliki tata kelola organisasi yang dapat mencegah adanya dominasi individu yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang jamak dipahami: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Oleh karena itu, perlu dibuka partisipasi anggota yang luas untuk berperan serta dalam pengelolaan organisasi. Hal demikian dapat mencegah kemungkinan terjadinya potensi penyalahgunaan yang dapat merusak kewibawaan organisasi profesi, termasuk dalam hal ini organisasi profesi advokat.
[3.15] Menimbang bahwa bertolak dari rumusan utuh Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 pembatasan pimpinan organisasi advokat, yakni hanya berkenaan dengan larangan rangkap jabatan antara pimpinan organisasi advokat dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 tidak mengatur mengenai pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat karena ketentuan mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat dituangkan ke dalam bagian susunan organisasi advokat yang diatur pada AD/ART organisasi advokat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003. Dengan konstruksi norma hukum demikian, masa jabatan dan periodisasi pimpinan organisasi sangat tergantung dari pengaturan internal organisasi advokat. Oleh karena pengaturan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan advokat hanya diatur secara internal, in casu melalui AD/ART, masing-masing organisasi advokat dapat dengan bebas mengaturnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan seseorang menjabat sebagai pimpinan orgasisasi advokat secara berulang-ulang karena tidak adanya pengaturan ihwal batasan periodisasi masa jabatan di tingkat undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, model pengaturan yang demikian dapat menghilangkan kesempatan yang sama bagi para anggota dalam mengelola organisasi serta kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dalam organisasi advokat. Hal demikian dapat berujung pada ketidakpastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum;
Secara normatif, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 hanya menentukan pembatasan bahwa pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Dengan batasan tersebut, apabila seorang pimpinan organisasi advokat melakukan rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sama sekali tidak memuat pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, apabila dikaitkan dengan advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya, atau setidak-tidaknya dilakukan rotasi secara periodik (tour of duty) untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal ini, undang-undang seharusnya dapat memberikan kepastian hukum mengenai pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Rumusan yang membatasi masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua anggota organisasi advokat yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat membuka kesempatan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan dapat memenuhi salah satu prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa pengaturan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat tidak secara eksplisit diatur dalam UU 18/2003. Dalam hal ini Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003 hanya menyatakan, “Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga”. Dalam praktik, ketentuan tersebut yang dijadikan sebagai dasar untuk mengatur perihal susunan organisasi advokat, yang di dalamnya juga diatur mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat. Apabila dibandingkan dengan organisasi penegak hukum lainnya, pembatasan masa jabatan pimpinan lembaga penegak hukum dimaksud dibatasi secara jelas oleh norma di tingkat undang-undang atau dilakukan rotasi secara periodik. Dalam konteks itu, sebagai sebuah organisasi yang diposisikan sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, menjadi kebutuhan pula untuk mengatur secara jelas pembatasan masa jabatan termasuk pembatasan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Oleh sebab itu, dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat dapat memberikan jaminan terciptanya kepastian hukum dan kesempatan yang sama di hadapan hukum bagi setiap anggota yang tergabung dalam organisasi advokat. Pembatasan demikian sesuai dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan pembatasan masa jabatan dan periodesasi jabatan tersebut, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan organisasi advokat adalah 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pilihan 5 (lima) tahun tersebut didasarkan kepada praktik pembatasan masa jabatan yang secara umum digunakan oleh organisasi advokat atau organisasi pada umumnya. Sementara itu, berkenaan dengan masa jabatan 2 (dua) kali periode tersebut dapat dilakukan secara berturut-turut atau secara tidak berturutturut. Dengan diletakkan dalam cara berfikir demikian, akan menghilangkan atau mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam tubuh organisasi advokat.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 hanya membatasi pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, namun dikarenakan norma a quo merupakan norma yang memberikan pembatasan terhadap pimpinan organisasi advokat, maka Mahkamah menjadi memiliki dasar yang kuat untuk menambahkan pembatasan lain demi memenuhi tata kelola organisasi advokat yang baik dan sekaligus memenuhi hak-hak anggota advokat. Oleh karena itu, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 yang menyatakan, “Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat mupun di tingkat daerah” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”, sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan a quo.
[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.17], di mana secara faktual sangat mungkin terdapat pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) periode sebelum putusan a quo, maka untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan persoalan dalam organisasi advokat, pimpinan organisasi advokat yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya dan selanjutnya pengisian masa jabatan pimpinan organisasi advokat disesuaikan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana putusan a quo.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena tidak ada relevansinya
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430