Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 15.43 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan apakah hakim pada Mahkamah Konstitusi boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan jabatannya.
Bahwa dalam praktik berhukum, terutama dalam konteks hakim yang dihadapkan pada perkara terkait dirinya, dikenal asas nemo judex idoneus in propria causa atau nemo debet esse iudex in (propria) sua causa. Asas tersebut dapat diterjemahkan sebagai larangan bagi seseorang untuk menjadi hakim dalam perkara yang menyangkut kepentingan dirinya. Terkait dengan asas tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusan terdahulu telah berpendapat mengenai penerapan asas nemo judex idoneus in propria causa sebagaimana antara lain ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011 yang menyatakan bahwa:
“c. bahwa Mahkamah memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah menyangkut Mahkamah. Hal demikian terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri. Namun dalam konteks ini ada tiga alasan Mahkamah harus mengadili permohonan pengujian undang- undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili
2
permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun demikian dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
d. bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi”.
Pentingnya asas dimaksud adalah untuk menjaga imparsialitas hakim atau ketidakberpihakan hakim kepada salah satu pihak dalam perkara. Namun, dengan mengingat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan mengadili konstitusionalitas norma yang putusannya bersifat final atau dapat dikatakan sebagai penafsir tunggal konstitusi, maka kewajiban Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan untuk menyelesaikan persoalan konstitusionalitas undang-undang haruslah diutamakan dibandingkan dengan hal lainnya. Oleh karena itu, meskipun norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas a quo berkenaan dengan diri hakim konstitusi, begitu pula dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 yang berkaitan dengan jabatan ketua dan wakil ketua, namun karena pertimbangan hukum di atas Mahkamah tetap harus menguji konstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan Pemohon tersebut;
[3.14] Menimbang bahwa norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang menentukan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70
3
(tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun”. Menurut Mahkamah ketentuan norma tersebut secara gramatikal dan sistematis telah jelas, yaitu undang-undang a quo mengecualikan semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat dari keberlakuan pasal-pasal yang mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, terutama ketentuan Pasal 15 UU 7/2020;
Dengan kata lain undang-undang a quo memberikan status hukum kepada semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat sebagai seseorang yang telah memenuhi syarat pengangkatan sebagai hakim konstitusi menurut Pasal 15 UU a quo, dan karenanya yang bersangkutan tetap menjabat sebagai hakim konstitusi sampai tercapai batas usia pensiun 70 (tujuh puluh) tahun, atau ketika belum mencapai usia 70 (tujuh tahun) tetapi rentang masa kerjanya sebagai hakim konstitusi telah mencapai 15 (lima belas) tahun;
Pemohon dalam permohonannya tidak mempermasalahkan kostitusionalitas syarat pengangkatan hakim konstitusi maupun masa kerja atau usia pensiun yang diatur dalam Bab IV Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi yang berisi Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27, namun mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 87 huruf b dalam UU 7/2020 yang dalam fungsinya sebagai Ketentuan Peralihan menurut Pemohon telah mengesampingkan keberlakuan Pasal 15 UU 7/2020 mengenai syarat usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan penentuan usia tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan misalnya dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 68 yang menyatakan:
“….
Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk
4
menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum”.
Sementara itu, jika dikaitkan dengan persoalan konstitusionalitas yang diajukan Pemohon meskipun permohonan Pemohon adalah mengenai norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 namun hal demikian bermuara pada adanya pengaturan syarat usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Ketentuan Pasal 15 tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2022) yang mensyaratkan calon hakim konstitusi berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
Ketentuan ini pun juga merupakan perubahan atas ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) yang menentukan syarat usia calon hakim konstitusi sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan. Demikian juga halnya mengenai usia paling tinggi hakim konstitusi telah diubah, dari semula 67 (enam puluh tujuh) tahun menurut UU 24/2003 kemudian diubah menjadi 70 (tujuh puluh) tahun;
[3.16] Menimbang bahwa perubahan pengaturan mengenai usia hakim konstitusi berkaitan erat dengan pengaturan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang setara dengan Mahkamah Agung yakni keduanya sama-sama sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, maka konstruksi perubahan ketentuan mengenai usia paling tinggi tersebut merupakan bentuk penyetaraan dalam ranah kekuasaan kehakiman. Penyetaraan dalam arti bahwa dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 3/2009) telah ditentukan terlebih dahulu bahwa, “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena: … b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;”.
