Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 17.53 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 56/PUU- XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan salah satu keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari Komisi Yudisial.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut di atas Mahkamah terlebih dahulu akan mepertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1.a. Hakim Konstitusi
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan pada bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi, bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam bentuk formalnya adalah permohonan pengujian undang- undang terhadap undang-undang dasar. Akan tetapi, pada hakikatnya, substansi permohonan dimaksud mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama lembaga negara yang kewenangannya sama-sama
2

ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan hal-hal substantif yang dimohonkan oleh para Pemohon dengan menilai materi norma yang terdapat dalam UU KY dan UUKK yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD 1945 dan sekaligus dengan pendekatan konstitusionalitas kewenangan.
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UU KK yang dibentuk sebelum pembentukan UU KY. Dalam UU MK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU KK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali;
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY, maka kewenangan
3

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
Terhadap kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK yang berbunyi, “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”; kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas pengertian perilaku hakim sehingga mencakup Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY. Dengan kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi mandul, khususnya dalam hal salah satu lembaga negara dimaksud adalah KY. Ketentuan undang-undang yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam Pasal 2 ayat
(3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65 UUMK tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon, hanya dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam perkara sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian tidak berkait dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian, sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan
4

Komisi Yudisial yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek perkara di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang-undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY sebagaimana ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat. Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan lembaga negara antara MA dan KY terjadi di masa-masa yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian sengketa semacam itu tidak akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antarlembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
2.b. Pengawasan
Menimbang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan frasa ”dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan KY sebagaimana dimaksud oleh ketentuan tersebut, walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain.
[3.11.2] Bahwa selanjutnya Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014 juga telah mempertimbangkan terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi yang pada pokoknya sebagai berikut:
5

[3.22] Menimbang bahwa UU 4/2014 juga mengatur keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Terhadap ketentuan ini, menurut Mahkamah, bahwa checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam praktik ketatanegaraan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, checks and balances diwujudkan dengan adanya hak veto oleh Presiden terhadap Undang-Undang yang telah disahkan oleh Kongres. Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, kewenangan lembaga peradilan untuk mengoreksi kekuasaan lembaga negara yang lain diwujudkan pula dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan koreksi terhadap Undang-Undang dilakukan dengan memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya dan dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman;
Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.
Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, terbebas atau
6

kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya.
Dalam hubungannya dengan Komisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dijamin sebagai hak asasi manusia namun dalam hubungannya dengan kekuasaan kehakiman kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas, bahkan pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang. Negara Eropa yang dapat dikatakan sebagai penganut demokrasi yang sangat liberal, bahkan membatasi kebebasan menyampaikan pendapat yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal demikian dapat ditemukan dalam Article 10 European Convention on Human Rights yang menyatakan:
(1) Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to recieve and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This article shall not prevent States from requiring the licensing of broadcasting television or cinema enterprises.
(2) The exercise of these freedom since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.
Bahwa negara-negara Eropa yang berdasarkan demokrasi liberal dan sangat menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat membatasi kebebasan tersebut demi menjaga kewenangan dan imparsialitas lembaga peradilan, dan tentunya hal tersebut diperlukan untuk menegakkan negara hukum, bukan untuk kepentingan kekuasaan lembaga peradilan. Persoalannya justru bagaimana dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang tidak berdasarkan
7

