Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 11.30 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 143 ayat (3) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa secara doktriner surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisi susunan/konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai yang menjadi perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam undang-undang yang bersangkutan. Oleh karena surat dakwaan merupakan sebuah akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisikan perumusan atau alur kejadian suatu tindak pidana yang didakwakan kepada seseorang atau beberapa orang terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan, maka surat dakwaan tersebut adalah merupakan instrumen yang hanya secara eksklusif memberikan hak dan kewenangan kepada jaksa penuntut umum berdasarkan atas asas oportunitas, sebagai wakil dari negara untuk melakukan suatu penuntutan kepada seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Jaksa penuntut umum berwenang melakukan suatu penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Sementara itu, dasar hukum pembuatan suatu surat dakwaan adalah Pasal 14 huruf d KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan jika dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan [vide Pasal 140 ayat (1) KUHAP]. Selanjutnya, surat dakwaan dimaksud dilimpahkan kepada pengadilan negeri pada wilayah hukum yang berwenang untuk mengadili atas perkara yang bersangkutan [vide Pasal 137 KUHAP]. Lebih lanjut, apabila ditinjau dari sudut kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan suatu perkara tindak pidana, maka fungsi suatu surat dakwaan dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kategori kepentingan, yakni:
1) Bagi jaksa penuntut umum:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pembuktian yuridis dari suatu tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum.
2) Bagi terdakwa/penasihat hukum:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dalam mempersiapkan suatu pembelaan atas suatu dakwaan terhadap suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
3) Bagi hakim:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di persidangan, serta sebagai dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pidana.
[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan syarat-syarat surat dakwaan, berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, surat dakwaan harus memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil. Adapun syarat formil surat dakwaan yang dimaksudkan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, meliputi:
1) Surat dakwaan harus diberi tanggal dan tanda tangan penuntut umum.
2) Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
Sedangkan syarat materiil surat dakwaan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, meliputi:
1) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;
2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Adapun berkenaan dengan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null end void) yang artinya dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Terhadap surat dakwaan batal demi hukum tersebut, bukan berarti bahwa perkara tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sebagaimana pengertian “batal demi hukum” pada umumnya.
Lebih lanjut, berkenaan dengan jenis-jenis surat dakwaan, secara normatif surat dakwaan dapat dibagi menjadi:
1. Dakwaan Tunggal.
Arti surat dakwaan tunggal adalah surat dakwaan yang hanya memuat satu tindak pidana saja yang didakwakan. Surat dakwaan tunggal diterapkan karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan secara alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.
2. Dakwaan Alternatif.
Arti surat dakwaan alternatif adalah surat dakwaan yang memuat satu jenis tindak pidana yang didakwakan, namun antara dakwaan yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat kualifikasi tindak pidana yang berbeda. Terhadap dakwaan jenis ini meskipun diajukan secara berlapis, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Bahkan, tata cara pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurutan sesuai lapisan dakwaannya, tetapi langsung dapat pada dakwaan yang dipandang terbukti. Sebab, apabila salah satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
3. Dakwaan Subsidair/Subsidiaritas
Arti surat dakwaan subsidair/subsidiaritas adalah surat dakwaan yang pembuktiannya dilakukan secara berurutan, dimulai dari lapisan dakwaan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan, oleh karenanya terhadap terdakwa hanya dapat dikenakan dakwaan yang terbukti di antara lapisan dakwaan yang didakwakan.
4. Dakwaan Kumulatif
Arti surat dakwaan kumulatif adalah surat dakwaan yang berisi beberapa jenis tindak pidana sekaligus, di mana kesemua jenis tindak pidana yang didakwakan tersebut harus dibuktikan satu per satu. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Dakwaan jenis ini diterapkan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan mempunyai jenis kualifikasi yang berbeda.