Termasuk bagian dari penyetaraan tersebut adalah ditiadakannya periodisasi masa jabatan hakim konstitusi yang selama ini diatur selayaknya jabatan politik yaitu selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Peniadaan periodisasi ini secara
5
doktriner merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga independensi dan imparsialitas hakim dalam konteks negara hukum yang demokratis konstitusional;
[3.17] Menimbang bahwa isu utama yang dimohonkan Pemohon adalah konstitusionalitas Ketentuan Peralihan berupa Pasal 87 huruf b UU 7/2020, maka Mahkamah perlu memberikan pertimbangan hukum mengenai keberadaan Ketentuan Peralihan dalam suatu undang-undang. Konsep mengenai ketentuan peralihan merupakan ranah ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya ketentuan peralihan merupakan norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai “jembatan” antara keberlakuan norma (undang-undang) yang lama dengan keberlakuan norma (undang-undang) yang baru, atau norma pengganti. Dengan demikian, ketentuan peralihan memuat penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan yang baru tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 77).
Sebagai bagian dari teknik pembentukan peraturan perundangundangan, dalam sistem hukum Indonesia terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, beserta Lampirannya. Di dalam UU a quo dinyatakan bahwa “Ketentuan Peralihan” merupakan materi muatan dari batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan. Norma ketentuan peralihan bersifat opsional atau pilihan, yang boleh dirumuskan manakala terdapat keperluan, dan sebaliknya tidak perlu dirumuskan jika memang tidak diperlukan.
Dalam lampiran UU 12/2011, yaitu Lampiran II, Bagian C.4. yang berjudul “Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)”, khususnya angka 127 ditentukan tujuan dari adanya Ketentuan Peralihan adalah:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, persoalannya adalah apakah benar bahwa pengaturan norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” antara keberlakuan norma lama dengan norma baru yang tidak menimbulkan permasalahan hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan pengujian norma di atas, Mahkamah selalu menegaskan pengujian norma secara konseptual tidak sama
6
dengan pengujian kasus konkret. Namun demikian pada beberapa perkara memang diperlukan tinjauan terhadap kasus konkret/faktual tertentu yang dimaksudkan sekadar untuk memperjelas atau membuat terang maksud/isi suatu norma yang sedang dimohonkan pengujian.
Dalam perkara a quo Mahkamah menganggap penting untuk menjelaskan/menegaskan bahwa hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat adalah hakim yang diangkat karena telah memenuhi persyaratan sebagai hakim berdasarkan undang-undang terdahulu sebelum diubah oleh Pasal 15 UU 7/2020. Persyaratan sebagai hakim konstitusi sebelumnya diatur dalam UU 24/2003 yang telah diubah dengan UU 8/2011.
Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, pengaturan perubahan usia dalam Pasal 15 UU 7/2020 merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang- undang dari semula menentukan usia hakim paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun kemudian diubah menjadi 55 (lima puluh lima) tahun. Pilihan kebijakan demikian merupakan sesuatu yang tidak dilarang dan juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian pula dihapusnya ketentuan mengenai periodisasi jabatan hakim konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga bukan hal yang terlarang. Justru peniadaan periodisasi demikian membawa implikasi positif berupa penguatan baik dari segi independensi maupun imparsialitas hakim konstitusi dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Namun, di sisi lain adanya perubahan aturan demikian memang tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak bagi para pihak yang terkait pengisian jabatan hakim konstitusi. Oleh karena itu, agar aturan baru tersebut dapat diberlakukan dengan baik tanpa merugikan siapapun yang telah mematuhi undang-undang yang lama, maka diperlukan suatu ketentuan peralihan.