demokrasi liberal. Apakah dalam penggunaan hak kebebasannya dalam negara hukum akan lebih liberal dari negara-negara Eropa. Tentunya pembentuk Undang-Undang yang akan menjawabnya;
Memang peran Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan tidaklah langsung, namun Pasal 87B UU 4/2014 menimbulkan banyak persoalan hukum. ayat (2) pasal a quo menyatakan, “Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan.”
Permasalahan hukum pertama adalah apa yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan dari PERPU. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional PERPU memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karenanya, peraturan pelaksanaan dari PERPU juga harus sama dengan peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang. Ketentuan yang termuat di dalam Pasal 87B UU 4/2014 ini bersifat umum. Artinya, peraturan pelaksanaan tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari seluruh PERPU dan bukan pelaksanaan dari pasal tertentu saja. Oleh karena PERPU sama kekuatan mengikatnya dengan Undang-Undang, maka peraturan pelaksana yang dimaksud oleh pasal a quo secara konstitusional tidak ada lain kecuali Peraturan Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya.” Dengan demikian, atas perintah ketentuan ini Pemerintah wajib membuat peraturan pelaksanaan.
Permasalahan kedua menyangkut frasa yang menyatakan, "... harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini diundangkan." Penjelasan Pasal 87B menyatakan, “Cukup jelas”. Dengan demikian, pasal ini harus dimaknai berdasar rumusan kalimat atau frasa yang tertulis dari aspek tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan dan tidak dapat dimaknai di luar bahasa yang digunakan, serta bukan berdasar penafsiran perorangan atau Pemerintah maupun DPR, karena Undang- Undang yang dinyatakan dalam simbol bahasa tersebut telah mengikat umum dan menjadi milik publik pula. Frasa yang menggunakan kata “harus”, pastilah punya makna normatif untuk ditaati. Apabila tidak ditaati berarti telah terjadi pelanggaran terhadap perintah “harus” tersebut. PERPU 1/2013 diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013. Tiga bulan dari tanggal tersebut jatuh pada 17 Januari 2014 dan tidak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan PERPU tersebut. Dengan demikian, sekarang telah terjadi pelanggaran. Sebuah pelanggaran menimbulkan konsekuensi hukum. Jika merupakan pelanggaran pidana dapat dijatuhi pidana. Ketentuan Pasal 87B bermaksud memberikan kewenangan delegatoir kepada pembuat peraturan pelaksana, namun jika dibaca rumusannya, ketentuan kewenangan delegatoir tersebut disyarati, yaitu, waktunya selama tiga bulan. Hal tersebut terbukti dari frasa "harus ditetapkan
8

paling lama 3 (tiga) bulan". Oleh karena ketentuan ini bukan mengatur pidana tetapi mengatur kewenangan yang didelegasikan, sehingga jika ternyata kewenangan tersebut tidak digunakan sesuai perintah maka kewenangan tersebut akan kadaluwarsa atau hapus. Sejak PERPU tersebut diundangkan sampai dengan tanggal 17 Januari 2014 tidak ditetapkan peraturan pelaksanaan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sehingga tidak ada lagi kewenangan untuk membuat Peraturan Pemerintah. Pasal 87B telah habis masa berlakunya, artinya delegasi kewenangan membuat peraturan pelaksanaan telah daluwarsa;
Permasalahan hukum ketiga timbul dari rumusan Pasal 87B ayat (3) a quo yang menyatakan, “Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.” Sebagaimana diuraikan sebelumnya, yang didelegasikan oleh Pasal 87B ayat (2) PERPU 1/2013 adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, artinya delegasi untuk mengatur. Hal itu menurut Mahkamah, secara konstitusional bentuk hukumnya adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan ayat (3) yang didelegasikan adalah kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang keduanya merupakan hal berbeda. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan akan menghasilkan peraturan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan akan menghasilkan keputusan yang konkret; Bahwa hal berikutnya berkaitan dengan kapan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 87B ayat (3) UU 4/2014 yang menyatakan, "Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial". Sejak PERPU a quo diundangkan sampai dengan permohonan ini diajukan, peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum ditetapkan, sehingga semestinya Komisi Yudisial sudah harus menetapkan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Demikianlah maksud PERPU tersebut – terlepas konstitusional atau tidak konstitusionalnya – mengenai apa yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial menurut PERPU yang telah menjadi Undang-Undang tersebut. Pendapat Mahkamah di atas memperlihatkan secara jelas betapa rancunya PERPU a quo dibuat yang tujuannya adalah untuk melibatkan Komisi Yudisial dalam pengajuan Hakim Konstitusi dan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum
9

yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi menjaga tegaknya konstitusi.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan tersebut, menurut Mahkamah dengan adanya anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya adalah dari unsur anggota Komisi Yudisial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 hal tersebut tidaklah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan Mahkamah tersebut, karena dalam pertimbangan putusan tersebut di atas, Mahkamah pada pokoknya antara lain telah secara nyata menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain. Dengan kata lain, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya. Hal tersebut sama halnya apabila dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang masih tetap melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja Hakim Konstitusi sehingga pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Sehingga, Mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari- hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak manapun.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak lagi melibatkan Komisi Yudisial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020. Namun, agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (stagnan) dari salah satu unsur sebelum dilakukannya perubahan oleh pembentuk undang-undang, maka Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari Komisi Yudisial adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun, dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nantinya. Sehingga, dengan adanya penggantian komposisi tersebut Mahkamah dapat segera melanjutkan penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang disusun oleh Mahkamah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 27A ayat (7) UU a quo yang menyatakan pada pokoknya
10

ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam amar putusan a quo akan menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial” tidak dimaknai “1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun”.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya