Bahwa pada hari Kamis, tanggal 29 September 2022, pukul 12.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (selanjutnya disebut UU 3/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama keseluruhan esensi norma Pasal 4 UU 3/2020 jika dibandingkan dengan ketentuan dalam undang-undang sebelumnya, in casu ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 4/2009, benar telah terjadi perubahan pengaturan penguasaan mineral dan batubara yang semula diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah menjadi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Perubahan demikian tentu membawa dampak konseptual dan praktik. Apalagi pada kenyataannya esensi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 4/2009 selama ini telah dilaksanakan, yang artinya pemerintah daerah secara nyata pun telah pernah menyelenggarakan urusan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara, in casu penguasaan mineral dan batu bara. Oleh karena itu, terlebih dahulu penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan tidak dapat menerapkan sentralisasi dan desentralisasi secara dikotomi, namun keduanya bersifat kontinum. Terlebih jika dilihat dari sejarahnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, baik konsep sentralisasi maupun desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan pernah dipraktikkan di Indonesia. Demikian pula, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan urusan pengelolaan pertambangan. Dengan melihat praktik penyelenggaraan urusan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa model yang satu lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Penilaian atas keunggulan sentralisasi maupun desentralisasi dalam pengelolaan pertambangan adalah penilaian yang meliputi banyak faktor, antara lain kesinambungan perencanaan, efektivitas pelaku usaha, keuntungan finansial negara, daya dukung lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat, kehandalan pengawasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam menilai efektivitas pengelolaan pertambangan harus selalu dilandaskan pada perspektif kepentingan Negara tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat terdampak, kepentingan pelaku usaha, dan pemerintah daerah. Hal demikian tidak lain merupakan amanat UUD 1945 yang meletakkan kepentingan Negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; kemudian kepentingan warga negara yang secara khusus dilindungi dalam pasal-pasal khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Termasuk dalam hak asasi demikian sebenarnya adalah hak ekonomi warga negara baik hak sebagai masyarakat yang bermata pencaharian di wilayah pertambangan, maupun hak sebagai pelaku usaha yang menjalankan usaha pertambangan itu sendiri.
Hal yang mengemuka dari dalil para Pemohon terkait dengan penyelenggaraan urusan pengelolaan pertambangan ini bermuara pada penurunan kualitas lingkungan yang tidak terkendali manakala kebijakan pengelolaan pertambangan diambil dan/atau diimplementasikan tanpa melibatkan masyarakat. Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam pembentukan dan implementasi kebijakan pertambangan pada akhirnya meminggirkan peran serta masyarakat dalam mengelola lingkungan tempat tinggalnya; menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat; menurunkan kualitas lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat; bahkan memisahkan masyarakat dari lingkungan yang selama ini menaunginya. Dalam kaitan ini, Mahkamah penting menegaskan bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD
1945 sesungguhnya telah menyatakan adanya jaminan hak kolektif yakni hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karenanya kegiatan pada bidang pertambangan apapun bentuk/jenisnya harus tetap dapat memberikan jaminan peningkatan kualitas lingkungan yang baik dan sehat.
[3.14.2] Bahwa dari uraian di atas, menurut Mahkamah permasalahan pokok yang harus dijawab dalam konteks pengujian konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2) yang dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020 khususnya frasa "kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan” adalah:
1) apakah pengaturan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan sesuai dengan UUD 1945 dan/atau tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon; serta
2) apakah mekanisme pengelolaan yang diatur dalam UU 3/2020 telah sesuai dengan UUD 1945 dan/atau tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon.