Dalam perkara a quo penafsiran atas ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf b UU 7/2020 tidak dapat dilepaskan dari konteks pilihan kebijakan pembentuk undang-undang terkait usia jabatan. Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah nonperiodisasi jabatan hakim. Perubahan konsep mendasar demikian pada akhirnya membawa implikasi bagi hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat;
[3.19] Menimbang bahwa selain diperlukannya suatu norma “jembatan” bagi
perubahan konsep hukum yang sedang diterapkan, Mahkamah merasa perlu
7
mempertimbangkan perihal posisi atau derajat kehendak pembentuk undangundang. Kehendak pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah berada pada posisi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehendak DPR, Presiden, maupun Mahkamah Agung secara parsial atau secara sendiri-sendiri. Tentu saja posisi lebih tinggi demikian dalam konteks yang harus selaras dengan ide dasar konstitusionalisme di mana UUD 1945 sebagai konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi atau dasar hukum utama bagi semua kebijakan hukum di Indonesia;
Dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, ketiga lembaga tersebut di atas yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan cara memilih/mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Hal demikian ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang mengatur, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. Artinya, masing-masing tiga lembaga negara dimaksud mempunyai hak untuk menyeleksi dan mengajukan tiga hakim konstitusi pilihan lembaga masing-masing. Di sini terlihat proses pemilihan hakim konstitusi merupakan hak masing-masing tiga lembaga negara untuk mengatur mekanisme proses pengajuan tiga orang anggota hakim konstitusi. Hal demikian terlihat secara eksplisit dalam istilah dan/atau frasa yang dipergunakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020. Namun penting Mahkamah tegaskan bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 sesungguhnya tidak membedakan tata cara pengajuan hakim konstitusi, walaupun dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020 yang mengatur salah satu syarat bagi calon hakim konstitusi menentukan calon hakim “yang berasal dari lingkungan” Mahkamah Agung sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau hakim agung. Dengan digunakannya frasa “yang berasal dari lingkungan” dalam norma a quo, seolah-olah bermakna bahwa calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung harus berasal dari kalangan internal Mahkamah Agung.
Terlepas dari ketentuan Pasal a quo yang tidak dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon kepada Mahkamah, namun menurut Mahkamah esensi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020 harus tetap mengejawantahkan esensi pokok Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang rumusan pengaturannya menggunakan frasa “yang diajukan masing-masing”. Karena, pada prinsipnya tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi oleh tiga lembaga (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung) diatur oleh ketiga lembaga masing-masing tersebut [vide Pasal 20 ayat (1) UU 7/2020]. Namun demikian, undang-undang telah memberikan rambu-rambu bahwa untuk proses pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif
8
[vide Pasal 19 UU 24/2003], sedangkan untuk proses pemilihan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga tersebut dilaksanakan seleksinya secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka [vide Pasal 20 ayat (2) UU 7/2020]. Artinya, ketiga lembaga yang mengajukan hakim konstitusi terikat sepenuhnya pada prinsip- prinsip pencalonan dan pemilihan atau seleksi hakim konstitusi yang telah ditentukan tersebut;
[3.20] Menimbang bahwa kewenangan ketiga lembaga negara tersebut untuk mengajukan hakim konstitusi merupakan amanat UUD 1945 yang kemudian ditegaskan oleh UU MK. Konstruksi hukum demikian harus dimaknai bahwa prosedur pemilihan hakim konstitusi yang dilakukan oleh ketiga lembaga negara a quo tidak boleh melampaui atau mengubah prosedur yang diberikan oleh UU MK apalagi melampaui prosedur yang digariskan oleh UUD 1945;
Dapat dikatakan pula bahwa meskipun ketiga lembaga negara a quo mempunyai hak dan kewenangan untuk menyusun prosedur seleksi/rekrutmen tertentu sesuai penafsiran masing-masing atas UU MK, namun ketika UU MK diubah oleh pembentuk undang-undang maka ketiga lembaga tersebut harus mengikuti perubahan dimaksud. Hal demikian tidak lain karena posisi/kedudukan kehendak pembentuk undang-undang (yaitu DPR bersama Presiden) harus diletakkan lebih tinggi dibandingkan kehendak DPR, Presiden, atau pun MA ketika masing-masing berdiri sendiri dalam konteks pengusulan hakim konstitusi;