5. Dakwaan Kombinasi
Arti surat dakwaan kombinasi adalah surat dakwaan yang disusun dalam bentuk kombinasi/gabungan antara dakwaan alternatif dengan dakwaan kumulatif dan/atau subsidair. Terhadap dakwaan jenis ini dibutuhkan seiring dengan perkembangan/kompleksitas varian tindak pidana, baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mencermati hal-hal berkaitan dengan surat dakwaan baik pengertian, jenis, dan syarat penyusunan surat dakwaan serta akibat hukum yang ditimbulkan terhadap dakwaan yang dapat berakibat batal demi hukum sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.13.1] dan Sub-paragraf [3.13.2], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut apabila dicermati secara saksama salah satu syarat utama dalam penyusunan surat dakwaan adalah adanya uraian secara cermat yang mengandung arti adanya sifat imperatif berupa ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Sebab, surat dakwaan merupakan dasar untuk melakukan pemeriksaan bagi seorang terdakwa dalam persidangan yang kebenarannya akan dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan untuk selanjutnya hasil pembuktian dalam persidangan tersebut dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan bagi hakim apakah akan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, surat dakwaan menjadi syarat yang fundamental untuk dapat atau tidaknya seseorang dipersalahkan karena telah melakukan tindak pidana dan selanjutnya dijatuhi pidana yang salah satunya berupa perampasan kemerdekaan seseorang.
Dengan menempatkan kata "cermat" pada awal rumusan norma Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, secara filosofis dapat dipahami bahwa pembuat undang-undang menghendaki agar jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Bahkan lebih dari itu, oleh karena surat dakwaan merupakan syarat yang fundamental yang dapat berakibat hukum atas perampasan kemerdekaan seseorang apabila kesalahannya dapat dibuktikan, sedangkan kemerdekaan seseorang merupakan salah satu hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Maka, dalam perspektif perlindungan hukum, undang-undang, dalam hal ini KUHAP, telah memberikan batasan terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan, baik formil maupun materiil, berakibat dapat dibatalkan bahkan batal demi hukum [vide Pasal 143 ayat (2) KUHAP].
Bahwa berkaitan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal atau batal demi hukum sama sekali belum mempertimbangkan materi pokok perkara sehingga terhadap putusan tersebut belum melekat unsur nebis in idem [vide Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]. Oleh karena itu, selain jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi atas putusan pengadilan negeri yang menyatakan batal atau batal demi hukum surat dakwaan, jaksa penuntut umum masih berwenang juga untuk mengajukan lagi atas perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Selanjutnya, atas surat dakwaan baru yang diajukan tersebut, pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa. Dengan demikian, sesungguhnya putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal atau batal demi hukum, secara yuridis tidak menghilangkan kewenangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang pengadilan.
[3.15] Menimbang bahwa KUHAP sebenarnya juga mengatur mengenai pengubahan surat dakwaan dan bukan perbaikan surat dakwaan setelah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Pengubahan surat dakwaan dimaksud diatur dalam Pasal 144 KUHAP yang berbunyi: (1) Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pengubahan surat dakwaan dilakukan oleh jaksa penuntut umum, waktu pengubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang, pengubahan surat dakwaan hanya satu kali saja, dan turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Ketentuan ini hanya mengatur mengenai prosedur perubahan surat dakwaan, sedangkan materi surat dakwaan tidak diatur apa yang diperbolehkan atau apa yang tidak boleh diubah, sehingga dapat diambil kesimpulan pengubahan dan/atau penyempurnaan terhadap surat dakwaan boleh dilakukan tanpa suatu pembatasan, bahkan sampai untuk tidak melanjutkan penuntutan asalkan tidak melewati tenggang waktu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 144 KUHAP. Hal demikian menunjukkan bahwa surat dakwaan adalah hal yang sangat mendasar sehingga jaksa penuntut umum diberi kesempatan untuk melakukan pengubahan sebelum perkara dilakukan pemeriksaan di persidangan dan perbaikan setelah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dalam pemeriksaan di persidangan.
[3.16] Menimbang bahwa persoalan selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah terhadap surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat formil atau materiil dan surat dakwaan kabur (obscuur libel) berapa kali dapat diajukan terhadap terdakwa di persidangan. Sebab, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, jaksa penuntut umum jika keberatan dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan [vide Pasal 156 ayat (3) KUHAP].