[3.14.4] ….. walaupun Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945 tidak dijadikan dasar pengujian oleh para Pemohon, namun ternyata memiliki keterkaitan dalam menjawab dalil para Pemohon, oleh karenanya penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu pola pembagian urusan pemerintahan, in casu urusan bidang pertambangan mineral dan batubara dengan mendasarkan pada ketentuan UUD 1945 berikut ini:
Pasal 18 ayat (2)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”
Pasal 18 ayat (5)
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Pasal 18 ayat (7)
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”
Pasal 18A ayat (1)
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Pasal 18A ayat (2)
“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
Berdasarkan rangkaian ketentuan di atas menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut prinsip otonomi daerah berbasis provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Di sini pemerintah daerah melakukan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi mengatur/mengurus dirinya sendiri serta fungsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam konteks tugas pembantuan. Hal demikian diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Namun demikian, cakupan otonomi daerah bukanlah tanpa batas. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 memberikan batasan-batasan terhadap sifat dan cakupan otonomi demikian. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menegaskan pembatasan berupa “kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Ketentuan Pasal 18 ayat (5) tersebut menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan urusan serta pembagian urusan dimaksud antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah harus diatur undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, pembentuk undang-undang mengatur kewenangan yang mutlak menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, serta kewenangan yang dalam penyelenggaraannya dapat dibagi antara pusat dan daerah dengan mendasarkan pada sistem negara kesatuan. Selanjutnya, UUD 1945 mengamanatkan agar pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud diatur dengan undang-undang. Dalam kaitan inilah, UU
23/2014 telah menentukan prinsip pembagian urusan konkuren pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, in casu pembagian urusan pertambangan mineral dan batubara yang didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional [vide Pasal 13 dan Penjelasan UU 23/2014].
Dalam hal ini, perlu dikaji secara cermat masing-masing prinsip dimaksud, yaitu: Pertama, prinsip akuntabilitas yang penentuannya berdasarkan kedekatan pemerintah dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan urusan, sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang menjadi penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Kedua, prinsip efisiensi yang dikaji berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang akan menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan. Ketiga, prinsip eksternalitas yang dikaji berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang akan menyelenggarakannya. Keempat, prinsip kepentingan strategis nasional yang dikaji berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan [vide Penjelasan UU 23/2014]. Dengan mendasarkan pada ketentuan UUD 1945 kewenangan dalam pengelolaan atau penyelenggaraan pertambangan dapat saja diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, selama Negara tetap menjadi penguasa tertinggi. Namun, meskipun kedua tingkat pemerintahan tersebut berwenang untuk melakukan pengelolaan pertambangan, dan karenanya keduanya boleh dipilih untuk diberi kewenangan pengelolaan, penentuannya harus didasarkan pada kajian atas prinsip-prinsip tersebut di atas sehingga dapat ditentukan tingkat pemerintah mana yang mempunyai kemampuan terbaik dalam hal pengelolaan pertambangan terutama mineral dan batubara, agar tidak menyebabkan tidak terpenuhinya hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dalam kaitan inilah UU 3/2020 menentukan penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat yang dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Namun demikian, jika dicermati secara komprehensif substansi UU 3/2020, penyelenggaraan oleh Pemerintah Pusat tersebut tidak berarti menghilangkan hak/kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pertambangan mineral dan batubara. Misalnya, pengaturan mengenai penetapan Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan oleh Pemerintah Pusat dilakukan setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR RI [vide Pasal 9 UU 3/2020]; Pengaturan mengenai luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Menteri setelah ditentukan oleh Gubernur [vide Pasal 17 ayat (1) UU 3/2020]; demikian pula, pengaturan terkait dengan Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib dilakukan divestasi saham secara berjenjang dan diprioritaskan secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat kemudian Pemerintah Daerah [vide Pasal 112 UU 3/2020]. Selain itu, Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 juga mengatur bahwa pemerintah daerah tetap dapat menerima kewenangan dalam bentuk pendelegasian untuk menerbitkan sejumlah perizinan berusaha [vide Pasal 35 ayat (2) UU 3/2020]. Hal ini menegaskan bahwa dalam sistem negara kesatuan tidak ada kewenangan konkuren yang hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa membaginya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[3.14.5] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan dalam Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020, secara umum bersesuaian dengan doktrin penguasaan sumber daya alam yang telah diterima secara luas. Bahkan, Mahkamah dalam perkara lain terkait sumber daya alam, sudah pernah menguraikan berbagai fungsi/kegiatan yang menjadi Conditio sine qua non bagi suatu konsep dan/atau tindakan penguasaan sumber daya alam oleh negara. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 9 Juli 2005, Mahkamah menguraikan bahwa konsep penguasaan Negara atas air meliputi kegiatan merumuskan kebijaksanaan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005, hlm. 498-499].
Bahwa lima rangkaian fungsi/kegiatan penguasaan negara tersebut menurut Mahkamah berlaku pula secara umum untuk penguasaan negara atas sumber daya alam lainnya. Apalagi jika sumber daya tersebut merupakan sumber daya strategis atau berpengaruh besar bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan Negara, seperti halnya sumber daya berupa mineral dan batubara.