[3.21] Menimbang bahwa dalam pemeriksaan persidangan, Mahkamah menemukan fakta hukum mengenai kehendak/keinginan pembentuk undangundang terkait Pasal 87 huruf b UU 7/2020. Pembentuk undang-undang menghendaki agar “mempertahankan eksistensi hakim Mahkamah Konstitusi yang sedang menjabat untuk dianggap tetap memenuhi syarat menurut undang- undang ini” (vide Keterangan Tertulis Presiden dalam Perkara Nomor 90-96- 100/PUUXVIII/2020), yang dapat dimaknai sebagai kehendak perpanjangan jabatan para hakim yang saat ini sedang menjabat, tanpa harus melalui seleksi ulang atau tindakan hukum lain sejenis;
Berdasarkan hal demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya cacat kehendak atau cacat intensi terkait ketentuan Pasal 87 huruf b juncto Pasal 15 UU 7/2020 yang dapat mengakibatkan ketentuan a quo melanggar UUD 1945. Adanya interpretasi berbeda sebagaimana didalilkan Pemohon karena seolah- olah Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menegasikan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 mengenai syarat usia minimal hakim konstitusi 55 (lima puluh lima) tahun, sehingga hakim konstitusi yang belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun –pada saat UU 7/2020 diberlakukan– menjadi diuntungkan secara tidak wajar. Menurut Mahkamah, jika merujuk pada keterangan pembentuk undang-undang, hakim konstitusi yang berusia kurang dari 55 (lima puluh lima) tahun pada saat UU
9
7/2020 diundangkan tetap diinginkan pembentuk undang-undang untuk tetap menjabat sebagai hakim konstitusi karena secara usia hakim konstitusi bersangkutan telah memenuhi syarat usia berdasarkan undang-undang lama yang menjadi dasar ketika yang bersangkutan diangkat;
Bahkan secara sistematis hakim yang belum berusia 55 tahun dimaksud juga diberi pembatasan dalam Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yaitu “hanya” menjabat maksimal 15 (lima belas) tahun. Padahal Pasal 23 ayat (1) huruf c UU 7/2020 mengatur usia pensiun hakim konstitusi atau berhentinya dari jabatan adalah 70 (tujuh puluh) tahun. Seandainya pembentuk UU 7/2020 mempunyai intensi untuk menguntungkan hakim konstitusi yang belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun pada saat UU 7/2020 berlaku, tentunya hal demikian akan dapat lebih diterima secara nalar jika tidak ada pembatasan masa jabatan selama
15 (lima belas) tahun sehingga hakim bersangkutan dapat menjabat sebagai hakim selama lebih dari 15 (lima belas) tahun;
[3.22] Menimbang bahwa setelah jelas bagi Mahkamah akan niat sesungguhnya (original intent) dari Pembentuk Undang-Undang dalam pembentukan UU 7/2020, maka Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembacaan atas rumusan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menurut Mahkamah harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama. Bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung);
[3.23] Menimbang bahwa hal selanjutnya yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah mengenai ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 dengan makna yang telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.21] dan Paragraf [3.22] tersebut, apakah secara potensial maupun aktual telah merugikan hak konstitusional Pemohon dan masyarakat pada umumnya untuk mengajukan diri menjadi hakim konstitusi;
Menurut Mahkamah, asumsi kerugian konstitusionalitas yang dibangun Pemohon dalam perkara a quo pada dasarnya sebangun dengan asumsi kerugian konstitusionalitas atas batasan usia, baik batasan usia pada jabatan tertentu atau
10
batasan usia lainnya. Beberapa di antara batasan usia demikian telah diajukan sebagai perkara konstitusionalitas di Mahkamah dan telah diputus, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas. Dalam berbagai putusannya sampai saat ini Mahkamah masih tetap pada pendiriannya bahwa penentuan batasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang selama pilihan demikian merupakan pilihan terbaik dalam arti memilih kebijakan hukum yang dampaknya paling ringan bagi seluruh pihak terdampak berdasarkan prinsip maximum minimorum;
Dalam kasus adanya ketentuan yang mengakibatkan berubahnya syarat terkait usia, hal demikian memang dapat dilihat sebagai kerugian bagi Pemohon dan masyarakat pada umumnya. Namun kerugian yang demikian bersifat relatif, dalam arti berapapun batasan usia yang dipilih, pembatasan usia akan menghalangi orangorang tertentu yang usianya di luar batasan tersebut. Kerugian relatif yang demikian menurut Mahkamah tidak dapat dijadikan satu- satunya argumen bahwa suatu kebijakan bertentangan dengan UUD 1945;