Bahwa sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, di samping jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan juga berwenang mengajukan kembali perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan jika upaya hukum perlawanan ditolak oleh pengadilan tinggi, dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Namun, yang menjadi persoalan krusial selanjutnya adalah tidak terdapatnya jangka waktu kapan surat dakwaan tersebut diperbaiki dan berapa kali surat dakwaan tersebut dapat diperbaiki serta berapa kali pula hakim dapat menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum. Dengan demikian, tanpa kejelasan status dan batasan waktu kapan perkaranya akan selesai hal tersebut menjadikan terdakwa dan/atau korban tindak pidana dapat kehilangan hak konstitusionalnya karena dalam ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.
Bahwa secara normatif permasalahan yang menjadi penyebab dari persoalan tersebut di atas, bukan semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma, sebab praktik hukum yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang dapat mengajukan surat dakwaan berkali-kali atas suatu perkara yang sama dengan surat dakwaan yang sudah diperbaiki, setelah sebelumnya pernah dinyatakan batal atau batal demi hukum, dapat terjadi akibat KUHAP tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus berdasarkan putusan sela. Demikian pula untuk hakim atau pengadilan negeri, juga dapat disebabkan karena tidak diaturnya atau ditegaskannya berapa kali surat dakwaan dapat dinyatakan batal/batal demi hukum oleh hakim melalui putusan sela. Selain dialami oleh Pemohon telah ternyata terhadap hal serupa juga dialami oleh saksi Pemohon dan beberapa terdakwa lainnya sebagaimana yang didalilkan dalam pokok permohonan. Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan saksi-saksi yang diajukan, menurut Mahkamah terdapat celah dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan a quo yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, baik bagi terdakwa dan/atau korban tindak pidana. Terlebih, secara universal hal tersebut tidak sejalan dengan asas litis finiri oportet yang menegaskan bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.
[3.17] Menimbang bahwa ketidakjelasan mengenai berapa kali perbaikan surat dakwaan dapat dilakukan untuk mengajukan kembali terdakwa di persidangan dan batasan berapa kali hakim dapat menjatuhkan putusan sela, menjadikan status terdakwa dan perlindungan hak korban tindak pidana menjadi persoalan yang harus dijawab dan diantisipasi oleh Mahkamah agar diperoleh adanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum. Dengan demikian, cukup beralasan apabila Mahkamah memberikan batasan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum.
Bahwa sejalan dengan pentingnya pembatasan-pembatasan dimaksud, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana, di mana sesungguhnya juga melekat kewenangan untuk dapat mempertimbangkan keterpenuhan syarat suatu surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil serta dakwaan yang dinilai kabur secara ex-officio dapat dipertimbangkan bersama-sama dengan materi pokok perkara. Namun demikian hal tersebut dapat dikecualikan apabila terhadap perkara pidana yang bersangkutan diajukan keberatan (eksepsi) berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, baik adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka hakim dapat menerima ataupun menjatuhkan putusan bersama-sama dengan putusan akhir setelah pemeriksaan materi pokok perkara selesai [vide Pasal 156 ayat (2) KUHAP]. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut:
Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
1 Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.
2 Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.
Bahwa berpijak dari ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut di atas, apabila dicermati secara saksama, sesungguhnya tidak ada keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan sela pada setiap adanya keberatan (eksepsi) dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, menurut Mahkamah, oleh karena ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP a quo tidak bersifat imperatif atau opsional, maka demi terciptanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban pelaku tindak pidana dan juga kepentingan umum, eksistensi Pasal a quo menjadi alasan fundamental untuk dilakukannya pembatasan atas surat dakwaan yang dapat diperbaiki dan dapat diajukannya kembali terdakwa di persidangan secara berulang-ulang. Di samping itu, juga bagi hakim di dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan.
[3.18] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas, oleh karena sesungguhnya kesempatan untuk mengajukan keberatan atas surat dakwaan jaksa penuntut umum hanyalah hak dan bukan kewajiban, maka sejatinya adanya pembatasan atas perbaikan surat dakwaan yang disebabkan batal atau batal demi hukum dan pembatasan hakim dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum, tidak mengurangi hak-hak terdakwa maupun penuntut umum, bahkan hakim, di dalam keleluasaan memeriksa suatu perkara pidana. Sebab, hakim pengadilan pidana yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dapat melakukan pemeriksaan atas materi perkara besama-sama dengan syarat formil lainnya, yang kemudian atas perkara tersebut dapat dijatuhkan putusan pada putusan akhir secara bersamaan. Hal demikian sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman].