Bahwa mineral dan batubara adalah sumber daya dan kekayaan alam yang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, apalagi karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui, maka penguasaan atasnya harus benar-benar ditujukan bagi kemaslahatan atau kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas telah mengatur, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan dari dikuasainya kekayaan alam oleh Negara, secara normatif dapat dicapai jika kekayaan alam, in casu mineral dan batubara dikelola dengan meletakkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara sebagai prioritas utama, terlepas dari apakah pengelolaan pertambangan demikian dilakukan oleh Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah sepanjang pengelolaan tersebut tidak mengabaikan peran masing-masing tingkatan pemerintahan.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020, khususnya terkait dengan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena mengakibatkan suatu wilayah akan terus menerus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan meskipun daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah tersebut sudah terlampaui. Menurut para pemohon, dengan adanya kata “menjamin” seolah- olah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak akan melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada wilayah yang sudah berstatus Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon di atas, persoalan yang harus dijawab oleh Mahkamah apakah benar WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah ditetapkan dan diberikan izinnya tersebut tidak dapat diubah atau dievaluasi sekalipun tidak sesuai dengan pengaturan pemanfaatan ruang dan kawasan. Untuk menjawab persoalan tersebut di atas penting bagi Mahkamah untuk mengkaji secara komprehensif desain pengaturan mengenai penetapan dan pemberian izin untuk WIUP, WIUPK, atau WPR. Dengan mendasarkan pada Pasal 17A ayat (1) UU 3/2020 pada pokoknya telah ditegaskan bahwa penetapan WIUP mineral logam dan WIUP batubara hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan. Setelah pemenuhan tersebut diperoleh maka baru Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP mineral logam dan WIUP batubara yang telah ditetapkan tersebut [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020]. Adanya pengaturan mengenai keterpenuhan kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari desain besar Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun di mana dalam menyusun Rencana tersebut dipertimbangkan: daya dukung sumber daya alam dan lingkungan menurut data dan informasi geospasial dasar dan tematik; pelestarian lingkungan hidup; rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; tingkat pertumbuhan ekonomi; prioritas pemberian komoditas tambang; jumlah dan luas WP; ketersediaan lahan Pertambangan; jumlah sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara; dan ketersediaan sarana dan prasarana [vide Pasal 8A ayat (2) UU 3/2020]. Rencana pengelolaan inilah yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan mineral dan batubara [vide Pasal 8B ayat (3) UU 3/2020].
Dalam hal ini perlu dipahami terlebih dahulu kaitan persoalan yang didalilkan para Pemohon dengan pengertian Wilayah Pertambangan (WP) yang pada pokoknya merupakan bagian dari tata ruang nasional [vide Pasal 1 angka 29
UU 3/2020]. Oleh karena itu, tentu tidak dapat dilepaskan dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Dalam konteks inilah sesungguhnya pengaturan penentuan jangka waktu peninjauan kembali setiap 1 (satu) kali dalam
5 (lima) tahun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/kota yang telah ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam UU 26/2007 [vide Pasal 20 ayat 3 dan ayat (4), Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU 26/2007], berkorelasi dengan Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional mengingat salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana tersebut adalah rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Sebab, WP merupakan bagian dari tata ruang nasional. Terlebih lagi, UU 26/2007 telah menegaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi salah satu pedoman perencanaan pembangunan jangka panjang nasional dan pembangunan jangka menengah nasional serta pedoman dalam penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi [vide Pasal 20 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf e UU 26/2007]. Hal yang demikian juga berlaku bagi perencanaan jangka panjang tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang memedomani perencanaan pembangunan di daerah termasuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi [vide Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf e, Pasal 26 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf e UU 26/2007]. Oleh karena itu, dalam hal suatu WP akan ditetapkan sebagai kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilepaskan dari Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai sebuah instrumen yang mengatur alokasi sumber daya dalam suatu ruang di mana pengaturan ruang dalam RTR diwujudkan dalam zona-zona peruntukannya, misalnya untuk pertambangan. Sebagaimana hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional.
[3.15.2] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama seluruh ketentuan yang terkait dengan pengaturan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang telah ditetapkan [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020], pada Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah ditetapkan [vide Pasal 22A UU 3/2020], pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang telah ditetapkan [vide Pasal 31A ayat (2) UU3/2020], dan pada WIUP, WPR, dan WIUPK yang telah diberikan izinnya [Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020], tidaklah dapat dipahami secara parsial karena esensi pengaturannya sangat berkaitan dengan norma-norma pasal yang lain.
