Bahwa pada hari Senin tanggal 31 September 2021, pukul 16.03 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 170 ayat (1) beserta penjelasan UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon pada esensinya adalah mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon. terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut;
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang pada pokoknya menjelaskan Pemohon sebagai partai politik memiliki hak konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden, termasuk calon dari kalangan “pejabat negara” yang telah ditentukan dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yaitu:
“Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota.”
Menurut Pemohon, Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 merupakan ketentuan yang memuat syarat tambahan bagi Pemohon sebagai partai politik atau gabungan partai politik terkait dengan pencalonan Presiden atau calon Wakil Presiden dalam pemilu karena surat pengunduran diri pejabat negara tersebut didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik di Komisi Pemilihan Umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 170 ayat (2) UU 7/2017. Menurut Pemohon, syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Pasal 169 UU 7/2017 serta syarat tambahan yang mengharuskan pejabat negara, in casu menteri, untuk mengundurkan diri dari jabatannya ketika dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden merupakan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa berkaitan dengan persoalan seseorang yang akan menjabat sebagai kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah, yaitu Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), Mahkamah dalam putusan-putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015, dan kemudian terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 November 2017, yang dalam pertimbangan hukumnya juga telah menguatkan pendirian putusan-putusan sebelumnya, berkenaan dengan Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) harus mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan-Putusan Mahkamah tersebut di atas dan setelah memeriksa secara saksama dalil Pemohon dalam Permohonan a quo, Mahkamah menemukan adanya persamaan substansi keberlakuan norma berkaitan dengan frasa “pejabat negara” yang dicalonkan dalam Putusan-Putusan Mahkamah tersebut di atas berkaitan dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, dalam Permohonan a quo Mahkamah dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap konstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah tersebut di atas. Bahwa persoalan esensial yang harus dijelaskan oleh Mahkamah adalah berkaitan dengan substansi yang terdapat dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang memberikan pengecualian terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota untuk tidak diperlukan syarat pengunduran diri pada saat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sementara itu, terhadap pejabat negara lainnya, termasuk menteri atau pejabat setingkat menteri, dipersyaratkan harus mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian, terdapat perbedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan dimaksud.
Selanjutnya terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, dalam perspektif seseorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu sejatinya pada diri yang bersangkutan melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang atau putusan pengadilan. Oleh karena itu, terlepas pejabat negara menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi.
[3.12.3] Bahwa persoalan selanjutnya adalah bagaimana dengan pendirian Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017, yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) harus mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum. Terhadap hal demikian, oleh karena sesungguhnya baik jabatan publik/pejabat negara yang diangkat maupun yang dipilih merupakan jabatan yang erat hubungannya dengan persoalan netralitas yang di dalamnya terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan, antara lain berupa penggunaan pengaruh atau pemakaian fasilitas milik negara dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang tidak berbeda dengan kontestasi pemilihan kepala daerah. Terlebih, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 29 September 2022 [vide Paragraf [3.19] hlm. 40], Mahkamah tidak lagi membedakan antara rezim pemilu dan pemilihan kepala daerah, maka membedakan syarat pengunduran diri pejabat publik/pejabat negara, baik yang diangkat maupun dipilih, adalah tidak relevan lagi untuk diberlakukan pada konteks saat ini, karena untuk mengisi jabatan-jabatan politik dimaksud memerlukan calon-calon yang berkualitas dari berbagai unsur dan potensi sumber daya manusia Indonesia. Terlebih lagi, untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden memiliki sifat dan syarat khusus sebagaimana telah ditentukan dalam tatacara pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, in casu untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden, Mahkamah memiliki pertimbangan lain berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya.
Bahwa dalam perspektif adanya kekhawatiran melekatnya jabatan pada pejabat yang dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden akan memengaruhi netralitas yang bersangkutan sehingga diwajibkannya untuk mengundurkan diri, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak konstitusional yang dimiliki oleh pejabat yang bersangkutan. Terlebih di dalam mendapatkan jabatannya tersebut, pejabat yang bersangkutan memerlukan perjalanan karir yang panjang, bisa jadi di saat itulah sesungguhnya puncak karir dari pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian, tanpa harus mengundurkan diri, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih dapat dipergunakan di dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara, sekalipun pejabat yang bersangkutan kalah dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional. Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
[3.12.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah selanjutnya akan memberikan penilaian berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, in casu Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017, yang berkaitan dengan frasa “pejabat negara” yang dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Berkenaan dengan hal tersebut oleh karena satu-satunya hal yang membedakan argumentasi Permohonan a quo dengan permohonan-permohonan sebagaimana tersebut pada Sub-paragraf [3.12.2] dan Sub-paragraf [3.12.3] adalah argumentasi yang mengecualikan bagi pejabat negara, in casu menteri dan pejabat setingkat menteri, yang hendak dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam dalil Permohonan Pemohon dan ditegaskan dalam Petitum Permohonan Pemohon agar dikecualikan untuk tidak perlu mengundurkan diri. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridis sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah tersebut di atas, maka terhadap syarat pengunduran diri pejabat publik/pejabat negara, termasuk dalam hal ini menteri dan pejabat setingkat menteri untuk dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017. Dengan demikian, ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 harus dimaknai secara bersyarat yang selengkapnya sebagaimana akan dinyatakan dalam amar putusan a quo;
Bahwa selanjutnya, meskipun Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.12.2] dan Sub-paragraf [3.12.3] telah berpendirian menteri atau pejabat setingkat menteri dapat dikecualikan untuk tidak mengundurkan diri apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, namun demikian penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan pejabat negara yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mendapat persetujuan dan izin cuti dari Presiden.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagai akibat adanya perubahan berupa pemaknaan baru terhadap norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017. Berkenaan dengan hal tersebut, oleh karena ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 esensinya adalah menegaskan tentang frasa “pejabat negara” yang dikecualikan mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, in casu untuk menteri atau pejabat setingkat menteri, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017, maka dengan telah dinyatakannya menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk yang dikecualikan untuk tidak dipersyaratkan mengundurkan diri, sebagai konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017 harus dinyatakan tidak ada relevansi untuk dipertahankan lagi, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 selengkapnya sebagaimana yang akan dinyatakan dalam amar putusan a quo;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata menimbulkan diskriminasi sebagaimana yang dimaksud dalam norma Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430