Lebih lanjut, pembatasan perbaikan surat dakwaan jaksa penuntut umum akibat surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum dan putusan sela yang dapat dijatuhkan oleh hakim, di samping memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum, juga untuk menghindari adanya perkara yang berpotensi melewati batas daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 78 dan Pasal 79 KUHP. Terlebih, dalam praktik peradilan, hakim secara ex officio dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana tanpa ada keberatan (eksepsi) dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan kewenangan mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan batal demi hukum secara ex officio dapat menjatuhkan putusan sela ataupun tetap memeriksa materi pokok perkara dan kemudian menjatuhkan putusan akhir secara bersama-sama. Oleh karena, meskipun ditemukan adanya kekurangan syarat formil dan materiil terhadap surat dakwaan akan menjadi pertimbangan hukum tersendiri bagi hakim yang mengadili perkara dimaksud dengan mempertimbangkan secara komprehensif. Dalam kaitan inilah apakah hakim akan menitikberatkan putusannya pada aspek keadilan formil, keadilan materiil, atau memadukan antara keduanya di dalam menilai dan memutus perkara yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan telah diputusnya pada putusan akhir yang mencakup juga materi pokok perkara, maka upaya hukum yang tersedia atas perkara dimaksud dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berkeberatan. Terlebih, terhadap perkara yang demikian apabila diajukan kembali dengan perbaikan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum maka akan terkendala dengan ketentuan tentang ne bis in idem, yang artinya perkara dengan terdakwa dan materi perbuatan tindak pidana yang sama telah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, baik yang terbukti maupun yang tidak terbukti, maka perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya [vide Pasal 76 KUHP].
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, berkenaan dengan frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, menurut Mahkamah dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum, apabila dimaknai pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim. Artinya, pada dakwaan kedua yang diajukan jaksa penuntut umum, apabila masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materiil surat dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang kemudian diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir. Dengan demikian, pemaknaan atas frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai menjadi sesuai dengan yang dinyatakan dalam amar putusan a quo.
[3.20] Menimbang bahwa dengan telah diberikan pemaknaan baru oleh Mahkamah terhadap frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara-perkara yang saat ini sudah pernah dinyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum, baik sekali maupun lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk 1 (satu) kali lagi dan kemudian hakim memeriksanya bersama-sama dengan materi pokok perkara. Sementara itu, terhadap perkara-perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo.
Namun demikian, melalui putusan a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, bahwa untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyusunan surat dakwaan agar jaksa penuntut umum melakukan pemeriksaan secara saksama dan berjenjang terhadap surat dakwaan sebelum diajukan dalam persidangan di pengadilan negeri. Sebab, jaksa penuntut umum adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan penuntutan, yang pada satu sisi berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia, dan di sisi lain dakwaan dapat berakibat perampasan kemerdekaan seseorang. Oleh karena itu, dengan adanya kecermatan dalam penyusunan surat dakwaan maka dapat dihindari adanya surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum. Di samping itu, penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan hakim dalam menangani perkara agar selalu menjaga integritas, dengan tetap mengedepankan kepastian dan keadilan hukum. Sehingga, kemungkinan adanya putusan sela yang menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum secara berulang-ulang tidak lagi terjadi. Karena, sebagaimana dipertimbangkan di atas, sejatinya hakim dapat memberikan penilaian atas suatu perkara dari aspek keadilan formil, materiil ataupun memadukan keduanya dengan tetap berorientasi pada peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Namun, oleh karena Mahkamah akan memberikan pemaknaan bersyarat terhadap norma Pasal a quo tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dengan demikian Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.22] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP inkonstitusional secara bersyarat maka terhadap pasal-pasal lain yang berkaitan, pemberlakuannya menyesuaikan dengan putusan a quo.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430