Dalam hal ini, untuk penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020] dapat dilakukan jika telah dipenuhi sejumlah persyaratan yakni: (1) telah ditetapkan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara oleh Menteri setelah ditentukan oleh gubernur atau jika berada di wilayah laut maka luas dan batas WIUP tersebut ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait, di mana dalam penetapan luas dan batas ini dipertimbangkan pula: a. Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional; b. ketersediaan data sumber daya dan/atau cadangan mineral atau batubara yang berasal dari hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian, hasil evaluasi WIUP yang dikembalikan atau diciutkan oleh pemegang IUP atau hasil envaluasi WIUP yang berakhir atau dicabut; dan c. status kawasan; (2) untuk penetapan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara termasuk yang berada di wilayah laut, harus memenuhi kriteria: a. terdapat data sumber daya Mineral logam atau Batubara; dan/atau b. terdapat data cadangan Mineral logam atau Batubara; (3) mempertimbangkan pula: a. ketahanan cadangan; b. kemampuan produksi nasional; dan/atau c. pemenuhan kebutuhan dalam negeri; dan (4) memenuhi kriteria pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk kegiatan Usaha Pertambangan [vide Pasal 17 dan Pasal 18 UU 3/2020].
Sedangkan, untuk memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22A UU 3/2020, pada prinsipnya pun tidak serta merta atau otomatis karena untuk dapat ditetapkan sebagai WPR harus terlebih dahulu dipenuhi sejumlah persyaratan atau kriteria, yakni: (1) mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; (2) mempunyai cadanganprimer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter; (3) endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; (4) luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare; (5) adanya penyebutan yang jelas jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 22 UU 3/2020]. Dalam kaitan ini, sejalan dengan penetapan WP yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab [vide Pasal 10 ayat (2) UU 3/2020], maka dalam hal akan menetapkan WPR bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman terlebih dahulu rencana WPR tersebut kepada masyarakat secara terbuka. Pengumunan tersebut dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait yang dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR [vide Pasal 23 dan Penjelasan UU 4/2009]. Dengan demikian, masyarakat dapat memberikan masukan terhadap proses penetapan WPR tersebut.
Demikian pula halnya untuk memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31A ayat (2) UU 3/2020, pada prinsipnya pun tidak serta merta atau otomatis karena untuk dapat ditetapkan sebagai WIUPK harus terlebih dahulu dipenuhi sejumlah persyaratan atau kriteria, yakni: (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan ruang dan kawasan tersebut adalah untuk kegiatan Usaha Pertambangan; (2) ketahanan cadangan; (3) kemampuan produksi nasional; dan/atau (4) pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Artinya, jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan tersebut harus disandarkan terlebih dahulu pada keterpenuhan syarat untuk dapat ditetapkan sebagai WIUPK.
Sementara itu, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 yang menentukan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya karena dianggap menghilangkan aspek peninjauan berkala sebagaimana dimaksud dalam UU Penataan Ruang serta tidak sejalan pula dengan pemenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berkaitan dengan dalil tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 tidaklah dibaca berdiri sendiri tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma ayat (1) yang menentukan pada pokoknya WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya dalam bentuk IUP, IUPK, atau IPR wajib didelineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya tidak mungkin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR apabila persyaratan dalam ketentuan ayat (1) belum terpenuhi. Terlebih lagi, ketentuan norma Pasal 172B UU 3/2020 merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang menegaskan status dan kedudukan pemegang izin berupa IUP, IUPK, atau IPR setelah berlakunya UU a quo. Hal ini mengingat ketentuan UU a quo telah mengubah UU sebelumnya (UU 4/2009) berkenaan dengan izin usaha pertambangan termasuk di dalamnya perubahan terhadap proses, prosedur, kegiatan, kewajiban, jangka waktu bagi pemegang IUP, IUPK, atau IPR. Dalam rangka penyesuaian terhadap norma baru dalam UU 3/2020 maka sesuai dengan maksud fungsi “Ketentuan Peralihan” berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 [UU 12/2011], di antaranya adalah untuk menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara [vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka Pasal 172B UU 3/2020 dimaksudkan untuk menjalankan fungsi ketentuan peralihan dimaksud. Sebab, sebelum UU 3/2020 diberlakukan telah ada wilayah-wilayah yang sudah mendapatkan izin pertambangan berupa IUP, IUPK, atau IPR.