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah ketentuan norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 telah sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.25] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 87 huruf a UU 7/2020. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketentuan a quo adalah aturan peralihan yang mengatur mengenai jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Selengkapnya Pasal 87 huruf a UU 7/2020 mengatur, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”;
Menurut Pemohon, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 dan mengakibatkan ketidakpastian hukum karena ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan atau tidak selaras dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020. Dalam hal ini, Pasal 87 huruf a UU 7/2020 mengatur, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;”. Sementara itu, Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 mengatur, “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi”.
11
[3.26] Menimbang bahwa setelah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (3) juncto Pasal 87 huruf a UU 7/2020, secara sistematis Mahkamah memahami bahwa UU 7/2020 mengubah periodisasi masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Pada era UU 24/2003 satu periode masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi adalah selama 3 (tiga) tahun [vide Pasal 4 ayat (3) UU 24/2003]; kemudian satu periode masa jabatan diubah menjadi 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan [vide Pasal 4 ayat (3) UU 8/2011]; dan terakhir diubah menjadi satu periode adalah 5 (lima) tahun [vide Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020];
Perubahan periodisasi menjadi 5 (lima) tahun demikian dirumuskan menjadi substansi Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 yang berlaku sejak tanggal UU a quo diundangkan. Pemberlakuan aturan baru tersebut menimbulkan masalah hukum berkenaan dengan masih berlaku/berlangsungnya jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang jabatan demikian diemban/diperoleh berdasarkan UU 8/2011;
Permasalahan tersebut dijawab pembentuk undang-undang dengan mengkonstruksi ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf a UU 7/2020 yang pada pokoknya mengatur bahwa Ketua dan Wakil Ketua yang terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua berdasarkan UU 8/2011 dan masih menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua pada saat UU 7/2020 mulai diberlakukan, maka yang bersangkutan tetap menjabat “sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.
Namun menurut Mahkamah ketentuan demikian memunculkan kemenduaan makna (ambigu) karena adanya penggunaan frasa “masa jabatannya”. Frasa “masa jabatan” yang disebutkan UU 7/2020 ternyata dipergunakan dalam dua arti/konteks, yaitu masa jabatan sebagai Hakim Konstitusi dan masa jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Tidak adanya penegasan arti/konteks “masa jabatan” mana yang diacu oleh Pasal 87 huruf a UU 7/2020 telah menciptakan ketidakpastian hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945.
Selain karena persoalan ambiguitas di atas, ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak sesuai dengan amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 yang telah dengan tegas menyatakan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Oleh karenanya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat langsung menjabat tanpa melalui proses pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi. Dengan demikian, proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi harus dikembalikan pada esensi pokok amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 beralasan menurut hukum atau dengan kata lain Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak lagi mempunyai
12
kekuatan hukum mengikat sejak Putusan ini selesai diucapkan. Namun demikian, agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo maka Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;
[3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum, sedangkan terkait dengan pengujian norma Pasal 87 huruf a UU 7/2020 permohonan Pemohon beralasan menurut hukum;
[3.28] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain yang tidak relevan Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430