Dalam rangka penyesuaian dengan norma baru UU 3/2020 maka terhadap kegiatan usaha pertambangan yang telah mendapatkan izin sebelumnya berupa IUP, IUPK, atau IPR wajib dilakukan delineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan, karena ada kemungkinan misalnya terjadinya penciutan atau perluasan dari izin yang telah diberikan sehingga tidak sesuai lagi dengan pemanfaatan ruang dan kawasan. Berdasarkan Pasal 172B ayat (1) UU 3/2020, hal tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU 3/2020 tidak menyebutkan peraturan perundang-undangan apa yang dimaksud namun dengan mencermati esensi izin usaha pertambangan maka ketentuan yang dimaksud di antaranya adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan dengan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan menyebabkan ketidakterpenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena dikhawatirkan di wilayah tersebut akan terus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan sementara daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah tersebut sudah tidak mampu menampung aktivitas pembangunan. Dalam kaitan ini penting untuk dipahami bahwa salah satu pemanfaatan ruang yang dapat diakomodasi dalam zonasi RTR adalah kegiatan yang telah mendapatkan izin. Izin tersebut hanya dapat dikeluarkan apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan telah mengantisipasi pengendalian dampak yang akan ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan doktrin hukum perizinan bahwa izin merupakan instrumen yuridis preventif dan juga represif yang berfungsi sebagai pengendalian sehingga izin hanya dapat dikeluarkan apabila telah dipenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Oleh karena itulah kegiatan yang telah memiliki izin perlu dijamin kelangsungan usahanya oleh RTR melalui zonasi yang bersesuaian. Apabila kegiatan yang telah memiliki izin tersebut di kemudian hari mengganggu keseimbangan lingkungan dan sosial, maka perlu ada mekanisme evaluasi izin yang telah diberikan, namun bukan evaluasi pada zonasi RTR-nya. Sebab, zonasi peruntukan dalam RTR telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kebutuhan, daya dukung, kesesuaian ruang, dan aspirasi pemangku kepentingan.
Bahwa terkait dengan keinginan para Pemohon agar ada peninjauan atau evaluasi kembali RTR untuk melihat kesesuaian RTR dengan kebutuhan pembangunan serta pemanfaatan ruang, Mahkamah dapat memahami keinginan tersebut karena WIUP, WIUPK, dan WPR pada pokoknya adalah wilayah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan yang telah mendapatkan izin yang merupakan bagian dari WP yang tidak lain adalah bagian dari tata ruang nasional maka dengan sendirinya RTR dapat dilakukan peninjauan kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal hasil peninjauan kembali merekomendasikan adanya revisi RTR maka hal tersebut dapat dilakukan namun jika dalam proses revisi RTR terdapat kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin maka peninjauan kembali tersebut dilakukan terhadap mekanisme evaluasi atau pengawasan izinnya, misalnya jika terbukti terdapat kesalahan dari pihak pelaksana izin tersebut maka izin tersebut dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan zona dalam RTR di wilayah tersebut dapat disesuaikan dengan peruntukkan atau izin yang baru. Bertalian dengan pencabutan izin ini, telah ditentukan dalam UU 3/2020 sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, atau IPR untuk penjualan jika terjadi pelanggaran atas ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU a quo.
Dengan demikian, adanya ketentuan mengenai jaminan pemanfaatan ruang dan kawasan dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk yang mengatur penataan ruang. Meskipun untuk mendapatkan kepastian berusaha atas wilayah yang telah ditetapkan dan telah dikeluarkan izinnya tersebut telah melewati seluruh proses dan prosedur, namun, untuk memberikan kepastian bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan yang telah diberikan izinnya tetap dapat dilakukan evaluasi dan sepanjang dalam pelaksanaan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalan konstitusional dalam penerapan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan dalam amar putusan ini mengenai keharusan selalu adanya konsistensi untuk tidak menyalahi keterpenuhan syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam menjamin pemanfaatan ruang dan kawasan sehingga hal ini memberikan kejelasan dalam memaknai kata “menjamin” dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020.
[3.15.3] Berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Artinya, norma Pasal 17A ayat (2). Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD 1945 jika norma tersebut tidak dilekati makna “sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana diubah oleh Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 yang selengkapnya menyatakan “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”, telah membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup; memberikan ketidakpastian hukum; dan melanggar hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Dalam kaitan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1 Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2 Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3 Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4 Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5 Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6 Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7 Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8 Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9 Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
Mahkamah juga telah menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu:
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.
Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah jelas bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
[3.17] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 terkait jaminan pemberian izin berdasarkan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) perusahaan, serta Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 terkait kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum, prinsip partisipasi warga negara, serta pengelolaan sumber daya pertambangan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan terlebih dahulu substansi permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa dalam permohonan a quo terdapat ketidaksesuaian antara posita dengan petitum. Pada bagian posita permohonan, para Pemohon menguraikan dan menerangkan bahwa ketentuan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas adalah norma Pasal 169A ayat (1) dan Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020, sedangkan dalam bagian petitum para Pemohon menyebutkan Pasal 169A dan Pasal 169B UU 3/2020 secara keseluruhan. Padahal Pasal 169A terdiri dari lima ayat, dan Pasal 169B juga terdiri dari lima ayat. Artinya, ketentuan yang dimohonkan dalam petitum lebih banyak/luas dibandingkan dengan ketentuan yang disebut dan diuraikan pada bagian posita.
Terhadap adanya perbedaan luasan antara posita dengan petitum dalam permohonan para Pemohon demikian, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan ketentuan yang dimohonkan dalam petitum sekaligus yang diuraikan/diterangkan argumentasinya dalam bagian posita. Dengan demikian, ketentuan yang akan dipertimbangkan Mahkamah adalah Pasal 169A ayat (1) dan Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020.
[3.17.2] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya telah pernah diuji dan diputus sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 27 Oktober 2021, dengan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang amar putusan Mahkamah menyatakan:
“1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon III tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) selengkapnya berbunyi, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 dapat diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: …”;
6. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), selengkapnya menjadi berbunyi:
a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
7. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
8. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
[3.17.3] Bahwa dalam kaitannya dengan permohonan para Pemohon, Mahkamah menemukan fakta hukum objek yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh para Pemohon dalam perkara a quo sama dengan objek permohonan pada Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 sebelum diputus. Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah berisi makna baru walaupun tidak disertai perubahan kalimat redaksional, sehingga ketentuan a quo tidak dapat lagi dibaca dan/atau dipahami sebagaimana maksud pembentuk UU 3/2020 sebelum adanya Putusan Mahkamah melainkan harus dibaca/dipahami sebagaimana Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Implikasi amar putusan berupa pemberian makna baru demikian, dalam kaitannya dengan perkara a quo, mengakibatkan permohonan perkara ini, khususnya permohonan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah tidak sesuai lagi objeknya. Sebab, objek permohonan yang dimohonkan para Pemohon adalah ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Dengan demikian, permohonan pengujian sepanjang mengenai Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 menurut Mahkamah harus dinyatakan kehilangan objek.
[3.17.4] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 maka untuk menjawab dalil tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum Mahkamah pada Sub-paragraf [3.17.2] di atas. Sebab, ketentuan Pasal 169B ayat (3) tersebut merupakan satu rangkaian dengan pasal dan ayat-ayat sebelumnya sebagaimana selengkapnya menyatakan:
“(1) Pada saat IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169A diberikan, wilayah rencana pengembangan seluruh wilayah yang disetujui Menteri menjadi WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi.
(2) Untuk memperoleh IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.
(3) Menteri dalam memberikan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.
(4) Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika berdasarkan hasil evaluasi, pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pengusahaan Pertambangan yang baik.
(5) Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangannya”.
Berdasarkan keseluruhan ketentuan Pasal 169B UU 3/2020 tersebut penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal a quo merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang dimaksudkan untuk memperjelas kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan baru dari UU 3/2020 sebagai konsekuensi logis diberlakukannya IUPK. Oleh karena itu, menurut Mahkamah penunjukan Menteri sebagai pihak yang dapat memberikan IUPK merupakan konsekuensi logis-sistematis dari diserahkannya pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara kepada Pemerintah Pusat [vide Pasal 4 ayat (2) UU 3/2020]. Pemerintah Pusat dalam konteks pengelolaan pertambangan tidak lain adalah Presiden Republik Indonesia yang secara teknis-administratif dibantu oleh menteri. Pada Pasal 1 angka 38 UU 3/2020 telah diatur bahwa Menteri yang dimaksud dalam UU a quo adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Menteri pun tidak pula dapat serta-merta memberikan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian karena masih harus mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.
Sementara itu, terkait dengan dalil para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses pemberian IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, khususnya masyarakat terdampak langsung oleh pertambangan, Mahkamah berpendapat ketentuan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan lain terkait izin dan/atau wilayah pertambangan yang bersifat khusus. Dalam hal ini, UU 3/2020 mengatur bahwa IUPK merupakan pelaksanaan dari WUPK [vide Pasal 29 UU 4/2009], sementara WUPK merupakan bagian dari WP [vide Pasal 10 UU 3/2020]. WP atau wilayah pertambangan dibedakan menjadi WUP, WPR, WPN, dan WUPK. Artinya, WP adalah satuan wilayah yang di dalamnya terdiri dari atau meliputi WUP, WPR, WPN, dan WUPK. Dengan kata lain, untuk penentuan WUPK dan IUPK harus didahului oleh adanya penetapan WP.
Pasal 10 UU 3/2020 selengkapnya mengatur bahwa:
“(1) Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR;
c. WPN; dan
d. WUPK.
(2) Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.”
Dengan merujuk pada Pasal 10 UU 3/2020 di atas telah jelas bahwa penetapan WP dilaksanakan secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
Menurut Mahkamah, karena penetapan WP merupakan induk atau landasan bagi penetapan WUP, WPR, WPN, dan WUPK yang kemudian penetapan wilayah ini menjadi dasar/landasan bagi diberikannya izin usaha pertambangan, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat khususnya yang terdampak pertambangan baik potensial maupun aktual secara hukum telah mempunyai alas hak untuk terlibat dalam proses penetapan WP tersebut. Apalagi seperti telah diterangkan oleh Presiden/Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah, sebagai pelaksanaan UU a quo kementerian terkait telah memberikan jalur atau kanal komunikasi bagi masyarakat yang ingin memantau dan/atau melaporkan aktivitas terkait pertambangan dengan harapan membantu Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan kegiatan pertambangan [vide Keterangan Presiden, bertanggal 4 November 2021]. Oleh karena itu, seandainya dalam pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi tidak berjalan dengan baik sehingga kualitas partisipasi tidak sempurna sebagaimana didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah hal demikian penting menjadi perhatian Pemerintah Pusat selaku pihak yang diberikan mandat oleh Negara agar memperbaiki proses pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi sehingga pengelolaan pertambangan mineral dan batubara tetap sejalan dengan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah menilai dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon sebagaimana tersebut di atas, oleh karena berkenaan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan dengan permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 sebagai berikut:
Bahwa Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon merupakan bagian dari Bab Penguasaan Mineral dan Batubara yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo yang pada pokoknya menyatakan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan/kemakmuran rakyat. Untuk penguasaan mineral dan batubara tersebut undang-undang menentukan kewenangan penyelenggaraannya oleh Pemerintah Pusat di mana para Pemohon dalam petitumnya memohon agar kewenangan tersebut juga merupakan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana ketentuan sebelumnya dalam UU 4/2009.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, telah ternyata substansi dari permohonan para Pemohon tersebut telah berkenaan dengan hak/kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana hal tersebut juga dinyatakan dalam petitum para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan kewenangan kembali kepada Pemerintah Daerah untuk pengelolaan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana ketentuan sebelumnya (UU 4/2009). Oleh karena pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo diajukan oleh para Pemohon sendiri baik dalam kualifikasi badan hukum (yayasan/perkumpulan) dan perorangan warga negara Indonesia, sedangkan substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, maka apabila berkenaan dengan kewenangan tersebut terdapat norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka sesungguhnya yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah telah diputuskan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 21 Februari 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XIII/2015 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2017. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota”. [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, hlm.59]
Oleh karenanya terhadap permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 tidak diajukan oleh Pemerintahan Daerah (kepala daerah dan DPRD) maka para Pemohon tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan kedudukan hukum, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata kata “menjamin” dalam norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2) dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Sementara itu, berkaitan pengujian ketentuan norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah kehilangan objek, dan norma Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan ketidaksamaan di hadapan hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Selanjutnya, terkait dengan ketentuan norma Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur, serta berkaitan dengan pengujian ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU 3/2020 para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian pasal a quo. Andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020, quod non, dalil permohonan para Pemohon mengenai pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian pokok permohonan dalam Paragraf [3.14].
[3.21] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430